"Ya sudah, kalau kamu tidak mau membayar dengan tubuhmu, lebih baik bayar semua hutang yang pernah kamu pinjam dari aku. Biaya masuk kuliah dan ujian SKS kamu bulan lalu. Semuanya 10 juta," tagih seorang pemuda dengan wajah yang mengancam.
"Kasih aku kesempatan sebulan ini, Mas. Aku akan usahakan hutang itu lunas dalam bulan ini," jawab Faheera sembari membuang mukanya dari tatapan tajam Faris sang mantan kekasih.
"Janji-janji lu. Sampai kapan elu mau bayar hutang itu? Dari mana elu mau bayar? Dari gaji kuli lepas jaga warnet? Sudah miskin belagu, sok jual mahal lagi. Sudah gue kasih penawaran enak, masih menolak. Dasar cewek munafik," umpatnya seraya mencengkram dagu Faheera dengan kuat. Ucapannya mendadak kasar ber elu gue saking kesalnya sama Faheera yang susah diajak senang-senang.
Faheera kesakitan, dia mulai menepis tangan kekar mantan kekasihnya itu.
"Lepaskan, sakit Mas," mohon Faheera berontak. Namun pemuda yang bernama Faris itu tetap mencengkram dagu Faheera kuat.
"Ini penawaran terakhir buat elu gadis bodoh. Elu mau gue ajak senang-senang dengan imbalan hutang elu semua lunas, tiap bulan gue kasih fasilitas, motor buat pergi kuliah, elu nggak usah kerja di warnet lagi, tiap bulan uang jajan ngalir ke kantong elu, atau elu pilih yang kedua? Jika elu masih menolak, maka elu harus bayar hutang itu berikut bunganya 100 %," tekan Faris seraya mendekatkan wajahnya di wajah Faheera yang mulai menangis.
"Maaf, Mas. Aku tetap pilih yang kedua. Aku akan bayar hutang itu beserta bunganya. Kasih aku waktu paling lama dua bulan untuk melunasi," jawab Faheera membuat Faris meradang.
Dengan kasar Faris menjambak rambut Faheera dan menghempas tubuh ramping Faheera ke sisi tembok, sehingga Faheera kesakitan.
Tubuh Faheera mulai dihimpit, lalu Faris mulai melucuti sabuk pengamannya. Dia kini akan nekad akan melampiaskan kemarahan juga hasratnya pada gadis yang setahun ini dipacarinya tapi tidak bisa ditaklukannya.
"Jangan sok jual mahal lu, gadis bodoh," umpat Faris lagi seraya menyambarkan sabuknya ke tubuh Faheera.
"Awwww, sakit, Mas. Jangan ...." Faheera menjerit dan berontak menghindari amukan Faris yang sudah kalap.
Faris semakin tidak terbendung, dia berusaha melucuti semua pakaian Faheera. Faheera menepis tangan Faris yang kekar. Namun sia-sia, tubuh Faheera yang lebih kecil dari Faris, mampu Faris hempaskan ke atas kasur lantai di dalam rumah kosan milik Faheera.
"Aduhhhh, sakitttt." Bahkan Faris menyakiti Faheera terlebih dahulu. Kepala Faheera ia hantam ke tembok dan ditamparnya dua kali.
"Rasakan nih, ya. Ini akibat elu sering nolak permintaan gue."
"Dughhhh." Hantaman itu terjadi lagi membuat Faheera merasa sakit kepala. Faheera tidak melakukan pemberontakan lagi saking kepalanya sakit. Namun dalam diam, dia berusaha mengumpulkan tenaga.
Sementara Faris terus merangsek dan tangannya mulai merambah rok Faheera lalu menyingkapnya.
"Hiyatttttt." Sekuat tenaga Faheera menendang bagian diantara tengah paha lelaki bajingan itu sehingga tubuh yang tadi gagah dan kasar terpental seketika sembari menahan rasa sakit di alat vitalnya.
"Anjrittttt, sialannnnnn," desisnya kesakitan.
Sementara Faheera kini mulai membetulkan pakaiannya yang sudah tidak karuan sembari menjerit minta tolong. Sayangnya, letak kosan miliknya yang paling ujung terlebih siang-siang begini sepi, hampir semua penghuni kosan kerja pagi sampai sore, sehingga suasana lingkungan kosan itu sepi.
"Tolonggggg, tolongggg." Faheera berusaha keluar kosannya seraya minta tolong. Berharap ada orang lewat sekitar sana, Jalan di depan kosannya ini memang sepi dari lalu lalang kendaraan, terlebih pagi menjelang siang.
Namun, keberuntungan sepertinya sedang berpihak pada Faheera. Sebuah mobil yang tidak asing lagi kebetulan lewat di jalan sepi depan kosannya. Faheera tahu orang itu sepertinya terpaksa lewat jalan itu hanya demi mengambil sesuatu di rumah besarnya yang letaknya berada di depan kosan milik Faheera. Namun terhalang tembok tinggi yang memisahkan.
"Tolong, Mass," jerit Faheera seraya mencegah mobil itu.
Lelaki tampan berumur sekitar 35 tahun, pakaiannya mentereng, mobilnya mewah, dengan baju berdasi, menuruni mobilnya lalu menghampiri Faheera.
"Kamu, ngapain minta tolong? Lalu kenapa baju kamu tidak karuan begitu?" tanya lelaki tampan itu risau seraya menatap Faheera yang kini dalam kondisi tidak karuan.
"Sa~saya, mau diperkosa dan dianiaya oleh mantan pacar saya, Mas. Tolongin saya, Mas," pintanya seraya bersembunyi di balik punggung lelaki bernama Gelora itu.
"Tidak, dia berbohong. Gue bukan mau perkosa atau menganiayanya, tapi gue datang ke kosannya hanya untuk menagih hutangnya yang belum dibayar. Gadis ular itu mengarang cerita dan dia berpura-pura menjadi korban penganiayaan, padahal gue yang dianiaya dia," tunjuknya menuding balik Faheera.
"Tidak. Dia berbohong. Dia memang menagih hutang, tapi juga mengancam dan melakukan kekerasan. Lihatlah kepala saya ini, Mas. Benjol akibat dihantam ke lantai," sergah Faheera menyangkal.
"Dia itu tidak mau bayar hutang. Karena tidak mau bayar, lalu dia mengarang cerita bahwa guelah yang melakukan kekerasan," sangkal Faris lagi seraya sesekali meringis, karena burungnya masih terasa sakit ditendang sekuatnya oleh Faheera.
Karena suara yang ditimbulkan Faheera dan mantan kekasihnya semakin gaduh akibat saling sangkal dan tuding, akhirnya keributan itu lama-lama didengar masyarakat yang kebetulan lewat.
"Amankan Pak orang ini. Awasi dia supaya jangan sampai masuk lingkungan kosan ini. Di sini lingkungan kosan perempuan, harusnya ada pengawasan dari pihak pemilik kos, karena ini rawan," ujar lelaki tampan yang turun dari mobil mewah itu.
"Mas Gelora, baik Mas. Memang sepertinya orang ini sering datang ke sini. Dan rupanya memang menemui Mbak Faheera. Saya pikir mereka tidak terlibat perselisihan, jadi saat saya melihat dia selalu datang ke kosan ini kirain mau indehoy," ujar salah satu warga diimbuhi tawa diakhir kalimat.
"Cewek sok jual mahal ini punya hutang sama gue. Tapi dia kagak bisa bayar. Setelah puas porotin gue, dia perlahan menghindar dan hilang tanpa kabar," jelas Faris memberi alasan.
Faheera menunduk karena memang dia mengakui memiliki hutang pada Faris.
"Awas, lu, ya. Kalau elu tidak bisa bayar dalam jangka waktu dua bulan, maka gue akan laporin elu ke pihak berwajib, supaya dimasukin bui," ancamnya seraya menepis lengan Pak Kudil yang memeganginya, lalu memburu menuju mobilnya dan melajukan mobil itu dengan kecepatan yang full.
"Terimakasih Mas, terimakasih Pak Kudil," ucap Faheera masih di belakang punggung Haga. Haga berbalik seraya menepis lengan Faheera. Pria dewasa yang dingin itu menatap Faheera yang sedang menatap lelaki itu.
"Makanya kalau punya hutang itu harus dibayar, jangan mentang-mentang lelaki itu baik, lalu meminjam uang dengan niat tidak mau bayar. Lihatlah dirimu seperti ini," tukas lelaki bernama Haga itu sembari berlalu membiarkan Faheera berdiri tercengang.
"Fa, elu kuliah tidak hari ini?" Moya salah satu teman dekat Faheera bertanya, dengan sepeda motor yang sudah menyala.
"Gue kayaknya titip absen saja sama elu Moy, gue takut ketemu Mas Faris. Dia pasti mengejar gue untuk menagih uang itu."
"Lantas elu akan terus sembunyi kayak gini, sementara elu harus keluar untuk berkegiatan? Nggak, kan, Fa?" Faheera bingung, dia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan sohibnya itu.
"Iya juga, sih, Moy. Tapi, hari ini gue memang tidak akan masuk, gue titip absen saja."
"Baiklah. Eum, ngomong-ngomong elu beneran kemarin itu mau diperkosa sama mantan pacar elu di kosan?" tanya Moya meyakinkan.
"Itu benar Moy. Mas Faris sebenarnya sudah lama ngerayu gue untuk mau diajak senang-senang, tapi gue selalu menolak dan menghindar. Dia maksa ngajak gue senang-senang, tapi gue tolak terus. Akhirnya kemarin dia datang lalu nagih duit yang pernah dia berikan untuk bantu gue," jelas Faheera.
"Sekarang gue bingung, uang dari mana bisa gue dapatkan dalam dua bulan sebanyak 20 juta? Sementara gaji gue di warnet saja tidak cukup." Faheera termenung setelah mengatakan itu. Pikirannya tiba-tiba melayang pada sebuah iklan yang kontennya menyewakan pakaian serba-serbi kostum peramal.
"Ngomong-ngomong, elu bisa bantu gue, tidak Moy?" todong Faheera membuat Moya tersentak. Jelas Moya tersentak, sebab jika dia dimintai tolong tentang uang, tentunya Moya akan angkat tangan, diapun pas-pasan pasal keuangan. Uang jajan yang dikasih orang tuanya saja selalu habis dalam sehari.
"Sorry, Fa. Kalau masalah uang, gue tidak bisa bantu."
"Gue bukan mau minta tolong pasal uang, tapi gue mau minta tolong masalah lain. Makanya, elu ke tepi dulu, biar gue ceritakan," sergah Faheera seraya melangkah mengajak Moya menepi.
Moya turun dari motornya dan mematikan kuda besinya itu, lalu mengikuti Faheera.
"Apaan?" Moya penasaran dengan apa yang akan Faheera katakan.
Akhirnya Faheera menjelaskan maksudnya dan bantuan apa yang dia minta pada Moya. Setelah mendengar penjelasan Faheera, untuk beberapa saat Moya tersentak dengan mulut yang ditutup tangan kirinya.
"Gimana, elu mau tidak? Hanya cara ini yang bisa menghasilkan duit lebih cepat. Gue tidak tahu mesti gimana lagi. Gaji gue di warnet tidak seberapa hanya cukup untuk makan dan sewa kosan. Apa elu mau bantu?" desak Faheera lagi memohon.
"Gue bukan tidak mau bantu, tapi apakah tidak terlalu beresiko? Elu mau nipu orang-orang dengan cara elu jadi peramal gadungan?"
"Sutttt. Jangan keras-keras bicaranya," peringat Faheera seraya membungkam mulut Moya karena takut didengar orang lain.
"Mau tidak, Moy? Please!" tanyanya memohon. Melihat Faheera memohon seperti itu, Moya sungguh tidak tega, bagaimanapun Faheera teman satu-satunya yang solid dan tulus padanya.
"Baiklah, gue bantu elu. Tapi bagaimana kostumnya? Kan kita tidak punya kostum itu. Lagipula gue tidak mau saat beraksi membantu elu, gue ketahuan sama orang lain atau teman-teman kampus kita," tekan Moya takut.
"Tenang saja. Mengenai kostum, itu bisa diatur. Gue ada jasa yang menyewakan kostum itu lengkap dengan aksesorisnya. Dia bisa menyewakan dulu, baru dua minggu kemudian bayar sewanya. Masalah sewa kostum, biar jadi urusan gue. Gue akan bayar setelah nanti mendapatkan bayaran dari pasien kita yang pertama. Nanti penghasilannya elu 40 gue 60 persen, apakah elu tidak keberatan?" terang Faheera bersemangat.
"Tapi, gue takut Fa. Itu kan termasuk membohongi orang," tukas Moya terlihat ragu.
"Iya sih Moy, gue juga tahu itu dosa karena membohongi orang, tapi gue benar-benar terpaksa Moy. Sekali ini saja sampai gue bisa membayar hutang sama Mas Faris. Elu mau, ya?" desak Faheera membujuk sohibnya yang masih berpikir keras dan bingung.
"Ok, deh. Elu atur segalanya. Kostum dan apa yang arus gue lakuin tinggal atur." Akhirnya Moya menyetujui permintaan Faheera atas dasar rasa solidaritas pada sohib.
"Tugas elu gampang, elu tinggal pakai kostum, lalu promosiin nomer gue yang baru dan perkenalkan gue sebagai peramal jodoh," terang Faheera membuat Moya berpikir sejenak.
"Ok, beneran nih tugas gue cuma dua itu saja? Terus mengenai bayarannya gimana? Apakah sesuai dengan yang elu katakan tadi?"
"Itu benar Moy, sesuai apa yang gue katakan tadi. Berapapun hasilnya, gue bagi buat gue 60 persen, elu 40 persen. Yang 10 persennya gue kan mau untuk bayar sewa kostum dan tempat," jelas Faheera.
"Ok, deh. Kalau begitu, kapan elu akan mulai dan setiap jam berapa praktek? Asal tempatnya jauh dari sini dan tidak di jam kuliah."
"Kalau mengenai tempat dan jam praktek, gue sudah tentukan. Tempatnya di sebrang alun-alun kota. Kalau jam prakteknya dari jam tiga sore sampai jam delapan malam. Untuk elu, gue kasih keringanan, elu boleh pulang sebelum jam enam sore, gimana?"
"Bolehlah, boleh. Deal. Kalau gitu, gue cabut dulu, ya. Nanti elu kasih nomer baru elu yang mau gue promosiin, sekalian gue bikin brosurnya," ujar Moya sembari berpamitan dan pergi dari depan kosan Faheera.
***
Besoknya, tepat jam 14.00 WIB, Moya dan Faheera sudah boncengan, lalu pergi ke alun-alun kota, tepatnya di sebrang alun-alun. Di sana para pedagang pasar malam sudah mulai melapak daganganya, termasuk Faheera yang kini sudah punya tenda untuk melapak yang berhasil dia sewa per hari dari salah satu pengelola pasar malam, dan kini berhasil membuka jasa peramal jodoh.
Setelah mereka siap dengan kostum peramal, dengan dandanan tegas medok ala-ala peramal kelas kakap, dan tentunya dandanan mereka tidak mudah dikenali siapa-siapa, Faheera dan Moya siap dengan aksi perdananya.
Moya mulai dengan promosi di media sosialnya. Sedangkan Faheera sudah berada di dalam tenda seraya berharap ada pasien pertama yang akan datang. Setiap pasien akan dia layani dengan waktu paling lama setengah jam.
Tepat satu jam kemudian, ada dua orang pasien pertama yang masuk ke dalam tenda lapak Faheera, setelah baca brosur dan dipersilahkan Moya. Karena pasiennya langsung meminta masuk berdua, terpaksa Faheera memberi waktu satu jam berdua. Kebetulan kedua pasien itu adik kakak yang menanyakan tentang jodoh mereka.
Setelah mereka sukses diramal palsu oleh Faheera dengan kartu TAR JOD alias entar jodoh dan membayar mahar yang telah ditarif oleh Faheera, kedua perempuan muda dibawah 30 tahun itu, segera keluar dari tenda dan pulang.
"Doakan kami, ya, Mamih. Semoga kami cepat dipertemukan dengan jodoh yang dibacakan Mamih dalam kartu tar jod nya," ucap salah satu perempuan itu sembari berpamitan. Faheera tersenyum tipis membalas pamit kedua pasiennya. Faheera tersenyum dalam hati dengan geli, sebab kini dia memiliki nama panggilan baru, yaitu Mamih Rahee, alias Heera yang dibalik.
Faheera bersyukur sudah mendapat dua pasien pertamanya. Sayangnya Moya sebelum jam enam harus kembali pulang, karena Moya tinggal dengan orang tuanya.
"Fa, gue balik dulu, ya. Elu tenang saja, gue tetap promosiin lapak dan usaha elu dari rumah. Maaf ya, Fa." Moya berpamitan dengan wajah yang merasa tidak enak terhadap Faheera.
"Tidak apa-apa, Moy. Kan sudah perjanjian diawal. Ok, deh, elu pulang, ya. Dan hati-hati." Moya pun pulang dan meninggalkan lapak Peramal Mamih Rahee.
Beberapa menit setelah Moya pulang, Faheera kedatangan seorang pasien tampan yang sudah tidak asing lagi baginya. Hati Faheera senang sekaligus gugup. Tapi dia harus pura-pura profesional dan melayani pasiennya dengan baik. Lalu siapakah kira-kira pasiennya yang ke tiga ini?
"Mas Gelora!" seru Faheera dalam hati.
"Silahkan masuk Mas." Faheera atau kini yang dikenal dengan sebutan Mamih Rahee, mempersilakan lelaki dewasa, kaya, nan tampan itu masuk ke dalam lapak tendanya dengan suara berat plus serak. Tentu saja suara jenis ini sudah dia pelajari sehari sebelum membuka praktek Peramal jodoh.
Gelora sebenarnya ragu masuk ke dalam lapak seorang peramal, sebab selama ini dia belum pernah berhubungan dengan perkara mistis beginian. Bahkan bisa jadi dia tidak pernah menyentuh atau percaya dengan sebuah ramalan.
Akan tetapi, entah kenapa langkah kakinya mengarah ke sebuah lapak, yang sempat Gelora lihat iklannya di media sosial, tentang Peramal Jodoh di dekat alun-alun kota.
Rasa penasaran begitu membuncah, ketika kaki Gelora yang tadinya hanya ingin sekedar jalan-jalan di alun-alun kota membuang suntuk, kini dipaksa berhenti tepat di depan lapak peramal jodoh Mamih Rahee.
Gelora mulai memasuki lapak yang tertutup dengan tenda persegi empat. Lapak dengan ukuran 1,5x2 meter itu, tidak begitu sempit untuk ukuran sebuah lapak peramal.
Gelora duduk berhadapan dengan Mamih Rahee yang dandanannya medok persis gadis gipsi. Kepalanya menggunakan penutup topi pantai yang lebar dengan depannya jaring-jaring dari kain berbahan tile. Jadi, dipastikan para pasiennya Mamih Rahee tidak akan mengenal siapa sebenarnya Mamih Rahee ini.
Faheera tergelitik sejenak saat membayangkan tadi di kosan, topi pantai berdaun lebar dan berjaring itu terpaksa dia gunakan untuk aksinya kali ini. Jaring laba-laba berbahan tile itu, mendadak Faheera jahit dulu sebelum akhirnya digunakan sebagai properti untuk bekerja, yang fungsinya untuk menutupi wajahnya yang sebetulnya sudah dipoles dengan make up tebal.
Tampilan Faheera saat ini diibaratkan gadis gipsi bertopi pantai. Sebab di tempat jasa penyewaan kostum yang dia sewa, tidak ada topi yang disewakan, mereka hanya menyewakan pakaiannya saja.
"Nama Anda?" Kembali suara yang sengaja diberat dan diserakkan itu bersuara.
"Nama saya Gelora Haga. Mamih bisa memanggil saya dengan panggilan Gelora atau Lora," ucapnya, meskipun Gelora tadi ragu, akan tetapi kini dia berusaha tenang di hadapan Mamih Rahee.
"Apakah Anda sedang mencari jodoh? Sepertinya Anda sudah cukup lama menduda. Apakah Anda tidak kepikiran untuk menikah lagi dan memiliki pasangan?" Pertanyaan pancingan pertama dari Mamih Rahee sukses mengejutkan Gelora. Dia berpikir dari mana Mamih Rahee tahu bahwa dia seorang duda yang kini mulai kesepian dan ingin membina kembali hubungan rumah tangga?
Gelora semakin kuat keyakinannya dengan Mamih Rahee, yang bisa menebak bahwa dirinya duda, untuk itu Gelora akan melanjutkan misi bertanyanya pada peramal di depannya ini.
"Apa salahnya aku mencoba, siapa tahu jodoh aku akan terbuka setelah mendapat ilham dari Mamih Rahee," batin Gelora riang.
"Tebakan Mamih benar, saya duda lima tahun. Saat ini saya sepertinya mulai kesepian dan ingin membina hubungan kembali setelah lima tahun lalu pernah kandas," cerita Gelora bersemangat.
"Sepertinya Anda pernah terluka dan sukar untuk melupakan sakit hati yang ditorehkan mantan istri Anda. Tapi, tenang. Kali ini kedatangan Anda sudah tepat, Anda akan Mamih tunjukkan sebuah jalan menuju jodoh Anda yang sejati," jelas Mamih Rahee dengan suara beratnya.
"Tepat sekali Mamih, dan luka itu masih saja terasa sakitnya di sini," ucap Gelora seraya menunjuk ke ulu hatinya.
"Baiknya, sekarang kita mulai saja, waktu Anda hanya 30 menit dari sekarang untuk bertanya atau mendengarkan penjelasan dari Mamih," tegas Mamih Rahee sembari mengacak Kartu TARJOD yang sejak tadi dipegangnya.
"Silahkan pilih salah satu kartu yang berada di tangan saya yang sudah saya acak tadi," perintah Mamih Rahee mendekatkan kartu itu ke hadapan Gelora.
Gelora mengangkat tangannya dan meraih salah satu kartu yang disodorkan Mamih Rahee. Gelora memilih kartu yang letaknya di tengah, lalu diberikan pada Mamih Rahee untuk dibaca.
Mamih Rahee terlihat mengangguk-anggukan kepalanya, setelah melihat kartu yang diambil Gelora. Gelora penasaran dibuatnya.
"Gadis muda yang cantik dan sederhana. Dengan buku dan pena di tangannya. Ini menandakan suratan takdir jodoh Anda sudah mendekat. Seorang gadis sederhana yang memiliki cinta dan ketulusan sedang berjalan menuju hati Anda."
"Apakah dia akan jadi jodoh saya, Mamih?" tanya Gelora penasaran.
"Tidak ada yang tidak mungkin. Menurut kartu ini jodoh Anda adalah gadis cantik sederhana berhati tulus dan penuh cinta."
"Bagaimana saya bisa menjumpainya, apakah di suatu tempat?" Gelora terdengar sangat tidak sabar. Mamih Rahee menyunggingkan senyum. Dia akan memancing pengakuan Gelora, di mana tempat favorit dirinya sering menghabiskan waktu.
"Di sebuah tempat yang biasa Anda datangi untuk menghabiskan waktu dan menumpahkan resah gelisah Anda di sana," tutur Mamih Rahee dengan pasti.
"Taman Bahagia, itu tempat yang biasa saya datangi untuk menumpahkan segala resah dan gelisah," ceplos Gelora mengundang senyum riang di wajah Mamih Rahee.
"Mas Gelora sepertinya sama sepertiku, sering menghabiskan waktu di Taman Bahagia. Mas Gelora sudah kena jebakan aku. Tinggal aku beraksi mengatur waktu pertemuan itu, hi hi," batin Faheera senang.
"Di sanalah akan Anda temukan gadis itu. Pergilah dan temui dia dalam perasaan suka cita," ucap Mamih Faheera.
"Lalu, kapan saya bisa menemuinya Mamih? Mengingat saya hanya akhir pekan saja mendatangi taman itu?" Gelora mencoba meyakinkan kapan dia mendatangi taman itu dan bisa tepat menemukan gadis yang dimaksud Mamih Rahee.
Mamih Rahee tersenyum. "Hari Sabtu adalah hari yang sangat baik. Sekitar jam delapan sampai sepuluh pagi, gadis itu akan Anda temui."
"Baiklah." Gelora mengambil dompetnya di dalam saku celana, lalu meraih uang lembaran merah beberapa lembar melebihi tarif yang ditentukan, kemudian dimasukkannya ke dalam tong uang yang telah disediakan.
"Kalau hajat Anda sudah terkabul, dilarang Anda menemui saya." Mamih Rahee memberi peringatan sebelum Gelora undur diri dari tenda lapak peramal jodoh miliknya. Sejenak Gelora termenung, tapi tidak lama dari itu dia mohon pamit.
"Kalau begitu saya pamit. Doakan saya sukses dalam menggapai jodoh sejati saya. Terimakasih Mamih," ujar Gelora mengakhiri keberadaannya di lapak Mamih Rahee.
"Sama-sama," balas Mamih Rahee sembari menyunggingkan senyum.
Gelora bergegas keluar dengan hati yang lega dan senyum mengembang di wajahnya. Sementara itu Mamih Rahee atau Faheera, tersenyum sumringah sembari meraih gentong yang berisi uang dari pasiennya tadi. Saat dilihat, ternyata isinya sangat lumayan jika dibandingkan dengan bekerja di warnet yang hasilnya sangat minim.
Setelah Gelora pergi, seorang pasien kembali memasuki lapaknya. Mamih Rahee masih membuka lapaknya yang masih tersisa satu jam lagi dari jam buka. Pada jam penutup, Mamih Rahee terpaksa menerima tiga pasien sekaligus, karena mereka ingin masuk bersamaan.
"Uhhh, lelahnya," dengus Mamih Rahee setelah lapaknya tutup. Mamih Rahee merapikan alat-alat ramalnya kemudian dirapikan ke dalam tas besarnya. Jam pulang sudah lewat, Faheera segera meninggalkan lapaknya dan pulang dengan wajah yang sudah menjadi Faheera kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!