14 Tahun silam
"Kenapa rumah pak Santoso jalannya serem gini ya, Ta."
"Baru tahu kan kamu? Makanya kalo lagi ada bimbingan belajar bareng pak Santoso itu ikut,"
"Aku sibuk bantuin ibu bikin pesenan kue, Ta."
"Hem," bibir Dita mencebik. "Aku tau kok, Rin. Tanpa kamu ikut bimbingan belajar kayak kita pun, kamu udah bisa lulus dengan nilai tertinggi seperti saat ini."
"Biasa aja kali, Ta." Karina merendahkan hatinya.
Ya, kedua gadis yang tengah mengobrol sambil berjalan kaki itu, baru saja selesai mengikuti acara makan bersama dalam rangka merayakan kelulusan mereka dari sekolah menengah atas di rumah wali kelas mereka, yang di sebut bernama Santoso tadi. Saat acara tadi, siswa satu kelas mereka hadir semua. Hanya saja, mereka berdua tak membawa kendaraan pribadi saat berangkat sore tadi dan mereka juga tak kebagian tumpangan dari temannya. Rupanya, saat malam hari seperti itu, jalanan itu sungguh gelap dan sepi
"Kamu tau, Rin? Kuburan di depan sana itu katanya angker banget,"
"Apaan sih, Ta? Nggak lucu deh ngomong begitu. Sebentar lagi kita lewat sana loh," Karina tak suka dengan obrolan Dita, karena kuburan yang dimaksud gadis itu, bahkan sudah nampak dari pandangan mereka.
"Beneran, Rin. Katanya banyak pocongnya disana." Dan mereka sudah hampir sampai di kuburan yang ada di sebelah kiri jalan yang mereka susuri itu.
Krasak
Krekk
"Aaaa.....!!!" Teriak kedua gadis itu bersamaan karena tiba-tiba mendengar bunyi ranting patah di dekat kuburan.
Sreeekkkk
"Aaa.... Pocong....!!!" Tiba-tiba Dita lari terbirit-birit karena melihat bayangan sekilas tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Sedangkan Karina yang masih kebingungan dan ketakutan, baru menyadari jika dia sudah ditinggal oleh temannya itu.
"Tunggu, Dit!! Jangan tinggalin aku sendiri!!"
Baru saja Karina akan berlari, tiba-tiba ada yang mendekap perutnya sehingga dia tak bisa lari.
"Tolong....!!! Tolong lepasin saya, pocong!! Saya nggak enak dimakan," Karina terus meronta.
"Sssstttt, jangan berisik!! Saya manusia, bukan pocong."
Seketika Karina melihat kaki orang yang ada di belakangnya itu. Entah dapat teori dari mana, tapi Karina memang yakin jika orang itu bukanlah setan karena kakinya masih menapak di atas tanah. Justru malah kakinya sendiri yang melayang karena ia terangkat oleh laki-laki di belakangnya itu. Saat itu juga, Karina baru sadar jika tak cuma setan yang berbahaya, tapi juga orang yang tengah menyeretnya itu.
"Saya mau dibawa kemana, pak, mas, bang...eh om? Kenapa saya diseret-seret begini?"
"Diam!!! Jangan berontak terus!! Kamu berat." Ya, karena Karina terus memberontak, Karina kadang terseret karena lepas dari angkatan si laki-laki itu. Sepertinya, posisinya saat mengangkat Karina sungguh tak tepat.
"Mas saya mau diapain?! Lepasin saya!!"
Tak lama dari itu, ada seorang lelaki lagi yang turun dari sebuah truk yang baru disadari keberadaannya oleh Karina. Karena gelap, Karina tak tahu jika ternyata ada truk yang terparkir tak jauh dari kuburan itu.
"Bantuin, Jon!!" Titah lelaki yang kesulitan menggendong Karina. Dan hanya dengan sekali gerakan saja, kaki Karina sudah diangkat oleh si sopir truk tadi.
"Lepasin saya!! Tolong!!! Tolong!!" Karina memberontak sekuta tenaga, tapi dia tetap kalah tenaga dari mereka. Hingga Karina di lempar masuk ke dalam bak belakang truk.
Brukkk
"Aduh!!" Belum selesai Karina merasakan sakit tubuhnya, tiba-tiba penutup bak truk itu tertutup.
Karina jelas panik. Dia berdiri dan bermaksud turun dari bak truk itu, tapi seseorang yang Karina yakini sebagai orang yang menyeretnya tadi masuk dengan cara memanjat badan truk.
"Mas, saya mau turun. Tolong!!"
"Diam!!" Lelaki itu menarik pergelangan tangan Karina dan membawa gadis itu ke arah depan.
Brak brak!!
"Jalan, Jon!!" Perintah itu ia titahkan setelah ia memukul kepala truk dua kali. Sebagai tanda untuk sang sopir truk di depan sana.
Dan benar saja, tiba-tiba truk pun berjalan, membuat Karina terhuyung karena tak siap.
"Auw!!" Karina jatuh terduduk. Dan secepat itu juga lelaki tadi mendorong Karina hingga gadis itu jatuh terlentang. Lantas, dengan sekali gerakan, laki-laki itu menindih Karina.
"Sekarang, layani saya!!"
Karina terus memberontak, namun dia tak mampu membebaskan diri dari jeratan manusia berhati iblis itu. Hingga satu gerakan tiba-tiba, menghentikan teriakan Karina.
"Arrrgghhhhtttt!!!" Sampai disana, Karina diam. Dia sudah tidak berontak lagi dari lelaki yang tengah bermain di atasnya itu. Seketika juga, dia merasa jika hidup dan masa depannya sudah hancur karena lelaki tak bermoral di depannya itu.
Karina tetap diam sampai lelaki itu selesai dengan aktivitasnya. Bahkan, Karina tak menangis. Dia sama sekali tak sudi melihat wajah menggelikan orang itu. Karina juga tak ingin menyimpan wajah itu di dalam memori otaknya. Namun, karena Karina melihat ke arah lain, ia justru melihat jika lelaki itu memiliki sebuah tato rasi bintang yang berbentuk spiral di lehernya, lebih tepatnya di bawah telinganya. Dan saat itu, Karina masih bisa mendengar dengan jelas lelaki itu berbicara kepadanya.
"Tunggu disini. Saya akan bertanggung jawab atas perbuatan saya." Setelah berkata seperti itu, lelaki jahat tadi menutupi tubuh Karina dengan kaos besar miliknya. Selanjutnya, dia pergi meninggalkan Karina dengan cara memanjat dan melompat dari bak truk yang ternyata sudah berhenti itu.
Karina tak tahu lelaki itu pergi kemana, dan dia tidak peduli. Dengan sisa-sisa tenaganya, Karina memunguti dan mengenakan kembali pakaiannya yang masih bisa ia pergunakan. Lantas ia keluar dari bak truk itu dengan cara melompat seperti yang dilakukan lelaki tadi, tentunya setelah Karina memastikan jika orang tadi tak melihatnya.
"Ah!!" Kaki Karina terkilir, tapi tak menyurutkan semangat gadis itu untuk melarikan diri dari sana. Dan saat ia melihat di sekelilingnya, ternyata Karina sedang berada di sebuah terminal. Beruntung dia masih mengenali tempat itu. Dan dia ingin segera pulang dan mengadu kepada ibunya.
Ya, Karina tak mau terjebak lebih lama lagi dengan seseorang yang Karina yakini sebagai Kenek truk itu. Meskipun lelaki tadi berkata akan bertanggung jawab, memangnya apa yang bisa diandalkan dari seorang kenek truk?? Yang Karina harapkan saat ini, semoga benih lelaki tadi tak tumbuh menjadi janin di dalam rahimnya.
Masa sekarang
Dukk!! Satu lemparan batu tepat mengenai kaca sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari lokasi tawuran beberapa anak berseragam SMP itu.
"Ka, lo yang bener donk lemparnya. Kena mobil tuh!!" Tak hanya Raka yang panik, tapi juga teman-temannya yang lain, bahkan tawuran itu terhenti seketika. Sementara lawan mereka sudah kocar-kacir melarikan diri. Jelas saja mereka tak mau terlibat masalah yang lebih serius lagi.
"Gue nggak sengaja, Bob." Ucap Raka dengan wajah pias. Ya, mereka sedang ditantang tawuran oleh siswa dari sekolah lain akibat sekolah lawan yang mengalami kekalahan saat bertanding basket dengan sekolah Raka. Mereka mengira, tim Raka melakukan kecurangan.
"Gimana, Ka? Pecah itu kacanya." Satu temannya lagi juga ikut panik.
"Kabur aja, Van!!" Sebuah ide emergency datang dari kepala Raka. Dan ternyata, hal itu disetujui oleh teman-teman Raka yang lain.
Namun, baru selangkah mereka bergerak. Sebuah suara tegas menginterupsi mereka.
"Mau lari kemana kalian!!"
Dengan takut-takut, Raka dan teman-temannya menoleh ke belakang. Tepat pada saat itu mereka melihat seorang lelaki dewasa dengan jas yang membalut tubuhnya. Entah, bapak-bapak itu datang dari mana, mereka bahkan tak tahu.
"Siapa yang melempar batu ke mobil saya?" Orang itu nampak marah dan terlihat geram.
Raka dan ketujuh temannya yang lain, tak ada yang menjawab dan hanya saling lirik-lirikan saja. Mereka bingung harus berkata jujur atau tidak. Karena semua itu jelas memiliki resiko yang sama-sama tidak baik untuk mereka.
"Kalo tidak ada yang mau mengaku, saya bawa kalian ke kantor polisi." Ancam lelaki dewasa itu dengan wajah galaknya.
Kedelapan remaja tanggung itu tentu saja terkejut. Mereka bisa berada dalam masalah yang serius, jika mereka benar-benar sampai dipenjara dan orang tua mereka mengetahui. Belum lagi masalah yang akan mereka dapatkan jika pihak sekolah mengetahui.
Pada akhirnya, Raka yang memang merasa bersalah pun, mengangkat tangannya dengan menunduk. "Saya, om." Lirihnya dengan gemetar. "Saya minta maaf, om."
"Hemm," lelaki itu mengangguk-anggukan kepalanya. "Baiklah, kamu harus bertanggung jawab atas kerusakan mobil saya. Maka dari itu, saya minta wali kamu untuk mengganti atas kerugian yang saya terima."
"Ba-baik, om. Saya akan mengganti kerusakan mobil om. Tapi tolong jangan beri tahu mama saya." Pinta Raka dengan nada cemas.
"Kalo orang tua kamu nggak tau, bagaimana kamu bisa mengganti kaca mobil saya? Kamu tahu? Mobil saya ini mobil mewah." Lelaki itu masih terlihat marah.
"Saya bisa mencicilnya, om." Jawab Raka dengan yakin. Yang terpenting baginya mama dan neneknya tidak mengetahui.
"Kamu sanggup?" Lelaki itu menaikkan satu alisnya.
Dan Raka pun mengangguk yakin.
Setelahnya, lelaki itu nampak menarik nafas panjang dan menghembuskan dengan kasar. "Sepertinya kalian ini anak-anak nakal yang memang suka tawuran ya?"
"Bu-bukan, om. Kami baru sekali ini tawuran." Ya, Raka memang menjawab jujur. Ini adalah kali pertamanya ikut tawuran.
Namun, Lelaki dewasa itu malah tersenyum sinis. "Kalo maling mau ngaku, penjara akan penuh, boy." Ada jeda sebelum dia pria itu berbicara lagi. "Lebih baik kalian semua ikut saya ke kantor polisi sekarang."
Seketika, semua anak remaja disana mengangkat wajahnya karena terkejut. "Jangan, om!!" Kedelapan anak itu memohon dengan wajah pias.
Tapi, rupanya lelaki tadi tak main-main dengan perkataannya, karena tak lama setelah itu ada polisi yang sedang berpatroli, sampai di tempat mereka. Dengan wajah ketakutan dan saling senggol satu sama lain, anak-anak itu menurut begitu saja saat diamankan para anggota polisi itu. Ya, Raka dan teman-temannya memang tak memiliki pengalaman apapun dalam hal itu. Namun, naas bagi mereka. Baru sekali mencoba tawuran, mereka malah langsung diamankan aparat kepolisian.
*******
"Raka kemana ya, nduk? Kenapa dia belum pulang juga?" Seorang wanita paruh baya, berbicara kepada anaknya karena khawatir dengan sang cucu yang terlambat pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
Sementara, wanita cantik di usia 31 tahun yang diajak bicara itu, melirik jam dinding yang ada di toko kue kecil milik mereka. Ya, sudah jam 3 sore tapi anaknya yang masih duduk di bangku kelas dua SMP itu belum pulang dari sekolahnya. Padahal, biasanya jam dua siang dia sudah ada di rumah dan tengah asyik bermain dengan gadgetnya.
"Mungkin mampir dulu ke rumah Boby atau Devan, bu. Biasanya juga gitu kan?" Tak ambil pusing dengan sang anak yang belum pulang, wanita itu melanjutkan lagi kegiatannya mengocok adonan dalam baskom yang sedang ia pegang itu. Dia harus cepat, setelah Maghrib nanti, dia harus mengantar pesanan kue kepada salah satu pelanggannya. Ya, dialah Karina, seorang perempuan yang 14 tahun silam mendapatkan kejadian buruk dengan seorang kenek truk.
Tak hanya kue modern saja yang ia buat dengan ibunya. Mereka juga membuat aneka kue tradisional, yang ia pasarkan langsung di toko kue kecil mereka. Toko itu berada di sebuah ruko yang merangkap sebagai tempat tinggal mereka juga. Dan di jaman yang serba canggih ini, Karina juga memasarkan kue-kue buatannya di berbagai sosial media miliknya.
Ya, hidup Karina sudah lebih baik daripada 14 tahun yang lalu. Dimana dia dan ibunya terpaksa pergi dari kampungnya karena tak tahan dengan cemoohan tetangga karena ternyata Karina hamil akibat insiden pemerkosaan itu. Ibu Karina masih bisa berpikir waras sehingga beliau senantiasa mendampingi dan mendukung Karina setiap waktu, memberi dukungan dan kekuatan kepada sang anak yang sedang hancur Waktu itu. Karena beliau juga tahu, kejadian naas itu tak luput dari cobaan Yang Maha Kuasa.
Hingga, disinilah mereka sekarang berada. Di sebuah kota yang sarat akan perantau dari kampung dan jauh dari cemoohan para warga julid di kampungnya. Benar, tempat itu adalah sebuah kota besar yang biasa menjadi tujuan para perantau untuk mengais rezeki.
Hanya berbekal tabungan dari hasil menjual motor, mereka mengontrak rumah, dan ibu Karina mulai merintis usaha jasa pesanan kue kecil-kecilan seperti di kampung mereka dulu yang dibantu oleh Karina. Hingga kini, mereka sudah bisa menyewa ruko dan membuka toko kue kecil-kecilan, karena mereka lebih banyak melayani pesanan.
Drrttt drrttt drrttt, ponsel Karina di atas meja tiba-tiba berdering.
"Telepon, nduk." Ucap ibu Karina mengingatkan sang anak yang masih sibuk membuat adonan kue.
Karina hanya tersenyum dan mengangguk Kepada ibunya. Dia lantas meletakkan baskom yang sedang ia pegang dan mengangkat teleponnya. Ya, ada nomor tak dikenal tertera disana. Dan itu sudah biasa bagi Karina yang sering menerima telepon dari orang-orang yang memesan kue-kuenya.
"Halo, dengan Karina cake and bakery disini." Sapaan ramah seperti biasa, Karina lantunkan.
"Bisa bicara dengan ibu Karina?" Suara dari seberang sana terdengar tegas.
"Iya, saya sendiri." Kening Karina berkerut karena mulai merasakan sesuatu yang tak biasa.
"Betul anda adalah wali dari anak yang bernama Raka Dirgantara?"
"Benar, pak." Dan Karina semakin cemas karena lelaki dengan suara tegas itu menyebut nama anaknya.
"Maaf, bu. Kami dari kantor kepolisian X ingin memberi tahukan bahwa anak anda bersama dengan ketujuh rekannya sedang kami amankan di polsek X karena terlibat perkelahian dengan siswa dari sekolah lain."
"A-apa?" Karina sungguh tak mampu berkata-kata lagi. Dan itu mengundang perhatian ibunya hingga aktivitas wanita paruh baya itu terhenti. Beliau memperhatikan gerak-gerik sang anak saat melakukan panggilan itu.
"Mohon kedatangan ibu untuk segera hadir ke kantor kami untuk menjamin anak anda dan juga bertanggung jawab atas kerugian yang sebabkan oleh saudara Raka." Suara tegas itu terdengar lagi.
"Memangnya kerugian apa yang diperbuat anak saya, pak? Apa anak saya mencelakai temannya?" Tanya Karina semakin panik. Dia khawatir sekaligus cemas dengan anak semata wayangnya itu.
"Anak anda melakukan pelemparan batu hingga mengenai kaca mobil seseorang hingga pecah. Dan orang tersebut meminta anda selaku wali dari saudara Raka untuk bertanggung jawab atas perbuatan anak anda,"
"Astaga!!" Karina sampai menutup mulutnya sendiri karina berita yang sangat mengejutkan itu.
"Maaf, pak. Dimana anak saya?" Dengan tergesa, Karina bertanya pada petugas polisi yang sedang berjaga di depan.
"Ibu wali dari anak-anak yang tawuran tadi?"
Karina pun mengangguk panik.
"Silahkan lewat sini, bu."
Setelah Karina mengikuti seorang polisi tadi, akhirnya dia dipertemukan dengan Raka dan anak-anak yang lain, berikut beberapa wali yang sudah hadir disana.
"Mama..." Anak remaja itu memeluk sang mama dengan erat. Begitupun Karina yang membalas pelukan sang anak tak kalah erat. Meskipun tak bersuara, Karina tahu, anaknya itu menangis.
"Kenapa bisa seperti ini, sayang?" Ibu muda itu meraih wajah sang anak untuk ia tatap matanya. Benar, Raka menangis, tapi malu untuk menunjukkannya. Terlihat dari sisa air mata yang diusap tanpa kentara.
"Maafin Raka, ma.... Raka terpaksa ikut-ikutan tersulut emosi karena diejek."
"Siapa yang mengejek?"
"Lawan basket Raka di sekolah, ma. Tadi ada pertandingan persahabatan di sekolah Raka dengan sekolah Nusa Persada."
"Apa yang mereka katakan?" Karina masih bertanya dengan lembut. Wanita itu tak marah kepada sang anak.
"Katanya tim kami curang, jadi kami bisa menang. Padahal kami sportif. Mereka juga Mendorong Raka dan Boby di lapangan tadi, ma." Jelas anak itu dengan memelas.
"Apa kalian sesakit hati itu sampai harus tawuran di jalan?"
"Maaf, ma. Awalnya kami cuma berdebat aja. Tapi mereka terus memprovokasi."
"Dan kalian harus menanggapi dengan kekerasan seperti itu?"
Raka pun hanya mengangguk sambil menunduk.
"Kalo saja batu itu tidak mengenai mobil, apa kamu bermaksud mengenai teman kamu dari sekolah lain itu?" Karina harus menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan untuk meredam Emosinya sudah mulai tersulut.
"Maaf, ma. Raka kepancing emosi tadi. Mereka melukai Andre dengan pisau." Raka masih bisa membela diri.
Karina memejamkan matanya erat-erat. Dia belum bisa mengambil keputusan atas anaknya itu. Entah benar atau salah yang dikatakan oleh Raka, Karina masih perlu bukti kuat atas pernyataan sang anak. Lantas, mama muda itu memandang Boby dan juga Devan, sahabat Raka yang ia kenali.
"Apa benar yang dikatakan Raka, Boby? Devan?" Meskipun ada wali Boby dan Devan di sana, tapi Karina tak segan bertanya pada kedua sahabat Raka itu.
"Benar, tante." Devan dan Boby pun kompak menjawab.
Sekali lagi, Karina menghela nafas panjang. "Baiklah, Raka. Kamu akan terima hukuman dari mama setelah kita pulang dari sini."
Dan Raka pun hanya bisa pasrah dan menuruti sang mama. Masih beruntung mamanya tak marah-marah di depan umum. Padahal, Raka sempat khawatir karena tadi melihat ada dua orang temannya yang langsung dimaki oleh orang tuanya begitu mereka datang. Ya, anak-anak baik dan cukup berprestasi itu, baru sekali melakukan kenakalan remaja seperti itu. Dan sepertinya, para orang tua mereka cukup shock dengan apa yang terjadi.
Setelah mendapat pengarahan dan melakukannya beberapa prosedur untuk menjamin para anak-anak itu serta menandatangani surat pernyataan, akhirnya, mereka semua diijinkan pulang oleh pihak yang berwajib. Kecuali, Raka dan mamanya yang masih harus menunggu orang yang meminta pertanggung jawaban atas perbuatan Raka tadi. Katanya, orang tadi masih ada kepentingan yang sangat mendesak dan meminta Raka serta mamanya menunggu beberapa saat.
"Silahkan, pak Gala!" Suara tegas dari petugas kepolisian itu menarik perhatian Karina dan Raka yang tengah mengobrol itu, untuk mendongak menatap mereka.
Deg, Karina tertegun sejenak karena apa yang ia lihat di depannya itu. Sesosok lelaki yang memiliki wajah mirip dengan manusia paling ia benci di dunia ini. Sekali lagi, Karina memindai penampilan lelaki berjas itu. Oke, penampilan lelaki itu sangat berbeda dengan lelaki yang 14 tahun silam membuat hidupnya hancur. Lelaki dari masa lalu itu, nampak kucel meskipun berwajah tampan. Sementara, lelaki yang ada di depannya sekarang, berpenampilan dengan sangat rapi dan elegan. Sepertinya, dia adalah orang kaya, bukan seperti kenek truk yang pernah melakukan perbuatan hina kepada Karina waktu itu.
"Perkenalkan, bu Karina. Ini pak Gala."
Karina mengerjap karena suara pak polisi itu. Ya, dia yakin jika orang yang bernama Gala itu hanya mirip dengan kenek truk yang sudah memberinya anak itu. Dengan senyum terkembang, Karina berdiri dan menyalami orang tersebut. "Saya minta maaf atas perbuatan anak saya, pak."
"Ya, tapi anda harus bertanggung jawab atas perbuatan anak anda." Kemudian lelaki itu duduk di hadapan Karina dan Raka. Ada dua orang anggota kepolisian juga yang menjadi perantara mediasi.
"Bapak tenang saja. Saya akan mengganti kerusakan mobil bapak."
"Baiklah, saya terima niat baik anda." Lelaki itu berbicara dengan penuh wibawa. "Meskipun saya masih mampu untuk memperbaiki mobil saya sendiri. Tapi saya hanya ingin membuat anak-anak seperti anak anda ini jera atas kelakuannya."
Karina pun mengangguk menyetujui. "Baiklah, pak Gala. Berapa kerugian yang harus saya ganti untuk kerusakan mobil, bapak?"
Dan Gala pun menyerahkan selembar kertas nota yang ia dapatkan dari bengkel. Empat juta enam ratus ribu rupiah. Karina memejamkan matanya sejenak. Ya, uang segitu adalah nominal yang lumayan cukup besar untuk Karina dan keluarganya, dimana mereka hanya memiliki usaha kecil menengah saja dari berjualan kue. Oke, kali ini dia harus merelakan uang senilai itu untuk anak semata wayangnya.
"Maaf, ma..." Ucap Raka saat ia turut melihat nominal yang tertera di dalam kertas tersebut.
Karina menoleh ke arah Raka yang berwajah memelas di sampingnya itu. Karina tahu, anaknya itu sangat menyesal atas perbuatannya.
"Mama boleh pakai tabungan Raka buat ganti kerusakan mobil om itu." Ucap remaja laki-laki itu lagi.
Karina pun tersenyum sekilas. Ia mengelus bahu sang anak untuk mengapresiasi niat baiknya. "Uang Raka disimpan aja. Katanya nanti akan ada studi wisata sebelum kelas IX,"
"Raka nggak ikut nggak apa-apa, ma."
Karina hampir saja meneteskan air matanya karena kebaikan hati sang anak. Tapi, dia harus terlihat kuat saat menghadapi orang-orang di depannya itu. "Kamu tenang aja. Uang mama masih cukup untuk mengganti kerusakan mobil om ini." Karina menenangkan sang anak.
Raka hanya bisa tersenyum pilu sambil mengangguk.
"Baiklah, pak. Saya minta nomor rekening bapak. Biar saya transfer uangnya sekarang." Kemudian Karina berbicara lagi dengan orang yang bernama Gala tadi.
Tak butuh waktu lama, Karina sudah mentransfer sejumlah uang sesuai nominal yang diberikan oleh Gala tadi ke rekening atas nama GALAKSI BIMA SAKTI. Karina sempat mengernyit dengan nama orang itu. Lucu, karena nama itu seolah tak wajar dan terlalu tak kreatif orang tuanya memberinya nama. Tapi, itu bukan urusan Karina. Karena setelah ini, dia pastikan tidak akan berurusan dengan lelaki itu lagi.
Setelah semua urusan telah diselesaikan secara kekeluargaan, Karina mengajak Raka untuk segera pulang karena tak enak hati kepada sang ibu yang sudah menggantikannya membuat kue untuk pesanan malam ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!