BRAKK !!
Pintu sebuah gubuk sederhana di sebuah desa daerah tapal batas yang berhawa sangat dingin karena letaknya dekat pegunungan, mendadak dibuka secara kasar oleh segerombolan orang. Ternyata mereka yakni warga desa yang dominan laki-laki. Membawa sapu dan batang kayu di tangan masing-masing.
Orang-orang itu akhirnya berhasil masuk. Derap langkah kaki sontak memenuhi seisi kamar sempit di gubuk sederhana itu. Sontak hal ini membuat dua orang yang dalam kondisi tanpa busana seketika terkejut bukan kepalang. Walaupun keduanya tidak benar-benar polos karena masih menggunakan pakaian dalam.
Sang pria masih belum sadar secara sempurna. Sedangkan sang wanita sejak awal dalam kondisi sadar-sesadarnya.
"Tangkap dan adili pasangan m3sum itu !!" teriak seorang warga seraya mengacungkan sebatang kayu besar. Bahkan ada salah satu diantara mereka yang membawa senjata tajam yakni berupa g0lok.
Deg...
Dalam guyuran derasnya hujan pria dan wanita yang tak memiliki hubungan apapun kini tengah diadili di depan balai desa. Wajah tampan sang pria babak belur. Akibat dihajar oleh para warga yang baru saja menggerebeknya. Padahal dirinya seorang komandan batalyon salah satu kesatuan angkatan darat yang daerah tugasnya tak jauh dari desa tapal batas tersebut.
Keduanya kini tengah berlutut dalam kondisi kedua tangan mereka terikat di belakang. Tubuh mereka basah kuyup di bawah derasnya hujan.
"Kami benar-benar tak melakukan apapun seperti yang kalian tuduhkan," sanggah sang wanita yang bernama Heni Widyastuti. Biasa dipanggil Dokter Heni, seorang psikiater atau biasa dikenal sebagai dokter spesialis kejiwaan.
"DIAM !!" teriak salah satu warga.
"Kami bisa menuntut kalian semua !" teriak sang pria yang wajahnya babak belur, Mayor Seno Pradipta Pamungkas. Ia berusaha membela diri dari tuduhan yang dilayangkan padanya dan juga wanita yang bersamanya.
Ia pernah bertemu dan sempat berkenalan hanya beberapa menit dengan wanita ini beberapa waktu yang lalu di kota lain yang sangat jauh dari tempat mereka saat ini. Kala itu ia terluka usai latihan gabungan antara prajurit angkatan darat dan udara. Dan wanita ini mengobatinya di dalam pesawat TNI AU yang tengah mengudara menuju Jakarta. Ingatan tersebut masih terekam dengan jelas oleh seorang Seno Pradipta Pamungkas.
☘️☘️
Riuh suara warga terus lantang menyuarakan keduanya dihukum yakni harus menikah agar desa tidak terkena sial. Namun Dokter Heni dan Mayor Seno terus bersikukuh bahwa mereka tidak melakukan zi*na.
Faktanya, Dokter Heni hanya menolong Mayor Seno yang mendadak pingsan di halaman depan gubuk sederhana yang menjadi hunian sementaranya semenjak dirinya bertugas di desa tapal batas. Otomatis jiwanya sebagai seorang dokter langsung bergerak menolong sang Mayor.
Hipotermia. Kondisi darurat medis yang terjadi ketika tubuh lebih cepat kehilangan panas dibandingkan panas yang dihasilkan. Kondisi ini menyebabkan suhu tubuh menjadi sangat rendah.
Ketika mengalami hipotermia, hal ini bisa memengaruhi fungsi dari jantung, sistem saraf, dan organ lainnya sehingga mereka tidak berfungsi dengan baik.
Setelah memeriksa kondisi Mayor Seno cukup parah, Dokter Heni mencoba mengatasi dengan langkah awal pertolongan namun tak membuahkan hasil. Alhasil Dokter Heni terpaksa melakukan pertolongan lanjutan dengan cara melepas seluruh pakaian Mayor Seno dan juga dirinya. Hanya menyisakan pakaian dalam saja yang masih menempel pada tubuh masing-masing.
Jika tidak segera diatasi, hipotermia dapat menyebabkan kegagalan fungsi jantung total dan sistem pernapasan. Dokter Heni tak punya pilihan lain sebab nyawa seseorang berada di ujung tanduk. Sebagai dokter dirinya wajib menolongnya.
Dirinya yang hanya mengenakan celana dalam dan b*ra pun merebahkan diri di atas tubuh Mayor Seno yang dalam kondisi hanya memakai celana dalam. Dokter Heni berniat ingin memberikan panas dalam tubuhnya pada Mayor Seno. Jika tidak segera dilakukan khawatir henti jantung.
Kepala desa tapal batas tak mampu meredam emosi para warga. Mayor Seno dan Dokter Heni semakin terpojok. Mau tak mau akhirnya pernikahan secara mendadak keduanya pun terjadi ala kadarnya. Tanpa memakai baju pengantin secara umumnya orang menikah, akhirnya mereka berdua menikah secara agama atau lebih dikenal nikah siri.
"SAH..."
Satu kata terucap dari bibir para saksi menandakan kini Mayor Seno telah resmi menjadi suami dari Dokter Heni. Uang seratus ribu rupiah yang dalam kondisi basah yakni uang tunai yang tersisa di dompet seorang Mayor Seno, menjadi mahar pernikahan mereka. Sebab, sang komandan tampan yang dikenal dingin seperti kulkas delapan pintu ini memang tipikal orang yang sangat jarang menyimpan uang tunai dalam jumlah banyak di dompet.
Gubuk yang menjadi saksi terjadinya niat hati menolong Mayor Seno dari Dokter Heni berbuah petaka kini sudah tak jelas bentuknya. Semua barang pribadi Dokter Heni dan beberapa peralatan medis porak poranda.
"Kemasi barangmu seadanya. Tak perlu bawa banyak barang. Dasar wanita, merepotkan hidup saja!" gerutu Mayor Seno dengan ucapan penuh penekanan terutama di ujung kalimatnya.
"Maaf, kamu bilang apa? Wanita merepotkan?" tanya Dokter Heni meminta penjelasan dengan sorot mata yang tegas nan tajam pada pria yang belum ada satu jam yang lalu resmi menjadi suaminya.
"Ya, apa aku salah?
"Sangat salah. Bukan aku yang merepotkan, tapi Anda yang merepotkan hidupku. Mengerti?"
"Dasar manipulatif," sindir Mayor Seno dengan sengitnya.
"Seharusnya tadi aku membiarkanmu mati saja di halaman depan rumahku. Atau sekalian dibawa binatang buas biar jadi santapan yang mengenyangkan perut mereka. Lebih bermanfaat dan enggak merepotkanku saja. Lumayan mengurangi satu manusia yang tidak tahu terima kasih di dunia ini. Huft !!" balas Dokter Heni tak terima.
"Asal kamu tahu, kehadiranmu dalam hidupku itu sebuah kesalahan. Walaupun kamu mengatakan berniat menolongku. Itu bukan urusanku. Jangan harap aku mencintaimu dan memperlakukanmu layaknya seperti istri sungguhan. Kamu sama sekali tak ada artinya. Paham!!" teriak Mayor Seno Pradipta Pamungkas yang berdiri di hadapan Dokter Heni.
Deg...
Bersambung...
🍁🍁🍁
*Bagi pembaca baru silahkan mampir dulu ke novelku judul "Bening" supaya paham mengikuti karya terbaru yang ini.💋
Keduanya pun keluar dari gubuk yang sudah porak-poranda itu dengan berjalan kaki menuju jalan besar. Sebab, ponsel Seno mati daya. Dan jangan harap ia meminjam ponsel Dokter Heni untuk meminta anak buahnya menjemput mereka.
Ego dan gengsinya setinggi langit. Terlebih pada yang namanya kaum wanita. Mau dunia runtuh sekali pun sepertinya ego dan gengsinya tidak akan pernah turun. Kecuali pada putri bungsunya yakni Ayana Zafira Putri Pamungkas yang beberapa bulan lagi akan genap berusia delapan tahun. Sikap penyayang dan lembutnya hanya ditampilkan pada Aya.
Sedangkan pada putra sulungnya bernama Aldo Bimantara Pamungkas yang biasa dipanggil Aldo, sikap tegas dan otoriternya masih mendominasi daripada sikap lembutnya sebagai seorang ayah. Sebab, dirinya ingin mendidik Aldo menjadi laki-laki yang kuat dan tidak mudah diperdaya dengan kelembutan seorang wanita.
Tentu bagi Aldo yang saat ini usianya sudah menginjak delapan belas tahun, tak mudah baginya ketika lima tahun yang lalu dirinya menghadapi perceraian kedua orang tuanya. Terlebih ia melihat sendiri perselingkuhan yang dilakukan oleh ibu kandungnya, Amanda Zianida, dengan seorang laki-laki yang ia ketahui sebagai komandan sang Papa.
Untuk Aya yang kala itu masih berusia tiga tahun, belum mengerti apapun perihal masalah orang dewasa. Bahkan gara-gara perselingkuhan yang dilakukan Manda dengan Kolonel Gani Samudera, Seno sempat meragukan jati diri kedua anak mereka.
"Sumpah, Mas. Mereka anak kandung kita. Tolong maafkan, aku. Jangan ceraikan aku, Mas. Kasihan anak-anak," pinta Manda dengan derai air mata seraya bersujud di kaki Seno.
"Kasihan?" desis Seno sekaligus bernada menyindir.
Manda pun menganggukkan kepalanya. Urat malunya sudah ia buang jauh-jauh di hadapan Seno.
"Di mana otakmu saat kamu berselingkuh dan mengkhianati aku serta anak-anak, hah! Saat kamu asyik memadu kasih dengannya, apa kamu kasihan pada kami? Jawab!!" bentak Seno.
Deg...
Manda seketika terdiam membisu tak mampu menjawab cecaran dan makian Seno padanya. Seluruh barang Manda dilempar keluar oleh Seno dan ia diceraikan. Hak asuh kedua buah hati mereka jatuh ke tangan Seno. Setelah ia melakukan tes DNA dan seluruhnya hasilnya positif. Aldo dan Aya adalah seratus persen anak kandungnya bersama Manda.
Tak ada pembagian harta gono-gini yang diberikan oleh Seno. Ketika Manda menikah dengannya, wanita yang kini berstatus sebagai mantan istrinya itu tak membawa harta apa pun. Manda juga tak menuntut apa pun mengenai harta. Sebab ia masih memiliki tambang emasnya yakni Kolonel Gani Samudera, pikirnya. Padahal laki-laki selingkuhannya tersebut juga masih memiliki istri yang sah dengan tiga orang anak.
Mengenai perselingkuhan Manda dan Gani, Seno terpaksa menutup mulutnya sendiri. Tak membuka aib tersebut atau pun menuntutnya. Walaupun ingin sekali rasanya membuka kedok perselingkuhan yang menjijikkan itu. Uang dan kuasa Gani yang membuatnya tak berkutik.
Ancaman datang menerpanya baik dari karir maupun keselamatan anak-anaknya. Alhasil Seno memilih bungkam seribu bahasa dan memendamnya sendiri. Hatinya sudah koyak nyaris tak terbentuk kala itu. Sehingga membentuk jiwanya menjadi sangat dingin seperti sekarang ini. Beku laksana es di kutub.
☘️☘️
Dokter Heni membawa barang seadanya yang masih dalam kondisi bisa digunakan usai kejadian petaka tadi. Sebuah ransel berada di punggungnya dan dua tas jinjing ukuran sedang di tangan kanan serta kirinya memenuhi tentengannya.
"Astaga mimpi apa aku semalam? Kenapa hidupku ketemu lagi sama orang-orangan sawah? Tapi yang ini lebih parah sepertinya daripada Pras," batin Dokter Heni mengeluh seraya terus berjalan kaki mengikuti langkah suami barunya. Ia menatap tajam dan bersungut di belakang punggung Mayor Seno yang ada di depannya.
"Jangan mengumpatiku!" desis Mayor Seno.
"Ya ampun, apa dia cenayang?" batin Dokter Heni terkejut.
"Siapa juga yang mengumpatimu? Jangan ge-er!" sungut Dokter Heni.
"Ayo cepat! Jalan begini saja lambat. Dokter kok loyo," sindir Mayor Seno yang terus berjalan dan tak pernah menoleh ke belakang. Ia tak mau tahu kerepotan istri barunya ini membawa perintilan pribadi maupun barang-barang medis.
"Dasar suami enggak peka! Istrinya bawa tentengan juga, enggak ditolongin. Apa seorang prajurit itu gampang loyo, sampai-sampai bawa satu tas istrinya saja enggak bisa? Tapi kalau bawa ego setinggi gunung sampai puncak Everest pasti bisa," sindirnya.
Sebagai dokter spesialis kejiwaan, sekilas ia bisa langsung membaca karakter Seno yang tegas namun egois, menurutnya. Alhasil lisannya menceplos lebih dulu karena hatinya tengah kesal.
Mayor Seno seketika menghentikan langkah kakinya. Sontak hal itu membuat langkah kaki Dokter Heni yang berada di belakang tubuhnya juga ikut berhenti. Seno memejamkan matanya sejenak dan menghela napas beratnya. Lantas ia pun menoleh ke belakang, lalu menatap Dokter Heni dengan tatapan dingin nan tajam.
"Aku ingatkan sekali lagi. Status kita saat ini bukan seperti suami istri sungguhan. Jadi, jangan berharap lebih. Mengerti?"
"Sangat mengerti Mayor Seno Pradipta Pamungkas yang terhormat. Tenang saja saya akan berusaha tidak protes dengan sikap Anda pada saya. Tetapi Anda juga jangan protes jika saya bersikap layaknya seorang istri sungguhan. Bukan karena saya mengharapkan cinta atau rasa belas kasihan dari Anda. Tetapi mendiang orang tua saya mengajarkan jika seorang istri yang baik harus tetap menjalankan fitrahnya sebagaimana semestinya di dalam rumah tangganya. Manut dan tunduk pada suami selama dalam hal kebaikan. Karena buat saya pernikahan itu sakral bukan seperti mainan dadu yang cuma dilempar dan dibuang hanya untuk menang atau kalah," ucap Dokter Heni penuh penekanan di setiap kalimatnya.
Jlebb...
Seketika ucapan menohok itu tanpa sengaja masuk ke hati Seno. Dokter Heni tanpa menghiraukan tatapan suaminya, ia langsung berjalan melewati tubuh Seno. Bahkan tanpa sengaja menyenggol lengan Seno. Sebab, jalan yang mereka lalui saat ini hanya jalan setapak yang sempit.
Tubuh Seno pun berbalik kembali dan ia menatap punggung Dokter Heni dengan tatapan yang entah. Sedangkan Dokter Heni yang masih kesal dengan Seno, berjalan dengan langkah cepat sambil menggerutu dalam hati.
"Kenapa hidupku dipertemukan dengan laki-laki yang namanya hampir mirip? Prasetyo Pambudi, eh sekarang Seno Pradipta Pamungkas. Sama-sama namanya double huruf P. Sikapnya juga 11-12. Walaupun mendiang Pras sepertinya masih lebih baik daripada dia. Semoga hati ini tetap seperti ini saja. Jangan sampai aku masuk ke lubang yang sama. Sadar Heni, sadar. Mereka berdua sama-sama tak akan pernah bisa mencintaimu Heni Widyastuti," batin Dokter Heni seraya menertawakan dirinya sendiri akan pahit kehidupan cintanya.
Berusaha membentengi diri dan hatinya agar cinta tak lagi tumbuh dan hidup di dalamnya. Sudah cukup pengalaman pahit akan yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan hingga dirinya susah move on dari seorang Prasetyo Pambudi, ayah kandung Bening, di masa lampau. Ia tak mau mengalami hal yang sama kembali. Karena rasa kecewa akan cinta, tidak ada obat maupun dokternya di dunia ini.
Padahal sepasang suami istri ini sama-sama memiliki luka di masa lalu. Walaupun luka dan porsinya berbeda. Namun keduanya belum menyadari bahwa mereka bisa saling mengobati. Terkadang manusia tak sadar bahwa yang bersamanya saat ini bernilai harganya. Akibat tergerus luka masa lalu, sering membuat diri terlupa akan makna kehadiran orang yang berada di sisinya.
Tuhan tidak selalu memberikan apa yang kita mau. Tetapi yakinlah bahwa Tuhan pasti memberikan apa yang kita butuhkan.
Ketika dirinya sibuk menggerutu dalam hati tentang mendiang ayah kandung Bening dan juga suaminya sekarang ini, tiba-tiba suara Seno terdengar memanggilnya dari kejauhan.
"Tunggu!" teriak Seno hingga langkah kaki Dokter Heni otomatis berhenti. Lalu, ia menoleh ke belakang melihat suaminya yang sedang berjalan ke arahnya.
Bersambung...
🍁🍁🍁
Saat Mayor Seno sudah berada di depan Dokter Heni, sang komandan batalyon yang terkenal dingin nan garang ini pun mendekatkan wajahnya pada telinga istrinya.
"Siapkan dirimu untuk malam pertama kita jika ingin jadi istri sungguhan," bisik Mayor Seno.
Deg...
Glugg...
Mendadak Dokter Heni menelan salivanya dalam-dalam. Jantungnya seketika memberikan alarm tanda bahaya. Ia sangat paham atas hak seorang suami terhadap istrinya tentang hubungan intim di atas ranjang.
Akan tetapi, kondisi mereka berdua saat ini sungguh berbeda. Terlebih bagi seorang Dokter Heni, sudah lama sekali ia tak melakukan hal itu semenjak mendiang suaminya yang bernama Wisnu meninggal dunia sekitar sepuluh tahun yang lalu akibat kecelakaan. Lahannya telah lama gersang.
Sedangkan bagi seorang Seno, sebelum dirinya mendapati Manda berselingkuh dengan Gani, ia juga sudah lama tak melakukan hubungan intim dengan Manda. Seno bukan laki-laki tipe penjaja atau doyan jajan di luaran sana hanya untuk sekedar memuaskan hasratnya. Walaupun isi dompetnya mampu untuk menyewa seorang P S K atau wanita malam. Tetapi cintanya pada Manda serta janji suci pernikahan, membuatnya menjadi suami yang setia.
Padahal beberapa rekan sejawatnya ada yang melenceng perihal kesetiaan terhadap pasangan. Akan tetapi, ia tak mengikuti jejak negatif tersebut dan tak goyah sedikit pun. Walaupun sering hidup LDR an dengan Manda dan anak-anaknya. Ia tetap berpegang teguh dengan prinsip hidupnya tersebut.
Kesibukan karir sekaligus pendidikan yang harus ditempuhnya untuk kenaikan pangkat serta jabatan, membuat waktunya banyak berkurang untuk keluarga. Sehingga cela itu dimanfaatkan oleh Manda yang beralasan pada Seno karena ia merasa kesepian dan akhirnya berselingkuh dengan Gani.
Kesetiaan Seno dibalas pengkhianatan yang begitu menyakitkan oleh Manda. Yang ternyata perselingkuhan itu dilakukan oleh Manda saat mengandung Aya. Sungguh ironi.
☘️☘️
Mayor Seno melihat reaksi Dokter Heni yang baginya terlihat aneh.
"Kenapa reaksinya begitu? Mirip gadis masih pe*rawan saja. Padahal kan dia janda. Apalagi umur sudah kepala empat lebih. Uh, dasar wanita." Seno bergumam dalam hati.
"Siap enggak siap, kamu harus siap. Dia suamimu sekarang ini. Dia berhak atas tubuhmu," batin Dokter Heni seraya bermonolog pada dirinya sendiri.
"Ayo jalan lagi. Kapan kita sampai rumah, kalau jalan lambat kayak kura-kura begini!" desis Mayor Seno seraya melewati tubuh Dokter Heni untuk kembali melanjutkan berjalan kaki.
"Aku pikir panggil-panggil buat bantuin bawa tas, eh ternyata bahas hal enggak penting. Dasar laki-laki! Kalau soal begituan saja paling gercep. Disuruh bantu bininya enggak mau dan banyak alasan!" batin Dokter Heni menggerutu sebal seraya kakinya tetap melangkah tuk mengikuti ke arah suaminya berjalan.
"Semangat istriku. Anggap ini pemanasan untuk nanti malam di rumah," ledek Mayor Seno tanpa menoleh ke belakang untuk melihat wajah Dokter Heni yang sekarang sudah bersungut-sungut. Ia tetap berjalan kaki seolah tanpa beban. Tanpa sadar senyum tipis terbit di wajahnya.
Setelah berada di jalan besar, keduanya menumpang sebuah pick up milik tukang sayur yang kebetulan lewat di area tersebut. Tukang sayur tersebut mengenal Mayor Seno. Sebab Mbok Jum, pembantu di rumah Seno, menjadi langganan setianya di pasar.
"Makasih, Pak." Mayor Seno tak lupa mengucapkan terima kasih pada tukang sayur tersebut setibanya di depan gerbang komplek rumah dinasnya.
"Siap 86, Pak Komandan. Aku balik ke pasar dulu," ucap tukang sayur.
"Oke. Hati-hati di jalan. Moga dagangannya laris manis," ucap Seno.
"Aamiin..." jawab si tukang sayur.
Dokter Heni yang melihat interaksi Seno dengan tukang sayur tersebut cukup terkejut.
"Ternyata dia masih tahu terima kasih juga sama orang lain. Beruntungnya tukang sayur itu. Enggak seperti sikapnya padaku. Beda banget," batin Dokter Heni.
Bunyi mesin pick up pun terdengar dan meninggalkan sepasang suami istri yang kini sudah berdiri di gerbang masuk komplek rumah dinas angkatan darat yang letaknya tak jauh dari tapal batas.
Saat berjalan, beberapa prajurit mengucapkan salam khas mereka sebagai tanda hormat pada Seno selaku komandan di sana. Dokter Heni berjalan di samping Mayor Seno. Tak lupa ia menampilkan senyum tanda ia menghormati sapaan dari beberapa prajurit tersebut padanya.
Tidak semua hunian di sana berisi sepasang suami istri maupun anak-anak seperti di kediaman Seno. Hanya beberapa rumah saja. Dominan rumah dinas di sana dihuni oleh prajurit muda yang masih single. Ada pula yang berusia matang dan sudah menikah tetapi LDR an dengan pasangannya. Yang berstatus duda dan bujang lapuk pun ada.
☘️☘️
Mbok Jum membuka pintu. Ia begitu terkejut majikannya yang sudah beberapa hari tak pulang karena memang ia tahu sedang bertugas ke pelosok desa tapal batas, mendadak pulang dengan membawa seorang wanita yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah kemajuan yang patut diapresiasi, pikir Mbok Jum.
Wanita paruh baya yang usianya sudah menginjak hampir 70 tahun ini mengetahui betul sejarah kelam penyebab kandasnya rumah tangga sang majikan dengan Manda. Sehingga membuatnya menjadi pria dingin yang tak tersentuh oleh wanita.
Kini doanya seakan dikabulkan oleh Tuhan. Walaupun Mbok Jum tak memiliki hubungan darah sekali pun dengan Mayor Seno, hanya sebatas pembantu dan majikan, tetapi ia terus mendoakan agar Mayor Seno menikah kembali dan mendapatkan istri sekaligus ibu sambung yang baik untuk Aldo dan Aya. Kedua anak tak berdosa itu masih butuh kasih sayang lengkap dari figur seorang ibu. Terutama Aya yang masih SD.
"Oh, maaf Pak. Silah_kan masuk," ucap Mbok Jum dengan terbata-bata, efek terkejut melihat sosok wanita asing bersama Seno.
"Putriku sudah pulang sekolah, Mbok?" tanya Seno seraya berjalan memasuki rumah dinasnya.
"Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi. Mas Fatih sudah berangkat buat jemput Neng Aya di sekolah," jawabnya.
Tak lupa Mbok Jum mempersilahkan Dokter Heni untuk masuk. Ia pikir Dokter Heni adalah tamu sang majikan. Namun Dokter Heni masih setia berdiri di depan pintu. Ia hanya membalas senyuman terhadap Mbok Jum sebagai tanda hormat pada yang lebih tua.
"Kenapa kamu masih berdiri di situ? Mau jadi prasasti abadi depan rumahku!" desis Mayor Seno.
Bermulut pedas terhadap yang namanya wanita, terutama wanita single atau wanita yang mencoba mendekatinya, sudah menjadi kebiasaan Seno semenjak ia mengetahui perselingkuhan Manda. Alhasil pada Dokter Heni yang baru saja resmi menjadi istrinya, kebiasaan tersebut tetap dilakukannya. Ia begitu antipati pada wanita apalagi cinta.
Dokter Heni yang tak mau berdebat dan kakinya juga letih, akhirnya memutuskan untuk masuk.
"Duduk!" perintah Mayor Seno dengan tatapan datar nan dingin seperti biasa.
Dokter Heni mendaratkan b0kongnya di sofa ruang tamu tanpa banyak membantah. Kini sepasang suami istri ini duduk saling berhadapan. Hanya meja yang jadi pembatas di antara mereka saat ini. Mbok Jum meninggalkan keduanya untuk membuatkan minuman di dapur.
Tiba-tiba langkah kaki seseorang yang bergerak dengan lincahnya masuk ke dalam rumah sekaligus bersuara, mengejutkan mereka berdua.
"Bunda Dokter?"
Seketika keduanya menoleh pada gadis mungil yang berwajah cantik dan imut yang sebentar lagi berulang tahun yang ke-8.
"Kok Bunda Dokter bisa tahu rumahku di sini? Bunda Dokter, sudah kenal sama Papaku yang tampan ini?" sambungnya berceloteh tanpa beban, mencecar Dokter Heni.
Mayor Seno seketika menatap tajam Dokter Heni.
"Apa dia dan Aya sebelumnya sudah pernah bertemu dan saling kenal? Di mana?" batin Mayor Seno.
Bersambung...
🍁🍁🍁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!