Dengan wajah kesal dan emosi yang siap meledak,
Alea menatap ketiga kakaknya yang duduk santai dan tanpa rasa bersalah.
Sejak orangtua mereka meninggal 2 tahun lalu, Barry, Benni dan Bara berubah menjadi kakak-kakak yang menyebalkan. Mereka bukan saja galak namun juga super protektif membuat Alea merasa terkukung dan kehilangan mimpi indah masa remajanya.
Jangankan pacar, ketiganya membatasi pergaulan Alea, menyeleksi setiap orang yang berusaha dekat dengannya terutama kaum adam.
Dari sekian banyak teman satu angkatan hanya Prita, Eva, Rangga dan Tio yang berhasil lolos ke babak final untuk menjadi teman satu circle Alea, dan Prita adalah sahabat yang paling dipercaya.
Di luar dugaan Prita malah membuat heboh sekolah karena hamil menjelang kenaikan kelas 12. Apa daya, aturan ketiga kakaknya malah semakin diperketat malah sampai pada keputusan yang membuat Alea tekejut-kejut.
“Apa kalian bertiga sudah gila menyuruhku cepat-cepat menikah ?” seru Alea dengan nada sebal.
“Jaga ucapanmu Lea !” tegur Bara, kakak ketiganya.
“Lalu apa namanya menyuruh adik perempuan satu-satunya menikah muda dengan om-om ?”
Benni tertawa mendengar omelan adiknya.
“Yudha belum om-om, dia seumur sama kakak,” ujar Benni.
“Iya dan lebih tua 10 tahun dariku. Jangan bilang kalau pernikahan ini ada hubungannya dengan bisnis kakak dan aku adalah pelunas hutang atau semacamnya.”
Alea menelisik Barry, Benni dan Bara dengan mata menyipit tapi ketiganya malah tertawa dengan tatapan meledek, membuat Alea jadi curiga dan bertambah kesal.
“Hutang apa ? Jangan ngaco kamu ! Yudha adalah pria mandiri yang bertanggungjawab dan nggak pernah macam-macam. Sejak papanya meninggal, dia yang membiayai adik dan mamanya.”
“Dan dia mau begitu saja menikah denganku yang sudah pasti akan menambah beban hidupnya ? Kami tidak saling mengenal, apa kakak nggak ada yang merasa aneh kenapa dia mau begitu saja menikahiku ?”
“Kakak sudah bertemu dan bicara dengan Yudha beberapa waktu lalu. Yudha yang menawarkan diri menikahimu saat kakak dan Benni mengungkapkan rasa khawatir kami tentangmu,” tutur Barry, kakak Alea yang tertua dengan nada bijak.
“Dan kakak nggak merasa aneh karena semudah itu dia mau menjadikanku istrinya padahal kami tidak saling mengenal ?” Alea mengulang pertanyaannya.
“Yudha sudah tahu siapa kamu,” sahut Benni.
“Hanya berdasarkan cerita kakak, kan ?”
“Dia sering datang kemari saat kami masih SMP dan SMA, kamu aja yang nggak ingat padanya.”
“Hanya sering datang tapi aku nggak ingat pernah ngobrol dengannya.”
“Cukup Alea ! Malam ini kami mengajakmu bicara bukan untuk berdiskusi tapi menyampaikan keputusan kami soal pernikahamu dengan Yudha !” tegas Bara dengan suara tegas.
Kakak ketiganya ini memang paling galak, jutek dan tidak banyak bicara sejak masih remaja.
Alea menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar.
“Aku tidak akan melakukan kebodohan seperti Prita. Aku pasti bisa menjaga kehormatanku dengan baik untuk suamiku kelak jadi tidak perlu buru-buru menyuruhku menikah !” tutur Alea dengan suara melunak.
“Bagaimana kamu bisa menjamin niatmu bisa terpenuhi dengan baik ? Kamu lupa saat terakhir pergi dengan Prita, kamu diantar pulang oleh laki-laki asing dalam keadaan tidak sadar ?” tanya Bara dengan tatapan tajam dan suara tegas.
“Dan sesudah itu tiba-tiba Prita dinyatakan hamil,” timpal Benni.
“Jadi maksud kakak aku sudah tidak perawan ?” geram Alea sambil menatap Bara tanpa gentar.
“Mana kami tahu dan yang penting Yudha tidak mempermasalahkannya,” sahut Barry.
“Kakak sampai membahas masalah begituan sama dia ?” mata Alea langsung melotot apalagi melihat Barry mengangguk.
“Malu-maluin banget sih !” gerutu Alea.
“Kenapa memalukan ? Toh dia juga akan menjadi suamimu,” sahut Bara dengan senyuman sinis.
Alea kembali menghela nafas karena susah membantah ucapan ketiga kakaknya karena semuanya memang benar.
Dengan alasan mengajak Alea ke pesta ulangtahun ketujuhbelas teman sekolah mereka, Prita malah membawanya ke sebuah club. Alea yang tidak tahu menahu akhirnya mengikuti rencana Prita yang ternyata ingin mempertemukan Alea dengan Dion, kakak kelas dari sekolah lain yang sudah setahun lamanya ditaksir Alea.
Perasaannya bersambut karena Dion sepertinya sedikit tertarik pada Alea dan tidak keberatan untuk mencoba saling mengenal.
“Kakak nggak cari tahu siapa cowok yang membawaku pulang malam itu ?” Alea menatap kakaknya satu persatu dan hanya Benni yang menggelengkan kepala.
“Aneh karena kakak tidak tahu namanya. Biasanya kalian paling pintar menginterogasi orang.”
“Tidak usah dibahas lagi karena sudah lewat, sekarang yang penting soal pernikahanmu dengan Yudha,” ujar Bara.
“Malam ini kami bukan ingin berdiskusi tapi memberitahumu soal keputusan kami bertiga yang menerima niat baik Yudha menjagamu sebagai istrinya. Pernikahanmu akan diadakan 3 bulan lagi, tepatnya seminggu setelah ulangtahunmu yang ke-17,” timpal Barry.
“Tidak bisakah ditunda sampai aku lulus SMA ?” pinta Alea dengan wajah memelas dan tatapan memohon.
“Tidak bisa !” tegas Benni.
“Iya, tidak bisa Alea karena sebentar lagi kakak akan bertambah sibuk karena kakak iparmu akan melahirkan, Benni mulai bertugas ke Kalimantan setelah pernikahanmu dan Bara baru saja dipromosikan hingga akan sering tugas keluar kota. Kami bertiga percaya kalau Yudha adalah pilihan yang tepat apalagi dia sendiri yang bernisiatif menawarkan diri untuk menjagamu.”
“Aku bisa pindah ke rumah Kak Barry sekalian menemani kak Lia mengurus bayi.” Alea menurunkan intonasi bicaranya dan memasang wajah manis, berusaha melunakkan hati ketiga kakaknya.
“Bukan solusi,” tolak Barry sambil menggeleng. “Kakak tidak mau menambah beban istri kakak karena harus mengurus bayi dan mengawasimu sekaligus.”
“Aku bukan…”
“Tidak usah menbantah dan mencari alasan lagi Alea ! Kamu menikah atau berhenti sekolah dan menyelesaikan SMA di rumah. Jangan pernah bermimpi meneruskan kuliah kalau kamu masih menolak keputusan kami !” tegas Bara, kakaknya yang paling galak dan jutek.
“Memangnya kalau kami menikah, dia akan mengijinkanku tetap kuliah ?”
“Yudha sudah berjanji akan membiarkanmu mengejar cita-cita dan tidak akan menuntut anak sampai kamu selesai kuliah,” ujar Benni.
Alea langsung bergedik saat mendengar Benni menyebut kata anak. Membayangkan ia akan berstatus istri saja membuat perasaan Alea kacau balau.
“Mau cari alasan apa lagi ?” tanya Barry.
Alea menggeleng sambil menghela nafas berat berkali-kali.
“Namanya Yudha, jangan memanggilnya dengan sebutan dia lagi. Panggil dia Kak Yudha atau Mas Yudha, terserah mana yang nyaman untukmu,” ujar Benni.
“Kalau kamu ingin mengenalnya sebelum menikah, kami bertiga mengijinkanmu berlibur di rumah keluarganya sambil menemani Yudha yang sedang mempersiapkan memindahkan usahanya ke Jakarta,” ujar Barry.
“Dimana ?”
“Semarang,” sahut Benni.
Alea tidak menjawab, kepalanya tertunduk dan menghindari tatapan ketiga kakaknya yang menunggu jawaban.
“Terserah kakak saja,” sahut Alea dengan pasrah namun terlihat menahan kesal.
“Kalau begitu semuanya sudah beres. Kakak pulang dulu. Jangan macam-macam dan jaga dirimu dengan baik ! Jangan mempermalukan kami bertiga,” tegas Barry sambil beranjak bangun.
Alea bergeming di sofa sementara Benni dan Bara ikut beranjak mengantar kakak tertua mereka keluar rumah.
Seandainya papa dan mama masih ada, aku masih bisa menikmati masa remaja dengan normal dan tidak perlu menikah dini begini.
Alea dibuat tidak bisa berkutik dengan keputusan ketiga kakaknya karena belum sempat ia menata hatinya, tiba-tiba pagi ini Yudha sudah berada di rumah mereka.
Tidak tanggung-tanggung, pria itu membawa serta ibu dan adik perempuannya dengan tujuan melamar Alea !
“Kakak benar-benar tega banget sama aku ! Belum sempat aku menerima keputusan kakak, pagi ini mereka sudah datang. Kenapa tidak ada yang memberitahuku semalam soal rencana ini ? Aku benar-benar tidak siap menikah, pacaran saja belum pernah !”
Suara Alea meninggi dan matanya mulai berkaca-kaca apalagi melihat ekspresi wajah Barry terlihat biasa saja, seolah tidak peduli dengan perasaannya.
Pagi ini Lia yang diutus ketiga kakaknya untuk membangunkan Alea sekaligus memberitahu tentang rencana kedatangan Yudha.
Alea membuang muka. Rasa marah membuat hatinya sesak dan sulit bernafas. Ia membenci keadaan, menyesali nasibnya sebagai anak yatim piatu yang harus menggantungkan hidupnya di tangan Barry, Benni dan Bara.
“Kamu lupa kalau tujuan semalam bukan untuk berdiskusi tapi menyampaikan keputusan kami demi kebaikanmu juga ?” tanya Barry dengan wajah datar.
“Kebaikan macam apa yang kakak maksud ? Kalian bertiga benar-benar egois ! Sejak papa mama meninggal, aku tidak pernah diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan normal, segala sesuatu harus sesuai dengan aturan kalian bertiga tanpa bertanya apalagi memikirkan perasaanku. Menikah bukan masalah sepele, kakak pasti paham karena sudah nikah.”
“Tidak perlu meninggikan suaramu, pendengaran kakak masih baik !” tegur Barry dengan mata melotot.
“Kamu adalah adik kami jadi sudah seharusnya segala sesuatu tentangmu menjadi tanggungjawab kami !”
Lia memegang lengan suaminya lalu menggelengkan kepala saat Barry menoleh, meminta suaminya meredam emosi.
Meski tahu maksud Barry dan kedua adiknya baik untuk Alea tapi hati kecil Lia tidak setuju dengan keputusan menikahkan Alea dengan Yudha karena secara usia, adik iparnya masih terlalu muda. Alea pasti masih ingin menikmati kehidupan remajanya.
“Tidak usah banyak drama ! Sekarang keluar dan jangan macam-macam di depan keluarga Yudha !” ancam Barry sambil menggerakan jari telunjuknya di hadapan wajah Alea.
Alea mengambil tisu, menghapus air mata yang akhirnya jebol meski sudah ditahan-tahan. Barry memberi isyarat supaya Alea keluar bersamanya tanpa membantah lagi.
“Selamat pagi,” sapa Alea begitu sampai di ruang tengah.
Semua mata langsung tertuju padanya sementara Barry dan Lia langsung duduk di sofa yang masih kosong.
Kinasih, mama Yudha, bisa melihat kalau gadis belia yang sebentar lagi akan menjadi menantunya habis menangis. Ia beranjak dan menghampiri Alea lalu memeluknya membuat mata Alea membola.
“Terima kasih,” ujar Kinasih dengan suara pelan.
Alea menautkan alis, bingung harus bersikap bagaimana.
“Sudah mama duga kalau kamu bukan hanya masih belia tapi juga cantik dan manis. Pantas Yudha ingin langsung memperistrimu, takut direbut orang.”
Alea tersenyum canggung mendengar wanita baya itu menyebut dirinya “mama”. Ada rasa haru saat tangan itu mengusap kepala lalu pipinya. Mendadak Alea baper, teringat pada mamanya yang sudah tiada tapi ia berusaha tidak menangis lagi.
Alea menurut saat Kinasih menggandeng tangannya dan mengajak duduk di sofa panjang.
“Ini yang namanya Yudha, sudah ingat sekarang ?” tanya Benni sambil menepuk-nepuk bahu pria yang dipanggil Yudha:
“Loh memangnya Alea nggak tahu seperti apa wajah Yudha ? Kamu nggak pernah kasih lihat adikmu foto calon suaminya ?”
Wajah Alea merona mendengar kata calon suami. Rasanya aneh dan malu, tidak pernah ia berpikir akan langsung menikah tanpa pacaran.
”Hai Alea, apa kabar ?”
“Baik,” sahut Alea hanya melirik lalu kembali membuang muka ke arah lain.
“Alea !” tegur Bara dengan tatapan galak.
Alea menghela nafas sebelum menatap Yudha dan tersenyum dengan wajah terpaksa.
“Baik Mas Yudha.”
Yudha balas tersenyum. Wajahnya memang tampan dan terlihat lebih matang dibandingkan dengan ingatan Alea tentang pria itu tapi di mata Alea, Dion masih lebih baik apalagi usianya hanya terpaut 2 tahun lebih tua jadi akan lebih asyik menjalani dunia yang tidak akan jauh berbeda.
“Wuiihhh udah langsung dipanggil Mas aja nih,” ledek Yunita, adik Yudha satu-satunya.
Kinasih langsung melotot dan memberi isyarat supaya putrinya menahan diri untuk tidak menggoda Alea karena sebagai seorang ibu, Kinasih paham dengan perasaan Alea saat ini.
“Kamu pasti sudah tahu maksud kedatanganku mengajak mama dan adikku kemari,” ujar Yudha.
Alea hanya mengangguk sambil menghela nafas lagi.
“Apa pernikahannya tidak bisa ditunda sampai aku lulus SMA ?”
Yudha tidak menjawab malah menggerakan kepalanya ke arah Benni lalu Bara dan terakhir Barry.
“Kamu lupa dengan pembicaraan semalam, Al ?” Barry malah balik bertanya.
Entah sudah berapa kali Alea menghela nafas.
“Tidak.”
“Lupakan saja pertanyaan Alea barusan, Yud,” ujar Bara.
“Kamu tetap sekolah seperti biasa dan boleh melanjutkan kuliah sesuai keinginanmu,” ujar Yudha dengan nada kalem.
Alea memberanikan diri menatap pria itu, ingin memastikan kalau ucapannya bukan sekedar janji manis di depan banyak orang.
Yudha memang berbeda dengan Barry, Benni dan Bara. Pembawaanya lebih tenang dan tatapannya tidak mengintimidasi.
“Apa aku masih boleh punya teman dan sekali-sekali pergi dengan mereka tanpa diikuti ?”
“Tentu saja boleh,” sahut Yudha sambil tertawa pelan.
“Kamu boleh menjalankan aktivitasmu seperti biasa termasuk bergaul dengan teman-teman sebayamu. Hanya satu syarat yang nggak boleh kamu lakukan : Pacaran.”
“Kalau berani pacaran dengan cowok lain berarti Alea sudah selingkuh,” ujar Benni sambil terkekeh.
“Aku percaya kalau calon istriku ini bukan model perempuan yang suka selingkuh,” bela Yudha sambil tertawa melihat Alea melotot lalu mencibir pada Benni.
“Jadi kamu mau ya menikah sama Yudha ?” tanya Kinasih sambil menyentuh bahu Alea.
Alea sudah hampir menjawab jujur tapi tatapan tajam Barry dan Bara membuat ia melawan nuraninya.
“Iya,” sahutnya pelan sambil senyum terpaksa.
Bukannya Yudha tidak tahu kalau Alea terpaksa menerima lamarannya tapi Yudha sudah berjanji akan menjaga Alea, selain itu mamanya sangat senang karena Yudha mau menikah.
Awalnya Kinasih sempat terkejut saat Yudha memintanya melamar wanita untuk dijadikan istri karena selama ini putranya tidak pernah membahas soal kekasih setelah putus dengan Julia, pacar Yudha semasa kuliah.
Kinasih tambah kaget saat mendengar calon istri Yudha masih berusia 17 tahun, tapi begitu tahu Alea adalah adik kandung Benni dan alasan Yudha memperistrinya, Kinasih langsung setuju dan mendukung keinginan Yudha tanpa ragu.
“Terima kasih sudah bersedia menjadi calon istriku,” ujar Yudha saat menyematkan cincin di jari manis Alea yang malu-malu dan lebih banyak diam.
“Jangan khawatir, Mama akan memastikan kalau Yudha akan menjadi suami yang bertanggungjawab dan hanya mencintaimu sebagai istrinya,” timpal Kinasih sambil mengusap-usap kepala Alea.
“Terima kasih, Tante.”
“Yah kok Tante sih, Mama dong,” celetuk Yunita.
Wajah Alea merona dan senyumnya terlihat canggung. Ada perasaan aneh sekaligus bahagia yang tidak bisa diungkapkannya.
“Terima kasih…. Mama.”
“Nah gitu dong !” Yunita mengacungkan jempolnya.
“Tinggal aku aja yang bingung panggil kamu. Secara umur, kamu jauh lebih muda tapi secara status kamu adalah kakak iparku.”
“Gitu aja kok repot, panggil nama saja biar kalian lebih akrab,” ujar Kinasih.
“Iya Kak, panggil aku Al atau Lea, terserah enaknya yang mana.”
“Welcome to the club, Lea. Senang bisa punya adik sekaligus kakak ipar kayak kamu.”
Barry, Benni dan Bara sama-sama menghela nafas lega. Meski rasanya berat memaksa Alea menikah tapi mereka yakin kalau Yudha adalah pria yang tepat dan bisa membahagiakan Alea.
Sebelum jam 5 pagi Alea sudah mulai sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Benni dan Bara serta ketiga tamu yang ternyata menginap di rumahnya sampai hari Selasa.
Mama Kinasih dan Yunita tidur di bekas kamar orangtua Alea sedangkan Yudha memilih tidur di kamar Benni menggunakan kasur lipat meski sudah ditawarkan tidur di kamar Barry yang sudah lama tidak digunakan pemiliknya.
“Selamat pagi Alea.”
“Aduh !”
Saking kagetnya karena sedang asyik memotong daging ayam, tidak sengaja Alea malah melukai jari telunjuknya.
Dengan sigap Yudha langsung meraih jemari Alea dan menyalakan keran air untuk membersihkan luka.
“Maaf aku membuatmu kaget,” ujar Yudha dengan wajah bersalah sambil memperhatikan Alea yang sesekali meringis menahan perih saat pria itu mengobati lukanya.
“Nggak apa-apa, aku juga yang ceroboh.”
Wajah Alea sedikit merona karena perlakuan manis Yudha tapi jantungnya baik-baik saja, tidak ada debaran yang membuat Alea jadi salah tingkah.
“Tidak usah repot-repot masak, kami bertiga tidak terlalu pilih-pilih soal makanan. Rencananya pagi ini aku mau beli bubur dekat taman, sudah lama nggak makan di sana. Semoga tukang buburnya masih jualan.”
“Masih kok.”
“Mau temani aku ke sana sekalian kita jalan pagi ?”
Alea tampak ragu dan melirik bahan makanan yang sudah dikeluarkan dari kulkas.
“Nanti kita lanjut masak untuk makan siang,” ujar Yudha yang langsung menangkap keraguan Alea.
“Kita ?”
“Iya, kita. Aku juga bisa masak.”
“Yakin ?” Yudha tertawa melihat ekspresi wajah Alea.
“Buktikan sendiri nanti, sekarang temani aku olahraga pagi. Kamu ganti baju, aku bereskan dapur.”
Yudha mendorong kedua bahu Alea supaya menjauh dari dapur dan entah kenapa gadis itu langsung menurut.
Yudha tersenyum menatap calon istrinya sedang setengah berlari menaiki tangga menuju kamarnya di lantai 2.
Yudha berdoa semoga perbedaan usia yang cukup jauh tidak menjadi kendala pernikahan mereka bahkan ia berharap Alea bisa cepat menerimanya sebagai suami dan mencintai Yudha sebagai pria dewasa, bukan sekedar pengganti ketiga kakak laki-lakinya.
**
“Kok tahu ada tukang bubur di sini ?”
Alea menoleh karena Yudha tidak langsung menjawab. Sejak keluar rumah sampai tiba di taman, pria itu tidak banyak bicara membuat suasana sedikit canggung karena Alea tidak tahu mencari topik pembicaraan apa.
“Mas Yudha !” Alea menepuk bahu calon suaminya yang terkejut karena ternyata sedang melamun.
“Eh iya. Ada apa ?”
“Mas Yudha kenapa ?”
Yudha menggeleng sambil tersenyum, tidak mungkin ia bicara jujur pada Alea kalau mendadak ia kehilangan rasa percaya diri begitu melihat penampilan Alea dalam balutan celana training selutut dan kaos oblong warna pink bergambar ala remaja.
Alea kelihatan masih sangat belia bahkan cenderung seperti anak-anak apalagi tinggi badannya tidak sampai 160 cm. Gadis itu tampil sederhana, tanpa polesan make up bahkan rambutnya hanya dikuncir ekor kuda dengan karet berbahan katun biasa namun itulah yang menjadi daya tariknya.
Tidak aneh kalau semakin dewasa, banyak pria yang mencoba mendekati Alea dan menginginkannya lebih dari sekedar teman.
“Mas Yudha kenapa ?” Alea kembali mengulangi pertanyaannya karena Yudha masih diam sambil menatapnya.
“Nggak apa-apa, hanya berpikir sudah lama juga aku nggak kemari. Kalau nggak salah terakhir masih kuliah, pas liburan semester 4.”
“Aku kira bengong karena kesambet penunggu rumah,” ledek Alea sambil tertawa.
Jantung Yudha langsung berdebar karena Alea semakin mempesona saat tertawa lepas, tidak kaku dan canggung seperti kemarin saat mereka baru saja bertemu.
“Tuh tukang buburnya. Mas Yudha mau makan atau olahraga dulu ? Enaknya sih olahraga dulu, kan habis makan nggak boleh melakukan aktivitas berat.”
Yudha masih saja tersenyum dengan raut wajah bahagia apalagi mendengar celoteh Alea yang bertanya sekaligus menjawab.
“Kita pesan saja dulu biar nggak kehabisan.”
Tanpa permisi, Yudha menggandeng jemari Alea membuat gadis itu terkejut sampai matanya membola tapi Alea diam saja karena tidak ingin membuat Yudha dan dirinya malah jadi tontonan orang-orang yang mulai berdatangan.
Ternyata Yudha memang kenal baik dengan tukang bubur yang sudah lama berjualan di taman. Bapak yang sudah beruban itu langsung menyapa Yudha dan keduanya berbincang seperti teman lama.
Diam-diam Alea berusaha melepaskan tangannya tapi pria itu malah semakin kuat menggenggamnya.
“Bukannya ini Neng Alea adiknya Mas Benni ?” sapa istri tukang bubur.
“Betul banget Bu,” Yudha langsung menjawab. “Dan Alea ini…”
“Yudha ?”
Belum sempat Yudha menyelesaikan kalimatnya, seorang perempuan memanggil namanya.
“Apa kabarnya ? Sudah lama nggak main kemari.”
Perempuan itu menghampiri Yudha dan Alea. Wajahnya cantik dan pakaiannya cukup seksi meski masih normal untuk olahraga.
Yudha sempat melirik Alea yang masih berdiri di sampingnya. Kelihatannya Ales tidak menunjukkan rasa cemburu sedikit pun malah terlihat biasa-biasa saja membuat Yudha tersenyum kecut.
“Baik. Hilda ya ?” Perempuan itu mengangguk dengan senyuman merekah.
Mata Hikda sempat melirik tangan Yudha yang masih menggandeng Alea tapi bukannya sungkan, Hilda malah semakin tertantang untuk membuat Alea kesal kalau perlu meninggalkan Yudha sekalian.
“Kamu adiknya Benni ya ?”
“Iya, dia adiknya Benni.”
Alea menghela nafas karena lagi-lagi Yudha yang menjadi juru bicaranya. Alea menyipitkan mata, mencoba mengingat wanita yang dipanggil Hilda itu. Seingat Alea, perempuan ini pernah satu sekolah dengan Bara, tapi berapa usianya, Alea tidak paham.
“Kamu lagi nginap di rumah Benni ?” tanya Hilda tanpa peduli dengan Alea.
“Iya.”
“Kalau begitu nanti sore aku mampir ke rumah Benni biar bisa ngobrol-ngobrol sama kalian bertiga kayak dulu.”
Yudha langsung menoleh ke arah Alea yang terlihat masih tetap biasa-biasa saja meski gadis itu enggan bertatapan dengan Hilda.
Yudha sedikit kecewa dan ingin memanfaatkan Hilda untuk menguji perasaan Alea tapi perempuan di depannya ini termasuk mahluk berbahaya yang agresif.
Sudah lama Hilda mengejar Yudha bahkan tidak peduli saat Yudha menolaknya dengan alasan sudah memiliki kekasih waktu kuliah.
“Maaf aku tidak bisa. Kedatanganku ke Jakarta bukan liburan tapi melamar calon istri, sebentar lagi aku akan menikah.”
Hilda menyipitkan matanya, mencoba menelisik ekspresi Yudha apakah sedang berbohong atau serius dengan ucapannya.
“Beneran atau cuma alasan untuk menghindariku seperti yang lalu ? Dengan kekasihmu itu ?”
“Aku serius, Hil. Calon istriku….”
“Alea !”
Lagi-lagi niat Yudha ingin memberitahu soal siapa Alea tertunda.
“Dion,” desis Alea.
Wajah Yudha langsung berubah kesal saat mendengar mulut Alea menyebutkan nama cowok itu sampai menghela nafas panjang untuk meredam emosinya. Kehadiran Hilda dan Dion merusak rencana Yudha yang ingin pendekatan dengan Alea pagi ini.
Tidak akan kubiarkan kamu mendekati calon istriku apalagi merebutnya ! Ya Tuhan, berikan aku sedikit keberuntungan pagi ini. Kenapa semuanya jadi kacau begini ? doa Yudha dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!