**"Aku tidak butuh anak perempuan! Yang aku inginkan seorang putra. Apa kamu mengerti?"
Kalimat yang menggelegar di kesunyian malam itu mampu menciutkan hati siapa saja yang mendengarnya. Tidak terkecuali hati seorang anak yang sedang berdiri dalam balutan selimut tebalnya.**
Drtt... Drtt.... Drtt....
Getaran dari ponsel itu mampu menghenyakkan tidur sekaligus memotong mimpi buruk si empunya.
Sambil mengusap keringat dingin di dahinya akibat mimpinya tadi, diraihnya ponsel yang tak jauh dari bantalnya.
"Hmm.. Hallo!" Dengan enggan dijawabnya panggilan yang entah keberapa kalinya itu.
"Mey, jangan bilang loe belum bangun!" Teriakan seseorang yang dikenalnya itu cukup untuk membuat seorang Meydina terlonjak dari kantuknya.
Tut, tut... Ponselpun ditutupnya sepihak.
"Aarrrghh!" Dengan kesal kedua tangannya mengacak-acak rambutnya yang memang sudah acak-acakan itu. Menyadari sudah hampir terlambat, setengah berlari ia menuju kamar mandi dan akan bersiap di hari pertamanya bekerja.
"Mey, cepetan dong! Bisa telat nih," masih setia dengan teriakannya, Rendy yang semula berniat menunggu didalam mobilpun akhirnya bergegas masuk juga kedalam rumah sahabatnya itu.
"Dasar tarzan. Loe pikir ini di hutan? dari tadi teriak-teriak. Lagian yaa yang mau kerja itu gue, kok jadi loe yang heboh." Meydina yang sedang berjalan sambil kedua tangan mengikat rambutnya kebelakang itupun menghampiri Rendy.
"Ye, khusus hari ini kan gue jadi supir loe, kalo loe terlambat gue nggak mau tanggung jawab," ucap Rendy dengan nada kesal.
"Idih, siapa juga yang mau minta tanggung jawab dari loe?" dijawabnya ketus ucapan Rendy sambil mengerutkan dahinya.
"Udah, udah, nggak boleh gitu Mey. Terima kasih lho nak Rendy sudah mau ngantar Mey." Seorang wanita yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah tak muda lagi datang menghampiri dengan segelas susu hangat di tangannya.
Rendy hanya tersenyum sambil mengangguk.
"Cantiknya anak ibu." Ucapnya lagi sambil menatap anak gadisnya dengan senyuman tersungging di bibirnya.
Senyuman manis yang mungkin melebihi manisnya susu hangat yang sudah berpindah tangan bahkan sudah habis di minum Meydina.
"Terima kasih, Bu. Muach." Di kecupnya pipi sang ibu sambil mengembalikan gelas yang sudah kosong. Setelah berpamitan, mereka pun berangkat.
Di perjalanan...
Sambil memegang kemudinya, sesekali sudut mata Rendy mengarah pada seseorang di sampingnya.
Ya, seorang gadis yang telah dikenalnya sejak di sekolah menengah itu tampak berbeda hari ini. Dia yang biasanya terlihat cuek bahkan terkesan asal-asalan dengan penampilannya, hari ini terlihat sangat anggun.
Dengan polesan make-up yang natural, lipstik pink muda yang tipis, berpadu dengan setelan kemeja putih dan rok hitam selutut terlihat sangat pas dikenakan nya, walaupun memang sangat sederhana.
Mengingat jeda waktu dari dia bangun tidur sampai sudah bersiap itu tidak lebih dari 15 menit, entah tadi dia mandi atau tidak, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Di sisi lain, Meydina terlihat gelisah. Sesekali ia menarik-menarik kecil ujung rok nya, atau sekedar memukul-mukul pelan lututnya dengan tangan yang terkepal.
"Kenapa, loe? Grogi?" tanya Rendy yang sedari tadi menahan senyum melihat tingkah sahabatnya itu.
"He..he.. Kok tumben ya, gue grogi." Meydina tersenyum kecut.
"Biasa aja kalee," dengan senyuman mengembang Rendy kembali fokus pada kemudinya.
Meydina mengalihkan perasaannya dengan melihat kesekitar di luar mobil yang mereka tumpangi.
Ya, memang hal yang biasa bila kemacetan terjadi di jam-jam keberangkatan kerja seperti saat ini. Dan itu sukses menambah grogi perasaannya.
"Masa iya gue telat di hari pertama kerja?" gumaman lirihnya seolah ditujukan untuk dirinya sendiri.
Diliriknya Rendy yang masih dengan senyumnya sedang menatap kedepan kemudi, entah apa yang membuatnya terlihat bahagia hari ini.
Andai tujuan mereka hari ini sama, sama-sama berangkat ke kampus, mungkin ia pun akan sangat bahagia.
Rendy memang beruntung, terlahir dalam keluarga berkecukupan membuatnya tak perlu khawatir tentang biaya kuliah. Sedangkan ia yang hanya lulusan SMU, harus mengubur dalam-dalam keinginan serta cita-citanya selama ini.
Bagaimana mungkin ia memaksakan untuk kuliah, sedangkan gaji yang diterima dari pekerjaannya beberapa tahun belakangan ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan juga ibunya.
Hatinya sudah bersyukur bisa menyelesaikan sekolah sampai akhir. Karena sepeninggal ayahnya, ia dan juga Anita ibunya harus bertahan dengan uang simpanan yang ada. Bahkan tak jarang ibunya menjual barang-barang berharga yang dimilikinya bila keadaan terdesak.
"Hai, Nona! Kita sudah sampai," goda Rendy yang sedari tadi sudah memperhatikannya yang sedang melamun. Berdiri di sampingnya sambil mengulurkan tangannya.
"Oke. Makasih ya udah mau anterin gue," dengan tersenyum disambutnya uluran tangan Rendy.
Berdiri berhadapan dengan satu lengan masih menggenggam tangan Meydina. Satu lengannya lagi mengusap pucuk kepala serta merapihkan poni gadis yang terlihat imut saat sedang merasa gugup.
"Sana masuk! Udah terlambat lho."
Seketika Meydina tersadar, dan berlari kecil meninggalkan Rendy. Ia menoleh kebelakang, melambaikan tangannya pada Rendy yang akan meninggalkannya sambil melangkah mundur.
Saat dilihatnya Rendy sudah berlalu, ia pun berbalik dan bersiap dengan tenaga full untuk berlari. Tiba-tiba...
Bugggh. Aahhh...
Tubuhnya terhuyung tak beraturan dan akhirnya terjatuh dengan posisi lututnya tersungkur.
Belum sempat dia berucap, laki-laki itu sudah berlalu meninggalkannya yang sedang meringis kesakitan. Tak ada yang membantunya berdiri, karena memang keadaan sekitar sudah sepi.
***
Di suatu ruangan...
Dengan perasaan kesal, dihempaskan tubuhnya pada kursi yang ada didekatnya. Hari ini mood nya sangat buruk. Dilemparnya berkas-berkas yang sudah tersusun rapi itu ke lantai hingga berserakan.
"Aarrgh. Sial!" umpatnya dengan penuh rasa kesal.
---------------
Kira-kira pekerjaan baru apa yang di dapat Meydina? Dan siapakah pria yang sedang marah itu?
😊
Hai, readers,, perkenalkan ini karya pertama author. Semoga kalian suka yaa...
Happy reading!!
Happy reading..
"Aarrrgh. Sial," umpatnya dengan penuh rasa kesal.
***
Maliek Putra Bramasta, di usianya yang baru 28 tahun, ia sudah terkenal sebagai CEO muda yang berbakat dan pintar dalam strategi bisnisnya.
Perawakannya yang tinggi tegap, wajah yang rupawan dengan hidung mancungnya mampu menutupi sikap dingin, angkuh, dan ambisiusnya.
Terbukti, dimanapun dia berada selalu jadi pusat perhatian kaum hawa, tak terkecuali para karyawan wanita yang ada di perusahaannya.
Tok.. Tok.. Tok...
Seseorang mengetuk pintu ruangannya.
"Maaf, Tuan. Anda di tunggu di ruang rapat."
Seorang pria masuk, lalu ia tertegun melihat ruangan dengan kertas-kertas yang berserakan di lantai.
"Kenapa, Liek? loe lagi ada masalah?" tanya pria itu.
"Kesel gue," jawab Maliek.
"Rik, hari ini schedule gue padet nggak?"
"Nggak juga sih. Sekarang rapat, terus nanti sore ada meeting sama client. Itu aja." Dengan ekspresi datarnya Riky menjawab. Sambil memunguti satu persatu kertas di lantai, sesekali ia melirik tuannya.
Riky adalah asisten kepercayaan Maliek. Pribadinya yang cekatan, jujur, cepat tanggap, serta loyal menjadikannya nilai tambah dimata seorang Maliek. Selain itu, Riky juga teman sekampusnya ketika di London. Sehingga tak jarang ia mempercayakan tugas-tugasnya bila keadaan memungkinkan.
***
Seorang gadis berlari tertatih-tatih sambil menahan sakit di lututnya yang sedikit lecet, menghampiri satpam yang baru keluar dari dalam gedung. Ya, dia adalah Meydina, yang tadi terjatuh karena menubruk seseorang.
"Maaf, Pak. Toilet di sebelah mana,ya?" tanya Meydina.
"Mbak nya kerja disini?" Satpam itupun malah balik bertanya. Ada keraguan dari raut wajahnya yang datar.
"I,, iya, Pak. Saya terlambat, karena tadi ada sedikit hambatan," Meydina mencoba meyakinkan.
"Saya baru masuk hari ini," ujarnya lagi.
"Oh, ya sudah. Mbak jalan dari sini, lurus, lalu belok kanan, lurus lagi, belok kiri, lurus lagi, ada belokan, naah disitu. Yang paling ujung toilet nya." Satpam itu menunjukan arah layaknya seorang komando paskibra.
"Terima kasih, Pak." Meydina pun berlalu.
"Sama-sama."
"Baru masuk udah berani terlambat, dia belum tahu atasan disini lebih galak dari singa, lebih dingin dari mayat,he..he.." gumamnya sambil terkekeh tak bersuara.
Di dalam toilet...
Meydina masih belum keluar setelah sekian menit lamanya. Bingung, takut, sedih, semua bercampur baur dalam hati dan pikirannya.
Bagaimana tidak, kemeja putih yang dipakainya hari ini sudah tak putih lagi. Tumpahan kopi laki-laki yang di tubruknya tadi sukses membuat penampilannya yang pas-pasan itu jadi berantakan.
"Huufth,, gimana ini?" ucapnya lirih. Sudah tak di rasa lututnya yang lecet. Ia pun keluar dari bilik toilet, menuju wastafel. Berdiri mematung menatap pantulan wajahnya di cermin.
"Hai, Kamu kenapa?" suara seseorang membuyarkan lamunannya.
"Oh, ini... Tadi aku jatuh dan ketumpahan kopi, untung nggak terlalu panas," dengan ekspresi gugup Meydina menjawab.
"Kamu, baru yaa? Kenalin, aku Dila dari bagian Resepsionis. Tadi aku lihat kamu berlari ke arah sini, makanya aku susul" celotehnya.
"Eh, jangan-jangan kamu yang lagi dicariin sama bu Indah." Tambahnya lagi.
"Siapa Bu Indah?" tanya Mey penasaran.
"Menejer HRD," kali ini di jawab singkat oleh Dila, membuat seakan jantung Mey berhenti sesaat.
"Buruan sana keruangan HRD! di lantai atas," Sambil menunjukkan telunjuknya Dila memberi tahu.
"Tapi bajuku,,," Meydina mulai kebingungan.
Seolah berpikir sangat keras, Dila mengernyitkan dahinya sambil menatap Meydina yang tentu saja di jawab dengan tatapan yang lebih membingungkan olehnya.
Tak lama kemudian...
"Ahha!" tiba-tiba Dila berucap seakan ada sebuah bohlam menyala menerangi kepalanya.
"Bentar, ya. Tunggu disini!" Dila pun berlalu.
Masih dengan tatapan membingungkan, Mey memilih untuk tak bergeming dari posisinya.
***
Di ruangan HRD, Indah yang sedari tadi menatap dengan kedua tangan melipat di dada, merasa tak habis fikir dengan tingkah karyawan baru ini.
"Meydina Brata Adisurya," ucapnya lantang. Membuat Mey yang tertunduk semakin tertunduk karena menyadari kesalahannya dan tak kuasa membayangkan konsekuensi dari kesalahannya itu.
"Hari pertama kamu kerja, kamu telat hampir satu jam. Kamu pikir, kamu siapa bisa seenaknya, haah!" bentakan Indah benar-benar mengagetkannya.
"Lalu, apa ini?" tanganya menarik lengan baju yang dikenakan Meydina. Lebih tepatnya baju hangat alias sweather.
Yaa, sweather pinjaman Dila untuk menutupi noda tumpahan kopi di kemejanya.
"Ah, dasar si Dila." Batinnya.
***
Dengan langkah gontai, ia berjalan menyusuri tempat kerja barunya, menuju bagian resepsionis.
Tatapan aneh para karyawan lain yang berpapasan dengannya membuat hatinya semakin menciut.
Apa kira-kira yang dipikirkan mereka, melihat seseorang dengan sweather yang dikenakannya berada di gedung perkantoran dengan cuaca di luar yang terik seperti saat ini???
Mungkin,, 'nglindur', 'rada-rada',,, atau apalah ia tak tahu. Ia hanya mampu memaksakan senyum pada orang-orang yang menatapnya.
Setelah berbagai omelan dari menejernya memerahkan telinga, serta berbagai alasannya yang dibuat sebegitu meyakinkan, hingga mengerahkan kekuatannya untuk mengumpulkan air mata agar terjatuh,, memang tak mengecewakan hasilnya.
Sang menejer akhirnya memberinya kesempatan untuk melanjutkan bekerja di perusahaan ini, setidaknya sampai masa magangnya selesai.
Meydina merasa senang bisa bekerja bersama Dila. Setidaknya, kesan pertamanya pada Dila sangat baik. Tidak hanya mereka berdua, ada Amir yang bersama mereka di bagian resepsionis.
**"CEO kita galak banget lho!"
"Tapi gantengnya juga pake banget."
"Semoga aja hari ini kamu nggak ketemu Dia, kalo enggak?"
"Hii, lihat baju kamu yang model gitu, pasti deh..." Amir sengaja menggantung kalimatnya, membuat Meydina penasaran.**
Celotehan teman-temannya di kantin tadi seakan melayang-layang dalam pikirannya. Mungkin untuk itu sebabnya Amir ngegantung kalimatnya, membuat seorang Meydina harap-harap cemas. Berharap tidak bertemu CEOnya, cemas bila sampai bertemu dengan CEO yang katanya, galak.
"Kamu. Ikut ke ruangan saya!" telunjuk pria itu mengarah tepat diantara dua mata Meydina.
Bagai di sambar petir di siang bolong, mendapati tatapan dingin dengan sorot mata tajam seakan siap untuk menerkam.
Dengan terburu-buru, Mey mengekor pada kedua pria tadi sambil sesekali menengok ke belakang melihat kedua temannya yang menatap penuh cemas akan dirinya.
***
Tingg.
Pintu lift terbuka. Mereka masuk ke ruangan yang diatas pintunya bertuliskan "RUANGAN CEO".
Bagai mangsa yang sudah menyerah sebelum bertarung, Mey kali ini benar-benar pasrah bila karirnya berakhir dihari pertama, alias dipecat.
Tatapan kedua pria itu sama sekali tak berubah, masih tetap dengan mode ON untuk menerkam. Tak terlihat belas kasihan sedikitpun padanya yang seorang wanita.
"Nama!" salah satu dari pria itu bertanya dengan tegasnya.
"Meydina Brata Adisurya," jawab Mey dengan lantang. Ia sudah bertekad untuk tidak perduli dengan kelanjutan pekerjaannya.
"Kamu pikir,," ucapan pria yang berdiri di sudut meja itu terhenti saat pria satunya lagi yang duduk di hadapannya mengangkat sebelah tangan pertanda perintah untuk berhenti.
Sepertinya, pria yang sedang duduk itu CEOnya. Nggak mungkin kan ada yang berani duduk di kursi itu kalau bukan seorang CEO.
Tatapannya semakin tajam pada gadis yang tertunduk sambil kedua tangan di eratkan itu. Sambil mengernyitkan dahinya, ia seperti mencoba untuk mengingat.
"Brata Adisurya??"
"A disurya.." Ucapnya berulang-ulang.
"Sepertinya nama itu tidak asing.." Batinnya.
"Siapa kamu?"...
---------------
Nah lhoo... Ada apa dengan nama belakang Meydina?
Apakah ia akan kehilangan pekerjaannya?
Di tunggu update episode selanjutnya, ya.
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, readers. Like dan komen nya👍
Happy reading....
"Bu, Mey pulang!"
Dengan membawa segalas air, Anita menghampiri putrinya yang tampak kelelahan di hari pertamanya bekerja. Meydina yang mengetahui ibunya sudah berada di sampingnya segera bangun dari posisinya yang sedang tiduran di sofa.
"Minum dulu!"
"Terima kasih, Bu. Nggak usah repot-repot, Mey kan bisa ambil sendiri."
Setelah menaruh gelas kosong di meja, Mey bergelayut manja di lengan ibunya.
"Bagaimana?"
"Pegal," ucap Meydina lirih.
"Yang sabaar, nanti juga terbiasa."
Sambil tersenyum tipis, di usapnya pucuk kepala putri kesayangannya itu.
"Hmm," dengan manisnya Meydina mencoba tersenyum, dan mengangguk pelan.
"Mey ke kamar dulu ya, Bu."
"Iya. Ibu akan siapkan makan malam dengan menu kesukaan kamu."
"Okkey!" dengan senyum mengembang di acungkan jempolnya.
Anita menatap punggung putrinya yang sedang menuju ke kamarnya dengan raut wajah kesedihan. Dirinya tahu betul keinginan putrinya itu untuk melanjutkan pendidikan walau Meydina tidak menperlihatkan apalagi mengatakan pada ibunya.
Hatinya terasa sakit saat melihat putrinya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka dan tidak menikmati masa muda seperti teman-temannya. Tanpa sadar tangannya yang terkepal dihentakkan pada lututnya berulang-ulang.
Seandainya sebelah kakinya tidak di amputasi, maka dirinya yang akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Walau akan terasa melelahkan setidaknya hal itu lebih baik dari pada rasa sakit dihatinya saat ini.
Karena sebuah kecelakaan, tidak hanya kehilangan suami, Anita harus merelakan sebelah kakinya di amputasi walau tidak seluruhnya. Untuk kegiatannya sehari-hari, ia biasa menggunakan tongkat penyangga atau kursi roda seperti yang sedang dilakukannya saat ini.
***
Flashback on
"Siapa kamu?"
"Saya Meydina, Pak," jawabnya tegas.
"Tapi.. Aah, sudahlah. Nanti saja kusuruh Riky mencari tahu tentang nama itu." Batin Maliek.
"Kenapa cara berpakaian kamu seperti itu? Ini kantor. Disini kamu kerja. Jangan bilang kamu tidak tahu standart berpakaian seorang karyawan."
Dengan sengaja Maliek memberi penekanan pada beberapa kata untuk menegaskan maksudnya.
"Saya tahu, Pak."
"Kalau tahu, kenapa baju itu masih di pakai?" Maliek sudah mulai terlihat emosi.
"Saya juga nggak mau pake baju begini, Pak. Gerah." Tanpa di duga, kini giliran Meydina yang terlihat emosi.
"Eh, ini Anak di tegur malah balik nyolot."
"Teruus, kenapa kamu pake sweather ini?" Sebisa mungkin Maliek menahan emosinya. Rasanya tak tega bila harus memarahi gadis di hadapannya ini.
"Ini semua gara-gara tadi saya menubruk seseorang di depan kantor, Pak. Dia menumpahkan kopi ke baju saya. Kan nggak mungkin kalau saya pulang dulu. Untung ada teman yang ngasih pinjam ini," celoteh Mey mencoba mencari pembelaan.
Dirinya tidak berani mengungkapkan kebenaran bahwa semua ini berawal dari dia yang terlambat masuk di hari pertamanya bekerja.
"Menumpahkan kopi?? Ooh jadi anak ini yang tadi nubruk gue. Untung tangan gue refleks, ya walau kesiram dikit."
Sambil mengusap punggung tangan yang tadi sempat tersiram, Maliek memperlihatkan senyum devilnya.
"Kamu lihat orangnya?" ia mulai penasaran.
"Tidak," sahut Meydina.
Tanpa disadari siapapun, Maliek menghela nafas lega.
Belum sempat ia berucap,
"Tapi pasti dia itu orang yang sangat menyebalkan. Bermata tapi tak melihat, bertelinga tapi tak mendengar, dan berhati tapi tak merasa, bahkan minta maafpun enggak."
Didengarnya gadis itu sudah berceloteh. Seketika ia mengernyitkan dahinya.
"Kamu lagi baca puisi, haah?"
"Saya lagi nyanyi, Pak."
Menyadari dirinya sudah sangat lancang, Meydina buru-buru menepuk-nepuk bibir dengan jarinya.
Melihat itu Maliek hanya bisa menahan senyum di wajahnya.
"Kenapa juga dia harus minta maaf, kan kamu yang nubruk dia."
Rupanya percakapan ini belum berakhir.
"Bukan. Dia yang nubruk saya," Mey pun tidak kalah keukeuhnya.
"Kamu."
"Dia, Paak."
"Kamu. Ngaku aja kenapa siih?"
"Tapi, Pak.." Mey mulai merasa bingung kenapa dia harus mengaku pada atasannya ini.
"Apa? Memangnya saya bapak kamu," pungkasnya.
Kali ini, mau tidak mau Mey mengunci rapat bibirnya.
Entah mereka sadari atau tidak, masih ada Riky di ruangan itu. Asisten yang sedari tadi hanya sebagai penonton, menggaruk-garuk belakang kepalanya.
Kemana imej Maliek yang selama ini 'dingin', 'pelit kata', atau imej-imej lainnya seakan hilang tersapu angin hanya karena mendebatkan hal yang menurut dirinya sangat sepele.
Flashback off
Di apartemen Maliek
Drrtt... Drrttt... Drrttt...
📱 "Ya, Ma...."
Rupanya sang mama yang menelepon.
📱 "Jangan lupa sama acara kita Sabtu malam ini, ya Nak!"
📱 "Iya, Ma. Maliek ingat. Lagian juga masih beberapa hari lagi."
📱 "Ya udah, nanti mama ingetin lagi aja."
Tut.. Tuuut.. Tanpa basa-basi, Resty, mamanya menutup sambungan telepon mereka.
Bukan tanpa alasan, sang mama bersikap begitu. Maliek tahu betul, orang tuanya terutama mamanya sudah merasa sangat kesal padanya karena selalu menolak bila akan dikenalkan dengan anak gadis teman-temannya. Dan untuk kali ini, sang mama pun memaksa.
Dicari nama kontak Riky pada ponselnya. Tak lama kemudian...
📱 " Ya, Liek."
📱 "Gimana, Rik. Udah loe cari tahu nama Adisurya itu nama siapa? gue ngerasa pernah dengar nama itu."
Yang ditanya seakan enggan menjawab.
📱 "Maliek Putra Bramasta, loe tu pikun atau amnesia siih? Ya jelas loe pernah denger nama itu, itu kan nama belakang mama loe sendiri,, Ny. Resty Nata Adisurya," ucap Riky dengan nada kesal.
📱 "Oh, GOD. Kok gue bisa lupa nama mama gue sendiri ya?"
"Dasar anak durhaka." Batin Riky.
***
Keesokan harinya..
Seakan tidak ingin mengulang kejadian kemarin, hari ini Meydina sudah bersiap akan berangkat bekerja.
Dia sedang menaskan motor maticnya yang kemarin baru diambil di bengkel sepulang kerja. Beberapa hari yang lalu, motornya mogok. Kata abang bengkelnya siih, turun mesin. Yaa mungkin karena kurangnya perawatan atau apalah dia tidak tahu. Yang pasti, hari ini dia merasa lega karena kemarin dia tidak kehilangan pekerjaannya.
*
Dari kejauhan terlihat dua orang pria sedang berjalan menuju loby kantor. Bila dilihat dari cara setiap orang yang berpapasan dengan mereka, sudah di pastikan kedua orang itu sang CEO dan asistennya.
Meydina dan teman-temannya sudah berdiri untuk memberi salam dan hormat kepada atasannya. Seperti biasa, hanya di balas anggukan kecil tanpa ekspresi.
Senyum tipis tersungging di bibir Maliek ketika ujung matanya menangkap sosok gadis yang kemarin mendebatnya. Dia sudah tidak sabar ingin mendengar dari Riky tentang kesamaan nama belakang gadis itu dengan mamanya.
Jangan lupa like, komen, dan juga VOTEnya ya readers. Terima kasih😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!