Gina berlari cepat menuju gerbang sebelum pak satpam mengunci karena bel telah berbunyi. Gina berhenti sejenak tepat di depan gerbang saat dia mendengar teriakan kecil dari sebelah sekolahan barunya. Karena penasaran Gina mengecek kearah samping sekolah. Dia masuk di gang kecil, meskipun dengan rasa was-was dia tetap melangkahkan kakinya.
"Astaghfirullah, hentikan!" teriak Gina ketika dia melihat seorang siswa dengan brutal menghajar siswa lainnya.
cowok itu menghentikan pukulannya, dengan satu tangan yang masih mencengkeram kerah baju dia melirik kearah Gina. Lirikan matanya tajam, sorotan matanya sangat dingin, seperti ada dendam yang sangat dalam terhadap orang yang di pukulinya.
"Brisik, pergi sono!" kata dengan nada kasar. Dia kemudian kembali menghajar orang ada di cengkramamnya.
Gina panik, orang itu tak menghiraukan omongnnya, dia kemudian berlari meminta bantuan ke dalam sekolahan.
"Kak... kak tolong dong. Ada orang yang sedang di pukuli." teriak Gina dari luar gerbang ketika melihat salah satu siswa lewat di area parkir.
"Di mana?" katanya sambil berlari mendekati gerbang.
"Disebelah." Gina pun berlari menuju samping sekolah mencoba untuk menghentikannya sambil menunggu bantuan.
"Hentikan!" Gina berlari sambil teriak. Cowok itu tak bergeming.
"Tolong hentikan, nanti dia bisa mati!" Gina menarik baju cowok itu.
Cowok itu kesal, dia melepaskan korbannya kemudian mendorong Gina hingga terjatuh di tanah.
"Lo itu siapa, repot banget sama urusan gue," bentak cowok itu.
"Gu-e hanya takut dia mati." kata Gina terbata-bata, dia ketakutan.
"Memang kalau dia mati lo rugi, nggak kan, atau jangan-jangan dia pacar lo," cowok itu tertawa sinis. Dia memegang dagu Gina dengan kasar.
"Benar dia pacar lo," Bentaknya lagi.
Gina menggeleng, "Dia bukan siapa-siapa gue, tapi-,"
"Tapi apa? lo mau jadi pahlawan," cowok itu melepaskan dagu Gina dengan kasar. Dia menarik Gina sampai berdiri, lalu mendorong hingga tubuhnya membentur dinding.
"Lo jangan macam-macam kalau nggak mau urusan sama gue, atau lo akan mati," ancamnya.
"Hidup dan mati itu urusan Allah, bukan urusan lo," kata Gina pelan namun mampu membuat cowok itu naik pitam.
"Berani ya ngelawan gue," Hanan melayangkan tangannya ke udara dan siap menghempaskan ke pipi mukus Gina.
"Hanan, hentikan," teriak Arzen sang ketua Osis datang memberikan bantuan setelah ada yang melapor padanya.
"Ash sial, manusia itu," gumam Hanan kesal sambil menurunkan tangannya sia-sia.
"Lo lagi,lo lagi. Apa sih mau lo?" kata Arsen kesal, karena setiap hari ada saja ulah yang di lakukan Hanan.
"Lagi-lagi lo, apasih mau lo," Hanan membalikan perkataan Arzen.
"Kalian bawa Edo ke Uks," Arzen memberikan perintah kepada temannya.
"Eh, lo mau kemana?" Arzen menarik tangan Hanan ketika hendak pergi.
"Kepo banget sih lo."
"Dasar bajingan tengik, masuk ke ruang osis!" kini giliran Arzen yang naik pitam.
"Kamu juga." Arzen menunjuk Gina.
...♤♤♤♤♤...
"Hanan....Hanan nggak ada kapok-kapoknya ya kamu. Kamu mau jadi pegulat atau apa? Ibu sampai nggak ngerti lagi harus bagaimana sama kamu."
Bu Indri guru Bk SMA Putra Bangsa yang galaknya selangit saja sampai bingung mau berbuat apa lagi untuk membuat Hanan jera.
"Makanya ibu belajar dulu mengerti saya, nanti juga paham," celetuk Hanan sambil cengengesan.
"Lo yang sopan bisa nggak," Arzen ingin sekali memukul wajah Hanan yang tengil dan ngeselin.
"Santuy bisa nggak lo, nggak usah pakai tunjuk-tunjuk itu tangan lo," Hanan berdiri, seakan dia menerima tantangan Arzen.
"Diam, kalian bertiga saya hukum," kata Bu Indri.
"Saya juga? kan saya nggak melakukan apa-apa? protes Gina.
"Kamu masuk kelas, ngomong-ngomong saya belum pernah lihat kamu?"
"Saya anak baru buk, baru pindah dua hari ini."
"Ya sudah sana kembali ke kelas, untuk kalian berdua bersiap di lapangan," perintah Bu Indri.
Gina berjalan menuju kelasnya, kejadian pagi ini membuat Gina sedikit shock, dia tak menyangka ada anak sebandel itu. Sampai-sampai guru BP tak membuatnya takut.
"Hai, kok baru datang?" tanya Feni teman sebangku Gina.
"Iya, habis ada urusan di ruang osis."
"Ada apa? Apa kamu mendaftarkan diri masuk anggota osis?" tanya Rahma yang ada di depan Gina.
"Nggak, cuman diminta keterangan, gara-gara gue lapor ada orang berkelahi."
"Ah, si Hanan pasti tu mah," Kata Rahma, tak ada lagi orang yang selalu bikin onar kecuali Hanan.
"Yah bener dia, Hanan."
"Kita mah gak kaget lagi, Hanan itu emang biang onar."
"Apa sesering itu?"
"Yah, sehari bisa lebih dari tiga kali dia berulah. saking rajinnya melebihi orang minum obat," kata Feni.
"Lo jangan macem-macem sama itu anak, nanti lo bisa jadi sasaran bullyan dia. Meskipun ganteng gitu dia kadang suka kejam," jelas Rahma.
"Ooh, serem ya." Gina bergidik mendengar cerita dari Rahma dan Feni.
Pintu di buka dengan kasar sehingga seluruh siswa melihat ke pintu. Mata Gina membulat, cowok berambut lurus dengan model cepak rapi, baju yang di keluarkan, dan wajah sedikit memar di bagian pipi kanan itu masuk ke dalam kelasnya.
"Apa dia murid kelas ini?" tanya Gina sambil memalingkan pandangannya ke arah Feni.
"Yup, makanya gue bilang hati-hati,"
Hanan berjalan masuk, dia melihat kursi pojok yang kosong. Tepat di belakang Gina, dia membanting tas yang di bawanya, lalu menaruh kepalanya di atas meja.
"Kerjaan molor mulu, lo Nan." kata Selo teman sebangkunya.
"Brisik!" Hanan membalikan badannya.
"Sekali-kali lihat dunia, yang indah-indah seperti cewek baru di depan kita yang cantik kayak bidadari," ujar Selo.
"Bidadari kesleo maksut lo," ceplos Hanan dengan kepala yang masih telungkap.
"Itu mah giginya yang ada kangkunya. Ini beda benar-benar bidadari yang turun dari surga.. eaaaaa..." Selo nyanyi.
"Diem, napas aja fals pakai nyanyi segala," ujar Hanan.
"Ih bodo, mulut-mulut gue," Selo ngomel ketika di komentari suaranya yang jelek oleh Hanan.
Bel tanda pulang sekolah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar kelas. Gina beranjak dari kursinya, dia sekilas menatap Hanan yang tak bergeming. Dia masih terlelap dalam tidurnya.
"Gin, ayo." Rahma menarik tangan Gina.
"Gin, lo kenapa nglihatin Hanan sampai segitunya," tanya Rahma.
"Ah, jangan-jangan lo udah mulai naksir sama dia," goda feni.
"Jangan ngaco, cuma heran aja sama dia bel gini dia kok nggak bergegas pulang seperti yang lain," Gina masih heran dengan Hanan.
"Yah, bagi Hanan sekolah adalah rumah ke dua. Jadi dia datang ke sekolah itu kalau nggak tidur ya bikin onar," jelas Feni.
"Kasian ya orang tuanya, udah biayai sekolah mahal-mahal anaknya malah malas-malasan," kata Rahma.
"Tapi gue dengar-dengar sih dia hidup sendiri."
"Maksud lo, dia tinggal sendirin gitu?" Gina menghentikan langkahnya.
"Hanan itu sekarang kos, dan kita semua udah hampir satu tahun kenal sama dia, namun nggak ada yang tahu rumahnya, orang tuanya. Dan asal lo tahu Gin, setiap dia melakukan kesalahan pasti yang datang orang tuanya beda-beda," Feni menjelaska dengan detail tentang kehidupan Hanan.
"Hooh, entah nyewa dimana itu orang."
"Em gitu. Ya udah gue balik dulu ya." Gina pamit pulang.
"Gak bareng aja," Feni menawari Gina.
"Rumah kita kan beda arah."
"Haha iya lupa. Gin ntar gue main ke rumah lo ya."
"Boleh, tapi ba'da Ashar ya."
"Siap. Ma mau ikut nggak?" tanya Feni.
"Nggak deh kayaknya. Gue ada acara."
"Ok. Nanti gue jalan sendiri. Sampai ketemu nanti Gina."
"Assalamualaikum, hati-hati ya." Gina memberi salam sambil melambaikan tanganya.
Hari ini Gina sengaja jalan kaki menuju rumah, dia mau mendatangi rumah Bi Surti pembantunya. Sudah tiga hari pembantunya tidak datang ke rumah karena sakit.
Gina memasuki perumahan kumuh, jalan becek dan sangat tidak terurus. Banyak sampah berserakan di setiap sudut kampung.
"Assalamualaikum," Gina mengetuk pintu kayu yang sudah usang.
"Waalaikumsalam." Jawab Bi Surti dengan batuk-batuk.
"Non, ada apa kok datang ke rumah Bibi?" tanya Bik Surti saat melihat orang yang ada di depannya lalu dengan cepat anak majikannya itu di suruh masuk.
"Ini bik, aku bawain obat buat Bik Surti." Gina memberikan kantong plastik ukuran kecil berisikan obat dari apotik yang tadi sempat dia beli sebelum ke rumah Bik Surti.
"Ya Allah, Non Gina baik banget. Maaf merepotkan," Bik Surti menangis, dan langsung memeluk Gina.
"Nggak repot kok, Bik Surti tinggal sendiri?" tanya Gina, bola matanya berputar mengitari seisi rumah Bik Surti yang sudah reot dan tak layak di huni.
"Iya Non, anak bibi pergi semua entah ke mana. Mereka tak pernah pulang setelah suami bibi meninggal," Bi Surti menangis pilu mengingat semua anak-anaknya yang sudah di besarkan susah payah meninggalkannya begitu saja.
"Bibi sabar ya," Gina mengelus punggung Bik Surti. Dia tidak tega melihat seorang ibu disia-siakan oleh anaknya.
♤♤♤♤♤
Waktu menjelang sore, Gina pamit untuk pulang. Dia sudah memiliki janji dengan Feni jadi dia tak bisa lebih lama bersama Bik Surti.
Gina sedikit mempercepat langkahnya, karena jalanan keluar kampung Bi Surti sangat sepi.
Seseorang menabra tubuhnya. Gina sedikit oleng hingga dia hampir jatuh. Untungnya orang itu langsung menarik tangan Gina yang beberapa centi lagi tubuhnya menyentuh tanah becek.
"Sorry."
"Iya, lain kali ha-, Hanan lo ngapain disini?" tanya Gina.
"Lo kenal gue?" Hanan mengernyitkan keningnya.
"Nggak, cuma tahu aja." kata Gina cepat.
Dia bersyukur jika Hanan tak mengenalinya, jadi tak ada hal yang akan di perdebatkan nanti saat bertemu di sekolah.
"Gue permisi dulu." Gina pamit berjalan meninggalkan Hanan.
"Woi. Berhenti lo," teriak seseorang sambil menunjuk ke arah Hanan.
"Assh, masih aja ngejar gue," Hanan menarik tangan Gina dan mengjaknya berlari.
"Eh, ada apa ini?" tanya Gina sambil berlari.
"Hanan,berhenti lo," teriak orang yang mengejar Hanan dan Gina.
"Hanan, lepaskan" teriak Gina.
"Nanti, kalau udah aman. Lo nggak usah berisik, perhatikan saja langkah lo agar tak jatuh," kata Hanan dengan napas yang tersengal-sengal.
Gina menurut perkataan Hanan, dia memperhatikan setiap jengkal jalan yang dia pijak agar tidak terpeleset karena jalanan becek dan licin.
"Sial, jalan buntu," gerutu Hanan ketika jalan yang akan dilaluinya buntu.
"Sebenarnya apa yang terjadi,"tanya Gina, sambil mengatur napasnya.
"Hahahha mau kemana lagi lo," terdengar suara tawa yang sangat renyah. Tawa yang menunjukan sebuah kepuasan.
"Gue nggak kemana-mana," jawah Hanan sembari melihat sekitar untuk mencari jalan.
"Jangan jadi pengecut kabur dari kita," seru seseorang berbadan kekar dan tinggi.
"Apa lo bilang, pengecut, bukanya itu sebutan yang pantas buat lo yang beraninya kroyokan," Hanan terkekeh membalikan kata-kata orang yang mengejarnya.
"Bangsat!" dua orang berbadan besar itu menyerang Hanan.
Gina didorong mundur oleh Hanan, dan dia siap menghadapi musuhnya. Gina terpaku melihat perkelahian yang tidak adil itu, antara takut, bingung melihat kejadian ini.
Gina sesekali menutup matanya saat Hanan terkena pukulan.
"Jangan beranì berurusan sama gue atau kalian akan mati seketika," ancam Hanan ketika dua orang itu tergeletak lemas.
"Ayo," Hanan menarik tangan Gina agar lebih mendekat ke tembok yang menjadi penghalang jalannya.
"kita mau ngapain ke sini."
"Nggak usah banyak tanya, sekarang lo naik ke atas."
"Bagaimana caranya? ini tembok tinggi banget."
"Injak pundak gue," Hanan jongkok.
"Nggak mau, lo gila."
"Buruan, lo mau selamat nggak. Bentar lagi teman mereka datang," tukas Hanan.
Perlahan Gina megangkat satu kaki lalu menginjak pundak Hanan. setelah Gina berdiri sempurna Hanan berdiri agar Gina lebih mudah naik ke tembok.
"Itu dia, kejar," teriak salah satu teman dari orang yang sudah di buatnya terkapar.
"Buruan," Bentak Hanan.
"Iya."
Gina sudah berhasil naik di tembok. Dia langsung memikirkan pendaratan yang safety.
Hanan, berlari memanjat tembok itu, kemudian menarik Gina yang masih bingung memikirkan pendaratannya.
"Aaaa," teriak Gina, Mereka berdua akhirnya jatuh di tanah. Dan Gina mendarat di samping Hanan dengan kepala di atas tangan Hanan.
"Lo gila ya, bagaimana kalau kita kenapa-napa," Gina kesal dengan perbuatan Hanan yang sembrono.
"Berisik toh kita selamat," kata Hanan datar sambil bangkit dari tidurnya. Dia memegangi pingangnya sambil berjalan meninggalkan Gina.
"Hai, tunggu," Gina mengikuti Hanan.
"Apa lagi," bentak Hanan kesal.
"Mereka siapa?"
"Nggak perlu lo tahu siapa mereka, jadi jangan banyak tanya," Hanan meninggalkan Gina.
"Sebenarnya apa sih maunya tu orang?" Gina geleng kepala. Dia tak habis pikir dengan sikap Hanan. Di balik itu ada rasa penasaran dalam hatinya tentang cowok yang bernama Hanan itu.
Gina, jangan mulai. lo nggak boleh kepo sama cowok kejam itu, bisiknya dalam hati.
Gina berjalan mengikuti Hanan, dengan jarak yang lumayan jauh.
Ponsel Gina bergetar beberapa kali, dia segera mengambil dari kantong roknya.
"Hallo, assalamualaikum Fen," Gina menempelkan ponselnya di telinga.
"Waalaikumsalam. lo dimana gue udah ada di depan rumah lo."
"Ok. gue udah deket rumah," Gina berlari dari depan pos satpam sampai depan rumahnya.
"Emang lo dimana?"
"Gue di sini," kata Gina dengan napas terengah-engah.
"Eh, lo baru pulang juga,ngapain nggak ngomong kan kita bisa bareng," Feni mematikan telponnya.
Gina merenges, dia mengambil kunci di tas dan segera membukannya.
"Ayo masuk, langsung aja ke kamar," ajak Gina.
"Ok. lo sendirian di rumah?" tanya Feni sambil melihat ke semua ruangan yang di lewati.
"Iya, Ayah gue lagi keluar kota. Kakak gue kuliah di london jadi gue sendirian deh,"
Semenjak Galih kakak Gina diterima di university of london, Gina tinggal sendirian saat ayahnya keluar kota. Apalagi jika Bi Surti lagi ada urusan dia benar-benar mengurus hidupnya sendiri. Meskipun hanya pesan go food atau pergi ngelondri.
"Nyokap lo?"
"Ibu gue udah nggak ada semenjak gue kelas 2 SD." raut wajah Gina berubah menjadi sedih. Ibu Gina meninggal saat terjadi kecelakaan di depan sekolahnya saat ibunya hendak menjemput Gina. Saat ibunya hendak menyeberang tiba-tiba ada mobil lewat dengan kecepatan tinggi menabraknya. Dan jahatnya langsung pergi begitu saja meskipun ibunya Gina sudah bersimbah darah.
"Sorry, gue nggak bermaksud," Feni mendekati Gina, dia mengelus pundak Gina. Dia merasa tak enak hati dengan Gina.
"Nggak papa, gimana kalau lo nginep sini aja."
"Ok. Gue telpon orang rumah dulu deh," Feni mengambil ponselnya dia mau minta ijin orang tuannya untuk menginap di rumah Gina.
"Gue mau solat dulu ya sekalian mandi." kata Gina.
Feni mengankat jarinya membentuk simbol ok.
♤♤♤♤♤
Akhirnya malam ini Gina ada yang menemani, setelah orang tua Feni mengizinkan putrinya menginap di rumah Gina. Meskipun awalnya mamanya tak mengizinkan, namun dengan jurus seribu alasanya membuat mamanya menyerah dan mengizinkan.
"Gin, gue laper," kata Feni sambil megangin perut.
"Kita masak yuk, soalnya bibi gue lagi nggak ada di rumah."
"Lo bisa masak?" tanya Feni setelah sampai di dapur.
"Nggak," Gina merenges.
"Kalau aja ada Rahma, kita enak tinggal duduk manis sambil nonton tv," kata Feni sambil nyengir.
"Buka youtobe aja, lo mau makan apa?" Gina membuka youtobe.
"Mie instan aja, yang mudah dan bikin kenyang," Feni membuka lemari mengambil dua mie instan.
"Gin, hidupin deh kompornya." Feni menyuruh Gina menghidupkan kompor.
"Ok."
"Gin, panci lo dimana?" Feni celingukan mencari letak panci Gina.
"Ah lo, minta hidupin kompor tapi panci belum ketemu," Gina kembali mematikan kompor dan mencari panci.
"Ya maklumlah, kan ini bukan rumah gue," Feni ngeles.
Beberapa jam setelah mereka berdua mengacak‐acak isi dapur, akhirnya bisa makan hasil masakan mereka.
"Kok rasanya beda sama buatan bibi gue ya," kata Gina sambil merasakan hasil karyanya.
"Iya, gak ada rasanya, hambar banget," Feni menambahkan garam agar tak terasa hambar.
"Astaufirullah, ini jadi asin banget." Gina memuntahkan mie yang baru saja mendarat di mulutnya.
"Masa," Feni mengambil sendok dan mencicipnya.
"Woooeekkk, gila asin bener kayak ngebet mau nikah aja." kata Feni sambil memuntahkan mie.
♤♤♤♤♤
Jam sudah menunjukan pukul 21.00 mereka berdua siap untuk tidur. Setelah menghabiskan makanan yang di pesannya dari go food. Mereka tadi memutuskan pesan makanan, setelah mie yang di masak mereka tak layak di makan.
"Fen, tadi gue nggak sengaja ketemu Hanan dan dia sedang di kejar-kejar orang," Gina menceritakan kejadiann sore hari ketika parjalanan menuju pulang.
"Di mana?"
"Di kampung bibi gue, belakang terminal."
"Kampung kumuh itu."
"Iya."
"Terus?" Feni semakin penasaran.
"Dia tarik tangan gue, kita lari tuh dari ujung kampung, sampai akhirnya gue di suruh lompat tembok yang tinggi banget karena buntu."
"Gila, lo nurut gitu aja."
"Gimana nggak mau nurut, orang yang ngejar gede-gede banget."
"Jangan-jangan dia terlilit hutang jadi di kejar-kejar preman. Ah, kalau nggak nih dia pasti pakai narkoba atau kalah main judi. Nggak salah lagi nih," Feni mulai mengira-ira masalah yang menimpa Hanan.
Terdengar bunyi keras saat Gina mengetok kepala Feni dengan ponselnya ketika Feni ngomong nglantur tanpa di filter.
"Gin, kenapa lo ketok gue sih." Feni mengelus kepalanya.
"Makanya jangan suudzon sama orang, dosa tahu."
"Terus kenapa dia di kejar-kejar kalau bukan melakukan hal-hal kriminal," Feni masih tak mau di salahkan atas ucapannya.
"Siapa tahu dia habis menolong seseorang."
"Ah, lo kenapa jadi belain dia sih," Feni melipat kedua tangannya di dada, dan menatap Gina dengan senyum-senyum.
"Nggak, siapa yang belain dia. Gue nggak mau lo suudzon sama ora."
"Masa sih cuma mau ngingetin, palingan lo suka sama dia," Feni semakin menggoda Gina.
"Tau ah, gue mau tidur." Gina menarik selimut dan tidur membelakangi Feni.
♤♤♤♤♤
Bi Surti geleng kepala ketika melihat dapurnya berantakan. Semalam setelah mengacau dapur Gina dan Feni meninggalkan begitu saja.
Bik Surti langsung ke atas sebelum membenahi dapur, membuka tirai kamar Gina. Dia mendekati Gina yang masih tidur pulas.
"Non, Non Gina bangun udah siang. Belum solat subuh kan?" Bik Surti menggoyang-goyangkan badan Gina pelan.
"Ee, Bik Surti. Kok udah di sini bibi udah sembuh?" tanya Gina setengah sadar.
"Alhamdulillah sudah, ayo bangun subuhnya keburu habis," Bik Surti menarik tangan Gina hingga dia duduk.
Gina bangkit dari kasurnya sambil mengucek kedua matanya. Dia berjalan ke kamar mandi untuk memgambil wudhu.
"Kalian tadi malam habis pesta?" ujar Bik Surti.
"Nggak, memang kenapa bik? tanya Feni. Dia heram dengan pertanyaan yang di ajukan pembantu Gina.
"Lalu kenapa dapurnya hancur gitu," Bik Surti menyiapkan nasi goreng di piring Gina lalu Feni.
"Oh, itu tadi malam Gina sama Feni masak bik, lupa belum di beresin" Gina tersenyum malu sambil menggaruk kepalanya meskipun tidak gatal.
"Gin, mampus kita," teriak Feni buat Gina dam bik Surti kaget.
"Kenapa?"
"Ini hari rabu kan?"
"Iya, kenapa emang??
"Kita kan masuk pukul 06.30 mau ada seleksi cheerleader."
"Ah benar. Bik berangkat dulu. Assalammualaikum," pamit Gina.
Mereka berdua tak jadi sarapan.
Gina dan Feni memilih naik ojek di depan pos satpam depan agar segera sampai dan nggak telat masuk kelas.
setengah jam berlalu mereka berdua sampai di depan pintu gerbang. Mereka langsung bergegas menuju lapangan yang sudah di penuhi anggota yang ikut seleksi cheerleader.
"Berhenti," teriak pelatih. Gina dan Feni seketika menghentikan langkahnya.
"Baru juga mau seleksi kalian sudah terlambat, gimana nanti-nanti," teriak Rike Ketua cheerleader SMA Putra Bangsa.
"Maaf kak, kami nggak akan mengulangi lagi," kata Feni sambil menundukan kepala.
"Kalian berdua di diskualifikasi."
"Loh, kak kita kan udah minta maaf." Feni mulai tersulut emosi.
"Minta maaf itu nggak cukup, biasanya orang yang nggak disiplin itu bikin semua jadi kacau," Kata Rike sambil berkacak pinggang.
"Kak, beri kesempatan buat Feni, dia sudah berusaha untuk tepat waktu. Belum juga ada lima menit kak telatnya."
"Satu detik pun berharga, jadi jangan bilang belum ada lima menit," kata Rike ketus.
"Pagi girl, Rik," sapa Vanda cewek populer di SMA Putra Bangsa. Dia datang tanpa dosa setelah terlambat selama lima belas meni. Dan Rike pun tak mempermasakahkannya.
"Kak, kalau memang satu detik itu berarti bagaimana dengan dia, yang udah datang telat lebih dari sepuluh menit. Dan kakak nggak mempermasalahkan," Feni kesal melihat diriny di perlakukan tidak adil.
"Itu karena dia sudah menjadi anggota."
"Apa setelah jadi anggota kita bebas berangkat kapan saja, lalu buat apa latihan kedisiplinan pagi ini," kata Gina.
"Maksud lo apa?"
"Yang namanya ketua itu harus adil, jangan memandang teman atau lawan jadi berbuat tidak adil."
"Lo nyindir gue?" Vanda berjalan mendekati Rike, Gina dan Feni.
"Ya maaf kalau kesindir, orang Gina sama gue ngomong kenyataan."
"Sial," umpat Vanda.
Dia berjalan mendekati Rike dan berbisik di telingannya. Dia merencanakan sesuatu dengan merekrut Feni dan Gina.
"Ok. kalian gue terima. Tapi sebagai hukuman awal karena kalian terlambat, putarì lapangan ini 10 kali," perintah Rike.
"Ok."
"Kok lo nggak siap disana?" tanya Vanda.
"Gue nggak ikut kak."
"Gue nggak mau tahu ikut atau nggak lo harus di hukum juga. Buruan," teriak Vanda.
Mau nggak mau Gina akhirnya menyusul Feni yang sudah berlari di depannya. Gina ikuti saja keinginan kakak kelasnya itu dari pada ribut. Gina paling malas jika harus ribut-ribut.
"Gin, lo kenapa ikut lari," Feni mengernyitkan Kening.
"Gue disuruh, dari pada gue tolak lo nggak di rekrut," kata Gina dengan napas yang sudah terengah-engah meskipun belum ada satu putaran.
Pagi ini lumayan panas, matahari menampakkan diri dengan sempurna. Angin pun sedang tidak bekerja sama pagi ini hingga udara sangat panas. Gina sudah mulai kelelahan, dia merasa pusing akibat pagi tidak sarapan.
Gina menggeleng-Gelengkan kepalanya saat pandangannya mulai kabur. Langkah kakinya mulai melambat. Hingga akhirnya dia jatuh pingsan.
"Gina," Feni berlari mendekati Gina. Dia menggoyang-goyangkan tubuh Gina namun tak ada Respon.
"Tolong,tolong..." teriak Feni.
Semua anggota team cheerleaders dan basket datang mengerumuni Gina yang pingsan.
"Hai, jangan cuman di lihat bantuin gue donk," teriak Feni kesal.
"Ya nggak usah sewot, biasa aja kenapa?" Vanda ketus.
"Bisa nggak lo nggak ajak ribut dalam kondisi kek gini," Feni kesal, ingin rasanya dia menjambak rambut lurus Vanda yang baru saja di rebonding.
Karena tak kunjung ada yang mengangkat Gina, dengan malas Hanan menggendong Gina. Tanpa kata dan tanya dia langsung di bawa ke UKS. Sepanjang lorong sekolah Hanan memperhatikan wajah Gina yang teduh, dia merasa pernah melihat Gina tapi lupa dimana.
Ah, bego jelas lah gue tahu ini kan anak baru yang rese itu, gumamnya dalam hati.
Hanan mendorong pintu UKS dengan kakinya, kemudian dia merebahkan Gina.
"Woi,siapa nih yang tugas," teriak Hanan ketika ruang UKS kosong.
"Gu-e," kata seorang cewek yang baru saja masuk dengan nada gugup.
"Kalau jaga jangan ditinggal-tinggal, kalau ada yang darurat gimana?"
"Maaf."
"Buruan beliin teh hangat," suruh Hanan.
"Iya," kata petugas itu sambil lari ketakutan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!