Seorang gadis berusia 27 tahun sedang berdiri di depan troli meja emergency. Gadis itu bernama Rara, seorang dokter umum yang berjaga di ruangan ICU.
Gadis itu menatap monitor layar yang menunjukan garis tidak beraturan seperti sandi rumput. Matanya tidak lepas dari sana, terkadang sesekali dia melihat ke arah pasien yang sedang terbaring di atas ranjang tempat tidur.
" Kasih tau keluarganya tentang perburukan pasien. Nanti saya bicara lagi sama anak pasien", Rara berkata kepada seorang perawat di dekatnya.
" Baik dokter", jawab perawat itu.
Rara melepaskan sarung tangan sekali pakai dari tangannya dan langsung menuju wastafel untuk mencuci tangan.
" Sudah banyak komplikasi dan usianya 80 tahun, coba jelaskan untuk DNR saja. Mungkin keluarga bisa diskusi dan setuju, atau kalau tidak ya harus tindakan maksimal. Panggil keluarganya dulu saya mau bicara. Siapkan form persetujuan dan penolakan tindakan", Rara memberikan instruksi sambil mencuci tangan.
Rara adalah wanita karir yang selalu tekun dalam pekerjaannya, tidak neko-neko, selalu logis dan satu lagi dia tidak percaya dengan hal yang berbau magis. Menurutnya semua hal itu bisa terjadi karena sebab akibat, tidak mungkin tanpa alasan.
Jadi misalnya dia sedang berkumpul sama teman-temannya, lalu tiba-tiba sebuah gelas di dekat mereka pecah. Bagi sebagian orang percaya bahwa itu adalah sebuah pertanda bahwa sebuah kejadian buruk akan terjadi. Tetapi bagi Rara gelas itu pecah karena gelasnya sudah rapuh dan ada pemuaian yang sedang terjadi. Bagi Rara semua hal yang terjadi pasti ada alasannya.
" Pernah nih sekali waktu kejadian pas waktu Covid 19 lagi rame, ruangan isolasi kita kan ada kameranya tuh. Nah satu kali ada pasien meninggal, udah di mandiin udah di pakaikan baju bagus. Lagi nunggu keluarganya buat bungkus sesuai protokol", cerita salah satu rekan kerja rara kepada yang lain.
" Terus?", yang lain penasaran.
" Bed pasien kita kan listrik ya, terus tiba-tiba bed nya naik. Jadi si pasien yang meninggal itu kayak duduk gitu. Kita pada takut banget tau gak waktu liat di CCTV. Tapi lo semua tau gak apa yang dr Rara bilang?", si pencerita membuat yang lain penasaran.
" Katanya, itu bed nya rusak. Harus di perbaiki suruh teknisi datang perbaiki saja", si pencerita menirukan Rara.
" Dia gak takut?", tanya yang lain.
" Tentu tidak. Padahal bed nya tidak tercolok ke listrik", dokter Edwar tiba-tiba nimbrung.
Perawat yang sedang bergosip itu kaget dengan kedatangan dr Edwar.
" Eh dokter, jaga dok?", salah seorang perawat yang paling semangat tadi berbasa basi.
" Iya. Kan tadi visit nya di temani kamu. Gimana sih", dr Edwar menjawab lucu.
" Hehehe iya ya", perawat itu salah tingkah.
" Sudah jangan pada bergosip. Bubar grak", dokter Edwar membubarkan kerumunan itu dengan sekali usir.
Edwar menghela nafas panjang. " Haah.. Rara lagi... Gak ada orang lain apa ya", bisiknya pada diri sendiri.
****
Rara merenggangkan badannya dengan kuat. " Waahh.... Gila gila... Untung gue cepat. Jalanan macet banget", Rara mengeluh kepada susi yang merupakan teman jaga paginya hari ini.
" Iya. Tadi gue naik Trans Jakarta makanya cepat sampai. Bebas hambatan cuy", Susi menimpali sambil matanya tetap tertuju pada buku laporan jaga.
" Lo besok cuti dua hari mau ke mana?", tanya Susi. " Mau naik gunung lagi?".
Rara menggaruk dahinya yang sedikit gatal. " Gak, gue mau menikmati hari. Di tempat tidur, belanja bulanan, bersihin rumah, menanam sayur depan rumah", Rara menjelaskan rencana kegiatannya.
" Gila sih. Itu mah bukan liburan. Tapi kerja cuma di bidang lain", Susi menggelengkan kepala. Bingung dengan tingkah temannya yang tidak bisa tinggal diam.
Pintu terbuka, Edwar masuk dengan wajah kusut.
" Emergency bed berapa?", tanyaku tanpa basa basi.
" Isolasi 1 dan bed 4", jawabnya sambil mencuci tangan. Lalu masuk ke kamar mandi dokter untuk bersih-bersih.
" Wah berpulang juga, sudah aku edukasi sih. Untung keluarganya mengerti, tidak egois", kata Rara.
" Eh Ra.. lo kenapa sih gak percaya keberadaan hantu di dunia. Mereka tuh ada tau", tiba-tiba Susi berceloteh.
" Aduh Susi.. kita tuh ya sekolah tinggi-tinggi bukan untuk yang kayak gituan. Udah deh, gue gak suka bahas yang kayak gitu ", Rara langsung mematikan pembicaraan.
" Yee... Galak lo", Susi kesal. " Lo kemarin kenapa marahin orang tua pasien anak di PICU?", Susi bertanya lagi.
" Lagian ya dokter Susi. Lo bayangin aja. Tiba-tiba pasien anak masuk dengan Demam berdarah, terus udah syok, perdarahan. Pas mau tindakan kata mamanya dokter sabar dulu ya, saya bawa dukun mau di doakan dulu", Rara menjelaskan.
" Jadi si ibunya bawa dukun beneran?", tanya Susi tidak percaya.
" Iya dia bawa dukun cowok, mana kalungnya gede banget lagi", Edwar yang baru keluar kamar mandi ikut menimpali.
" Terus beneran di usir sama Rara?", Susi penasaran.
" Iyaa. Jadi si dukun lagi ngerapal mantra. Kata mamanya pasien si anak itu di guna-guna saudaranya karena suaminya naik jabatan gitu lah".
" Nah pas lagi ngerapal mantra si Rara langsung bilang. Saya bilang keluar sekarang. Saya mau tindakan. Silahkan keluar, kalau sampai terjadi apa-apa sama anak ini kamu tanggung jawab", Edwar menirukan gaya Rara saat marah kemarin.
" Jadi semuanya keluar deh. Si dukun mukanya kecut banget hahahaha", Edward tertawa puas.
" Lagian ya, mana ada sih. Anak sudah susah kayak gitu, hasil lab jelas banget udah perburukan. Sudah edema paru. Wah gila tu mamanya percaya kayak gituan", Rara mengomel lagi.
Susi tertawa keras mendengar cerita itu. " Wah hanya kamu yang berani kayak gitu Ra. Kalau gue mungkin sudah gue tungguin terus itu sampai selesai mantranya", Susi berkata di tengah sela tawanya.
Rara menghela nafas kasar. " Sampai kapanpun gue gak percaya dukun dan sejenisnya. Titik", Rara berkata yakin.
****
Rara duduk di dalam mobilnya sambil menatap keluar jendela. Hujan mulai turun rintik-rintik, ini sudah jam 4 sore. Rencananya hari ini dia dan Susi akan pergi ke toko buku besar untuk membeli sesuatu.
Rara melihat Susi berlari ke arah mobil sambil menutupi kepalanya dengan tas.
" Sorry sorry... Lama nunggu ya?", Susi memamerkan giginya yang putih.
" Lumayanlah... Kalau nanam bunga bisa dapat 3 pot", ucap Rara penuh sarkas.
Susi mencibir saat mendengar perkataan Rara. Susi lalu membuka tasnya dan mengaduk-aduk isi tas itu.
" Makasih mas", aku berkata ramah kepada penjaga karcis di pintu masuk. " Lo nyari apa?", tanya Rara saat melihat Susi sibuk.
" Power bank. Nah ini dia nemu juga", Rara mengambil sebuah benda berbentuk kotak dan kabel lalu menyambungkannya ke ponsel.
" Pacar lo mana? Kenapa gak bareng dia sih?", Rara bertanya sambil berkonsentrasi menyetir.
" Pacar gue kan lagi dinas luar kota", Susi menjawab santai. " Dan lagi ya Ra, kita tuh udah lama gak me time. Sudah sih, jangan ngomel-ngomel mulu", Susi menasihati.
" Iyeee... Bu dokter", Rara manyun.
" Ngomong-ngomong ya... Kenapa lo gak cari pacar?", Susi bertanya lagi. " Kan usia lo sudah mau bangkotan tu. Cari gih biar enak kalau jalan-jalan bisa berempat", Susi memberikan ide.
" Belom minat. Lagian kalau cuma mau jalan-jalan berempat, ajak aja si edwar. Gampang kan", Rara nyeletuk.
" Isss anak ini... Dengar ya Rara. Kamu tuh bukan belum minat tapi milih-milih. Maunya kayak apa sih?", Susi jengkel.
" Gak muluk-muluk banget sih sebenarnya", Rara menjawab pelan.
" Iya kayak apa?", tanya Susi.
" Jin BTS", jawab Rara santai.
" Tolol. Gak guna ngomong sama lo", Susi memaki.
Yang di maki hanya mesem-mesem gak jelas.
*****
" Lo beli komik lagi?", Susi menatap plastik berlambang Gramedia di tangan Rara.
" Iya dong. Lo kan tau, dunia gue adalah dunia membaca. Gue gak bisa jauh-jauh dari komik dan novel", Rara menggoyangkan plastik putih itu.
" Iya... Iya... Sebentar lagi gue yakin. Rumah lo bakalan jadi toko buku terbesar kedua setelah Gramedia", sindir Susi.
Rara menguap tidak mempedulikan sindiran Susi. " Wah sudah gelap. Ternyata kita lama sekali di sini", Rara berjalan cepat ke arah mobil, Susi mengikuti dari belakang.
" Wah gila sih, besok gue jaga lagi", Susi ngedumel sambil memasang sabuk pengamannya.
" Untung gue cuti. Jadi selow", Rara berkata santai.
" Antar gue dong", pinta Susi.
" Iya, ke halte Busway kan?", Rara berkata jahat.
" Jangan dong... Di antar pulang napa", Susi merengek.
" Buset dah....jauh rumah lo. Macet pula", Rara menolak mentah-mentah.
" Tega banget lo sama teman sendiri", Rara masih merengek.
" Iya deh. Gue antarin. Untung teman baik lo, kalau gak gue biarin jalan kaki", Rara memaki pelan.
" Terima kasih cantik. Mulia hati sekali kamu", Susi menjilat.
" Jijik", Rara melengos kesal
*****
Rara membelokan mobil ke area rumah Susi. Maklum rumah Susi memang memasuki beberapa gang yang agak sepi. Jadi kalau turun dari Trans Jakarta, Susi suka di jemput papanya dengan mobil di halte.
" Lo gak ada niatan pindah rumah? Ini ya masih hutan belantara", Rara bingung sesekali melihat keluar jendela.
" Yee kalau siang di sini ramai tau", Susi mencibir.
"Bentar-bentar, di depan itu apa? Begal ya?", Rara menyipitkan mata melihat ke arah yang agak jauh dari mobilnya. Kira-kira dua meter.
" Mana?", Susi ikut berkonsentrasi dengan menyipitkan matanya. Melihat ke arah yang Rara lihat.
Benar seorang pria sedang di pegang oleh pria lainnya dan salah satu dari mereka memukul kepalanya dengan sebuah kayu sebanyak 1 kali. Pria itu langsung ambruk.
Tanpa memikirkan banyak hal, Rara langsung menekan klakson mobilnya sekuat tenaga. Saat mendengar itu mereka sangat panik dan langsung bergegas masuk ke dalam mobil berwarna hitam. Salah seorang di antara mereka yang paling akhir masuk tampak sangat tenang, melihat ke arah mobil Rara dan Susi.
Tapi Rara yang memberhentikan mobilnya langsung menyoroti pria itu dengan lampu jauh. Pria itu bergegas masuk ke dalam mobil setelah sebelumnya melepaskan sebuah tembakan ke arah pria yang terbaring di tanah.
Rara dan Susi sama-sama histeris. Susi menelpon polisi, sedangkan Rara keluar mobil saat mobil para begal itu sudah pergi. Dengan cepat Rara berlari ke arah pria yang terbaring di tanah dengan berlumuran darah.
" Mas... Mas.. bangun", insting dokternya keluar.
Sedikit respon dari laki-laki yang berlumuran darah itu. Dengan sekuat tenaga dia meraih pergelangan tangan Rara yang menepuk dadanya.
Nafasnya terengah-engah. Darah mengalir dari kepala dan bahu kanannya. Melihat itu tanpa sadar Rara berteriak.
" Toloooong...... Tolong....", teriak Rara.
" Raa gue udah hubungin polisi tapi kita bawa aja deh ke Rumah Sakit", Susi memberikan instruksi karena untuk pertama kalinya mereka berdua menemukan kejadian seperti ini.
" Gimana caranya?", Rara hilang akal.
" Ayo angkat sekuat tenaga. Bawa ke mobil",Susi memberikan perintah.
Maka dengan kekuatan yang entah datang darimana mereka mengangkat pria itu masuk ke dalam mobil. Susi menyetir, berusaha untuk tidak panik.
Sedangkan Rara menekan luka yang terus mengeluarkan darah.
Pria itu antara sadar dan tidak, berusaha membuka matanya untuk melihat Rara.
" Mas jangan tidur ya... Harus tetap sadar... Jangan tidur", Rara menekan luka pria itu dengan jaket miliknya. Wajah pria itu penuh darah dan tanah, Rara tidak bisa mengenali dengan baik wajah pria itu terutama di tengah kepanikan mereka.
Dengan terengah-engah pria itu membisikan sesuatu. Rara berusaha untuk mendengar tapi tidak bisa.
" Apa?", Rara menurunkan sedikit kepalanya ke arah mulut pria itu.
" Amos.... Star", setelah berkata begitu pria itu menutup matanya.
****
" Benturan benda tumpul di kepala belakang dan luka tembak pada bagian bahu kanan. untung tidak mengenai organ dalamnya. Wah ini perampokan bersenjata", dokter UGD menjelaskan kepada Rara dan Susi.
Baju mereka berdua berlumuran darah. Terutama Rara, darah membasahi baju dan celananya cukup banyak.
" Apa anda walinya?", tanya dokter UGD rumah sakit itu.
" Bukan kami hanya menemukan orang ini di jalan saat kejadian. Agak jauh tapi memang terlihat dia di pukul menggunakan benda tumpul, sepertinya balok", Rara menjelaskan.
Dokter itu mengangguk. " Apa anda tau pasien ini siapa?", tanya dokter itu lagi.
Rara dan Susi sama-sama menggeleng.
" Tapi tadi dia sempat bilang ' Amos Star', ya sepertinya itu", Rara berkata sedikit ragu.
Dokter mengangguk lalu meminta seorang perawat untuk mencari tau identitas pasien dari KTPnya.
Rara dan Susi duduk di kursi yang di berikan. " Kami sudah boleh pulang kan?", Rara mulai gelisah karena ini sudah jam 12 lewat.
" Bisa bersabar sebentar, ada polisi yang ingin bertanya", perawat berkata ramah.
Rara dan Susi mengangguk lemas. " Aduh dinas pagi lagi gue. Mati deh", Susi mengomel.
" Selamat malam, kami dari kepolisian ingin menanyakan beberapa pertanyaan. Apakah ibu berdua bersedia?", seorang polisi mendekati kami.
Rara mengangguk setuju.
" Boleh say lihat KTP mbak berdua?", polisi itu meminta ijin.
" Boleh ", Rara mengambil KTP dari dalam tas yang ternyata juga terkena bercak darah. Yaa.. buang deh tasnya batin Rara.
" Jam berapa anda melihat kejadian ini?", tanya polisi sambil melihat KTP milik Rara dan Susi.
" Sekitar jam 9. Kejadiannya sangat cepat", Rara menjelaskan.
" Kira-kira berapa orang yang menyerang korban sepengelihatan anda?", tanya polisi itu lagi.
Rara berusaha mengingat kembali kejadian itu. " 5 orang ya?", Rara memastikan ke Susi.
" Iya 5 orang. Mereka seperti gangster", Susi menambahkan.
" Apa anda bisa menggambarkan ciri-ciri salah satu pelaku?", polisi meminta.
" Aku susah menggambarkan karena jaraknya agak jauh dan aku ketakutan", Susi bergidik.
" Aku juga agak susah menjelaskan ciri-ciri mereka tapi yang menembak itu kidal. Dia memgang senjata menggunakan tangan kiri. Ya dia kidal", Rara memastikan benar pikirannya.
" Baik terima kasih penjelasannya mbak Rara dan Mbak Susi. Tapi anda tau korban ini siapa?", tanya polisi sebelum meninggalkan kami.
Rara dan Susi sama-sama menggeleng. Polisi mengangguk mengerti. " Baik terima kasih kerja samanya ya".
*****
Setelah polisi itu pergi datang lagi seorang pria berjas resmi dengan seorang pria muda di belakangnya.
" Selamat malam nona Rara dan nona Susi. Perkenalkan saya Danu pengacara keluarga pasien", pria paruh baya itu memperkenalkan diri.
Mendengar kata pengacara, Rara langsung mengerti. Orang yang mereka selamatkan bukan sembarang orang. Pasti dia adalah orang penting. Rara mengangguk canggung, begitu juga dengan Susi.
" Terima kasih karena sudah menolong direktur kami dari perampokan yang terjadi", pria itu berkata tulus.
Rara dan Susi saling pandang. Direktur? Benar orang penting, pantas saja banyak sekali orang yang datang untuk mengurusi pasien itu.
" Ya... Sudah tugas kami sebagai warga negara yang baik untuk saling menolong", Rara menjawab sembarangan.
Pria itu tersenyum. " Untuk mengapresiasi pertolongan dari nona berdua, perusahaan Amos Star akan memberikan sesuatu untuk nona berdua", pria itu berkata pelan tapi pasti.
" Sesuatu.. apa maksudnya?", Susi bingung.
" Apapun yang nona berdua minta akan kami berikan", pria itu berkata tenang.
Rara dan Susi menghela nafas seperti mendapatkan rejeki nomplok. Mereka berdua saling sikut, tapi kewarasan Rara kembali.
" Tidak... Kami tidak menerima hal seperti itu. Kami iklas menolong", Rara berkata yakin.
" Hah iyaa benar... ", Susi menimpali. Mereka berdua adalah dokter, mereka bisa di hujat jika menerima uang atau sejenisnya.
" Tidak apa-apa. Kami iklas dalam memberikan apresiasi karena kalau bukan karena nona berdua mungkin direktur kami sudah tiada", pria itu berkata lagi.
Rara diam sejenak lalu berkata. " Kalian bisa memberikan semua hal?", Rara mengoreksi.
" Ya benar", pria itu mengangguk pasti.
" Daripada memberikan hal lain bisakah kalian menolongku? Begini mobilku penuh darah bisakah perusahaan kalian membersihkan untukku? Di bersihkan bukan di ganti", Rara berkata polos.
Pria itu tersenyum menahan tawa. Sepertinya baru kali ini dia menemukan wanita muda aneh yang tidak tergila-gila dengan uang.
" Baik akan kami lakukan", kata pria itu lagi.
*****
" 15 juta?", Rara terbelalak mendengar total pembersihan dan pergantian isi mobilnya. Untung gue gak sok-sokan mau bersihkan sendiri, batin Rara.
" Terima kasih ya mas", Rara menerima kunci yang di serahkan kepadanya.
Rara membuka pintu mobilnya dan melihat warna kursinya sudah berubah, terlihat lebih baru dan yang paling pasti adalah tidak ada lagi bau darah.
" Boleh juga", Rara tampak senang.
Rara lalu masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan senang.
Di rumah mungil ini Rara tinggal sendiri. Kadang Susi datang menginap kalau misalnya dia bosan di rumah. Orang tua Rara semua berada di Yogyakarta, jadi Rara merupakan anak rantau.
Rara duduk di sofa sambil memutar TV. Setelah sekian lama akhirnya dia bisa bermalas-malasan. Walaupun cuma sehari. Sambil menonton TV Rara menyendok sereal dari mangkoknya dan memasukan ke mulut. Dia benar-benar menikmati hari libur ini.
Setelah itu Rara membaringkan dirinya di sofa, sesekali menutup mata berusaha untuk tidur. Beberapa menit berikutnya di terlelap, suasana pagi jam 10 begitu tenang. Sangat mendukung Rara untuk tidur sepagi itu.
Dalam tidurnya Rara melihat seorang pria berdiri di dekat jendela ruang tamunya saat ini. Rara heran lalu melihat berkeliling untuk memastikan bahwa ini adalah ruang tamu miliknya.
Rara hendak menegur pria itu. Tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Pria itu masih berdiri di sana menatap keluar jendela rumahnya.
Rara masih berusaha menegur pria itu dengan susah payah. Tapi itu sulit sekali, seperti ada sesuatu yang menghambat di tenggorokan Rara.
Tepat saat Rara akan menegur lagi, pria itu berbalik. Rara tidak bisa melihat wajahnya dengan baik, hanya senyumannya yang terlihat oleh Rara. Senyuman ramah dan suaranya yang berkata " Hai" membuat Rara langsung terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu.
Rara spontan menengok ke arah jendela, tidak ada siapa-siapa di sana. Rara melihat ke arah jam dinding dan memastikan dia baru tidur kurang dari 10 menit.
Rara menghela nafas, 'gila sih seharusnya gue tidak tidur sepagi ini', batinnya.
***
Rara menatap ponselnya, jam 5 sore kurang. Susi belum kelihatan batang hidungnya. " Duh anak ini ke mana lagi", Rara mulai mengomel. " Jadi pergi gak sih", mengoceh sendiri.
Rara duduk di sofa. Hari liburnya hampir berakhir, besok harus masuk kerja. Betapa malas rasanya pergi kerja besok.
Tanpa sengaja mata Rara menatap ke arah jendela ruang tamunya. Gordennya yang tertiup angin membawa kesejukan hari sore.
Mimpi tadi seolah nyata. Pria di dalam mimpinya itu seolah benar-benar berdiri di sana. Rara terus mengingat senyuman pria di dalam mimpinya itu, tapi Rara tidak bisa melihat setengah wajahnya yang lain.
Rara masih merenung saat pintu rumahnya di ketuk kuat dari luar. Rara terlonjak kaget.
" Anjir.... Haah", Rara menghela nafas sambil mengelus dadanya karena kaget. " Iya bentar", Rara mengambil tasnya dan berlari kecil keluar rumah.
***
Rara menatap status pasien di depannya. Pasien baru masuk ke ICU dari UGD. Kondisi pasien saat ini tidak stabil dan membutuhkan persetujuan keluarga untuk pemasangan infus di vena central.
" Ini keluarganya belum memutuskan ya?", Rara bertanya kepada seorang perawat.
" Belum dokter. Istrinya masih bimbang takut mengambil keputusan tanpa saudara pasien. Karena kalau terjadi apa-apa istrinya takut di salahkan", perawat menjelaskan.
" Oke baik. Kalau gitu saya ke ruangan dokter dulu. Nanti telpon saja ya", Rara tersenyum.
" Baik dokter".
Rara berjalan dengan langkah ringan menuju ruang jaga dokter. Sarapan dulu sambil menunggu panggilan, batinnya.
Di dekat lorong masuk ke ruangan petugas Rara melihat seorang pria berdiri. Pria dengan kemeja hitam dan tampak necis. Bukan remaja tapi pria dewasa.
Rara menatap pria yang berdiri menyamping itu. " Loh ini keluarga pasien kenapa ada di sini. Ini kan ruangan karyawan", Rara berbicara sendiri.
Rara ingin menegur tapi mengurungkan niatnya. Lebih baik memanggil security ruang ICU saja. Itu lebih baik, kalau itu keluarga pasien nanti kesannya tidak enak.
" Pak security", Rara menghampiri meja security.
" Iya dokter. Ada yang bisa saya bantu?", security menjawab.
" Iya itu ada keluarga pasien di lorong karyawan. Tolong dong di kasih tau jangan di situ", pintah Rara kepada security.
" Keluarga pasien di lorong? ", security itu tampak berpikir. " Sepertinya gak ada dok, kan dari tadi saya di sini. Kalau mereka ke lorong harus lewat depan meja saya. Pasti saya lihat", security itu tidak percaya.
" Coba lihat dulu ", Rara memaksa.
" Baik dokter", security itu berdiri dan berjalan menuju ke arah lorong yang di maksud. Rara mengikuti dari belakang.
Tapi lorong itu kosong dan sepi. Tidak ada siapapun di sana. " Nah dokter gak ada", security itu tersenyum.
Rara tertegun melihat tidak ada orang di sana. Jelas-jelas tadi pria itu berdiri di sana dengan menyamping.
" Beneran pak. Tadi ada orang di sini. Cowok pakai jas gitu", Rara masih ngotot.
" Dokter, salah lihat kali", security itu menambahkan. " Mungkin staff perawat, dokter. Kan sebentar lagi jam dinas siang", security itu memberikan penjelasan masuk akal.
" Oh iya kali ya", Rara berkata ragu.
Rara kebingungan dengan apa yang barusan dia lihat. Lalu tersadar dia menjawab. " Iya sepertinya saya salah lihat".
Ponsel Rara bergetar, panggilan masuk dari salah satu perawat di dalam ruangan. Tanpa mengangkat Rara langsung balik badan dan kembali ke ruang perawatan.
Apa sih ini? Mungkin gue lagi sakit. Batin Rara sambil menempelkan telapak tangannya ke jidat.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!