NovelToon NovelToon

Jaka Umbara; Sang Pendekar Angin

Sayatan yang menembus sanubari

 

Suara tangisan seorang bayi laki-laki yang baru lahir menggema di seantero ruangan istana kerajaan Suryalaya. Suaranya hampir memecah keheningan malam.

Seorang dayang istana berlari-lari seolah-olah sedang akan memburu sesuatu. “Paduka, Paduka,” ucapnya dihadapan Baginda Raja Baskara Nara Diningrat.

“Ada hal apa, dayang?” tanya sang Baginda Raja.

“Sendiko Gusti Prabu. Cucu Paduka telah lahir,” jawabnya dengan rona wajah bahagia.

Sang Baginda Raja lantas berdiri. “Antarkan aku padanya.”

“Sendiko Gusti Prabu.” Sang dayang segera berlalu menuju ke asal suara tangisan bayi yang menggema diikuti sang Baginda Raja.

“Sendiko Gusti Prabu,” ucap salah seorang perempuan tua yang membantu persalinan dengan segenap penghormatannya yang ia miliki tatkala Baginda Raja memasuki ruangan persalinan.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Baginda raja.

“Bayinya telah lahir dengan selamat, hanya saja..” Si juru lahir berkata dengan suaranya yang ragu-ragu. Ia berpikir apakah ia harus memberitahukan kematian sang puteri raja di hadapan orang yang hadir ataukah harus mengutarakannya secara empat mata.

“Hanya saja apa? Katakan dengan jelas! Jangan bertele-tele!”

“Baik, Paduka,” sahut sang juru lahir berterus terang “Sang bayi lahir dengan selamat, hanya saja puteri Baginda tidak dapat tertolong nyawanya.”

“Apa? Putriku tak mungkin mati!” Baginda Raja terlihat begitu murka kala mendengar kabar memilukan mengenai kondisi puteri satu-satunya itu.

“Hamba tidak bisa berbuat apa-apa. Takdir berkata lain.”

“Aku tidak akan menerima semua ini. Ini semua pasti karena anak pembawa sial ini yang telah merenggut nyawa puteri kesayanganku. Aku tidak mau melihatnya hidup di istana ini. Bawa anak ini pergi jauh dariku dan wilayah ini,” titah Baginda.

Jadilah Jaka Umbara anak yatim-piatu yang kehadirannya tak diterima oleh kerajaan Suryalaya, bahkan oleh kakeknya sendiri, Baginda Raja Baskara Nara Diningrat.

Baginda Raja bahkan mengeluarkan titahnya agar Jaka Umbara yang baru dilahirkan dari rahim putrinya itu dibuang jauh dari daerah kerajaan Suryalaya.

Dengan berat hati perempuan tua yang membantu persalinan pun membawa bayi yang masih membutuhkan pelukan seorang ibu itu keluar dari istana kerajaan.

“Ambil ini sebagai imbalan untukmu.” Seikat kantung berisi uang diberikan oleh Baginda Raja kepada perempuan tua yang merupakan seorang dayang yang bekerja pada puteri Baginda Raja tersebut.

“Dan ingat! bawa dia pergi jauh dari daerah istana kerajaan, kalau perlu kau buang dia sejauh-jauhnya dari Desa Alas Sewu ini,” ucap sang Baginda raja seraya berpaling meninggalkan ruangan itu.

Beberapa tahun berlalu sejak Jaka Umbara diasingkan secara paksa oleh kakeknya yang tak lain adalah Baginda Raja. Kini usianya hampir menginjak sepuluh tahun.

Meski kehidupannya tidak bisa dikatakan berkecukupan, namun ia tetap bersyukur masih memiliki kesempatan untuk bertahan hidup. Meski ia tidak bisa menikmati masa kanak-kanaknya seperti kebanyakan anak-anak yang lain, ia tetap tidak mengeluh. Baginya segala sesuatu yang diberikan oleh yang maha kuasa adalah berkah yang harus disyukuri.

“Jaka.. Jaka! Dimanakah kamu, Nak?” Seorang perempuan tua memanggil-manggil Jaka.

“Aku di sini, Bu,” sahut Jaka dari atas dahan pohon yang berada di depan gubuknya.

Melihat hal itu perempuan tua tersebut panik dan langsung berlari menuju arah Jaka. “Apa yang sedang kau lakukan di atas sana? Cepat turunlah! Berbahaya! Nanti kalau kau terjatuh, bagaimana?” teriaknya dengan nada kepanikan.

“Ibu tenang saja, aku sudah terbiasa.”

Tak lama Jaka melompat dari atas dahan pohon dan hampir terjatuh saat menginjak tanah.

“Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan memanjat pohon! Nanti kalau kau terluka, bagaimana?”

“Ibu tak perlu khawatir! Aku baik-baik saja. Aku juga akan berhati-hati, Bu.”

“Ya sudah, mari kita masuk. Ibu sudah siapkan makanan kesukaanmu. Kau mandilah dulu. Sudah sore pula, sebaiknya kita segera masuk ke dalam.”

“Baik, Bu.”

Tanpa banyak kata Jaka mengikuti langkah perempuan tua yang membesarkannya itu masuk kedalam gubuk kecil tempat ia bernaung sejak kecil.

Malam makin larut. Suara bising binatang malam terdengar semakin jelas. Suasana di gubuk tempat Jaka tinggal terlihat sunyi. Memang tempat tinggalnya jauh dari rumah di sekitarnya.

Malam itu Jaka terlihat susah tidur. Beberapa kali ia memejamkan matanya namun tak kunjung hilang kesadarannya.

Akhirnya ia putuskan untuk menuju kamar ibunya yang berada di samping kamarnya. Ia merangkak mendekati ibunya yang sudah terlelap.

“Bu, Bu..” Jaka membangunkan ibunya dengan pelan. Kemudian ibunya terjaga akan suara panggilan Jaka. Ia segera membuka matanya dan melihat gerangan apa yang membuat Jaka membuatnya terjaga dari tidurnya.

“Ada apa, Nak? Apa kau butuh sesuatu?” tanya sang ibu sambil mengusap kedua matanya.

“Aku susah tidur, Bu.”

“Oh, begitu rupanya.”

“Aku mau tidur di samping ibu saja. Boleh kan, Bu?”

“Boleh.. sini tidurlah di samping Ibu kalau itu bisa membuatmu cepat tidur.”

Jaka mulai tertidur pulas di samping ibunya. Malam itu terasa begitu panjang. Jaka tersentak bangun membuka kedua matanya tiba-tiba. Ada perasaan yang sulit untuk dicerna oleh pikirannya. Tak ingin larut dalam keraguannya ia kembali memejamkan matanya mencoba untuk kembali tidur.

Beberapa waktu berselang, Jaka bermimpi seolah-olah ia sedang berada di aula kerajaan. Ia melirik kesana-kemari-kemari, begitu banyak orang yang hadir. Dimana ini? pikirnya.

Ia menoleh lagi kesana-kemari, dan tiba-tiba di samping kanan-kirinya berdiri dua orang yang berperawakan tinggi dan kekar. Ia memandang ke depan. Terlihatlah sebuah alat pancung beserta seorang algojo yang siap mengeksekusi seorang tahanan.

“Bawa dia kemari!”

Suara seseorang membuat Jaka terkejut. Ia mencari asal suara itu ke segala arah. Sayangnya ia tidak dapat menemukan siapa gerangan pemilik suara itu.

Sejurus kemudian matanya tertuju pada sosok perempuan yang diseret dengan kasarnya ke atas alat pancung yang berada di depannya.

Demi melihat siapa sosok perempuan yang diseret secara paksa, kedua mata Jaka Umbara terbelalak. Kaget, sedih dan pilu bercampur menjadi satu. Ibu!.. Ia berucap lirih.

“Ibu! Ibu...” Jaka berteriak mencoba memanggil sosok perempuan yang sangat ia kenal. Tangannya tertahan. Dua orang yang berperawakan tinggi dan kekar disampingnya memegang kedua tangannya dengan kuat. Ia meronta dengan sekuat tenaga untuk melepaskan diri, tapi kekuatannya terlalu lemah.

Belum selesai disitu ia diperlihatkan sosok perempuan yang ia panggil ibu itu dipaksa memasukkan kepalanya ke dalam alat pancung. Jaka semakin memberontak dan berteriak dengan kerasnya. “Tidak!! Lepaskan Ibu! Jangan sakiti Ibuku! Ibu, ibu..”

“Perempuan ini adalah pemberontak kerajaan. Atas titah Baginda Raja, maka hari ini, di hadapan seluruh rakyat, perempuan ini harus dihukum mati untuk menjadi contoh bagi siapa pun yang berani memberontak terhadap kerajaan, maka harus bersiap-siap berakhir seperti dia. Segera persiapkan pisaunya dan hukum perempuan pemberontak ini!”

Algojo segera memberikan aba-aba sebelum eksekusi siap dilaksanakan.

 

Arti Mimpi

 

“Ibu.. lepaskan Ibuku! Dia bukan pemberontak! Lepaskan ibuku!” ucap Jaka sambil menangis tersedu-sedu.

“Ibu.. jangan mati, Bu. Kumohon! Jangan tinggalkan aku, Bu. Ibu.. Ibu..”

Air matanya tak mampu terbendung. Jaka menangis seakan ia tak bisa melihat kepergian perempuan yang sudah membesarkannya itu. Ia hanya bisa tertunduk. Menantikan sebuah keajaiban yang mustahil.

“Lepaskan sekarang!!” perintah algojo pertanda eksekusi siap dilakukan.

Tidak!! Jaka menengadahkan kepalanya memandang sosok perempuan itu dengan tatapan sayu. Pandangan matanya kosong. Suara-suara yang bertebaran di sekitarnya tidak masuk sedikit pun di telinganya. Kedua kakinya tak sanggup menahan beban berat di tubuhnya. Ia hanya pasrah tergeletak di atas tumpuan kakinya dengan lunglai. Ditengadahkannya lagi raut wajah Jaka untuk kedua kalinya. Samar-samar ia menangkap wajah perempuan itu. Semakin lekat dan semakin jelas. Tampak ia sedikit membuka mulutnya dan berkata sesuatu kepada Jaka, namun sedikit pun Jaka tak mampu untuk mendengarnya. Hanya senyum hangat yang mampu ia terka sebelum akhirnya pisau yang tajam benar-benar diturunkan. Dan eksekusi hukuman mati pun akhirnya terjadi.

Ibu!!! Jaka kembali berteriak kencang hingga turut menghilangkan kesadarannya.

Ibu!!! Jaka terbangun dari mimpinya. Ia berteriak cukup keras hingga turut membangunkan ibunya.

“Ada apa, Jaka? Kenapa kau berteriak begitu keras?” tanya sang ibu kepada Jaka sambil mengelap kedua matanya.

“Aku bermimpi buruk, Bu..” jawabnya. Keringat bercucuran membasahi wajahnya. “Aku sangat ketakutan, Bu,” tambahnya.

“Tak apa, Ibu ada di sini. Kalau kau takut bermimpi buruk lagi, tidurlah lebih dekat dengan Ibu. Ibu akan mengusir mimpi buruknya supaya kau tidak memimpikannya lagi.”

Jaka menurut. Ia menggeser lebih dekat posisi tidurnya agak mendekati ibunya. “Sini biar Ibu bantu kau tidur lagi. Sekarang kau pejamkan matamu. Jangan pikirkan apapun. Ingat saja kalau Ibu ada disini. Ibu akan mengusir mimpinya,” hibur sang ibu.

Diusapnya Rambut Jaka penuh kasih sayang. “Ibu akan ceritakan satu kisah yang akan membuatmu tidak bermimpi buruk lagi. Pada suatu hari ada seorang pendekar angin. Ia adalah pendekar yang sangat hebat dan sangat ditakuti oleh banyak orang ...”

Jaka mulai menguap. Matanya tak kuat menahan kantuknya. Tak berselang lama ia mulai tertidur hingga pagi menjelang tanpa bermimpi buruk seperti yang diucapkan oleh ibunya.

Siang mulai menyingsing. Matahari berada di tengah-tengah langit tanpa sedikit pun awan yang menghalangi paparan sinarnya hingga membuat hari itu terasa sangat panas dan menyengat.

Jaka tengah berjalan di belakang ibunya dengan membawa berbagai macam belanjaan dari pasar terdekat. “Apa kau kuat membawa belanjaan itu sendirian? Kalau kau mau, Ibu bisa bawakan sedikit belanjaannya,” tanya sang ibu membuka percakapan dalam perjalanan mereka.

“Ini tidak berat kok, Bu! Aku kan anak laki-laki, sudah tentu aku harus mampu. Lagi pula aku ingin meringankan beban Ibu. Jadi Ibu tak perlu sungkan padaku,” jawab Jaka diiringi senyuman di wajahnya.

Diusapnya rambut Jaka dengan lembut. “Anak pintar! Tapi jangan sampai memaksakan dirimu. Ingat itu baik-baik.”

“Hehe.. aku akan ingat itu, Bu.”

Meski perjalanan yang mereka tempuh hanya dengan berjalan kaki, tapi setiap perjalanan yang mereka lalui selalu mereka iringi dengan tawa dan senyuman. Setidaknya sampai di hari itu. Tatkala keduanya tengah berjalan, sekelompok orang tak dikenal tiba-tiba saja menghadang langkah mereka.

“Siapa kalian? Apa yang kalian mau dari kami?” Jaka memberanikan diri untuk maju menghadapi sekelompok orang yang menghadang perjalanan ia dan ibunya.

 

Kedatangan Takdir

 

“Heh, bocah! Kau tak perlu bertingkah sok pahlawan di depan kami. Kau bukanlah tandingan kami. Cepat minggir sana!” gertak salah seorang dari sekelompok itu. “lagi pula kau tak ada urusannya dengan kami,” sambungnya lagi.

“Tidak!! Aku tak akan membiarkan kalian menyakiti Ibu,” sergah Jaka. Ia bersiap hendak memukul orang yang berbicara kepadanya, namun dihentikan oleh ibunya.

“Jaka, jangan gegabah! Kau takkan sanggup melawan mereka sendirian!”

“Tapi Bu.. mereka akan menyakiti Ibu. Aku tidak boleh membiarkannya.”

“Tuan, kami tidak mempunyai benda berharga barang sedikit pun. Kami hanya mempunyai beberapa belanjaan dari pasar. Kalau tuan menginginkannya, maka akan kami berikan. Tapi tolong jangan sakiti kami,” pinta ibu Jaka kepada sekelompok orang itu dengan memelas kasihan mereka agar melepaskan keduanya.

Sekelompok orang itu tertawa terbahak-bahak. “Apa? Kau kira aku menginginkan apa yang kau punya, hah! Yang Tuanku sediakan jauh lebih baik dari yang kau tawarkan padaku,” ujar orang yang paling depan.

“Benar, Kakang. Dia tak lebih hanya keluarga miskin yang tidak punya apa-apa,” timpal yang lainnya.

“Benar sekali. Tak ada untungnya juga bagi kita meminta apa pun kepadanya.” Yang lain ikut menambahi dengan nada menghina sembari tertawa. Yang lain pun ikut tertawa terbahak-bahak.

“Tuan, aku mohon dengan sangat kepadamu. Tolong jangan sakiti kami. Aku mohon kepadamu, Tuan," pinta ibu Jaka lagi.

“Aku adalah Ledonggowo, datang ke sini atas perintah tuanku sebagai malaikat kematianmu. Berterima kasihlah aku tidak akan menyiksamu sebelum kau mati. Kalau kau tidak banyak bertingkah, kau tidak akan merasakan kesakitan sebelum kehilangan nyawamu.”

Jaka Umbara geram mendengar apa yang baru saja di ucapkan oleh Ledonggowo. “Jangan berani kalian sakiti Ibuku.” Jaka mulai diliputi amarahnya. Ia tahu tak akan ada kemenangan baginya jika ia melawan sekelompok orang itu sendirian. Tapi satu yang ia yakini. Ia mesti berkorban sekuat tenaganya untuk menyelamatkan ibunya apa pun yang terjadi.

“Banyak cincong! Tangkap mereka! Seret perempuan itu kemari!” perintah Ledonggowo kepada beberapa anak buahnya. Sekejap saja Jaka Umbara dan ibunya sudah tertangkap oleh anak buah Ledonggowo.

“Jaga anak itu dan tutup mulutnya. Jangan biarkan ia mengganggu pekerjaan kita. Kalau tidak, kalian akan tahu akibatnya.”

“Baik, Kakang,” ucap dua orang yang memegangi tangan Jaka Umbara.

Jaka tak bisa bergerak, pandangannya tak bisa melihat apa yang terjadi atas ibunya karena tertutup oleh anak buah Ledonggowo. Sementara ibunya berada dalam genggaman anak buah Ledonggowo. Ia ingin memberontak, tapi tak mampu. Ia hanya bisa pasrah, namun semangatnya untuk menyelamatkan ibunya tak surut sedikit pun.

“Lepaskan Ibuku! Jangan sakiti Ibuku! Ibu.. Ibu..” Jaka mulai berteriak, ia kembali memberontak mencoba melepaskan dirinya dari genggaman dua orang yang memegangi tangannya dengan kuat, sementara ibunya sudah berhadapan dengan Ledonggowo.

“Lepaskan kami, Tuan. Apa yang kau mau dari kami? Kami hanyalah orang miskin yang tidak punya apa pun. Aku mohon belas kasihanmu, Tuan,” pinta ibu Jaka dengan sangat.

“Aku hanya menginginkan nyawamu. Itu saja! Atau kau ingin aku meminta yang lainnya?”

“Tidak, Tuan! Kumohon, ampunilah kami!”

“Iya atau tidak, aku yang putuskan. Kau tak ada hak untuk tawar menawar denganku. Paham!” bentak Ledonggowo.

Ibu Jaka menunduk sedih. Tidak ada harapan ia akan selamat. Ledonggowo mengamati ibu Jaka perlahan. Matanya menyimpan maksud yang tersembunyi.

“Atau begini saja. Mari kita bersenang-senang sebentar. Kau akan aku berikan kehidupan sebagai budakku, Bagaimana?” Ucapan Ledonggowo mulai mengendur.

Ibu Jaka terkejut mendengar ucapan Ledonggowo barusan. Ia mengernyitkan dahi mencoba menerka ucapan Ledonggowo.

“Apa maksud Tuan?”

“Kau tak usah berlagak tak tahu apa-apa. Aku tahu anak itu bukanlah anakmu yang sesungguhnya. Dan aku juga tahu sebenarnya kau belum pernah menikah.”

Ibu Jaka tersentak. Pikirannya mulai bercampur aduk. Dari mana Ledonggowo mengetahui statusnya? Siapa yang memberitahukannya? Tak ada yang pernah ia beritahu mengenai statusnya selama ini. Bahkan Jaka pun tak pernah ia beritahu.

“Tuan, siapa yang mengutusmu? Katakan siapa namanya?”

Ledonggowo menghampiri ibu Jaka. Melihatnya dengan tatapan yang melecehkan. “Kau tak perlu tahu siapa yang mengutusku.” Ledonggowo mulai berani menyentuhnya.

“Kalau kau mau, aku tak akan mengambil nyawamu, asalkan kau mau menyanggupi permintaanku. Kau akan kuberikan kehidupan yang lebih baik, bagaimana? Apa kau mau?”

“Aku menolaknya dengan jelas, Tuan.”

“Ayolah! Aku tahu kau membutuhkan seorang lelaki yang bisa memenuhi kebutuhan hidupmu.” Tangan Ledonggowo semakin berani.

“Tuan, aku sudah menolaknya. Jangan kira kami orang yang tak punya bisa seenaknya kau tindas dengan semena-mena.”

“Lancang juga mulutmu!” Ledonggowo mulai murka. “berani juga kau rupanya! Atau kau mau aku paksa bersenang-senang di sini?”

“Cuihh! Sampai mati pun aku takkan sudi menerima tawaran seorang bajingan biadab sepertimu!”

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!