Di pojok sebuah kafe kecil yang tersembunyi di kota Malang, Dimas Ardiansyah sedang duduk sendirian di dekat jendela. Suasana kafe yang damai dengan alunan musik jazz yang lembut memberikan latar belakang yang kontras dengan kekacauan yang mencekamnya. Matahari terbenam mengalir lembut melalui jendela, menebarkan bayangan yang menari-nari di permukaan meja tempat Dimas meletakkan cangkir kopi hitamnya yang belum tersentuh. Matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya.
Dimas Ardiansyah, pria berusia 25 tahun yang berpenampilan rapi namun tampak lesu, menatap kosong ke ikon aplikasi di layar ponselnya.
Hari itu dia mendapati beban pekerjaan tak tertahankan. Perusahaan tempat dia bekerja sedang dalam masalah besar dan sepertinya seluruh tanggung jawab berada di pundaknya. Proyek yang diharapkan menjadi puncak karirnya berubah menjadi mimpi buruk yang tak ada habisnya. Dimas membuka aplikasi media sosial dengan jari lincah. Ia ingin mengalihkan perhatiannya sejenak dari permasalahan pekerjaan yang menderanya. Dengan setiap scroll yang dia lakukan, Dimas melihat postingan berbeda-beda dari teman-temannya. Kebanyakan dari mereka membagikan momen tentang liburan, pernikahan, prestasi, dan momen-momen kecil yang membuat hidup mereka tampak sempurna."Kenapa hidupmu mudah sekali?" gumam Dimas pelan sambil melirik layar ponselnya.
Ia teringat pada masa-masa kuliah di mana ia bercita-cita menjadi seorang insinyur yang sukses dan dihormati. Dimas selalu menjadi yang terbaik di kelasnya, selalu dipuji oleh dosen dan teman-temannya. Namun, sekarang semua itu terasa begitu jauh. Rasa kecewa dan marah pada dirinya sendiri mulai merayap masuk, membuat dada Dimas semakin sesak. Ketika tidak menemukan hiburan di media sosial, Dimas beralih ke game yang selama ini menjadi pelariannya. Ia membuka sebuah game battle royale yang sedang populer. Bermain game adalah salah satu cara Dimas untuk melupakan sejenak segala masalah yang ada di dunia nyata. Dalam dunia game, ia bisa menjadi siapa saja, melakukan apa saja, tanpa perlu memikirkan konsekuensi yang nyata.
Jari-jarinya dengan cekatan mengendalikan karakter dalam game. Ia tenggelam dalam sensasi adrenalin saat berusaha bertahan hidup dan mengalahkan lawan-lawannya. Setiap kali berhasil mengalahkan lawan, ada sedikit rasa puas yang muncul, meskipun hanya sementara. Dalam game, ia merasa memiliki kendali penuh, sesuatu yang sangat ia rindukan dalam hidup nyatanya. Namun, di balik kesenangan sementara itu, Dimas tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus melarikan diri dari kenyataan. Pekerjaan dan tanggung jawabnya akan selalu menunggu. Pikiran itu menghantui Dimas, membuatnya tak sepenuhnya bisa menikmati permainan yang ada di tangannya.Saat ia sedang asyik bermain, sebuah notifikasi pesan masuk muncul di layar ponselnya. Dimas menghentikan permainannya sejenak dan membuka pesan tersebut. Itu adalah pesan dari Ibunya.
"Dimas, Ibu tahu kamu lagi stres berat sampe ga inget pulang. Kalau butuh ngobrol, Ibu bisa jadi teman ngobrol Dimas. Jangan dipendam sendiri, ya Anak Ibu," begitu isi pesannya. Dimas menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ada kehangatan yang ia rasakan dari perhatian sang Ibu, namun juga ada rasa malu karena ia merasa gagal. Dengan cepat, ia membalas pesan tersebut. "Makasi banyak Buu, Aku lagi di kafe biasa. Butuh waktu sendiri sebentar, Ibu gak usah khawtir yaa, Dimas bakal baik-baik aja kok," balas Dimas dengan perasaan bersalah.
Ia kembali meletakkan ponselnya di meja dan menghela napas panjang. Pikirannya kembali berkelana, mengingat perbincangan terakhirnya dengan bosnya. Tekanan untuk menyelesaikan proyek besar itu semakin mendesak. Bahkan, ancaman pemutusan kontrak dengan klien terbesar perusahaan sudah di depan mata. Semua itu membuat Dimas merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Matahari mulai tenggelam, dan langit berubah menjadi semburat jingga yang indah. Dimas memandang ke luar jendela, mencoba mencari ketenangan dalam pemandangan senja yang memukau. Namun, pikirannya tetap dipenuhi dengan kekhawatiran. Ia meraih cangkir kopi di depannya dan menyesapnya perlahan. Rasanya pahit, seperti perasaannya saat ini.
Di balik layar HP-nya, Dimas menyadari bahwa ia harus menghadapi masalah ini dengan kepala dingin. Melarikan diri ke dalam dunia maya atau permainan hanya akan memberikan pelarian sementara. Ia harus menemukan cara untuk mengatasi stres dan tekanan yang ada, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk timnya yang bergantung padanya. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Dimas mengingat seminar motivasi yang pernah diikutinya beberapa bulan yang lalu. Sang pembicara, seorang ahli manajemen stres, mengatakan bahwa berbagi beban dengan orang lain bisa menjadi langkah awal untuk menemukan solusi. Mungkin, pikir Dimas, sudah saatnya ia membuka diri kepada sang Ibu atau teman-teman dekatnya yang lain.
Dengan tekad baru, Dimas mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Ibunya lagi. "Buu, aku mau bicara, ini mau balik ke kos soalnya mau cerita banyak soal pekerjaan aku disini tapi aku pulangnya besok”. Pesan itu terkirim, dan Dimas merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa langkah kecil ini adalah awal dari usaha yang lebih besar untuk mengatasi masalahnya. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Dimas merasa ada secercah harapan. Ia menyelesaikan kopinya dan memutuskan untuk pulang lebih awal, beristirahat, dan mempersiapkan diri untuk hari esok.
Di luar kafe, kota Malang mulai berangsur-angsur tenang. Lampu jalanan menyala, dan suasana malam memberikan nuansa yang berbeda. Dimas berjalan perlahan, merasakan udara malam yang sejuk. Ia tahu bahwa perjalanan untuk memperbaiki keadaan tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Di balik layar HP-nya, ada teman-teman yang peduli dan siap mendukungnya. Dengan langkah mantap, Dimas pulang ke kosnya selama berada di kota orang, yakni Kota Malang. Ia bertekad untuk menghadapi tantangan ini dengan keberanian. Hidup mungkin tidak selalu mudah, tetapi dengan bantuan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya, Dimas percaya bahwa ia bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan ini.
Hari baru akan segera tiba, dan Dimas siap menyongsongnya dengan semangat baru. Di balik layar HP-nya, ia menemukan kekuatan untuk bangkit dan melangkah maju. Ketika hampai sampai di kos, Dimas kemudian berdiam sejenak di pinggir jalan dekat gang menuju kosnya sembari bingung oleh-oleh apa yang akan ia bawa besok untuk ibunya. “Huuummm ... bawa apa yaa buat ibu besok kira-kira, udah terlanjur ngomong besok pula haduuuhh,” pusing Dimas dengan mengusap-ngusap wajahnya yang tampak lusuh.
Dimas yang hendak menuju ke kosnya yang sudah dekat, ia melihat seorang gadis yang sangat cantik sampai-sampai Dimas sendiri menganga melihatnya. Namun, gadis itu merasa jika ia sedang diperhatikan, maka dari itu ia pun menoleh ke arah Dimas dan membuat Dimas langsung salah tingkah dibuatnya. “Mas ... ada apa yaaa?” tanya wanita itu dengan senyuman manisnya. “Engga engga .... gapapa kok cuman ngantuk aja,” jawab Dimas dengan spontan meninggal gadis itu di pinggir jalan. “Bisa-bisanya keciduk cewe itu kalo lagi liatin diaa,” kesalnya Dimas. Setelah mengalami kejadian tersebut Dimas malah lupa oleh-oleh untuk ibunya. Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk istirahat dan besoknya ia baru membeli oleh-olehnya.
Dengan langkah mantap, Dimas bangun dari kasurnya dan mulai menyiapkan diri. Ia membersihkan diri, mengenakan pakaian yang rapi, dan memastikan bahwa segala sesuatunya sudah siap untuk perjalanan. Hari ini adalah hari yang spesial baginya. Ia akan bertemu dengan ibunya setelah sekian lama tak bertemu.
Kesempatan untuk bercerita dan berbagi keluh kesah menjadi dorongan yang sangat besar baginya. Setelah selesai menata diri, Dimas mengambil ponselnya dan membuka galeri foto. Di sana, ia menemukan foto-foto masa lalunya, termasuk foto ibunya. Wajah manis dan lembut ibunya membuat hati Dimas terasa hangat. “Udah 2 minggu ternyata aku ga pulang ke rumah, kasian ibu pasti kepikiran banget sama aku,” kata Dimas yang hendak keluar kos.
Setelah memastikan bahwa semuanya sudah siap, Dimas meninggalkan kosnya untuk membeli oleh-oleh khas Kota Malang yakni Bakpia dan buah Apel dan menuju ke stasiun bus. Perjalanan menuju kampung halamannya memakan waktu yang cukup lama, tetapi Dimas tak merasa bosan. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai macam harapan dan keinginan untuk bertemu ibunya. Saat akhirnya sampai di kampung halamannya, Dimas disambut oleh udara segar dan pemandangan yang indah. Ia melangkah dengan hati penuh harap, menuju rumah kecil tempat ia dibesarkan.
Ketika ia tiba di depan rumah, hatinya berdebar kencang. Ia mengetuk pintu dengan lembut, menunggu dengan sabar sampai pintu terbuka. Seketika, wajah cerah Bu Siti muncul di balik pintu. Matanya bersinar senang saat melihat Dimas. "Dimas, anakku! Akhirnya kamu pulang!" serunya sambil membuka pintu lebar-lebar.
Dimas tersenyum lebar dan segera memeluk ibunya erat-erat. Rasanya seperti kembali pulang ke pelukan yang hangat dan nyaman setelah sekian lama berada jauh di kota. "Maaf, Bu, aku agak lama pulang kali ini," ucap Dimas sambil membebaskan diri dari pelukan ibunya. Bu Siti hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Tidak apa-apa, sayang. Yang penting kamu sudah pulang. Masuklah, sudah lama sekali kita tak berkumpul seperti ini."
Dimas mengikuti ibunya masuk ke dalam rumah. Aroma masakan khas ibunya menyambut mereka di ruang makan. Dimas tersenyum bahagia, merasa seperti kembali ke masa kecilnya. Di meja makan, ibunya telah menyiapkan hidangan lezat yang disukainya. Mereka berdua duduk bersama di meja makan, berbagi cerita dan tawa. Dimas menceritakan semua hal yang telah terjadi padanya di kota Malang, termasuk pekerjaannya yang penuh tekanan dan pertemuannya dengan wanita misterius di jalan menuju kosnya.
Ibu Siti mendengarkan Dimas bercerita dengan penuh perhatian. Wajahnya tampak serius ketika Dimas bercerita tentang pekerjaannya yang kacau. Namun, senyumnya kembali muncul saat Dimas bercerita tentang pertemuannya dengan gadis cantik di jalan. "Mungkin itu adalah tanda baik, Nak," katanya sambil tersenyum. "Siapa tahu, gadis itu adalah seseorang yang istimewa dalam hidupmu." Dimas tersenyum, merasa hangat oleh kata-kata ibunya. "Aku harap begitu, Bu," ucapnya pelan. Malam itu berlalu dengan cepat. Dimas dan ibunya menghabiskan waktu bersama, saling berbagi cerita dan kenangan. Setiap kata dan tawa yang mereka bagikan membuat hati Dimas terasa penuh dan hangat.
Ketika larut malam tiba, Dimas merasa lelah setelah perjalanan panjang dan hari yang penuh dengan emosi. Ia pamit kepada ibunya dan berjanji akan segera kembali berkunjung lagi. Dengan langkah ringan, Dimas meninggalkan rumah ibunya dan kembali ke kosnya di kota Malang. Meskipun tubuhnya lelah, hatinya penuh dengan kehangatan dan harapan baru setelah bertemu dengan ibunya.
Saat memasuki kosnya setelah melakukan perjalanan jauh dari kampung, Dimas merasakan udara yang berbeda. Rasanya seperti kembali ke dunia yang keras dan tak terduga setelah sesaat merasakan kehangatan keluarga. Namun, ia tidak merasa sendirian. Pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuan singkat dengan gadis cantik nan misterius di jalan tempo hari. Bayangannya menghantui pikirannya, membuat hatinya berdebar-debar.
Setelah mandi dan menyiapkan diri untuk tidur, Dimas terbaring di atas kasurnya. Pikirannya terus melayang ke pertemuan dengan gadis itu. Siapakah dia? Apa yang membuatnya begitu terpesona? Dan kenapa ia merasa begitu terkikis oleh kehadirannya? Di tengah-tengah pertanyaan-pertanyaan itu, akhirnya Dimas tertidur dengan wajahnya yang dipenuhi dengan senyum tipis. Mimpi-mimpi tentang pertemuan dengan wanita misterius menghantui tidurnya, memberinya kehangatan dan harapan baru di tengah-tengah kegelapan malam. Keesokan paginya, Dimas terbangun dengan semangat baru.
Ia merasa segar dan siap untuk menghadapi hari yang baru. Dengan cepat, ia bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Hari ini, ia memiliki rencana untuk bertemu dengan Rina dan timnya untuk membahas solusi atas masalah pekerjaan yang sedang mereka hadapi.
“Waduh telat ini ketemu Rina sama yang lain,” ucap Dimas dengan terburu-buru. Ketika baru keluar gang, Dimas bertemu kembali dengan sesosok gadis yang membuat terpana. “Looohh Mas yang malem itu kan?,” kata gadis itu dengan lembut. “Hehehe ... iyaaa saya yang tadi malem, Masnya tinggal disini?” tanya balik Dimas. “Iyaaa saya tinggal di daerah sini Mas,” jawab gadis itu. “Anuuuu ... boleh tau nama kamu?” tanya lagi Dimas dengan perasaan dag dig dugnya. “Boleeehhh, nama saya Maya, kalo Masnya?” ucap Maya. “Aku Dimas Ardiansyah, panggil aja Dimas,” jawab Dimas dengan lugas.
Dimas yang sebenernya telat untuk bertemu Rina dan teman-temannya sontak aja si Dimas ingat. “Adyyaaahh aku inget aku buru-buru ... aku tinggal dulu yaa, ini nomor telepon aku mungkin bisa chat-chatan nanti yaa,” kata Dimas yang tancap gas memacu motornya menuju tempat teman-temannya kumpul.
Saat sampai di kantor, suasana hati Dimas berubah menjadi serius lagi. Mereka memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan mereka tidak punya banyak waktu untuk bersantai. Namun, kehadiran Rina dan timnya membuat suasana hatinya sedikit lebih cerah. Mereka semua saling mendukung dan berusaha mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi. Selama pertemuan itu, Dimas merasa terbantu oleh kehadiran Rina. Wanita itu selalu memiliki kata-kata yang tepat untuk menghiburnya dan memberinya semangat. Dimas merasa beruntung memiliki teman seperjuangan seperti Rina di sampingnya.
Setelah pertemuan selesai, Dimas merasa lega. Mereka telah berhasil menemukan solusi atas masalah pekerjaan yang mereka hadapi, dan sekarang mereka bisa melanjutkan pekerjaan mereka dengan tenang. “Lain kalo ada apa-apa tuh ngomong, ga usah gengsi buat minta tolong, kita ini udah temenan lama ... PAHAM!?,” ujar Rina dengan tegas. “Iyaaa iyaaa lain kali aku bakal ngomong, sorry banget dah bikin kamu sama yang lain khawatir,” jawab Dimas yang merasa bersalah.
Namun, di tengah-tengah kelegaan itu, pikirannya kembali melayang ke Maya yang baru dikenalinya tadi. Saat itulah ponselnya bergetar, memberinya notifikasi pesan masuk. Hatinya berdebar kencang saat melihat siapa pengirimnya.
Ternyata, itu adalah pesan dari Maya tersebut. "Terima kasih sudah mau memberikan nomornya Mas ke saya. Saya harap bisa bertemu dengan Mas Dimas lagi hehehe.”. Dengan senyum yang tak terkira, Dimas merasa hatinya berbunga-bunga. Gadis itu juga merasakan hal yang sama dengannya! Tanpa ragu, Dimas segera membalas pesannya. "Sama-sama. Saya juga sangat senang bertemu dengan kamu sejak malam itu. Saya berharap bisa melihat Anda lagi suatu hari nanti. "
Setelah mengirim pesan balasan, Dimas merasa seperti melayang di awan-awan. Ia tidak bisa menahan senyumnya yang lebar. Hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan dan harapan baru. Mungkin, pikirnya, pertemuan singkat dengan wanita misterius itu adalah awal dari sesuatu yang indah di dalam hidupnya.
Dengan semangat yang baru, Dimas kembali fokus pada pekerjaannya. Meskipun masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi, ia percaya bahwa dengan dukungan dari Rina dan timnya, mereka akan bisa mengatasinya. Dan di balik layar HP-nya, Dimas juga memiliki seseorang yang memberinya semangat dan kehangatan.
Pada malam hari, setelah pulang dari kantor, Dimas kembali memikirkan pertemuan dengan Maya itu. Ia merasa beruntung telah bertemu dengannya, dan ia tidak sabar untuk melihatnya lagi suatu hari nanti. Dengan hati yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan, Dimas merenungkan tentang masa depan yang cerah yang mungkin menantinya. Di balik layar HP-nya, ada cerita yang sedang ditulis dengan sendirinya, penuh dengan kejutan dan kebahagiaan yang tak terduga.
Hari itu langit kota Malang cerah dengan awan putih yang berserakan di langit biru. Dimas berjalan pulang menuju kosnya setelah hari yang panjang di kantor. Pikirannya masih melayang-layang pada pesan terakhir yang diterimanya dari Maya, wanita misterius yang ditemuinya di kafe beberapa waktu lalu. Perasaan aneh dan manis menggelayut di dadanya setiap kali ia mengingat senyum dan tatapan mata Maya. Saat Dimas melangkah masuk ke jalan kecil yang menuju ke kosnya, tiba-tiba ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Maya berdiri di sana, tampak kebingungan sambil melihat sekeliling. Dimas merasa seperti dunia berhenti sejenak. Hatinya berdebar kencang saat ia menyadari bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan semata.
Dengan langkah ragu, Dimas mendekati Maya. "Maya? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar. Maya menoleh dan tersenyum begitu melihat Dimas. "Mas Dimas! Ini aku abis beli beras, Masnya abis dari kerja?." Tanya balik Maya. “Iyaa ... abis kamu ngasi berasnya gimana kalo kita ke taman, stres rasanya kalo ribet kalo gak di kantor ya di kos,” ajak Dimas yang udah stres. “Huummmnn ... Oke deh lagian sama stresnya abis ngerjain tugas kuliah banyak banget ... individu pula,” kata Maya yang menerima ajakan Dimas. “Oke deh kalo gitu bentar mau mandi dulu nanti aku jemput di mana?” tanya lagi Dimas,”. Maya pun menjawab “Aku aja yang kesini lagi Mas Dimas,”.
Selama perjalanan dengan menaiki motor kesayangan Dimas, mereka berbicara dengan santai, mencoba mengenal satu sama lain lebih dalam. Dimas akhirnya mengetahui bahwa Maya adalah seorang mahasiswa di universitas ternama di Kota Malang. “Akhirnya mereka berhenti di Alun-Alun Kota Malang setelah berkeliling untuk membeli jajan terlebih dahulu. “Udah lama aku ga kesini meskipun deket si Mas,” curhat Maya. “Laahh kok bisa udah lama ga kesini,” sahut Dimas yang mulai kepo. Entah kenapa, Maya yang baru mengenal Dimas beberapa hari rasanya ia sangat tenang seolah-olah ia sedang diliputi awan mendung yang menutupi sinar matahari yang terik.
“Jadi gini Mas, aku tuh kalo abis kuliah yaaa kerja freelance gitu kayak nulis-nulis novel, cerpen sama puisi gitu pokoknya buat bantu keluarga,” kata Maya yang sembari menghela nafasnya. Dimas yang merasa kondisi Maya sangat mirip dengannya lantas menyahut “Yaaahhh nasibnya kita sama ternyata hahahaha. Kerjaan aku juga kadang nyiksa banget tiba-tiba banyak gitu. Mau resign tapi di kampung gimana rasanya,”. Maya tersenyum, matanya berbinar saat berbicara tentang keseharian pada orang yang tak ia lakukan sebelumnya. Maya mengangguk, mengerti perasaan Dimas. "Setiap pekerjaan pasti ada tantangannya. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya dan tetap menemukan kebahagiaan dalam apa yang kita lakukan."
Pembicaraan mereka terus berlanjut, dari topik pekerjaan hingga hobi dan impian. Dimas merasa sangat nyaman berbicara dengan Maya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa hangat dan diterima. Waktu terasa berlalu begitu cepat, dan sebelum mereka menyadarinya, matahari sudah mulai terbenam. Dimas melihat jam tangannya dan tersenyum. "Maya, bagaimana kalau kita lanjut ngobrol di kafe? Aku tahu satu tempat yang nyaman dan mereka punya kopi yang enak."
Maya setuju, dan mereka pun berjalan bersama menuju kafe yang tidak terlalu jauh dari taman. Kafe itu memiliki suasana yang hangat dengan dekorasi vintage dan musik jazz yang mengalun lembut di latar belakang. Dimas memilih meja di pojok yang memberikan privasi, dan mereka duduk berhadapan sambil memesan minuman. Saat menunggu pesanan mereka datang, Maya melihat sekeliling kafe dengan kagum. "Tempat ini benar-benar indah. Aku suka suasananya."
Dimas tersenyum, senang melihat Maya bahagia. "Aku juga suka tempat ini. Aku sering datang ke sini untuk bersantai dan menenangkan pikiran." Percakapan mereka berlanjut dengan santai dan penuh tawa. Mereka saling berbagi cerita tentang masa kecil, pengalaman lucu, dan impian masa depan. Dimas merasa semakin dekat dengan Maya, dan ia bisa merasakan ada chemistry yang kuat di antara mereka.
Saat minuman mereka tiba, Dimas mengangkat cangkir kopinya. "Untuk pertemuan yang tidak disengaja dan mungkin awal dari sebuah persahabatan yang indah," katanya sambil tersenyum. Maya tertawa kecil dan mengangkat cangkirnya. "Untuk persahabatan dan mungkin lebih dari itu," balasnya dengan tatapan penuh makna. Mereka saling tersenyum dan menyesap minuman mereka. Waktu terus berjalan, tetapi Dimas dan Maya tidak merasa bosan sedikit pun. Mereka tenggelam dalam percakapan yang semakin dalam dan penuh keakraban.
Ketika malam semakin larut, Dimas merasa bahwa saatnya untuk mengantar Maya pulang. Mereka keluar dari kafe dengan perasaan yang lebih dekat dan hangat. Dimas menawarkan untuk mengantar Maya hingga ke depan kosnya, dan Maya dengan senang hati menerima tawarannya. Saat mereka tiba di depan jalan menuju rumah Maya, Dimas merasa sedikit enggan untuk berpisah. "Maya, aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu hari ini. Aku harap kita bisa bertemu lagi."
Maya tersenyum manis. "Aku juga senang, Mas Dimas. Tentu, kita harus sering bertemu. Terima kasih sudah menemani hari ini." Dimas tersenyum dan mengangguk. "Sampai jumpa, Maya." Maya melambaikan tangan dan masuk ke dalam gang rumahnya. Dimas berdiri sejenak, menikmati perasaan hangat yang masih terasa di dadanya. Ia berjalan pulang dengan langkah ringan, merasa bahwa hari itu adalah salah satu hari terbaik dalam hidupnya.
Keesokan harinya, Dimas bangun dengan semangat baru. Ia merasa lebih berenergi dan siap menghadapi hari. Pikirannya kembali melayang pada pertemuannya dengan Maya. Hatinya dipenuhi dengan harapan dan kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Setelah bersiap-siap, Dimas berangkat ke kantor dengan senyum di wajahnya. Sepanjang perjalanan, ia tidak bisa berhenti memikirkan Maya. Pertemuan mereka yang tidak disengaja telah membuka pintu bagi sesuatu yang lebih besar dalam hidupnya.
Hari itu di kantor, Dimas bekerja dengan semangat tinggi. Rina, yang memperhatikan perubahan positif dalam diri Dimas, merasa penasaran dan mendekatinya saat istirahat makan siang. "Dimas, kamu kelihatan berbeda hari ini. Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Rina dengan senyum penuh arti. Dimas tertawa kecil. "Mungkin. Aku bertemu seseorang yang sangat istimewa kemarin." Rina tersenyum lebar. "Oh, benarkah? Ceritakan dong bikin penasaran aja!"
Dimas menceritakan pertemuannya dengan Maya, bagaimana mereka bertemu di jalan dekat kosnya, berbicara di taman, dan menghabiskan waktu di kafe. Rina mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa ikut bahagia untuk Dimas. "Sepertinya Maya adalah seseorang yang spesial," kata Rina setelah mendengar cerita Dimas. "Aku harap hubungan kalian yang diawali ketidaksengajaan itu berkembang dengan baik."
Dimas mengangguk, merasa berterima kasih atas dukungan Rina. "Aku juga berharap begitu. Aku merasa sangat nyaman bersamanya. Terima kasih, Rina." Hari-hari berikutnya, Dimas dan Maya mulai sering bertemu. Mereka menjelajahi berbagai tempat di kota Malang, dari taman-taman indah hingga kafe-kafe unik yang tersembunyi. Setiap pertemuan membawa mereka semakin dekat, dan Dimas merasa bahwa Maya adalah sosok yang telah lama ia nantikan.
Suatu hari, mereka duduk di sebuah bangku di taman yang sama seperti pertama kali mereka bertemu. Matahari sore menghangatkan suasana, dan angin sepoi-sepoi membuat momen itu terasa sempurna. "Maya, aku senang bisa mengenalmu lebih dalam," kata Dimas sambil menatap mata Maya dengan penuh rasa syukur. Maya tersenyum lembut. "Aku juga, Dimas. Kamu adalah teman yang luar biasa, dan aku merasa beruntung bisa bertemu denganmu."
Dimas merasa hatinya meluap dengan perasaan bahagia. "Maya, aku ingin kita lebih dari sekadar teman. Aku ingin kita bisa menjadi lebih dekat lagi." Maya menatap Dimas dengan mata yang berbinar-binar. "Aku juga merasa hal yang sama, Mas Dimas." Dengan perasaan yang menggebu-gebu, Dimas menggenggam tangan Maya. Mereka berdua tersenyum, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka. Terucaplah kata “I LOVE YOU” Hari itu, di taman yang indah, Dimas dan Maya memulai babak baru dalam hubungan mereka. Babak yang penuh dengan harapan, kebahagiaan, dan petualangan yang menanti di depan.
Dimas merasa bahwa hidupnya telah berubah sejak pertemuannya dengan Maya. Di balik layar HP-nya, ada sebuah cerita cinta yang sedang ditulis. Sebuah cerita yang akan terus berkembang dan memberikan kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan Maya di sisinya, Dimas merasa siap menghadapi apa pun yang akan datang, karena ia tahu bahwa cinta dan persahabatan yang mereka miliki adalah hal yang paling berharga dalam hidupnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!