NovelToon NovelToon

Satu Milyar Untuk 30 Hari

Bab 1

Malam itu, suasana di rumah Ibu Ning dan Citra terasa berat dan sunyi, mereka berdua masih memikirkan tentang tawaran orang kaya raya yang mau menikahi putrinya yaitu zea.

Tiba-tiba pintu mereka terketuk oleh seseorang yang tak dikenal. Seorang pria gagah berpakaian serba hitam berdiri tegap di hadapan mereka. Dengan nada tegas dan serius, pria itu mengucapkan tawaran yang mengejutkan,

"Satu milyar untuk menemani tuan saya selama 30 hari."

Ibu Ning dan Citra saling pandang, tidak percaya apa yang mereka dengar. "Sa-satu milyar, Pak?" tanya Ibu Ning dengan terbata-bata, masih tak percaya dengan tawaran yang ada di hadapannya.

"Iya, Bu. Kalian akan terbebas dari hutang dan bahkan menjadi orang kaya," jawab pria berpakaian serba hitam tersebut dengan yakin.

Citra menarik lengan ibunya untuk masuk ke dapur, berbisik dengan penuh harapan, "Iya'in saja, Buk. Citra yakin Zea mau membantu kita."

"Tapi nak, kasian zea dia masih ingin melanjutkan sekolahnya"

"Hallah buk, uang dari mana? Mau jual kebun satu satunya peninggalan bapak? Lagian buk hutang kita ada di mana mana, lagian Citra capek jadi orang miskin terus ! Ayolah buk terima saja" ucap citra mencoba meyakinkan ibunya

"Tapi nak"

"Buk, cuma tiga puluh hari lagian habis itu tidak lagi ada hubungan apa apa buk, zea itu hanya menemani saja tuan mereka ! Setelah itu zea bisa melanjutkan lagi sekolahnya, dan kita bisa hidup jauh lebih baik buk"

Ibu Ning terdiam, menimbang-nimbang pilihan di hadapannya. Akhirnya, dengan napas terengah-engah, ia mengangguk pelan dan mengambil keputusan yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Citra menghela nafas panjang, akhirnya dirinya bisa meyakinkan ibunya meskipun zea perempuan yang diinginkan oleh pria kaya raya itu belum tau apa apa.

"Baiklah, Pak. Kami menerima tawaran Anda," ujar Ibu Ning dengan suara lirih namun penuh tekad.

Pria berpakaian serba hitam itu tersenyum tipis dan mengangguk, seolah sudah mengetahui jawaban yang akan mereka berikan.

Dalam hati Ibu Ning dan Citra, keputusan tersebut membawa harapan dan ketakutan yang sama besar. Namun, demi kebahagiaan dan masa depan yang lebih baik, mereka bersedia mengambil risiko yang ada.

"Bagus !"

"Besok kami ke sini lagi membawa anak kamu yang sangat cantik itu" ujarnya lagi

Mobil berwarna hitam menghentikan lajunya di depan rumah rapuh milik Ibu Ning. Pintu mobil terbuka dan satu per satu orang berpakaian serba hitam keluar dari dalamnya.

Mereka tampak serius dan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah tersebut. Langkah kaki mereka terdengar berat, menimbulkan dentuman kecil di lantai yang sudah lapuk.

Sementara itu, Zea baru saja pulang dari pekerjaannya di sebuah warung makan. Ia kaget melihat pemandangan yang tidak biasa di depan rumahnya.

Beberapa orang berpakaian serba hitam tampak berjalan keluar dari rumah Ibu Ning dan masuk ke dalam mobil hitam yang terparkir di depannya.

"Loh, itu kan orang yang kemarin, ngapain lagi?" gumam Zea sambil berdiri mematung, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya.

Tiba-tiba, mobil hitam tersebut melaju di depan Zea yang masih berdiri mematung. Klakson mobil terdengar keras, membuat Zea tersentak kembali pada kenyataan.

Ia bahkan sempat melihat salah satu orang berpakaian serba hitam menoleh dan tersenyum sinis ke arahnya, seolah-olah menyimpan rencana jahat di balik senyum itu.

Ketegangan terasa menyelimuti udara. Zea merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kehadiran orang-orang berpakaian serba hitam itu. Ia bertekad untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di balik kejadian misterius tersebut.

Zea berjalan dengan langkah mantap menuju rumahnya, ia merasa cukup lelah setelah seharian berada bekerja. Sesampainya di depan pintu rumah, Zea mengetuk pintu dengan penuh semangat. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Ibu Ning menyambutnya dengan wajah ramah.

"Assalamualaikum," seru Zea sambil tersenyum manis, menunjukkan sisi ceria yang selalu ia miliki.

"Wa'alaikumsalam nak," sahut Ibu Ning dengan hangat. "Masuk nak," ucapnya lagi, mengajak Zea untuk segera masuk ke dalam rumah.

Begitu Zea melangkah masuk, ia melihat kakaknya, Citra, yang tengah duduk di sofa ruang tamu sambil memandangi adik satu-satunya itu. Citra selalu kagum dengan kecantikan Zea yang mampu menarik perhatian banyak orang.

"Duduk Ze, Ibuk mau bicara sebentar sama kamu," ucap Ibu Ning dengan tatapan serius yang jarang ia tunjukkan. Ada sesuatu yang penting ingin ia bicarakan dengan Zea.

"Iya, Buk," sahut Zea sambil mengangguk, lalu duduk di depan Ibu Ning dan Citra.

Ketegangan terasa di udara saat mereka bertiga duduk berhadapan. Zea merasa gugup dan penasaran dengan apa yang ingin dibahas oleh ibunya.

Sementara itu, Ibu Ning merasa perlu memberikan nasihat dan arahan kepada Zea agar ia bisa tumbuh menjadi wanita yang baik dan bertanggung jawab.

Di sisi lain, Citra hanya diam, ia merasa perlu mendengarkan pembicaraan ini karena ia tahu betul betapa pentingnya dukungan keluarga dalam menghadapi berbagai masalah yang mungkin dihadapi Zea.

Dalam ruang tamu yang sunyi, ibu Ning duduk di sofa bersama Zea dan Citra. Wajah ibu Ning terlihat tegang dan gugup saat hendak menceritakan perjanjian yang baru saja ia buat dengan seorang pria. Zea dan Citra saling bertatapan bingung dan penasaran.

"Ibu, apa yang terjadi?" tanya zea dengan nada khawatir.

Ibu Ning menarik napas dalam-dalam, lalu mulai bercerita, "Anak-anak, tadi ada seorang pria yang datang ke sini. Dia menawarkan sesuatu yang bisa mengubah hidup kita jadi lebih baik. Tapi, ada satu syarat yang harus dipenuhi."

"Apa itu buk?" Tanya citra seolah ia tidak tau apaa apa

"Zea akan segera menikah"

"Apa ! Sama siapa buk?" Keget zea

"Ibuk juga belum tau nak" ibu Ning melanjutkan ceritanya

Mendengar hal itu, wajah Zea langsung berubah. "Apa apaan buk! Mana mau Zea nikah sama pria yang tidak aku kenal! Ibuk tega banget denganku buk! Sama saja ibuk menjual aku!" protes Zea dengan suara keras, mata berkaca-kaca.

"Cukup Zea!" bentak Citra, menatap adiknya dengan tajam. Citra kemudian menenangkan diri dan kembali berbicara, "Bu, tolong jelaskan dulu semuanya dengan jelas. Mengapa ibu mau menerima tawaran itu?"

Ibu Ning menghela napas, "Anak-anak, ibu melakukan ini semua demi kebahagiaan kita bersama. Kita tidak bisa terus hidup seperti ini, diperlakukan rendah oleh tetangga dan orang sekitar. Pria itu bisa memberikan kita kehidupan yang lebih baik."

Zea merasa kasihan pada ibunya yang terlihat begitu lelah dan putus asa. Namun, Zea tidak bisa menerima kenyataan ini begitu saja. Wajahnya semakin pucat, matanya terus menatap ibunya dengan rasa kecewa yang mendalam.

"Bu, apakah tidak ada cara lain selain menjual Zea? Apakah ini satu-satunya jalan?" tanya zea dengan nada lembut.

Ibu Ning menunduk, air mata mulai jatuh membasahi pipinya. "Maafkan ibu, zea. Ini memang pilihan yang sangat sulit, tapi ibu yakin ini adalah jalan terbaik untuk kita semua. Semoga kamu bisa mengerti."

Di tengah keheningan yang menyelimuti ruangan, hati Zea terasa sangat sakit. Meski ia mencoba memahami alasan di balik keputusan ibunya, tetap saja kehilangan kebebasan dan masa depan yang selama ini ia impikan adalah hal yang sangat sulit untuk diterima.

***

Bab 2

Zea terdiam, matanya melihat ke arah luar jendela, mencoba mencerna situasi yang tengah dihadapinya. Sementara itu, Ibu Ning dan Citra berbicara panjang lebar, mencoba meyakinkan Zea bahwa tawaran yang ada di depan matanya adalah kesempatan emas untuk mengubah hidup mereka menjadi lebih baik.

"Tapi, Bu..." ucap Zea, seraya menoleh ke arah ibunya dengan mata berkaca-kaca.

"Tapi apa lagi, Zea? Ingat, hanya waktu tiga puluh hari untuk mendapatkan uang satu miliar! Di mana lagi kita bisa mencari uang sebanyak itu dalam waktu singkat?" seru Citra, sedikit membesarkan suaranya, menunjukkan rasa frustrasinya.

Zea menangis sesenggukan, merasa terpojok oleh situasi yang dihadapinya. Ia sebenarnya sangat tidak ingin mengambil keputusan tersebut, namun mengingat kehidupan mereka yang penuh hutang dan ejekan tetangga, Zea merasa tidak punya pilihan lain.

Dalam hati, Zea mencoba menguatkan diri. Ia menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang, kemudian mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata.

"Baiklah, Bu, kak Citra... Aku setuju," ucap Zea dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan ketakutannya.

Ibu Ning dan Citra tersenyum, lega karena Zea akhirnya menyetujui rencana mereka. Mereka berjanji akan mendampingi dan membantu Zea sepanjang perjalanan ini, demi kehidupan yang lebih baik dan bahagia untuk mereka semua.

Keesokan paginya, Zea sudah berdiri di depan rumahnya, mengenakan gaun merah muda yang anggun. Ibu Ning dan Citra juga telah siap, mengenakan pakaian terbaik mereka untuk menemani Zea dalam perjalanan ini. Mereka semua menunggu kedatangan para pria berpakaian serba hitam yang akan menjemput mereka.

Tepat waktu, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan rumah mereka. Pintu mobil terbuka, dan beberapa pria gagah berpakaian serba hitam turun dari mobil tersebut. Mereka tersenyum sopan kepada Zea dan keluarganya.

"Kalian sudah siap?" tanya salah satu pria gagah berpakaian serba hitam itu.

"Sudah," sahut Citra antusias, dengan wajah berbinar.

"Bagus," kata pria itu, menoleh ke arah Zea yang masih tampak cemberut. "Ayo, Zea. Waktunya berangkat."

Namun, sebelum Ibu Ning dan Citra bisa mengikuti Zea ke dalam mobil, pria berpakaian serba hitam itu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka tidak masuk.

"Kalian tidak bisa ikut bersama kami. Hanya Zea yang kami jemput."

"Ini uang, satu milyar yang bos kami janjikan" kata pria itu sambil menyerahkan sejumlah uang kepada Ibu Ning. "Silakan gunakan untuk keperluan Kalian"

"Tapi pak, saya mau antar anak saya pak"

"Bukan urusan kami, minggir sana"

"Zea maafkan ibuk nak, kamu baik baik di sana ya? Maaf kan ibu" seru ibu Ning Dengan perasaan bersalahnya

Wajah Ibu Ning tampak sedih, namun dia mengangguk mengerti. Zea melirik sekali lagi ke arah ibunya dan Citra sebelum masuk ke mobil, pintu tertutup, dan mobil hitam mewah itu melaju meninggalkan rumah mereka.

Rea menangis terisak-isak di sudut ruangan, matanya sembab menatap wajah kakaknya, Citra, dan ibunya yang sedang saling berpelukan erat. Tangis mereka seolah menjadi satu dalam lantunan doa yang tak henti-hentinya terucap di bibir mereka.

"Zea, kamu baik-baik saja di sana, ya. Kakak akan pastikan Ibuk selalu baik-baik saja di sini," teriak Citra dengan suara yang bergetar, mencoba menahan tangis.

Zea hanya bisa menatap mereka dari dalam mobil yang perlahan menjauh. Ia merasa hatinya tercabik-cabik, tak sanggup untuk melihat ke belakang lagi.

"Usap air matamu! Bos kami gak suka perempuan cengeng!" seru salah satu pria yang duduk di sebelah Zea, dengan nada dingin dan sinis.

Zea tidak menjawabnya. Ia mengusap air matanya dengan tangan gemetar, berusaha menenangkan diri saat mobil semakin meninggalkan tempat di mana ia tumbuh dan menghabiskan sebagian besar hidupnya.

"Kamu baca dulu surat perjanjian ini," ujar pria itu sambil menyerahkan selembar kertas yang sudah dibungkus rapi.

Zea menggelengkan kepalanya perlahan, menatap kertas itu dengan pandangan kosong. Ia merasa seolah hidupnya kini di ujung tanduk, terjebak dalam pilihan yang sulit dan menghancurkan hatinya. Namun, demi keluarganya, Zea tahu bahwa ia harus tetap kuat dan melangkah maju.

**

Mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan sebuah rumah besar dan megah. Rumah ini jauh lebih mewah daripada yang pernah Zea lihat sebelumnya. Pintu mobil terbuka, dan Zea, gadis muda berparas cantik, keluar dengan ekspresi kaku di wajahnya.

"Turun," ujar sopir mobil itu dengan nada dingin.

"Iya," jawab Zea dengan suara serak, perasaan cemas dan takut bercampur aduk di dalam hatinya.

Begitu Zea menginjakkan kaki di depan rumah, beberapa orang pelayan segera menyapanya dengan ramah dan hormat. Zea terkejut bukan main, ia tidak pernah menyangka akan disambut layaknya seorang nona besar di rumah ini. Salah satu pelayan, seorang wanita paruh baya, langsung mengajak Zea masuk ke dalam rumah.

"Dik Zea, mari kita masuk ke dalam rumah. Tuan leon sudah menunggu," ujar wanita itu dengan senyum ramah.

Zea mengangguk, lalu melangkahkan kakinya memasuki rumah mewah itu. Kaki Zea tampak bergetar, menahan rasa cemas dan takut yang semakin menguasai dirinya. Ia merasa seperti seorang rusa kecil yang terjebak di tengah hutan belantara, tak tahu harus berbuat apa.

Saat memasuki ruang tamu, Zea melihat beberapa orang yang sedang berkumpul. Mereka menoleh, menatap Zea dengan penuh perhatian. Zea merasa jantungnya berdebar kencang, namun ia berusaha menunjukkan sikap tenang dan sopan.

"Selamat datang di rumah kamu, Zea," sapa seorang perempuan paruh baya dengan senyum hangat. "Kami harap kamu merasa nyaman di sini."

"Terima kasih," balas Zea dengan suara lirih, berusaha menyembunyikan kecemasan yang menggelayut di hatinya.

Ia tahu, kehidupan barunya di rumah mewah ini tak akan mudah. Tapi ia harus beradaptasi, demi masa depan yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya.

Zea merasa takut dan cemas ketika mendengar bahwa dia harus menikah dengan Leon, lelaki yang selama ini ia tahu hanya dari tayangan televisi. Wajahnya yang sudah tua dan bulu kuduknya berdiri membuat Zea merasa ngeri.

Bayangan itu begitu menghantui Zea, bagaimana mungkin ia harus menikah dengan seorang pria tua yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya. Namun, takdir berkata lain.

"Non Zea, ikut kami untuk ganti baju dan di rias karena pernikahan non dan tuan muda kami akan segera berlangsung," ujar seorang pelayan dengan sopan.

"A-apa!" Zea kaget dan pasrah. Ia tak bisa menolak perintah itu, ia terpaksa harus menghadapi kenyataan yang begitu pahit. Hati Zea bergetar, menggigil ketakutan akan masa depan yang akan dijalaninya bersama lelaki yang tak ia kenal.

Dengan langkah gontai, Zea mengikuti pelayan itu untuk berganti baju dan bersiap menghadapi hari yang akan mengubah seluruh hidupnya.

Rasa penasaran dan kekhawatiran bercampur menjadi satu dalam hatinya. Apakah Leon benar-benar seorang pria tua yang menakutkan seperti yang ia bayangkan? Atau mungkin ada sisi lain yang belum ia ketahui?

***

Bab 3

Zea melangkah masuk ke dalam kamar yang sangat mewah dan luas, dihiasi dengan pernak-pernik yang mewah dan elegan. Di sana, ia langsung mengenakan kebaya modern masa kini yang telah disiapkan untuknya.

Seorang perempuan cantik dan berbakat dalam merias, mulai menyulap wajah Zea menjadi semakin mempesona. 

Wajah Zea terlihat lebih bercahaya dan menawan, siap untuk menghadapi pernikahan kontrak yang akan segera digelar.

Namun, di balik wajah cantik dan tersenyum yang dipaksanya, Zea terus berusaha menahan tangis yang hendak pecah. 

Dari tadi ia hanya bisa diam tanpa kata, merasa terjebak dan tak berdaya dalam situasi ini. Ia ingin melarikan diri, tapi kemana ia akan pergi? Zea bahkan tidak tahu di mana ia berada saat ini.

Mendengar pujian Mbok Roh, Zea mencoba menahan rasa sedih dan menampilkan senyuman yang penuh harap. 

"Terima kasih, Mbok. Saya berusaha untuk tetap tegar," jawab Zea sambil menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di matanya.

Namun, di balik senyuman yang dipaksanya, Zea merasa hatinya semakin teriris, tidak mengetahui apa yang akan menanti di pernikahan kontrak ini.

Aku berdiri di lantai bawah, merasa cemas dan takut. Di sana tidak banyak orang, hanya beberapa orang saja yang tampaknya bekerja di rumah ini. 

Zea menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang dan menerima kenyataan yang tengah dihadapinya.

Tak lama kemudian, seorang penghulu datang dan menghampiri kami. Kemudian, seorang pria yang akan menjadi suami Zea, Leon, berjalan mendekat dengan langkah pasti. Zea menatapnya terkejut.

"Masih muda," gumam Zea terkejut.

Ya, Leon adalah pria muda yang berkharisma, tampan, dan kaya raya. Wajahnya tegas, matanya tajam menatap Zea dengan dingin. Zea mencoba menahan rasa takut yang mulai memenuhi hatinya.

Segera setelah itu, upacara pernikahan kontrak dimulai. Penghulu mulai membacakan doa dan memandu Zea dan Leon untuk mengucapkan ijab kabul. 

Zea merasa jantungnya berdebar kencang, namun dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain selain menerima takdir ini.

Leon dengan tegas mengucapkan ijab kabul, sedangkan Zea dengan suara lirih mengikuti ucapan penghulu.

Setelah upacara selesai, Zea dan Leon resmi menjadi suami istri. Meskipun begitu, Zea merasa ada jarak yang begitu jauh di antara mereka berdua.

Setelah itu, mereka berjalan bersama menuju kamar yang akan menjadi tempat tinggal mereka bersama. 

Di dalam kamar, Zea merasa canggung dan tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, Leon menatapnya dengan tatapan dingin yang membuat Zea semakin merasa ketakutan.

Namun, meskipun hati Zea dipenuhi rasa takut dan kekhawatiran, dia tahu bahwa dia harus berusaha menghadapi kenyataan ini. Mungkin, suatu saat nanti, Zea dan Leon akan bisa saling mengerti dan menjalani kehidupan bersama yang bahagia.

Leon, seorang pria yang terbiasa dengan pernikahan kontrak, kali ini memilih Zea, wanita yang menarik perhatiannya. Mereka resmi menikah secara siri, dan malam pertama pun tiba. 

Dengan tegas, Leon menyuruh Zea untuk mengenakan pakaian malam yang sangat seksi. Zea menolak, namun tekanan dari Leon membuatnya tak punya pilihan.

Dengan rasa malu, Zea mengganti pakaiannya di kamar mandi. Setelah itu, ia keluar dengan perasaan tidak nyaman. Leon menatap Zea dengan tatapan menggoda, membuat wanita itu semakin merasa canggung.

"Apa kamu sungguh tidak mengenalku?" tanya Leon dengan suara rendah yang seksi, membuat Zea terkejut.

"Ti-tidak," jawab Zea dengan gugup, mencoba menghindari tatapan Leon yang semakin dalam.

Leon tersenyum tipis, seolah mengetahui bahwa Zea emang tidak mengenalnya. Suasana di kamar tersebut semakin tegang, dan Zea berharap semuanya akan segera berakhir. 

"Aku melihat kamu di warung makan sederhana yang ada di pertigaan jalan, pertama melihatmu aku langsung ingin memiliki kamu" 

Zea mencoba mengingat, tapi ia tetap tidak bisa mengingatnya Karena zea tidak pernah memperhatikan pengunjung warung.

"Ingat ! Kamu di sini ikuti semua perintahku jangan pernah membantah ! Dan satu lagi Jangan pernah kamu menyukaiku, karena sampai kapanpun status kita hanya kawin kontrak !" 

Zea mengangguk Mengerti dalam hatinya, zea juga tidak mau mencintai seseorang seperti Leon. 

Leon terus menggoda Zea, mencoba memancing reaksi darinya. Zea berusaha keras untuk tetap tenang, namun dalam hatinya, ia merasa terjebak dalam pernikahan kontrak yang tak diinginkannya.

Leon melangkah perlahan mendekati Zea yang tampak begitu cantik dengan kulit putih mulusnya. Zea mengenakan pakaian seksi yang diberikan oleh Leon, membuat nafsu Leon semakin memuncak.

Zea berusaha keras menghindar, namun tak ada tempat yang bisa dijadikan persembunyian. Dalam sekejap, Leon berhasil mengepungnya, membuat Zea merasa tak berdaya.

Tangis Zea pecah, air mata mengalir deras di pipinya. Ia tak kuasa menahan rasa sakit hati karena harus menyerahkan kehormatannya pada Leon.

Leon tersenyum sinis, "Usap air matamu, aku tidak mau melihat kamu menangis. Tetap seperti ini, nanti aku akan pakai kamu lagi." Tawa jahatnya menggema di ruangan itu.

Zea merasakan sakit yang masih membekas, hatinya luka dan tubuhnya lemah. Namun, dia tak punya pilihan selain menuruti kehendak Leon yang kejam.

Leon beranjak keluar dari kamarnya dengan langkah gontai, matanya masih terasa berat akibat kurang tidur. Ia mengambil air putih dari kulkas dan meminumnya dengan rakus, menenangkan tenggorokannya yang kering.

Salah satu pesuruhnya segera mendekat, wajahnya terlihat cemas. "Ada apa?" tanya Leon dengan suara dingin, belum siap untuk berbicara dengan siapa pun.

"Tuan masih ingat Soraya, perempuan yang tuan kencani lima bulan yang lalu?" ucap pesuruh tersebut, menelan ludah.

"Iya, aku ingat. Mau apa dia?" Leon mengerutkan kening, mencoba mengingat wajah perempuan itu.

"Dia nekat ingin bertemu dengan tuan," sahut pesuruh itu, tangannya gemetar. "Dia bilang sangat penting."

"Di mana dia sekarang?" Leon mulai penasaran.

"Tidak tahu, Tuan. Tapi dia ingin bertemu besok siang di kafe tempat tuan biasa menghabiskan waktu." Pesuruh itu menundukkan kepalanya, menunggu perintah selanjutnya.

Leon hanya mengangguk, lalu berlalu meninggalkan pesuruhnya itu, langkahnya semakin cepat. Entah mengapa, Leon ingin segera menghabiskan malam bersama istri sirinya. 

Ceklek.

Zea terjingkat kaget, ia mengusap air matanya Leon senyum sinis melihat zea yang masih menangis. 

Sebelum sebelumnya Leon memang nikah siri dengan perempuan lain tapi Leon tidak pernah tidur bersama.

Karena Leon cepat bosan paling hanya dua Minggu saja, itu juga Leon tidak membayar mahal hanya dengan zea saja karena zea dan keluarganya sangat sulit untuk di taklukkan.

Maka dari itu Leon mengeluarkan uang yang tidak seberapa baginya itu, karena Leon begitu penasaran dengan zea dan dia juga sudah membayar orang mahal untuk mencari tau tentang rea dan keluarganya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!