Senja itu hujan deras yang mengguyur sejak siang hari, tak menyurutkan niat anak anak sekolah dasar dari dua kampung yang selalu berselisih paham tentang siapa yang terbaik diantara mereka dalam permainan sepak bola untuk menjalani pertandingan yang akan menentukan gengsi dan pengakuan terbaik di antara dua kampung di wilayah perbukitan selatan itu.
"oper Di..!...oper ke Randu...!" ujar Gandi sang kapten dari kampung Margahayu.
Kampung Margahayu letaknya di lereng bukit Marga jati yang masuk gugusan perbukitan di sebelah selatan wilayah Jawa bagian barat. Kampung Margahayu sendiri merupakan sebuah kampung wisata yang mempunyai pemandangan yang sangat elok dengan sebuah curug air terjun indah yang di apit oleh pemukiman warga yang terbagi menjadi dua sisi pemukiman.
sebuah sapuan bola dari Ditya dari kampung Mukti Hegar yang ikut mundur ke belakang dari posisinya yang sebenarnya penyerang, berhasil di hindari Randu.
Randu terus mendribble dan membawa bola mendekati garis pertahanan akhir lawan.
"shuuttt...." Randu melepaskan tendangan sangat keras, membuat bola melambung sedikit melengkung lalu menghantam kepala Rifan sang kapten dari kampung Mukti Hegar.
Laju bola lalu bergulir berbelok dan mengecoh Artur sang kiper Mukti Hegar yang kemudian langsung menembus gawangnya.
"Gollllll....golll...golllllll !!!!"
Hampir seluruh anak anak dari Margahayu sontak langsung menghampiri Randu sambil berteriak-teriak penuh semangat dan merayakannya, karena setelah waktu pertandingan hampir usai baru sekali ini saja terjadi gol.
Sebuah gol yang akhirnya membuat Margahayu memenangkan rivalitas sengitnya yang telah terjadi dari waktu ke waktu sejak zaman kakek mereka sampai sekarang setelah peluit tanda akhir pertandingan di bunyikan sang wasit.
Anak anak dari Margahayu pulang dengan wajah penuh kebanggaan dan dada tengadah. Namun ketika mereka transit untuk sekedar membeli minuman di sebuah desa sebelum kampung Margahayu mereka mendengar berita bahwa sektor empat dari kampung Margahayu telah longsor.
Mereka langsung paham yang dimaksud sektor empat adalah wilayah pinggiran dari kampung Margahayu yang lokasinya paling atas dari yang lainnya, ada sekitar sepuluh rumah yang di tinggali sepuluh keluarga saja di sektor empat itu diantaranya adalah keluarga Randu.
Randu yang mendengar berita itu seketika panik hatinya dan meminta sopir mobil carry yang merupakan salah satu karyawan di pabrik penggilingan padi milik Pak Sumitra ayahnya Gandi yang juga kebetulan menjabat sebagai lurah desa itu untuk segera melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan berikutnya, Randu hanya terdiam, dalam hatinya ia berharap berita tadi hanya berita omong kosong saja.
Bagaimanapun juga sektor empat Margahayu adalah tempat tinggal seluruh keluarga besarnya dan tak ada pemukim lain selain keluarga besarnya.
Benar saja begitu perjalanan telah dekat dari kampung Margahayu, mereka bisa melihat dari bawah tampak jelas sektor empat telah porak poranda dan terlihat irisan tanah yang membujur panjang sementara di bawahnya terlihat puing puing dan pepohonan telah berserakan.
Randu seketika menjerit setelah melihat itu, hampir saja ia ingin melompat dari mobil bak yang mereka tumpangi dan kemudian berlari secepat mungkin untuk menemukan keluarganya, andaikata beberapa temannya kurang sigap menahannya.
"Rumahku telah lenyap...ah..emak..bapak.." gumam Randu, yang kini tak mampu menahan air matanya untuk tak menetes.
Bagaimanapun juga ia hanyalah anak anak berusia 11 tahun, susah untuk tidak bersedih saat menyaksikan suatu musibah yang sama sekali tak pernah dibayangkannya yang menghancurkan peradabannya.
Sedangkan teman temannya yang merasa lega karena keluarganya tampaknya aman aman saja hanya berusaha menenangkan hati Randu yang tengah porak poranda penuh dengan kepanikan.
"Randu, kita semua ikut bersedih atas musibah ini dan percayalah kami semua akan selalu bersamamu kawan," kata Gandi sambil menepuk nepuk pundak Randu, yang bermaksud untuk membesarkan hati sahabatnya itu.
Randu hanya terdiam membisu, ia hanya ingin perjalanan mereka segera sampai di kampungnya. Ia ingin segera bertemu dengan emak dan bapaknya serta Tika adiknya yang masih balita berusia tiga tahun.
Randu berharap mereka dan semua anggota keluarga besarnya selamat dari musibah itu, terutama kakek dan pamannya yang paling menyayangi dirinya.
Mendekati akhir perjalanan mereka, dari ujung jauh kampungnya mereka melihat kerumunan orang banyak yang berkumpul di pusat kampung Margahayu.
Randu semakin berdebar kencang detak jantungnya, terutama saat ia merasa hampir seluruh mata menatap kearahnya, begitu mereka sampai di balai kampung itu.
Dengan penuh kegamangan Randu ikut berjalan bersama kawan kawannya menghampiri kerumunan warga yang tampaknya tengah mendengarkan arahan dari Pak Sumitra.
"Randu, sini nak sini sini !" ujar Pak Sumitra yang langsung menyambutnya sendiri.
Terlihat jelas wajah pria paruh baya itu merah padam dan dari kedua matanya juga terlihat berkaca kaca.
"Randu, bapak dan seluruh warga desa Marga Jati khususnya kampung Margahayu ikut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas musibah yang menimpa sektor empat, bapak dan seluruh warga kampung telah memastikan bahwa emak dan bapakmu serta seluruh keluargamu yang lain telah tewas syahid dalam musibah ini nak," ujar Pak Sumitra yang kemudian tak dapat membendung tangisnya setelah melihat wajah Randu yang terlihat memilukan.
Alhasil hampir semua orang yang berkumpul itupun tak mampu menahan air matanya untuk tidak keluar, apalagi setelah akhirnya Randu juga langsung menangis memilukan sambil menyebut keluarganya.
Hampir semalaman Randu menghabiskan waktunya dengan tangisannya meskipun hampir seluruh keluarga Pak Sumitra yang berkenan menampungnya itu berusaha menenangkannya.
Barulah keesokan harinya hampir seluruh warga kampung yang di bantu sejumlah warga dari kampung sebelah yang simpatik dengan musibah itu membantu proses evakuasi yang menggunakan alat berat dari kota kabupaten itu.
Dan saat satu persatu jenazah keluarganya ditemukan dan langsung dikebumikan, Randu terlihat lebih tenang dan tegar. Hampir seharian Randu berada di pulasara tempat seluruh keluarganya di makamkan bersama itu, ia enggan beranjak dari tempat itu.
"Randu, pulang yuk !" ajak Gandi yang di temani Asih adiknya yang baru duduk di kelas tiga sekolah dasar itu, mereka diminta untuk mengajak Randu pulang ke tempat mereka.
"Biarlah aku disini saja Gan, aku ingin menemani keluargaku saja," jawab Randu lirih dengan tatapan matanya kosong.
"Tapi kamilah sekarang keluargamu Randu, lagipula bukankah kau masih ingat kan pak guru agama bilang kita tidak diperbolehkan bersedih berlebihan saat menghadapi musibah karena semua yang diciptakan oleh Alloh pasti akan kembali ke Alloh lagi," tutur Gandi yang ikut berjongkok di sebelah sahabatnya itu.
"Iya Ak Randu, sekarang Ak Randu adalah anggota keluarga kami jadi Ak Randu akan tinggal bersama kami," ujar Asih ikut menimpali.
Randu tetap merasa enggan meskipun dibujuk dengan lembut oleh kedua kakak beradik yang juga teman sepermainannya itu, barulah ketika Pak Sumitra bersama istri dan Sinta anak sulungnya yang sudah duduk di bangku SMP kelas 8 ikut datang, Randu bersedia di ajak mereka pulang dan tinggal di kediaman mereka.
Hampir seminggu lamanya Randu yang masih dapat izin berkabung dari sekolahnya enggan melakukan aktivitas apapun kecuali menghabiskan waktu seharian di pusara keluarganya.
Meskipun ada kalanya ia, juga ikut membantu beberapa pekerjaan kecil di rumah kepala desanya yang seluruh anggota keluarganya berkenan menampungnya itu.
Randu sebenarnya lah adalah anak yang sangat rajin dan terampil dalam pekerjaan apapun bahkan untuk anak seusianya ia bahkan mampu melakukan pekerjaan yang seharusnya hanya bisa dilakukan orang dewasa seperti memanggul sekarung gabah seberat setengah kwintal dari sawahnya yang berada di lembah di bawa ke rumahnya yang berada di atas.
berjalan naik turun tebing di puncak bukit setinggi lebih dari tiga puluh meter guna memanen madu liar pun sering ia lakukan bersama pamannya.
Sejak kanak kanak ia telah dijejali bermacam pekerjaan berat oleh baik bapaknya maupun kakek dan pamannya yang juga menjadi gurunya dalam mengajarinya beberapa ilmu beladiri.
Kondisi Randu yang seolah sudah enggan berbuat apapun itu, tak pelak membuat Pak Sumitra dan keluarganya itu merasa prihatin mengingat mereka semua mengenal Randu sebagai anak yang sangat baik dan bersahaja namun kini anak itu seolah redup dan kehilangan gairah hidupnya.
"Bagaimana kalo kita minta Priyatna saja yang merawat Randu pak, mamah kasihan anak itu makin hari justru semakin kehilangan minat apapun," ujar Bu Sumitra mengutarakan pendapatnya tentang Randu kepada suaminya ketika mereka sedang berada di peraduan dan bersiap siap untuk istirahat.
"Boleh juga mah, tapi kira kira apakah Priyatna tidak berkeberatan nantinya ?" balas Pak Sumitra.
Priyatna sendiri adalah adik kandung dari Bu Sumitra yang tinggal di Bogor dan bekerja sebagai aparatur sipil negara di kantor dinas pertanian setempat.
"Coba bapak hubungi saja besok, hatiku rasanya pedih pak, tiap hari lihat Randu selalu bersedih dan tak ada gairah apapun,"
"Baiklah mah, coba besok bapak telepon dia, nanti kalo dana sosial untuk Randu yang diberikan oleh dinas sosial dan badan penanggulangan bencana sudah cair, kita berikan saja biar di kelola Priyatna,"
Pak Sumitra sendiri bukannya tak memahami kondisi Randu yang semakin hari semakin tenggelam dalam depresi, bahkan ia pun takut jika jiwa anak itu jadi terganggu dan menurunkan kesehatan mentalnya, hampir kepada setiap anggota di rumahnya bahkan ia selalu berpesan untuk selalu menjaga sikap baik agar tidak menyinggung Randu.
Hari berikutnya, di sela sela waktu menjalankan tugasnya sebagai seorang yang diberi amanah untuk mengurus desa Marga Jati, Pak Sumitra benar benar menghubungi adik iparnya yang tinggal di sebuah wilayah kabupaten Bogor bagian timur.
Ternyata keinginan Pak Sumitra bersama istrinya yang bermaksud menyelamatkan hidup Randu dengan menitipkannya kepada adik iparnya itu diterima dengan antusias oleh Priyatna yang memang selama ini baik ia maupun Yeni istrinya menginginkan kehadiran seorang anak lelaki di keluarga yang sudah tiga belas tahun mereka bina dan baru di karuniai seorang anak perempuannya yang kini berusia dua belas tahun.
Pada kesempatan itu pula Priyatna berjanji bahwa pada akhir pekan nanti ia akan mengunjungi desa Marga Jati bersama keluarganya.
Sementara itu di ruang depan kediaman keluarga Sumitra, Gandi sedang berkeluh kesah kepada mamanya, karena tak menemukan Agung di pusara keluarganya.
Baru saja ia pulang dari sekolahnya dan langsung bergegas ke pemakaman yang selama dua minggu terakhir ini selalu menjadi tempat favorit buat Randu, namun sampai di pemakaman itu Gandi sama sekali tidak menemukan sahabatnya itu.
"Asih, kau lihat Randu nggak ?" ujar Gandi kepada adiknya yang baru pulang dari rumah kawan sepermainannya. Asih memang selalu pulang lebih awal daripada Gandi mengingat ia baru duduk di kelas tiga.
"Loh, kan biasanya juga di makam kan," jawab Asih apa adanya.
"Nggak ada Sih, barusan aku dari sana dan ga ada seorang pun ada disana,"
"Sudahlah tunggu saja dulu, barangkali Randu sedang pergi sejenak ke rumah temannya yang lain," ujar Bu Sumitra, yang cukup masuk akal dan sedikit mampu menenangkan Gandi yang saat itu sangat cemas.
"Gandi dan Asih makan siang duluan saja sana !" lanjut Bu Sumitra lagi menyuruh anak anaknya untuk segera makan siang.
"Iya mah, Asih memang sudah lapar ini, Ak ayo kita makan !" jawab Asih yang lalu menatap Gandi kakaknya
"Kamu duluan saja dek," ucap Gandi.
Hatinya belum tenang jika belum mengetahui keadaan Randu yang sedang entah kemana.
Namun baru saja Gandi akan menghempaskan badannya ke bale bambu yang saat ini sedang menjadi tempat Bu Sumitra beristirahat melepaskan penatnya, Randu datang dengan langkah gontai sambil menjinjing dua buah batang tabung bambu petung yang berukuran sekitar satu meter kurang sedikit.
Gandi segera bergegas menghampiri sahabatnya itu dengan wajah berseri seri.
"Randu, kamu abis dari mana ? itu apa yang kamu bawa ?" begitulah lontaran pertanyaan dari Gandi kepada sahabatnya itu.
"Abis dari tebing Gan, mengambil madu," jawab Randu lirih dan datar saja.
"Madu..madu apa ?" tanya Gandi sambil memegang salah satu bumbung bambu yang di bawa Randu.
"Kau bawa madu nak ?" tukas Bu Sumitra yang lalu bangkit dari tempat duduknya di bale bambu kemudian menghampiri Randu dengan antusias.
"Iya Bu lurah, saya bawa madu lebah liar yang ada di atas tebing sektor satu," jawab Randu apa adanya.
Baik Gandi maupun mamahnya sedikit tertegun mendengar penuturan dari Randu karena sepengetahuan mereka sektor satu yang dikatakan olehnya itu adalah tebing yang sangat tinggi dan curam yang hampir jarang sekali di jamah oleh warga di desa itu.
"Ini buat Bu lurah," kata Randu lagi sambil menyerahkan kedua bumbung bambu berdiameter sekitar hampir dua puluh senti itu dan cukup berat terasa di tangan ibu kepala desa karena penuh berisi madu.
"Banyak sekali ini nak, bagaimana kamu bisa mengambilnya ?" tanya Bu Sumitra yang jujur saja merasa sangat keheranan karena anak sekecil Randu bisa mendapatkan madu sebanyak itu dari tempat yang hampir tidak mungkin mereka bisa menjangkaunya.
Randu hanya terdiam saja karena tidak tau harus menjelaskan bagaimana cara dia mendapatkan madu madu itu. Karena yang Randu tau, pamannya mendapatkan banyak uang dari madu madu itu yang ia jual ke seorang bandar madu di kota.
Saat pamannya memberikan sejumlah yang kepada Randu atas jerih payahnya, Randu sangat senang sekali dan langsung memberikan semua uang yang diberikan pamannya itu kepada emaknya.
Namun segala kenangannya itu kini telah sirna begitu saja.
"Terimakasih banyak nak, tapi lain kali kamu nggak perlu mengambil madu lagi di tempat itu ya nak itu tempat yang sangat berbahaya, andaikata kamu terpeleset sedikit bisa dibayangkan kan akibatnya seperti apa," ujar Bu Sumitra sambil mengusap rambut kepala Randu dengan penuh rasa kasih sayang yang tulus.
Randu hanya mengangguk perlahan sambil menatap wajah wanita berhati baik itu yang kini terlihat berkaca kaca kedua matanya, namun sebuah senyuman kebahagiaan juga tersungging dari bibirnya.
Bu Sumitra lantas mengajak kedua anak itu untuk masuk ke dalam dan menyuruh mereka segera menyusul Asih yang telah lebih dulu duduk di meja makan.
"Ndu, kenapa kamu nggak ngajak aku jika mau mengambil madu itu ?" bisik Gandi yang kini telah duduk bersebelahan dengan sahabatnya yang paling baik itu.
"kamu takkan mampu Gan, ibu kamu benar tempat itu sangat berbahaya sekali. Selain tebingnya cukup curam dan licin juga banyak ularnya," ujar Randu.
"Ular Ndu, ular kobra bukan ?" tanya Gandi sambil bergidik mendengar kata ular disebut Randu.
"Bukan kobra tapi kata pamanku jika kita tergigit oleh ular itu kulit yang terkena gigitan akan busuk dan harus di potong," ujar Randu menjelaskan pada temannya yang paling fobia dengan ular itu.
"Memang kamu nggak takut Ndu, kalo ketemu ular itu?"
"Nggak Gan, tapi harus ambil jarak jangan sampai terlalu dekat apalagi menginjaknya,"
"Memang kenapa Ak kalo tak sengaja keinjak ?" tukas Asih yang sudah hampir menyelesaikan makan siangnya ikut menimpali.
"Ya di patuk ularnya atuh onyon," Gandi lah yang menjawab pertanyaan adiknya itu.
"Memang sakit ya Ak kalo di patuk ular ?" tanya Asih lagi.
"Bukan hanya sakit tapi bisa mati kita kena racun ularnya," ujar Gandi.
"Ih ngeri ah..." kata Asih yang kemudian berlalu sambil membawa piring bekas makannya ke belakang.
"Dah Ndu, giliran kita makan !" kata Gandi sambil menatap Randu yang hanya mengangguk saja seolah ada rasa sungkan.
"Ndu, bu guru nanyain kamu terus kapan kamu akan kembali ke sekolah," kata Gandi di sela sela ia mengunyah makanannya.
Randu hanya terdiam sesaat, sebelum kemudian ia berucap, "Mungkin aku nggak akan bersekolah lagi Gan,"
"Kenapa begitu ?" tanya Gandi yang terkejut dengan jawaban temannya itu.
"Kan kamu tau sekarang aku sendirian Gan, aku juga tak mau lebih merepotkan keluarga kamu lagi, di berikan tumpangan hidup ini saja aku sudah sangat bersyukur," ujar Randu.
"Kamu bilang apa seh Ndu ? kan bapak dan mamahku serta kami semua sudah menganggap kamu sebagai bagian dari keluarga ini, aku rasa untuk membayar biaya sekolah kamu mereka masih sanggup kok,"
"Iya Gan, aku percaya kok tapi biarlah aku nggak lanjut sekolah saja,"
"Memang kamu nggak sayang Ndu, sebentar lagi kita akan ujian kenaikan kelas dan setelah kita kelas enam setahun berikutnya kita akan lulus loh,"
Randu hanya diam saja seolah hanya ingin fokus dengan makanan yang di hadapannya, namun Gandi melihat dengan jelas kedua mata sahabatnya itu telah berkaca kaca.
Bu Sumitra yang sengaja mendengar kedua anak itu bercakap cakap hanya bisa terisak menangis sendirian di balik pintu penghubung antara ruang makan dengan ruang keluarga, apalagi jika ia memandang wajah polos Randu yang tampak sedih memilukan itu hatinya terasa bagai teriris iris.
Setelah makan siang, nyaris Gandi selalu menemani Randu kemanapun juga, ia berusaha terus menghiburnya dengan mengajaknya bermain bersama kawan kawannya seperti biasa, meskipun pada akhirnya Randu yang terlihat selalu ingin menyendiri dan memisahkan diri dari kawan kawannya.
"Ak Gandi... Ak...!" ujar Asih sambil berlari lari kecil menghampiri sekumpulan anak lelaki yang sedang asyik bermain kelereng yang diantaranya terdapat Gandi dan Randu.
"Ada apa Sih ?" tanya Gandi yang terlihat kurang suka adiknya mengikutinya saat ia bermain bersama kawan kawannya.
"Aak, kelas tiga di suruh bikin enggrang, bisa nggak Aak bikinin aku enggrang ?" ujar Asih dengan tatap penuh harap.
"Suruh bikinin bapak aza Sih, Aak nggak bisa," kata Gandi terlihat kesal, apalagi saat melihat kelereng yang ia mainkan di matikan temannya.
"Tapi bapak belum pulang Ak, kata mama lagi ke kabupaten,"
"Aku bisa bikin enggrang Asih, mau aku bikinin?" tukas Randu menimpali.
"Iya Ak, mau mau banget.." ujar Asih yang kemudian tersenyum riang.
Mereka kemudian menyisihkan diri dari kumpulan anak lelaki yang terlihat begitu fokus dengan permainan mereka itu. Randu yang memang sedari awal hanya menonton saja tidak terlalu segan untuk meninggalkan tempat itu, lain dengan Gandi yang sejak awal terlibat dengan permainan.
"Sudah ada belum bambunya ?" tanya Randu.
"Belum Ak, tapi di kebun bapak banyak bambu kok Ak. Ak Randu bisa kan tebang pohon bambu ?" jawab Asih dengan sorot mata yang terlihat cemas.
"Bisa kok, ayolah nanti keburu sore ! eh tolong ambil bedog ( parang ) sekalian yah Sih !" kata Randu, Asih hanya mengangguk dengan wajah berseri.
Randu menunggu di depan rumah kediaman lurah desa yang terlihat paling besar dari rumah rumah warga sekitarnya, karena selain lurah Pak Sumitra juga seorang pengusaha beras yang punya penggilingan padi sendiri.
Tak lama kemudian Asih telah keluar lagi dengan sebuah parang berukuran sedang di tangannya. Keduanya lalu berjalan beriringan dengan Asih di depan untuk memandu jalan mereka.
Sampai di kebun milik keluarga Asih itu, Randu terlihat tertegun.
"Asih yang disini hanya ada bambu ori, terlalu besar dan berat kamu nanti nggak akan kuat memakainya," kata Randu.
"Terus gimana Ak ?" jawab Asih mulai terlihat kecewa dan cemas.
"Kita cari di pinggir kali saja yah, kamu berani kan ?"
"Iya Ak,"
Asih kembali berseri seri wajahnya. Randu kemudian bergegas berjalan agak cepat menuju daerah pinggir aliran sungai kecil yang berhulu di bukit Marga Jati itu sampai Asih harus berlari lari kecil agar tidak tertinggal jauh dari Randu.
Setelah menemukan rumpun bambu apus yang ia cari Randu menyuruh Asih untuk menunggunya di atas saja, namun Asih yang ingin melihat Randu memilih untuk berada di dekat Randu dengan duduk di atas batuan kali besar yang berwarna hitam legam itu.
Hanya dengan beberapa tebasan saja Randu sudah mendapatkan dua batang bambu yang sama besar ukurannya dan dengan cepat pula ia bersihkan pelepah pelepahnya dan ranting rantingnya.
Baru saja Randu menoleh ke arah Asih yang sedari tadi fokus memperhatikannya, ia terkejut bukan kepalang ketika melihat seekor ular belang belang tengah melintas di dekat kaki Asih.
"Asih tolong jangan bergerak sebentar dek !" ujar Randu sambil tangannya meraih sebongkah batu kali kecil berukuran sekepalan tangannya.
"Ada apa Ak ?" tanya Asih bingung.
"Diam Asih jangan bergerak !" ujar Randu agak keras dan hanya beberapa detik kemudian ia sudah melemparkan batu yang ia pegang ke arah Asih.
Sontak saja Asih terkejut dan langsung menjerit, namun sedetik kemudian gadis kecil itu merasa bingung karena tak merasakan sakit apapun padanya.
Sekali lagi gadis kecil itu menjerit ketika melihat kebawah, di dekat kakinya seekor ular belang hitam putih segede jempol ibu jari kaki bapaknya tengah bergeliat geliat dengan kepala yang telah hancur.
Dengan hati berdebar penuh ketakutan Asih langsung melompat dan berlari mendekati Randu yang merasa lega luar biasa, karena bisa ia bayangkan seandainya ular belang segede itu berhasil mematuk kaki Asih akibatnya akan seperti apa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!