NovelToon NovelToon

The Worst Villain

Bab 1

Malam itu, hujan turun dengan deras, seolah-olah langit turut berduka atas tragedi yang terjadi. Di sebuah gudang tua yang remang-remang, Fany, seorang wanita cantik dan anggota mafia ternama, tergeletak di lantai dingin. Sebilah pisau terhunus di jantungnya. Darah mengalir dari luka itu, menggenangi lantai beton yang kotor.

Di sampingnya, Deric, tunangannya, berdiri dengan tangan gemetar, memegang gagang pisau yang masih tertancap di tubuh Fany. Wajahnya tegang, namun sorot matanya dingin dan penuh determinasi.

"Kenapa, Deric?" suara Fany bergetar lemah. "Kenapa kau melakukan ini padaku?"

Deric menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Kau terlalu kuat, Fany. Kau menjadi penghalang bagiku. Selama ini aku berada di bayang-bayangmu, tapi sekarang saatnya aku yang memimpin."

Fany terbatuk, darah merembes di sudut bibirnya. "Aku mencintaimu... aku pikir kita... kita akan memimpin bersama."

Deric menggeleng pelan, air mata menggenang di matanya, namun tekadnya tak goyah. "Cinta tidak cukup dalam dunia kita, Fany. Kekuatan dan kekuasaan adalah segalanya. Dan untuk mendapatkannya, aku harus menyingkirkanmu."

Fany tersenyum pahit, merasakan nyawanya perlahan memudar. "Kau akan menyesal, Deric. Kau tidak tahu... apa yang kau hadapi."

"Tidak, aku tidak akan menyesal," jawab Deric tegas. "Aku sudah membuat keputusan. Dunia ini kejam, dan hanya yang terkuat yang bertahan."

Dengan kata-kata itu, Fany menghembuskan napas terakhirnya. Senyum terakhirnya beku di wajahnya yang cantik. Deric berdiri, menarik pisau dari tubuhnya, dan menatapnya untuk terakhir kali.

"Selamat tinggal, Fany," bisiknya, suaranya penuh penyesalan yang tersembunyi di balik ambisi. "Maafkan aku."

Deric berbalik, meninggalkan gudang dengan langkah berat. Hujan terus mengguyur tanpa ampun, seolah-olah membersihkan dunia dari dosa yang baru saja terjadi. Di balik ambisinya yang tak terelakkan, Deric tahu bahwa bayang-bayang Fany akan selalu menghantuinya, sebuah pengingat akan harga yang harus dibayar untuk kekuasaan.

Fany merasa tubuhnya meringkuk dalam kegelapan yang tak berujung, kegelapan yang begitu pekat hingga rasanya seperti tenggelam dalam lautan malam tanpa bintang. Kegelapan ini bukanlah hal baru baginya, melainkan teman lama yang selalu menjemputnya setiap kali napas terakhirnya terhembus. Dia merenung dalam kesendirian yang sunyi, menyadari betapa hidupnya hanya menjadi permainan takdir yang kejam.

Ini adalah kehidupan ketujuhnya, dan untuk ketujuh kalinya pula, dia harus mati karena pengkhianatan dari tunangannya. Setiap kali, Fany berharap kisahnya akan berbeda. Namun, setiap akhir cerita selalu sama, selalu diwarnai dengan pengkhianatan dan darah.

Dia mengingat setiap kehidupan yang telah dijalaninya. Dalam kehidupan pertamanya, sahabat terdekatnya yang menusukkan belati ke punggungnya. Kehidupan berikutnya, dia dikhianati oleh keluarganya sendiri yang menjualnya demi keuntungan. Kehidupan ketiga, kekasih yang dicintainya dengan tulus ternyata hanya memanfaatkannya. Suaminya di kehidupan keempat yang begitu dipercayainya ternyata menyembunyikan niat jahat. Keluarga angkatnya di kehidupan kelima yang seharusnya melindunginya justru mengirimnya ke kematiannya. Dan sekarang, tunangannya yang baru saja berjanji setia ternyata adalah pengkhianat terakhir yang menutup tirai kehidupannya yang ketujuh.

Dalam keheningan yang menyesakkan, Fany bertanya-tanya, apakah semua ini adalah kutukan yang tak berujung? Atau ada tujuan yang lebih besar yang belum dapat ia pahami?

Di tengah kegelapan, Fany mendengar suara familiar, suara hatinya sendiri yang berbisik, "Berapa kali lagi aku harus melalui ini? Apa yang harus kulakukan untuk mengakhiri siklus ini?"

Namun, kegelapan hanya menjawab dengan keheningan yang dingin. Meskipun tubuhnya terasa lemah dan napasnya mulai memudar, semangat dalam diri Fany tidak pernah padam. Dia bersumpah, jika diberi kesempatan lagi, dia akan menemukan cara untuk memutus rantai pengkhianatan ini. Dia akan menemukan jalan keluar dari lingkaran nasib yang kejam ini.

Samar-samar, Fany mulai mendengar suara riuh di sekitarnya. Sorakan dan tawa yang awalnya terdengar sayup-sayup kini semakin jelas, mengiris kesunyian yang membungkusnya. Dengan enggan, dia membuka matanya dan terkejut saat mendapati dirinya duduk di lantai keramik dingin yang bersimbah makanan. Seragam sekolah SMA-nya kotor dan basah, dan tawa para murid yang memenuhi ruangan terdengar memekakkan telinganya.

Fany menatap sekeliling dengan kebingungan. "Apa ini? Kenapa aku kembali ke masa sekolah?" pikirnya, mencoba memahami situasi aneh yang menimpanya.

Seseorang dari kerumunan berteriak, "Lihat, si pecundang basah kuyup! Apa kau terlalu bodoh untuk makan dengan benar?"

Tawa semakin membahana. Fany merasakan panas di pipinya, bukan hanya dari rasa malu, tapi juga kemarahan yang mulai membara. "Ini mimpi buruk... lagi-lagi," batinnya berteriak.

Dia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa lemah. "Kenapa aku harus mengalami ini lagi? Hidupku selalu berakhir dengan pengkhianatan. Apakah ini hukuman atas dosa yang tidak kuketahui?"

Mata Fany menyapu wajah-wajah yang menertawakannya. "Apakah di antara mereka ada pengkhianat juga? Apakah salah satu dari mereka yang akan mengakhiri hidupku kali ini?"

Rasa putus asa hampir membuatnya menyerah, tapi Fany meneguhkan hati. "Aku harus kuat. Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkanku lagi. Kali ini, aku harus menemukan cara untuk memutus siklus ini."

Dengan tekad yang mulai bangkit, Fany perlahan bangkit dari lantai, mengabaikan rasa malu dan tawa yang mengelilinginya.

"Aku tidak akan menjadi korban lagi. Aku akan menemukan jalan keluar dari semua ini."

Sorakan dan tawa masih memenuhi ruangan, tapi di dalam hati Fany, ada suara yang lebih kuat yang berbisik.

"Aku akan bertahan. Aku akan melawan. Dan kali ini, aku akan menang," batin Fany.

Fany baru saja berhasil berdiri ketika seorang gadis tiba-tiba menjambak rambutnya dengan kuat. Gadis itu tampak marah, matanya berkilat-kilat penuh kebencian. Dia mendorong kepala Fany hingga hampir jatuh kembali ke lantai.

"Jilat sepatuku!" gadis itu memerintah dengan suara dingin. "Sepatuku kotor gara-gara kamu!"

Fany mengangkat kepalanya, menatap gadis itu dengan tatapan kebingungan dan kesakitan. Namun, saat matanya bertemu dengan wajah gadis itu, ingatan masa lalunya kembali dengan cepat. "Vera...," batinnya berbisik. Ini adalah Vera, gadis yang suka membully-nya di kehidupan pertamanya.

"Aku... kembali ke kehidupan pertamaku?" pikir Fany, rasa terkejut dan kebingungan memenuhi benaknya.

"Jilat sepatuku sekarang!" Vera berteriak, menarik rambut Fany lebih keras.

Fany menggertakkan giginya, mencoba meredakan rasa sakit di kulit kepalanya. "Tidak, aku tidak akan melakukannya," jawabnya tegas.

Vera tertawa sinis, menambah tekanan pada jambakannya. "Apa kau bilang? Kau tidak punya pilihan, dasar pecundang!"

Para murid lain yang awalnya menertawakan Fany kini terdiam, terkejut melihat perlawanan yang tak terduga darinya.

Fany menatap Vera dengan mata penuh kemarahan, tangan yang kuat memegang pergelangan tangan Vera yang mencengkeram rambutnya. Dengan kejam, Fany meremas pergelangan tangan Vera, membuatnya berteriak kesakitan.

Vera menangis kesakitan, mencoba melepaskan diri, tetapi Fany semakin memperkeras cengkramannya.

"Berhenti! Tolong, berhenti!" teriak Vera dalam putus asa.

"Tolong, Fany! Lepaskan aku!" teriak Vera dengan suara tertekan, wajahnya pucat dan terasa kesakitan.

Fany menatap Vera dengan tajam, namun tatapannya tidak lekang dari rasa kemarahan. "Kau pikir kau bisa melakukan ini tanpa konsekuensi, Vera? Kau salah besar!"

Beberapa murid berbisik-bisik di antara mereka, mencoba memahami apa yang terjadi di depan mereka. Mereka tidak biasa melihat Fany, siswi pecundang yang yang tidak bisa apa-apa sekarang berani melawan Vera.

Vera menangis dengan histeris, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Fany yang kuat. "Maafkan aku, Fany! Aku tidak bermaksud seperti itu! Aku minta maaf!"

 "Maaf tidak akan mengubah apa pun, Vera. Kau harus belajar bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi."

Para murid terus menatap dengan heran, tidak bisa menyembunyikan kebingungan mereka atas situasi yang terjadi di depan mata mereka. Bagi mereka, ini adalah pemandangan yang begitu tidak biasa dan mengejutkan.

Bab 2

Fany berjalan menuju kelasnya dengan wajah datar dan tatapan dingin, langkahnya mantap dan penuh determinasi. Setiap murid yang melihatnya segera menyingkir, membuka jalan tanpa berkata sepatah kata pun, merasakan aura dingin yang memancar darinya. Tidak ada senyuman di wajahnya, hanya ekspresi kosong yang sulit ditebak, seolah tidak ada satu pun emosi yang tersisa di dalam dirinya.

Sepatu hak tingginya mengetuk lantai koridor sekolah dengan irama yang teratur, menciptakan suara yang menggema di sepanjang lorong. Pandangannya lurus ke depan, tidak terganggu oleh bisikan atau tatapan heran dari para murid.

Ketika Fany memasuki kelas, suasana langsung berubah menjadi sunyi senyap. Semua mata tertuju padanya, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, Fany tidak menghiraukan mereka. Dia berjalan ke mejanya, duduk dengan anggun, dan mengeluarkan buku catatannya dengan tenang.

Meja Fany dihampiri oleh tiga siswi yang dikenal sebagai pengganggu di sekolah. Mereka menatap Fany dengan tatapan sinis dan merendahkan, seolah-olah menantang keberaniannya. Fany tetap fokus pada bukunya, tidak terganggu oleh kehadiran mereka.

Salah satu siswi, yang paling tinggi di antara mereka, mengetuk meja Fany dengan jari-jarinya yang runcing, mencoba mengalihkan perhatiannya.

"Hei, Fany," katanya dengan nada mengejek.

"Apa yang sedang kamu baca, Fany?" tanya salah satu dari mereka dengan nada mengejek, sambil mengetuk meja Fany berulang kali dengan ujung jarinya.

Fany mengangkat kepalanya perlahan, matanya bertemu dengan tatapan mereka. Ekspresinya tetap datar, namun ada kilatan dingin dalam pandangannya. "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya dengan suara tenang, tanpa sedikit pun menunjukkan ketidaknyamanan.

Siswi yang berdiri di tengah, yang tampaknya menjadi pemimpin kelompok, menyeringai. "Kami hanya ingin melihat apakah pecundang seperti mu ini terganggu jika diganggu," katanya sambil mengetuk meja lebih keras, mencoba memprovokasi.

Fany menutup bukunya dengan perlahan, lalu meletakkannya di meja dengan rapi. "Kalau kalian selesai bermain-main pergilah, aku ada pekerjaan yang harus ku selesaikan," jawabnya dengan nada dingin, menatap mereka tanpa berkedip.

Tatapan sinis di wajah ketiga siswi itu berubah menjadi sedikit kaget, namun mereka tetap berdiri di sana, mencoba mempertahankan sikap mereka yang merendahkan. "Oh, jadi kau sangar sibuk ya?" kata siswi pertama.

Di antara mereka, seorang yang tampak seperti pemimpin, bernama Clara, meraih buku di meja Fany tanpa izin. Kedua temannya, Maya dan Lisa, ikut tertawa saat melihat judul buku itu.

"Apa ini? 'Pemimpin Hebat dan Cara Mereka Berpikir'?" Clara membaca judul buku dengan nada mengejek. "Kau pikir kau bisa menjadi pemimpin hebat dengan membaca ini?"

Maya dan Lisa tertawa terbahak-bahak, saling mendorong satu sama lain. "Lihatlah ini! Fany si kutu buku mau jadi bos besar!" ejek Maya.

"Kau tidak butuh buku ini, Fany. Kau butuh keajaiban untuk menjadi seperti yang ada di buku ini," ucap Lisa menambahkan.

Fany menatap mereka dengan pandangan tajam, tidak terpengaruh oleh ejekan mereka. "Kalian selesai?" tanyanya dingin, nada suaranya tetap tenang meski ada kilatan marah di matanya.

Clara mendekatkan wajahnya ke arah Fany, masih memegang buku itu. "Kenapa? Apa yang akan kau lakukan jika kami belum selesai?" tantangnya, sambil menunggu reaksi dari Fany.

Fany berdiri perlahan, tetap menjaga ketenangannya. "Aku akan memberitahumu sekali saja, Clara. Letakkan bukuku kembali, atau kau akan menyesalinya."

Clara tersenyum sinis, lalu melempar buku itu ke lantai dengan acuh tak acuh. "Ambil sendiri, Fany. Lihat apakah buku ini bisa membantumu sekarang."

Maya dan Lisa tertawa lebih keras, mengikuti jejak Clara untuk mengejek Fany.

"Kamu harus belajar untuk menjaga barang-barangmu, Fany. Kalau tidak, siapa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," kata Maya tertawa keras.

"Semoga kamu tidak keberatan mengambilnya lagi. Bukankah kamu senang berurusan dengan hal-hal yang sulit?" kata Lisa menambahkan dengan nada mengejek.

Fany tetap tenang, menatap mereka sejenak sebelum membungkuk untuk mengambil bukunya.

Namun, saat tangan Fany hampir mencapai bukunya, Clara dengan sengaja menendang buku itu, mengirimnya meluncur lebih jauh di lantai. Fany terdiam, menatap buku yang kini jauh dari jangkauannya.

Clara, Maya, dan Lisa tertawa puas melihat reaksi Fany yang tetap tenang meski diolok-olok. "Oh, maaf, Fany. Sepertinya bukumu ingin berjalan-jalan," kata Clara dengan nada mengejek.

"Kenapa tidak kau biarkan saja bukumu di sana? Mungkin ada yang lebih membutuhkan daripada kamu," ujar Maya menambahkan.

"Iya, Fany. Mungkin itu pertanda kalau kamu harus berhenti membaca omong kosong itu," kata Lisa tertawa.

Fany berjalan menuju bukunya yang tergeletak di lantai dengan langkah mantap. Dia menatap Clara, Maya, dan Lisa dengan tatapan dingin, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut atau ragu.

Ketika Fany mencapai bukunya, dia mengambilnya dengan mantap, lalu membalikkan arah untuk menghadapi ketiga siswi itu. Tanpa sepatah kata pun, Fany mendekati Clara dengan langkah pasti, bukunya masih dipegang erat dalam genggamannya.

Fany tiba-tiba memukulkan punggung bukunya yang keras ke wajah Clara, membuatnya tersungkur ke lantai. Darah mulai mengalir dari hidung Clara yang terluka, dan dia merintih kesakitan.

"Ah! Apa yang kau lakukan, Fany?!" teriak Clara dengan suara tercekat, tangannya menutupi hidungnya yang berdarah.

Sementara Clara masih terkejut dengan serangan mendadak dari Fany, tanpa ragu-ragu, Fany melangkah menuju Maya dan Lisa. Dengan cepat, dia menjambak rambut Lisa dan membenturkan kepalanya ke meja dengan keras. Lisa menjerit kesakitan saat kepalanya terbentur dengan keras.

"Auugh!" rintih Lisa, tangannya instingif mencoba meraih kepalanya yang terasa sakit.

Tak berhenti di situ, Fany kemudian menampar pipi Maya bolak-balik dengan keras, hingga pipinya merah dan membiru. Maya menahan rasa sakit, air mata menggenang di matanya.

"Sudah cukup!" teriak Maya dengan suara gemetar, mencoba meminta belas kasihan Fany.

"Tolong, Fany, hentikan! Kami minta maaf!" kata maya disela isak tangisnya.

"Kalian pikir kalian bisa mempermainkan aku sesuka hati kalian? Pikirkan lagi," ucap Fany dengan suara rendah, namun penuh dengan ancaman.

Maya dan Lisa hanya bisa menatap Fany dengan ketakutan, tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Mereka tersungkur di lantai, merasakan rasa sakit dan malu yang membara. Sementara Fany, tanpa ekspresi wajah yang berubah, kembali ke mejanya dan kembali fokus pada bukunya.

Para murid di kelas terdiam, terpaku pada adegan yang baru saja terjadi di depan mereka. Beberapa dari mereka menatap dengan mulut menganga, tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Mereka tidak pernah mengira bahwa Fany, yang selalu terlihat seperti pecundang dan suram, akan melakukan sesuatu yang begitu drastis.

Sementara itu, beberapa murid lainnya menatap dengan mata melotot, ekspresi terkejut tergambar jelas di wajah mereka. Mereka tidak bisa menahan keheranan mereka melihat kebrutalan dan keberanian Fany dalam menghadapi Clara, Maya, dan Lisa.

Bab 3

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, mengisyaratkan akhir dari hari yang panjang. Semua murid berhamburan keluar dari kelas, membawa tas mereka dengan ekspresi lega dan senang. Lorong-lorong sekolah dipenuhi oleh tawa riang dan obrolan antusias, menciptakan suasana yang hidup dan penuh semangat.

Di tengah keramaian, Fany mengemas buku-bukunya ke dalam tas dengan rapi. Dia melirik sekilas ke luar jendela, melihat teman-temannya berlari ke arah gerbang sekolah. Dengan tenang, dia merapikan meja belajarnya sebelum berdiri dan mengangkat tasnya ke bahu.

"Saatnya pulang ke rusun," gumamnya pada diri sendiri, menyunggingkan senyum tipis. Meski hari ini melelahkan, ada sesuatu yang menenangkannya tentang rutinitas pulang ke tempat tinggalnya. Fany melangkah keluar kelas, menyusuri lorong-lorong yang mulai lengang, dan bergabung dengan arus murid yang mengalir menuju pintu keluar.

Di luar, matahari sore memberikan sentuhan hangat pada kulitnya. Fany menatap sejenak ke langit biru, merasakan angin sepoi-sepoi yang membelai wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati momen kebebasan setelah seharian berada di dalam kelas.

"Semoga malam ini tenang," pikirnya sambil berjalan menuju Rusun.

Fany berdiri di depan gerbang sekolah, menggenggam erat dompetnya yang terasa ringan. Dia membuka dompet itu dan melihat isinya—hanya tersisa beberapa lembar uang, jumlah yang sangat sedikit.

"Bagaimana aku bisa bertahan dengan uang segini?" gumamnya pada dirinya sendiri, merasa putus asa. Pikirannya berkecamuk mencari solusi, mencoba untuk mengatasi keadaan yang sulit ini.

Fany memutuskan untuk tidak menggunakan uangnya untuk transportasi dan memilih untuk berjalan kaki pulang ke rusunya yang terletak sejauh 1 kilometer dari sekolah. Meskipun letih setelah seharian belajar di sekolah, Fany menganggap itu sebagai pilihan yang lebih baik daripada harus kelaparan di rumah.

Dengan langkah yang semakin cepat, Fany berjalan menyusuri jalan raya yang ramai. Meskipun lelah dan lapar, dia tidak kehilangan harapan.

Fany tiba di gedung rusun yang terletak di tengah kawasan perkotaan yang padat. Gedung itu terlihat sangat kumuh, dengan dinding tembikar yang catnya memudar dan jalanan yang penuh dengan lubang. Lampu-lampu lorong yang sebagian mati dan tidak terang menambah kesan suram tempat itu. Di sekitar gedung, terdapat tumpukan sampah yang berserakan, menambah kesan tak terurus dari tempat itu.

Fany berjalan melalui lorong-lorong gelap menuju pintu masuk gedung. Dia melewati lift yang rusak dan tidak pernah diperbaiki, yang hanya menjadi peringatan akan kondisi yang tidak terurus di tempat itu. Dengan langkah mantap, Fany akhirnya tiba di depan pintu rusunnya, yang terletak di lantai empat dengan nomor 406 yang sudah mulai pudar.

Fany mencari kunci di dalam tasnya dan membukanya, menghadap pintu yang kusam dan rapuh. Dengan susah payah, Fany membuka pintu dan masuk ke dalam rusunnya, disambut oleh aroma yang tidak sedap dan udara yang pengap. Meskipun tempatnya jauh dari sempurna, ini adalah tempat yang Fany panggil sebagai rumahnya.

Dengan langkah pelan, Fany berjalan menuju ruang tamu kecilnya, melemparkan tas di sofa yang usang. Dia menghela nafas, merasakan kelelahan tubuhnya setelah seharian yang panjang. Namun, ada rasa lega di hatinya karena kini dia berada di tempat yang dulu dia panggil sebagai rumah.

Fany merasa sangat lapar setelah seharian beraktivitas tanpa makan. Dengan langkah gontai karena lelah, dia memasuki dapur dengan harapan bisa menemukan sesuatu yang bisa dimakannya. Dengan gerakan malas, dia membuka lemari kaca di sudut dapur dan mengambil sebungkus mie cup yang tersisa.

Tanpa banyak berpikir, Fany menuangkan air panas ke dalam mie cup dan menunggu beberapa menit hingga mie matang. Bau harum mie yang sedang dimasak mulai menguar di udara, menambah rasa lapar Fany. Namun, ketika mie cup sudah siap untuk dimakan, Fany memeriksa tanggal kadaluarsa yang tertera di bungkus mie.

Saat melihat tanggal yang sudah lewat dua minggu, Fany menarik napas dalam-dalam. Dia tahu seharusnya tidak mengonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa, tapi rasa laparnya begitu mendesak. Dengan mengangkat bahu acuh, Fany memutuskan untuk tetap memakannya.

Saat sedang asik menikmati makanannya, Fany tiba-tiba mendengar handphonenya berdering di sofa ruang tamu. Dengan cepat, dia beranjak dari kursinya dan melangkah menuju handphonenya yang terletak beberapa langkah dari tempatnya duduk. Melihat panggilan masuk dari sahabatnya Vina, Fany langsung merasa sedikit khawatir.

Dengan tatapan tajam dan wajah yang datar, Fany menghela napas dalam sebelum akhirnya mengangkat panggilan teleponnya.

"Ada apa, Vina?" tanyanya dengan suara datar, mencoba menahan perasaan kekesalannya.

"Fany, aku butuh bantuanmu. Ada satu teman kerja yang ijin mendadak, dan aku butuh seseorang untuk menggantikannya di cafe sekarang juga. Bisakah kau datang segera?" ucap Vina menjawab dengan cepat dari seberang sambungan.

Fany merapatkan bibirnya, merasa sedikit kesal dengan permintaan tiba-tiba tersebut.

"Baiklah, aku akan datang," sahut Fany dengan terpaksa.

"Terima kasih, Fany. Aku tunggu di kafe ya," kata Vina bersyukur mendengar jawaban Fany.

Fany mengangguk singkat meskipun tindakannya tidak bisa terlihat. "Sudah kubilang, aku akan datang," ucapnya, sebelum akhirnya menutup panggilan dan bersiap untuk pergi ke cafe.

Dengan terburu-buru, Fany berganti pakaian dengan cepat dan kemudian turun ke lantai bawah rusun tempat tinggalnya. Langkahnya tergesa-gesa saat dia berjalan menuju halte bus yang terletak cukup jauh dari tempat tinggalnya.

"Seharusnya shift kerjaku malam ini," keluh Fany dalam hati, kekesalannya terpancar jelas dari ekspresi wajahnya yang tegang. Dia merasa frustrasi karena harus menggantikan teman kerjanya tanpa persiapan sebelumnya.

Setelah menunggu cukup lama di halte, akhirnya bus yang ditunggu-tunggu tiba juga. Fany segera melangkah masuk ke dalam bus, merasa lega bahwa perjalanannya akan segera dimulai meskipun dia masih merasa kesal dengan situasi yang terjadi.

Tanpa Fany sadari, saat dia berdiri menunggu bus, seorang pengamat diam-diam memotretnya. Di mobil hitam yang keberadaannya cukup jauh dari tempat Fany, seseorang mengeluarkan kamera mahal untuk mengambil foto Fany tanpa sepengetahuannya.

Saat Fany masuk ke dalam bus, orang tersebut mengeluarkan handphonenya dan mulai menelepon seseorang. "Halo, dia sudah masuk ke dalam bus," ujarnya dengan suara rendah, memastikan bahwa informasi tersebut sampai kepada orang yang dihubunginya.

Di sisi lain telepon, suara yang terdengar menjawab dengan singkat, "Baik, aku akan segera mengikutinya." Setelah itu, percakapan pun segera berakhir, dan orang itu mematikan handphonenya dengan hati-hati.

...----------------...

Di ruang tamu yang elegan, seorang pria tua berusia 50 tahun duduk dengan santainya di atas sofa mewah, sementara tangannya sibuk memegang selembar foto-foto Fany. Meskipun usianya telah mencapai setengah abad, pria itu masih terlihat tampan dengan rambutnya yang beruban yang ditata dengan rapi.

"Bukankah dia sangat cantik?" gumam pria itu pada dirinya sendiri, matanya terpaku pada wajah Fany yang terpampang di foto.

Seorang pria tampan yang duduk di sebelahnya mengangguk setuju, menyimak dengan seksama foto-foto yang dipegang oleh pria tua itu. "Iya, benar sekali. Dia benar-benar memesona," sahut pria itu tersenyum melihat foto-foto Fany.

"Papa sangat merindukannya," ucap pria tua itu dengan suara lembut, tatapannya terasa kosong saat memandang ke langit-langit ruangan yang mewah. "Dia gadis yang kuat, bisa melewati segala rintangan dengan tangguh."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!