Silvana melenggang di karpet berwarna merah yang terhampar di depan sebuah gedung megah. Dengan pakaian yang cukup terbuka juga glamor menampakkan kulit mulus bersinar miliknya, ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Senyum Silvana terus terkembang seraya lampu flash dari kamera para wartawan mengarah kepadanya. Silvana pun memberikan beberapa pose terbaiknya di hadapan mereka.
Keriuhan juga terdengar dari para penggemar Silvana yang ada di sisi karpet merah itu. Mereka terus meneriakan namanya. Silvana melambai kepada mereka dan tersenyum menampilkan gigi-gigi putih sempurnanya. Mereka semakin menggila saat Silvana meniupkan sebuah kecup jauh kepada mereka.
Kemudian Silvana masuk ke dalam studio megah di mana acara penghargaan akan diselenggarakan. Silvana duduk di bangku paling depan dengan beberapa artis papan atas lainnya. Ia duduk dengan anggun dan menyapa beberapa publik figur yang duduk bersamanya.
"Sil, setelah jadi janda, gue lihat kok lo makin glowing aja," sapa seorang presenter terkenal.
"Kayaknya lo bakal menangin nominasi best actress deh," timpal salah satu artis lain, "secara film terbaru lo meledak di pasaran. Baru seminggu tayang di bioskop udah hampir empat juta aja penontonnya. Keren banget, selamat ya."
Dan masih banyak pujian-pujian lainnya. Silvana hanya membalas sekenanya, tidak ingin terlalu menggubris mereka. Dulu saat Silvana masih menjadi seorang pemain pendukung di beberapa sinetron televisi, mereka bahkan tak pernah menyapanya. Tapi saat Silvana berhasil menjadi pemeran utama dari sebuah film laris, baru mereka menyanjung Silvana.
Sungguh menyebalkan, pikir Silvana dalam hati.
"Paling juga orang-orang cuma penasaran pengen lihat lo gak pake baju di film itu."
Tiba-tiba sebuah suara ikut nimbrung dengan percakapan mereka. Saat Silvana menoleh, ia melihat Tesha, sang pemeran utama saat Silvana masih menjadi pemeran pendukung di sebuah sinetron yang pernah mereka lakoni bersama.
"Terus, gosip perceraian dia yang masih panas-panasnya, jelas jadi marketing tersendiri," imbuh Tesha.
Silvana menatapnya dingin tak peduli. "Lo iri? Bilang, Sayang."
Satu kalimat itu membuat wajahnya yang berias make up tebal itu menjadi merah padam. "Iri? Jangan sembarangan ya. Lo cuma figuran!"
"Iya, waktu itu gue emang figuran, gue gak lebih terkenal dari lo," timpal Silvana dengan tenang.
"Bagus kalau lo paham," Tesha terlihat begitu puas.
"Tapi sekarang kita beda level. Dulu gue di level satu, lo di level tiga. Dan sekarang, lo tetep di level tiga, dan gue ada di level sepuluh."
"Lo baru tenar sedikit juga udah..."
"Udah, udah. Acara udah mau mulai," lerai seseorang.
Silvana pun kembali duduk di kursinya dengan tenang sedangkan Tesha kembali ke kursinya yang berada sedikit agak dibelakang Silvana.
Acara pun dimulai. Acara penghargaan tahunan itu digelar untuk memberikan apresiasi tertinggi bagi insan perfilman di tanah air. Berbagai nominasi diumumkan dan pemenang satu persatu disebutkan. Mereka naik ke atas panggung sambil memamerkan pakaian hasil karya desainer terkenal yang melekat di tubuh mereka dan memberikan pidato kemenangan.
Silvana sendiri masuk ke beberapa nominasi, namun tidak berhasil memenangkannya. Silvana sempat melihat ke arah Tesha dan ia begitu puas saat nama Silvana tak keluar menjadi pemenangnya.
Hingga acara puncak pun tiba. Pengumuman untuk aktris terbaik, aktor terbaik, sutradara terbaik, dan penghargaan tertinggi bagi legenda dunia perfilman tanah air akan segera diumumkan.
Pembawa acara mulai memberikan kata-kata pengantar sebelum pengumuman pamungkas itu.
"Baik, sekarang kita akan lihat bersama-sama nominasi aktris terbaik tahun ini. Nominasinya adalah..."
Layar pun menampilkan beberapa aktris yang sudah berkecimpung di dunia perfilman dalam waktu yang cukup lama. Film-film mereka pun tak pernah sepi peminat. Namun ada satu aktris pendatang baru yang sedang naik daun yang baru satu film yang dilakoninya, namun namanya justru bertengger masuk ke dalam nominasi paling bergengsi itu. Aktris itu adalah Silvana.
"Penghargaan aktris terbaik tahun ini jatuh kepada..." pembaca nominasi membuka amplop dan menyebutkan sebuah nama, "Silvana Zevanya!"
Studio itu langsung bergemuruh dengan tepuk tangan yang meriah. Bahkan orang-orang memberikan standing applause ketika Silvana mulai berjalan menuju panggung. Ia memberikan sepatah dua patah katanya sambil memegang piala penghargaan aktris terbaik.
Silvana sendiri merasa ini menjadi sebuah pencapaian yang menjadi pelipur lara baginya. Setelah perceraiannya yang menghebohkan itu, ini menjadi semacam pembuktian bahwa Silvana masih mampu berdiri di kakinya sendiri. Walaupun harus bercerai dari seorang pengusaha kaya raya yang dijuluki crazy rich dari Surabaya, ia tidak hancur seperti yang diberitakan. Justru ia semakin terbang tinggi dengan kemampuannya sendiri.
Silvana Zevanya
***
"Kai, Kakak pengen apelnya. Kupasin dong," pinta Raisa dengan manjanya kepada sang adik. Ia tengah bersandar di sofa ruang tengah rumah orang tuanya sambil mengelus perut buncitnya. Matanya tertuju ke arah televisi, menyaksikan acara penghargaan yang disiarkan secara langsung.
"Siap kakakku," sahut seorang pria muda tampan rupawan, berwajah ramah dan menyejukkan hati. Rakai pun mulai berjalan menuju dapur untuk membawa pisau dan kemudian duduk kembali di samping sang kakak. Tangannya mulai sibuk mengupas apel.
"Ini yang kakak siapa, yang adik siapa."
Seorang wanita paruh baya datang ke ruang keluarga itu dengan membawa beberapa gorengan panas yang ia tata di sebuah piring, lalu diletakkannya di meja.
"Aku 'kan lagi hamil, Bu. Biarin dong manja dikit sama adik sendiri," gerutu Raisa.
"Manja sedikit apanya, kamu itu jadi manja banget sama adik kamu. Ngalahin manja kamu ke suami kamu. Untung kamu punya adiknya baik begini," timpal sang ibu.
"Abisnya Mas Rizky 'kan sibuk kerja terus. Jadi kalau gak ada dia, aku manja-manjanya sama Rakai aja. Daripada aku manja sama cowok lain?"
"Dasar kamu..."
"Jangan berisik, jangan berisik!" potong Raisa heboh. "Aku yakin aktris terbaik siapa tahun ini pasti Silvana!"
Raisa yang seorang pecinta film, tentu sangat menunggu acara penghargaan ini. Ia ingin tahu siapa yang akan memenangkan penghargaan tertinggi di acara bergengsi itu.
Sontak Raisa berteriak heboh saat nama Silvana Zevanya disebutkan. Ia sampai berjingkrak-jingkrak tanpa sadar saking senangnya.
"Kak, inget kakak lagi hamil!" tegur Rakai seraya mengajak Raisa untuk kembali duduk tenang. Ia mengusap perut sang kakak dengan tatapan galak, "ini ponakan aku kasihan, Kak, dibawa loncat-loncat gitu."
"Rai, bener-bener deh kamu, ugal-ugalannya gak berubah padahal lagi hamil besar gini."
"Jelas aku heboh. Aku tuh lagi ngefans banget sama dia! Silvana lagi terkenal banget sekarang, Bu. Setuju banget dia dapet penghargaan itu! Pasti dia viral lagi deh di tiktok," ucap Raisa masih dengan hebohnya.
"Emang siapa Silvana itu sih?" tanya Yanti kepada putri sulungnya seraya mencomot sebuah pisang goreng dan memakannya.
"Silvana yang main film yang kemarin aku tonton sama Rakai, Bu. Ibu sih gak ikut, padahal filmnya bagus banget. Padahal itu film pertamanya dia tapi langsung booming sebooming-boomingnya!"
"Oh yang ada di iklan shampo itu ya?"
Raisa mengangguk semangat, "iklan shampo, minuman berkolagen, aplikasi booking hotel, sama make up yang suka ibu pake tuh, itu brand ambassadornya Silvana Zevanya, Bu."
"Oh yang itu, menang dia? Wah artis bagus berarti. Bukannya dia baru cerai juga ya sama suaminya?"
"Iya, untung cepet dicerain. Silvana gak butuh cowok red flag kayak gitu. Dia sendiri juga bisa dapet uang banyak. Iri banget sama Silvana, perfect banget hidupnya sekarang. Cantik, kaya, independent woman, terkenal lagi. Artis berkualitas banget dia."
"Siapa bilang hidup sendiri hanya dengan uang banyak dan terkenal itu bahagia, siapa tahu di balik itu, Silvana justru kesepian."
Raisa mengambil sepotong apel yang Rakai sodorkan padanya dan memakannya, "gak mungkin. Silvana itu punya banyak fans, gak mungkin dia kesepian."
"Yah, semoga aja. Tapi yang jelas jadi orang terkenal itu gak enak. Enak juga jadi orang biasa kayak kita."
"Kalau menurut kamu gimana, Kai? Kemarin filmnya Silvana bagus, 'kan?" Raisa mengajak sang adik yang sejak tadi hanya menyimak seraya memotong apel untuk dimakan olehnya.
"Filmnya sih bagus," ujar Rakai akhirnya. "Tapi Silvana terlalu berani. Masa dia sampai tlnjg?" Rakai sampai memalingkan wajahnya saat menonton film itu, tak ingin melihat adegan di mana Silvana beradegan dewasa dengan lawan mainnya di film tersebut.
"Itu 'kan cuma acting, Kai. Silvana juga cuma ngelihatin punggungnya aja. Terus dia gak lebih dari ciuman."
"Tetep aja, Kak. Ciumannya gitu banget." Rakai menggelengkan kepalanya tak habis pikir ada orang yang berani melakukan itu hanya demi film.
"Iya sih. Tapi tetep aja dia actingnya bagus, filmnya juga, aduh mantap pokoknya. Bangga banget orang kita bisa bikin film sekeren itu. Katanya di Filipina, Singapura, Thailand dan Malaysia juga laris banget loh filmnya."
"Kalau Rakai jelas gak suka sama modelan artis kayak gitu. Adik kamu ini lebih suka sama perempuan lembut, sopan, calon ibu dan istri yang baik. Bener gak, Kai?" tanya Yanti yang sudah sangat paham selera sang anak bungsu.
"Iyalah, Bu. Yang sayang sama aku dan keluarga aku, bisa masak, bisa ngurusin rumah, itu udah cukup buat aku," ujar Rakai.
Memang ibunya ini sudah sangat mengenalnya. Keinginan Rakai tidak muluk-muluk soal perempuan. Ia hanya ingin seorang perempuan sederhana, baik hati dan keibuan agar bisa menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak.
Rakai Kian Arjuna
"Syaima banget, dong," seloroh Raisa seraya menggoda sang adik.
"Apa sih, Kak. Aku cuma temenan sama Syaima," elak Rakai.
"Ibu setuju loh kamu sama Syaima. Kamu udah kenal Syaima dari kecil. Dia juga udah deket sama kita. Anaknya baik, pinter masak, dan calon perawat. Cocok sama kamu yang calon dokter," Yanti ikut menggoda sang putra.
Rakai hanya terdiam tak menanggapi. Baginya teman kecilnya itu memang memenuhi kriteria wanita idamannya, tapi Rakai sama sekali tak ada rasa pada Syaima.
"Bukannya dia suka sama kamu, Kai? Udah jadian aja. Nikahin sekalian sebelum kamu lanjut co-ass," saran Raisa.
Sontak Rakai menatap sang kakak, "mau dikasih makan apa Syaima kalau aku nikahin dia sekarang. Aku aja masih jadi beban Kakak, Ibu sama Ayah sekarang. Pernikahan itu masih lama buat aku, Kak. Nanti kalau udah jadi dokter baru aku akan nyari perempuan yang cocok sama aku."
"Kelamaan, Kai. Gimana kalau kamu lagi pengen?"
"Kak!" tegur Rakai segera. Rasanya ucapan sang kakak terlalu frontal untuk dibahas bersama kedua sanak keluarganya itu. Wajah Rakai bahkan memerah.
"Kamu ini, hobinya godain terus adik kamu, Rai. Rakai ini anak baik, pikirannya dewasa dan bersih dari hal-hal kayak gitu. Kamu jangan mencemari pikiran-pikiran Rakai dengan ocehan kamu itu. Udah, ibu setuju Rakai selesain co-ass nya dulu. Baru seudah itu cari kerja, dan nikah."
"Ya aku 'kan manusiawi aja, Bu. Rakai ini cowok normal. Dari segi umur udah ada di usia yang cocok buat nikah."
Tiba-tiba terdengar suara tangisan Nabil dari dalam kamar.
"Kai, lihatin Nabil dong. Kakak sakit punggung nih," Raisa mencari alasan.
Rakai menghela nafas jengah, "makanya jangan loncat-loncat. Jadi sakit 'kan punggungnya?" gerutu Rakai seraya bangkit dari duduknya menuju kamar di mana putra pertama Raisa yang masih berusia empat tahun tertidur.
"Ya udah, ibu juga udah ngantuk. Udah hampir tengah malam ini, kamu jangan terlalu malem tidurnya, Rai," seru Yanti membubarkan diri pada acara menonton bersama itu.
"Iya, Bu. Bentar lagi aku tidur."
***
Selepas acara penghargaan, Silvana pulang ke apartemennya. Ia segera membersihkan diri dan menghapus make up yang menghiasi wajah cantiknya.
"Sil!"
Terdengar suara perempuan memanggilnya.
"Gue di kamar mandi!" sahut Silvana yang masih melakukan rangkaian perawatan kulit sebelum ia tertidur.
Femi, sang manager, menatap Silvana dengan kesal, "kok lo udah bersihin muka? Acara belum beres, Sil. Gue 'kan udah bilang, ada acara party di club hotel."
"Lo tahu gue gak suka ikut-ikut party kayak gitu. Gue harus tidur cepet, kalau enggak muka gue bakal keriput. Mau lo muka gue kayak nenek-nenek?"
"Telat tidur satu malam doang gak ngaruh, kali."
"Gak bisa. Gue harus tidur, supaya kulit gue tetep glowing. Besok gue ada jumpa fans kan di Mall? Makanya gue mau istirahat." Silvana selesai dengan rangkaian skin carenya dan berjalan menuju tempat tidurnya.
Femi pun mengekor Silvana, "gue harus ngomong apa sama si bos? Party itu diadain buat lo! Lo mah gak ada kasihannya sama sekali sama gue. Si bos pasti ngamuk-ngamuk lagi!"
Silvana mulai membaringkan tubuhnya di tempat tidur. "Besok gue yang bilang. Udah lo tinggalin gue. Matiin lampunya sebelum lo pergi ya," pinta Silvana kemudian menutup matanya.
Femi hanya bisa berdecak kesal. Sebelum Femi mematikan lampu, ia melihat sebuah paperbag dari sebuah toko ternama yang menjual perlengkapan bayi. "Lo beli barang-barang buat bayi lagi? Buat apa sih, Sil."
"Suka aja. Lucu," jawab Silvana tak ingin membahas lebih jauh.
Femi menghela nafasnya, "kalau lo pengen punya anak, kenapa lo lebih milih buat cerai coba?"
Silvana tidak menjawab dan berpura-pura tidur. Melihat tak ada reaksi dari Silvana, Femi pun pergi dari apartemen itu.
Setelah mendengar pintu apartemennya ditutup, Silvana kembali membuka matanya dan menyalakan lampu. Ia raih paper bag yang baru dibelinya beberapa hari lalu, lalu ia bawa ke walk in closetnya. Dikeluarkannya sepasang sepatu mungil bergaya balet dengan warna baby pink dan diletakkannya sepatu itu di satu sisi lemari yang di mana ada banyak pakaian bayi di sana.
Silvana menatapnya dengan sendu. Diusapnya perutnya yang rata, setetes air mata mengalir di pipinya, "menyedihkan banget sih gue?"
***
"Ibu, Ayah, aku pamit ya," Rakai mencium kedua tangan orang tuanya sebelum ia pergi bersama Raisa dan suaminya, Rizky ke Jakarta.
"Hati-hati di jalan ya, Nak. Sukses co-ass nya, jangan lupa istirahat dan makan. Jangan kecapean," pesan Yudi pada sang putra.
"Raisa juga pamit ya, Bu, Yah," ujar Raisa juga mencium kedua tangan orang tuanya, diikuti oleh sang suami yang datang menjemput mereka kemarin sore.
"Iya, hati-hati ya, Rai, Riz. Bulan depan Ibu ke Jakarta ya nemenin Raisa yang udah deket ke lahiran," janji Yanti.
"Bener ya, Bu. Pokoknya kalau aku lahiran mau ada Ibu jangan kayak waktu itu," rajuk Raisa.
"Dasar anak manja," Yudi tak habis pikir pada putri sulungnya itu. "Rizky, jaga putri Ayah ya."
"Siap, Yah. Aku pasti jagain istriku dengan baik. Lagian ada pak dokter di rumah, jadi aku juga tenang," sahut Rizky.
Semua tersenyum bangga pada Rakai, anak laki-laki paling membanggakan di keluarga besar Yudi dan Yanti, karena menjadi orang pertama yang berhasil kuliah kedokteran dengan jalur beasiswa penuh juga di sebuah universitas ternama.
"Jaga kakak kamu ya, anak kebanggaan Ibu," pesan sang ibu pada Rakai.
"Iya, Bu," ujar Rakai dengan tetap rendah hati.
Kemudian mereka pun mulai memasuki mobil. Tiba-tiba saat mobil akan melaju, datang seorang perempuan manis dan sederhana berlari menghadang mobil itu.
"Kai, Syaima tuh. Cieee, didatengin ceweknya. Samperin sono!" goda Raisa pada sang adik.
"Apa sih, Kak," gerutu Rakai seraya membuka handle pintu dan turun dari mobil.
Syaima mencium tangan kedua orang tua Rakai, kemudian Yanti dan Yudi pun masuk ke dalam rumah, memberikan waktu untuk kedua muda-mudi yang memang mereka harapkan bisa segera meresmikan status mereka untuk berbicara berdua.
"Mas Rakai, maaf ya padahal Mas Rakai udah mau pergi. Aku cuma mau ngasihin ini," Syaima memberikan sebuah kotak dengan pita kepada Rakai. "Mas tolong terima, tapi jangan dibuka sekarang ya."
"Apa ini?" tanya Rakai penasaran.
"Nanti juga Mas Rakai tahu. Ya udah, Mas Rakai silahkan berangkat. Hati-hati di jalan ya."
Kemudian pergilah Rakai bersama dengan sang kakak dan juga kakak iparnya menuju Jakarta. Tiba di rumah Raisa, Rakai masuk ke kamar tamu yang memang sudah menjadi kamarnya selama ia kuliah di Jakarta.
Setelah ia membersihkan diri, Rakai duduk di tepi tempat tidur dan membuka kotak yang diberikan oleh Syaima. Rakai terperangah melihat ada sebuah jam tangan yang ia tahu cukup mahal di sana dan juga sepucuk surat.
Rakai pun membukanya dan membacanya.
"Kai."
Tiba-tiba Raisa membuka pintu kamar Rakai tanpa mengetuknya, membuat Rakai terkejut kelabakan menyembunyikan surat yang sedang dibacanya.
"Kak, ketuk dulu, dong!" tegur Rakai kesal.
Raisa malah masuk dan dengan curiga melihat tangan Rakai yang ada di belakang punggungnya, "nyembunyiin apa kamu?"
"Gak ada," elak Rakai.
Bukan Raisa namanya jika tak bisa membuat sang adik buka mulut. Ia pun berhasil mendapatkan surat itu.
"Syaima nembak kamu?!" teriak Raisa heboh.
"Udah, Kak. Kembaliin!" wajah Rakai memerah.
"Kamu mau jawab apa, Kai?" tanya Raisa dengan senyum jahil.
Rakai menghela nafas kesal, "aku gak ada rasa sama dia, Kak."
"Masa sih?" tanya Raisa. "Bukannya kamu suka? Kamu selalu senyum dan nanggepin dia. Tapi, kamu emang sama semua cewek kayak gitu, 'kan ya? Udah Kakak bilang Kai, kamu sama cewek jangan terlalu baik makanya, jadi banyak yang salah paham." Raisa memperingatkan.
Rakai pun mengambil paksa kembali surat itu, "Kakak ngapain ke kamar aku?" Rakai mengalihkan topik pembicaraan.
"Temenin kakak ke Mall, yuk."
"Mall? Kakak gak cape? Baru aja kita nyampe dari Bandung," keluh Rakai. Ia rencananya ingin tidur karena ia memang merasa lelah setelah perjalanan yang cukup jauh.
"Ada jumpa fansnya Silvana Zevanya, Kai! Kakak pengen ke sana, pengen lihat Silvana. Please temenin Kakak."
"Bang Rizky mana?"
"Abang kamu cape abis nyetir dari Bandung. Yuk! Please, ini kepengen utun loh, bukan Kakak," Raisa menunjukkan wajah puppy facenya agar sang adik luluh.
Jika sudah membawa-bawa calon keponakan yang masih berada di kandungan Raisa, Rakai tak bisa apa-apa selain mengikuti apa yang Raisa inginkan.
Sore itu Mall sangat ramai. Orang-orang berbondong-bondong memadati area pusat Mall, di sana akan di adakan jumpa fans artis yang sedang naik daun, Silvana Zevanya.
Begitu juga Raisa, walaupun wanita yang nyaris berusia tiga puluh tahun itu tengah hamil besar, tak menyurutkan semangatnya untuk bertemu sang idola. Ia pun duduk di bangku penonton paling depan, bersama dengan sang adik.
Kedatangan kakak beradik itu langsung menyedot perhatian. Pasalnya tatapan-tatapan iri tertuju pada Rakai.
"Ya ampun, suaminya ganteng banget," komentar-komentar serupa terus terdengar saat keduanya duduk di bangku penonton.
"Tahu gak kenapa Kakak suka bawa kamu kalau pergi-pergi kayak gini?" Tanya Raisa.
Rakai dengan polosnya menggeleng, "enggak. Kenapa?"
"Kakak suka kalau cewek-cewek udah pada iri ngelihatin Kakak dan nyangkanya kamu suami Kakak," Raisa terkekeh tengil diikuti dengan delekan kesal Rakai.
Setelah menunggu beberapa menit, terlihat kehebohan dari sisi Mall. Rupanya Silvana sudah datang.
"Ya ampun, cantik banget, Kai!" teriak Raisa heboh. Ia segera membuka ponselnya dan merekam kedatangan sang idola. "Silvana bukan manusia, fix dia bidadari turun dari langit!"
Tatapan Rakai pun tertuju pada wanita tinggi semampai yang terlihat mencolok meskipun riasan dan pakaiannya lebih sederhana dibandingkan dengan pakaian yang dikenakannya di acara penghargaan itu. Rakai setuju, Silvana memang sangat cantik. Bahkan Rakai yang biasanya selalu menjaga pandangannya dari lawan jenis, seakan terhipnotis melihat keindahan makhluk di hadapannya itu.
Silvana duduk di sebuah kursi yang terletak di atas panggung dan membuka kacamata hitam yang bertengger di hidung mancung sempurnanya. Wajahnya yang tadi terlihat angkuh saat memakai kacamata, seketika terlihat begitu ramah. Senyum cantiknya tersungging kepada semua fans yang ada di hadapannya.
"Ya ampun, Kakak meleleh, Kai! Cantik banget sih Silvana!" Raisa tak hentinya berteriak heboh.
"Kak, inget Kakak lagi hamil. Jangan terlalu heboh gitu, nanti kalau tiba-tiba berojol di sini gimana?" ujar Rakai panik.
Namun Raisa seakan tak mendengar sang adik memperingatkannya, ia sibuk saja berteriak seraya merekam Silvana dan mengambil foto Silvana dari berbagai sisi.
Kemudian acara pun di mulai, di awali dengan pembukaan dan sepatah dua patah kata dari Silvana sendiri, kemudian diakhiri dengan berbarisnya para fans yang sudah memiliki tiket untuk bisa berhadapan langsung dengan Silvana. Mereka bisa memberikan sesuatu kepada Silvana, mengobrol beberapa saat, meminta tanda tangan, atau pun berfoto bersama Silvana.
Di tengah sesi itu, Silvana menangkap sosok Raisa yang tengah berbadan dua di antara barisan fans yang menunggu giliran mereka bertemu dengan Silvana. Silvana meminta seorang staff untuk mendahulukan Raisa. Sontak Raisa pun memekik kegirangan dan ia segera menghampiri Silvana.
"Halo, siapa namanya, Mbak?" tanya Silvana ramah.
Raisa begitu sumringah, "Silvana, jangan panggil 'mbak'. Panggil aku Raisa aja. Kita seumuran loh."
Silvana terkekeh seraya menandatangani sebuah buku berisi kumpulan foto miliknya yang dibawa oleh Raisa, "oh gitu. Boleh deh, aku panggil Raisa ya. Udah berapa bulan hamilnya, Rai?"
"Delapan bulan, Sil." Saking hebohnya karena bisa berbicara seakrab ini dengan idolanya, ia memukul-mukul lengan Rakai. Rakai hanya pasrah menjadi sasaran kegemasan sang kakak.
"Ya ampun, bentar lagi dong lahirannya? Semoga lancar ya," ucap Silvana tulus seraya menyerahkan buku kumpulan foto itu kepada Raisa. Silvana menyadari ada sosok Rakai di samping Raisa, "beruntung banget kamu, suaminya sampai siaga gini nemenin kamu jumpa fans."
"Bukan, Sil. Ini adik aku, namanya Rakai. Dia baru dapet gelar sarjana kedokterannya loh. Full beasiswa, lagi mau lanjutin co-ass dia, adik aku ini kebanggaan keluarga besar aku," terang Raisa tanpa henti. "Rakai ini adik kesayangan aku banget, Sil. Kamu lihat 'kan dia ganteng banget? Bukan cuma luarnya doang loh, dia juga anak yang baik, berbakti sama orang tua, gak pernah ngecewain orang tua dari kecil. Pokoknya calon dokter sukses!"
Rakai hanya bisa tersenyum malu atas sikap sang kakak.
"Kelihatan kok, dia mau anterin kakaknya begini itu udah jarang dilakuin sama cowok-cowok zaman sekarang," puji Silvana.
Diam-diam, tatapan Rakai terpaku pada sang idola. Entah mengapa, Rakai mulai memahami kenapa Raisa mengidolakan perempuan cantik di hadapannya ini. Silvana sangat ramah, dia juga dengan sabar mendengarkan penggemarnya padahal semua itu tidaklah penting baginya.
Setelah itu, waktu Raisa bertemu Silvana sudah habis. Mereka sempat berfoto bersama lalu, Raisa dan Rakai pun turun dari panggung dan membiarkan Silvana bertemu dengan fansnya yang lain.
Di dalam mobil, Raisa terus menatap layar ponselnya. "Mimpi apa Kakak semalem bisa ketemu Silvana, Kai! Dia bahkan ngelus perut Kakak!"
Rakai hanya menggeleng tak habis pikir pada sikap sang kakak yang masih saja kekanakan, padahal usianya tujuh tahun lebih tua darinya.
"De, kamu nanti harus secantik Silvana ya. Soalnya perut Bunda udah dielus-elus sama Silvana," ucap Raisa gemas seraya mengelus perutnya.
"Ramah juga, jangan cuma cantiknya aja, Kak," celetuk Rakai.
"Jadi kamu setuju 'kan berarti kalau Silvana cantik dan ramah?" Raisa begitu senang karena sang adik mengakui bahwa idolanya memang seorang perempuan yang layak dikagumi. "Baik banget 'kan dia tadi?"
"Iya sih, dia baik dan ramah," Rakai mengiyakan seadanya seraya fokus menyetir. "Oh iya, kak aku jadi ya besok lusa ke Bangkok."
"Jadi liburannya?" tanya Raisa.
"Jadi dong, nanti seudah co-ass aku udah bakal sibuk. Jadi sekarang aja mumpung ada waktu beberapa hari."
"Tapi serius kamu mau solo traveling? Kenapa gak ngajak temen kamu gitu siapa, Rio atau Fahmi?"
"Sendiri ajalah. Aku 'kan udah sering solo traveling gini."
"Apa serunya coba jalan-jalan sendirian? Jalan-jalan tuh seru kalau banyakan."
"Seru, Kak. Kita jadi bisa fokus sama apa yang pengen kita lakuin, terus bebas aja jadinya."
"Ya udah, terserah. Tapi hati-hati ya, takutnya ada apa-apa kamu gak ada temen gitu. Apalagi ini ke luar negeri," Raisa memang kurang setuju dengan hobi sang adik ini.
***
Silvana baru saja tiba di sebuah kamar hotel di Kota Bangkok. Beberapa orang pegawai hotel sibuk membawakan beberapa koper milik Silvana. Femi sibuk memberikan instruksi kepada orang-orang itu untuk membawa koper-koper Silvana ke dalam salah satu kamar di presidential room itu.
Silvana duduk di sofa, mencoba merasa nyaman dan melepaskan rasa lelah yang dirasakannya. Kemudian beberapa saat hanya ada Silvana dengan Femi. Silvana memang tidak suka jika terlalu banyak staff berada di sekelilingnya.
"Bentar lagi kita meeting sama sutradara dan produsernya. Nyantei dulu," Femi mengingatkan jadwal selanjutnya untuk Silvana seraya menjatuhkan diri pada sofa di dekatnya.
"Okay," sahut Silvana seraya menyandarkan kepalanya dan berniat untuk tertidur beberapa menit saja.
Semenjak kembali ke dunia hiburan dan berhasil membintangi film yang sukses laku di pasaran, kegiatan Silvana memang menjadi semakin padat. Jadwal dan tawaran job terus berdatangan padanya, termasuk tawaran membintangi drama Thailand yang akhirnya Silvana putuskan untuk menerimanya.
"Yah, meetingnya dipending katanya, Sil," ujar Femi seraya menatap ponselnya.
"Kenapa?" tanya Silvana tanpa membuka matanya.
"Produser filmnya lagi hamil 'kan, dia lagi mabok-maboknya katanya."
"Bukannya dia belum nikah ya?" tanya Silvana yang sempat mencari tahu latar belakang calon rekan kerjanya itu.
"Lo bukan tinggal di Indonesia. Di sini udah sering yang begitu, hamil tanpa nikah dan cuma pacaran terus tinggal bareng. Udah lumrah di sini, Sil. Tapi kasus si produser ini agak beda, soalnya dia hamil karena dia donor sprma."
Sontak Silvana membuka matanya, "donor sprma?"
"Iya. Dia pengen punya anak tanpa nikah, akhirnya mutusin buat donor sprma," terang Femi.
Melihat Silvana terdiam terpaku dengan tatapan seperti sedang memikirkan sesuatu, membuat Femi kebingungan, "lo kenapa?"
"Gimana caranya?" tanya Silvana dengan antusias.
"Cara apa maksudnya?"
"Iya itu, gimana prosedurnya supaya bisa hamil dengan cara nerima donor sprma?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!