"SAH!", begitu penghulu mengatakan bahwa kini sepasang manusia yang sebelumnya tak mengenal sudah resmi menjadi suami istri terdapat perasaan campur aduk mengisi hati keduanya.
" Kamu sudah bisa mencium kening istri mu"
Liam menoleh sampai pandangannya saling bertabrakan dengan mata indah Vana, istrinya. Meski ragu namun ia harus tetap melakukan yang semestinya, para tamu tak boleh merasa aneh akan apa yang terjadi.
Cup.
Liam bisa membaca dari gerik wajah Vana, perempuan itu masih memiliki luka dan duka mendalam, bahkan matanya berkaca-kaca.
Gua akan jaga Vana sesuai dengan apa yang lo mau Dip...
...----------------...
Sehari sebelumnya...
Liam Mahendra, seorang dokter umum yang terkenal akan kejeniusan, perawakan yang sopan, tampan dan ramah.
Hari ini Liam memilih menjaga sang sahabat yakni Dipta. Temannya itu tampak lemah, kurus dan pucat. Rambut yang dulu tumbuh subur sudah botak sepenuhnya.
Tadinya keduanya saling berbagi cerita tentang masa kecil mereka meski Liam yang banyak berbicara, mereka memang sahabat yang tak terpisah sejak dulu. Melihat kondisi Dipta membuat Liam hanya bisa mengingat kebaikannya mulai dari mereka masih kelas satu SD.
Dipta yang terkadang lebih mengayomi menggunakan sikap tegas, wajah bisa berubah mengerikan berhasil membantu Liam terhindar dari bullying anak nakal. Akh, kalau membahas semuanya tak akan cukup dengan kata. Sampai sekarang Liam masih tak bisa percaya kalau sahabatnya mengidap kanker otak stadium empat.
Mata terpejam itu perlahan membuka sempurna kembali, Dipta tersenyum. Liam tak bisa memungkiri sahabatnya tetap tampan, pantas dulu gadis yang ia suka malah menyukai Dipta..
"Bro... Hidup gua gak lama lagi.. ", suara lirih ini mampu menunjukkan seberapa sakit Dipta.
Fakta menyedihkan yang ada dalam kehidupan Dipta, mamanya hanya peduli pada harta yang ia miliki sedangkan papanya kasar dan tukang mabuk. Sangat menyedihkan bukan...
" Gua gak tahu harus ngomong apalagi buat semangatin lo Dip, gua gak mau kasih harapan palsu lagi... "
Liam tertunduk menghindari kontak mata sahabatnya, jika tidak dia akan diejek cengeng.
"Gua boleh titip sesuatu yang berharga dalam hidup gua ke lo gak, bro?"
Tanpa pikir panjang Liam mengangguk.
"Besok hari pernikahan gua sama Vana... Lo pernah kan ketemu dia pas gua tunangan?"
Liam mengernyit lalu kembali mengingat wajah indah yang tersenyum kala itu, gadis itu memang cantik.
"I-iya"
"Gua gak mau kasih harapan semata ke dia... Gak akan bahagia Vana kalau rawat gua. Dan gua yakin secepatnya gua udah gak disini lagi... "
Glek!
Liam merasakan tenggorokan kering mendengar ucapan Dipta.
"Gua mau Vana tetep bahagia dan selalu senyum, dia sama kek gua. Selalu dituntut sempurna sama mamanya, jadi... Gua harus nemu pengganti yang bisa sama kek gua. Orang yang pasti jagain dia dan tulus ke dia"
Dipta menarik nafas, "gua mau lo jadi pengganti gua besok. Nikahin Vana dan bahagia in dia.. "
Deg.
Liam tak menyangka ucapan barusan keluar begitu saja di bibir pucat Dipta, bagaimana dia bisa menikahi perempuan yang dicintai sahabat nya sendiri?
"Bro... Itu gak mungkin. Gua gak mungkin nikahin Vana, lo tau gua sekarang masih sama Wilona", pria itu menolak permintaan Dipta.
Dipta tak gencar akan keputusan yang ia ambil, " Wilona bukan cewek yang baik.. Gua mohon, lo harus nikah sama Vana besok. Gantiin gua Liam."
Beberapa kali Liam menyangkal agar tak melakukan ide konyol yang entah dari mana Dipta mendapatkan nya.
"Lo pasti jatuh cinta ke Vana nanti. Gua yang mau lo nanti bisa cinta ke dia, lupain kalau gua pernah ada dalam kehidupan dia. Dan nanti gua yakin seiring waktu lo bisa lihat siapa itu Wilona... "
Liam terdiam, mencernah setiap perkataan Dipta.
"Kali ini gua mohon ke lo... Lo pernah bilang mau bales budi kan? Sekarang gua minta itu."
Meskipun berat untuk menyetujui, Liam tak punya pilihan lain. "Oke.. Gua setuju."
Dipta mengenal Liam, temannya akan menepati segala janji yang mereka buat.
"Gua boleh minta satu hal lagi?", senyum Dipta kali ini punya maksud lain.
Liam berdecak sebelum terkekeh, " mau apalagi paduka Dipta?", panggilan menggemaskan dari kecil terselingi pada balasan Liam.
"Beliin gua roti bakar sekarang, gua pengen makan itu"
Apa? Hanya itu? Liam bisa membelikan sekarang juga.
"Oke deh gua beliin lo, tunggu gua ya?"
Dipta mengangguk, sebelum Liam benar-benar keluar dari ruangan dia memanggilnya lagi, "lo beli juga.. Kita makan bareng", anggukan Liam menjawab semua.
Namun, siapa yang tahu kematian seseorang..
Manusia hidup sesuai kehendak tuhan, begitupun ketika mereka tiada. Hanya Tuhan yang tahu kapan mereka akan kembali ke pangkuannya.
Sekembalinya Liam bersama dua roti dan teh hangat untuk dirinya sendiri, ia harus menelan pil pahit ketika menemukan tubuh Dipta kaku. Dokter dan suster yang tadi panik mengecek kondisi pria itu menyatakan bahwa Dipta sudah tidak bisa diselamatkan.
"Maaf dokter Liam, saya tidak bisa menyelamatkan sahabat anda", Panji tertunduk menyesal.
Di tempatnya berdiri, Liam hampir saja terjatuh jika dia tak menyandarkan tubuh ke dinding.
Tes...
Bulir air mata membendung dan keluar begitu deras dari kedua kelopak mata Liam. Ia segera mendekat membawa roti yang tadi dibelinya.
"Bro... Gua bawain roti favorit lo, gak mau buka mata? Hiks... Gua cuman pergi sebentar, kenapa lo yang pamit?"
Tanpa ada siapapun yang menemani Liam di dalam ruangan Dipta, ia meraung menangis sekeras mungkin.
Setelah lama diam dan sibuk akan pikiran kosongnya. Liam memutuskan untuk pergi ke tempat Vana, mengatakan apa yang sebenarnya terjadi dan memberikan semua surat yang dibuat Dipta untuk sang kekasih.
Hari itu, setelah Liam. Vana menjadi orang yang paling hancur dalam kehilangan. Liam sendiri ada disaat Vana membaca satu persatu surat manis yang ditujukan untuk dirinya, dia bahkan sampai meminta untuk segera di bawa ke rumah sakit.
Menatap bagaimana Vana memeluk tubuh kaku yang di jarinya ada cincin melekat sama persis dengan milik gadis itu, ada perasaan bersalah cukup mendalam. Maafkan aku. . .
Satu gerakan membawa Liam keluar ke lorong rumah sakit, keputusan yang ia ambil sudah bulat.
"Halo... "
".... "
"Wilona, maafin aku. Kita sudahan ya? Mulai hari ini carilah seseorang yang bisa menjaga kamu"
".... "
Tut...
Keputusan terbesar Liam adalah menepati janji dan ucapannya. Satu-satunya yang tersisa dari bukti kenangan Dipta adalah Vana Safira. Meski tanpa cinta, Liam akan membantu gadis itu untuk tetap hidup.
"Jangan batalkan pernikahan kamu, saya tahu mama mu nanti akan marah"
Vana menghapus jejak air matanya, "ap-apa maksud kamu?", sejujurnya Vana juga takut akan kemarahan mamanya. Mereka sudah keluar duit banyak untuk persiapan pernikahan.
" Saya akan menikahi kamu Vana."
Bersambung.
Tadinya Vana meminta Liam untuk berada di kamarnya lebih dulu, dia akan berbicara bersama mama Nita untuk beberapa hal penting.
Tapi siapa yang menyangka kalau Liam justru berdiri di luar kamar wanita yang kini sibuk memarahi Vana. Wanita itu tampak mempunyai kebencian.
"Bilang apa kamu? Seharusnya kamu memang sudah tidak usah saja berhubungan dengan Dipta itu. Sekarang suami kamu jauh lebih kaya dibanding dia"
Vana menunduk meremas pakaian pengantin yang masih melekat pada dirinya.
"Ma... Vana cuman mau mama kembalikan kalung pemberian Mas Dipta untuk Vana, tapi kenapa ucapan mama malah ke arah lain.. ", kali ini ada rasa amarah dibalik perkataan Vana.
Kalung yang seharusnya menjadi mahar untuk dirinya, harus ia relakan disimpan mama Nita agar tetap utuh. Namun kini, Vana ingin mengambil kembali hadiah serta kenangan Dipta.
"Ck, berani kamu dengan mama? Kamu cuman anak tiri tapi sudah berani"
Ceklekk//...
Pintu terbuka menunjukkan sosok pria dewasa dengan senyuman yang tertuju pada Vana.
"Nak... Ma? Ada apa ini? Kenapa wajah kalian terlihat kaku begitu"
Vana menggeleng, "Vana mau simpen kalung pemberian Mas Dipta pa... "
Nita menatap Vana menggunakan tatapan permusuhan, "Pa... Mama tadi sudah bilang kalau–"
"Biarkan Vana yang menyimpan kalung itu ma, tugas mu sudah selesai.", Pak Damar menyetujui permintaan Vana.
Dari balik pintu, Liam tersenyum tipis. Sebelum ada yang melihatnya, dia harus segera kembali ke kamar milik Vana.
" Pak... "
"Panggil papa saja, kamu sekarang menantu saya"
Liam mengangguk sopan, "sepertinya Vana sedang kesulitan di dalam. Saya dan Vana ingin membawa kalung pemberian Dipta"
Pak Damar mengetahui kedekatan Liam dan Dipta, bahkan mereka hampir sama dari sikap peduli kepada Vana.
Beliau mengangguk, "baiklah saya akan berikan"
...----------------...
Liam menatap nanar ponsel yang sedari tadi berdering di saku celananya. Panggilan dari Wilona sudah lebih dari lima puluh kali sejak semalam. Kini yang ada di pikirannya adalah cara agar bisa membuat Wilona paham. Perempuan keras kepala itu bisa mendapat pria yang lebih baik darinya.
Liam tak akan bodoh untuk mempermainkan pernikahan..
Perceraian saja tak ada dalam pikirannya, ia menikahi Vana untuk menjaga dan melindungi.
"Apa langsung bicara aja ke dia?"
Entahlah, otak Liam juga punya kapasitas. Dia masih mengingat jelas wajah lemah Dipta, terutama janjinya.
Ceklek//...
"Maaf kak karena menunggu lama", Vana menghampiri Liam sampai lamunan pria itu buyar.
" Tidak masalah", suara datar Liam mungkin bisa disalah artikan Vana. Tapi pria itu juga tidak tahu harus mulai berbincang darimana kiranya..
"Kamu akan ikut saya untuk tinggal di apartement, bagaimana? Apa tidak masalah?"
Vana menghela nafas, ia lalu mengangguk patuh. Toh sekarang Liam sudah resmi menjadi suami yang harus ia patuhi.
Walau Dipta masih pengisi hati yang kini menduka...
"Baiklah, saya akan menunggu kamu mengemas barang"
Vana melenggang mengambil koper yang berada di dekat sofa kamar, ia sedikit kesusahan. Dipta bisa tahu, tubuh Vana kecil. Wanita akh! maksudnya perempuan itu saja tingginya hanya sebatas dada.
"Semoga kita bisa terbiasa nanti, mulai saja dari pertemanan", setelah mengejutkan Vana dengan mengambil alih koper. Pria itu juga meninggalkan ajakan ber-arti.
Entah bagaimana perasaan Vana, ia perlahan menghilangkan rasa gugup setelah ajakan pertemanan ditawarkan Liam. Mungkinkah semua berjalan dengan baik..
Liam sendiri tak menyadari perkataan yang keluar dari mulutnya. spontan belaka....
Atau menghilangkan gugup?
...----------------...
Sampai di apartment yang biasa di tempati Liam seorang diri. Tampaknya dia akan membiasakan diri karena harus tinggal bersama perempuan yang ber-status sebagai istrinya.
Kalau bicara tentang kata 'istri', menikah kadang dia masih ragu-ragu. Takut kalau tidak bisa menjadi suami yang baik, sibuk pekerjaan belum lagi nanti kalau ingin punya anak.
Segala pikiran realistis nya berubah usai Dipta meyakinkan, pria itu memang pandai merubah pola pikiran kaku Liam.
"Kamar kamu disini, saya ada di sebelah. Kalau butuh apa-apa panggil saya atau ada bik Dina di bawah. Tapi sepertinya dia belum masuk hari ini"
Sebagai lelaki mandiri yang tinggal tanpa dimanjakan orang tua, tentu Liam tetap terus diawasi. Lewat bik Dina mama nya yang cerewet tak akan khawatir anak semata wayang kekurangan gizi.
Ini tadi saja saat pernikahan berlangsung mama serta papa Liam dibuat heran, gimana anaknya bisa langsung nikah begitu? Mendadak Pak Hamka jadi papa mertua kan aneh...
Namun untunglah Liam terselamatkan karena justru Mama Amy lebih menyukai Vana dibanding Wilona.
"Mama dan papa pulang saja ke rumah, nanti aku sama Vana akan mampir. Sekarang dia masih terlalu canggung dan berduka hebat"
Begitulah alasan mengapa mereka tak terlihat sampai mengantar Vana bersama Liam. Anaknya sudah mengatakan segala yang menimpa Vana. Mereka juga ikut sedih kehilangan sosok Dipta.
"Kak L-liam... Mau aku masakin?", lamunan Liam buyar berganti mengagumi perempuan cantik yang berpenampilan sederhana tanpa make up, bahkan rambut ter-urai indah.
" Gua yang mau lo nanti bisa cinta ke dia"
Ucapan Dipta bagaikan alarm pengingat yang siap mengganggu pikiran Liam. Dia terganggu karena merasakan pipi yang memanas. Tidak mungkin secepat itu kan?
"Apa dapurnya bisa aku pakai?"
Liam mengangguk kaku, "b-bisa! Pakai aja"
Sepertinya Liam sadar kalau dia hanya sedang canggung mendapat perhatian dari orang lain yang sebelumnya tak pernah didapat ketika bersama kekasih sendiri, Wilona.
"Kak Liam suka makan apa?"
Agar tampak biasa saja, Liam berdehem dan berpura-pura sedang mikir. "Saya suka makan sop", yah sepertinya bahan memasak sop ada di kulkas.
" Tunggu sebentar, aku gak akan lama buatnya"
Liam mengangguk menunjukkan senyuman, ia menggeleng akan tingkahnya sendiri.
"Dipta... Lo lagi ngerasukin gua ya?"
Bersambung.
Siapa yang menyangka kalau perempuan yang sedang menunggu Liam menelan makanannya, ialah istri yang diidamkan sejuta pria luaran sana.
Seenak itu makanannya...
Liam tak bisa berhenti memakan sop seenak ini, dia hampir lupa kalau Vana belum sama sekali menyentuh piring makan.
"Bagaimana rasanya, kak?", mendapat pertanyaan begitu Liam mengakui kehebatan Vana. Hanya saja tak mungkin bicara secara langsung menggunakan nada akrab.
" E–enak.. "
Hari pertama sebagai pasangan suami-istri Vana sudah membuktikan pesona yang pernah dikatakan Dipta. Pantas Dipta sangat mencintainya, pantas Dipta tak mau melihat Vana bersedih. Memang saat sedih, Liam tampak tidak suka.
"Makanlah..."
...----------------...
Malam harinya,
Bingkai foto mesra milik Vana dan Dipta nyatanya tak bisa mengobati rasa rindu. Saat itu, Dipta bilang akan kembali lagi sebelum hari pernikahan. Mereka akan bertemu lalu menyatu seumur hidup.
Andai Vana tak percaya Dipta hanya sakit biasa, ia harus tahu keadannya tak baik-baik saja. Pria nya selalu membuat kehidupan Vana penuh akan tawa dan gembira. Namun, mengapa tak membahagiakan diri sendiri? Kenapa dukanya hanya untuk diri sendiri..
"Hiks... Maaf kak... Pasti sakit kan? Kenapa kakak nahan semua sendiri?", pertanyaan itu tidak akan mendapat balasan.
Vana tak bisa mengatakan segala rasa kesal dan kecewa, apalagi memeluk Dipta dan memukuli. Dipta pantas dipukul sebab pergi meninggalkan Vana sendirian.
Perlahan Vana membuka kembali salah satu surat pemberian Dipta, ia merindukan kata-kata romantis dari bibir pria itu.
Isi surat:
Vana... Jangan menangis ya...
Baiklah kamu boleh menangis, hanya lima menit saja. Kalau engga aku bisa sakit nanti. Sekarang saja sudah sesakit ini.
Apa kamu masih marah ke aku? Diemin aku bukan solusinya, maki aja aku gak akan marah. Nanti peluk jauh ya..
Tapi aku tahu, mungkin sekarang aku udah gak disisi kamu lagi. aku janji kamu gak akan sendirian.
Kalau mama kamu jahat dan ejek aku, jewer aja telinganya. Aku pasti ketawa lihat keberanian kamu itu. Vana itu Ratu, bukan pembantu. Kamu harus selalu di manjakan bukan di sakiti.
Vana...
Setelah aku pergi, jangan menutup penuh hati kamu ya? Dunia kamu gak harus selalu aku, meskipun aku cuman punya kamu. Aku janji gak akan cemburu kalau ada yang mau bahagiakan kamu.
Jatuh cinta lah sekali lagi, akan ada masanya seseorang yang lebih baik dari aku. Bahkan melihat kamu nangis dia akan nangis sekencangnya..
Terima kasih atas segala kepercayaan kamu buat aku, sampai ketemu lagi cantik!
Tes...
Maaf Dipta, ijinkan perempuan mu menangis untuk terakhir kalinya.
Tanpa sadar Vana meraung memeluk foto Dipta, ia menangis sejadi-jadinya seperti kemarin. Bayang tubuh kaku Dipta masih menjadi alasannya tak bisa membendung segala sakit.
"Hikss... Hikss.... Mas Dipta.... "
"Aku kangen kamu Mas... Hikss... "
Dibalik dinding kamar yang terhubung dengan kamar Vana, terdapat sosok pria yang kini bersandar sembari duduk menundukkan kepala. Ia pun bisa merasakan seberapa mendalam luka istrinya.
Sekali lagi, Liam kalah mempertahankan diri. Semua berkat Vana, tangisannya tersalur ke dalam seorang Liam Mahendra.
...----------------...
BRAK!
Berada di kediaman Mahendra, Vana dibuat terperangah. Rumah mewah dengan taman luas dan para security penjaga, seperti istana saja..
"Ayo masuk, mama mau bertemu dengan kamu Vana"
Melewati tiga hari pernikahan, Liam menepati janji membawa menantu yang ingin dijumpai mamanya.
Amy antusias berdiri ke depan pintu bersama kucing kesayangan dan suami yang mengomel.
"Dia bukan anak mu kenapa terus saja dibawa sih?", Pak Hamka kesal menatap kucing anggora yang dipeluk istrinya.
" Biarin! Lucu gini malah dianggurin masa?"
Hamka berdecak, ingin sekali membuang kucing anggora sejauh-jauhnya. Tapi kalau dilakukan, istrinya bisa mengamuk sampai berbulan-bulan.
"Eh menantu mama!!"
"Meong... Meong... ", sibuk memeluk Vana. Hamka malah disuruh menggendong kucing yang ia benci. Tingkah Amy selalu di luar nalar.
" Apa kabar pa?", membiarkan mamanya memanjakan menantu. Liam memilih berbicara pada sang papa.
"Ya gimana liat mu toh Lim, ini papa lagi kesusahan gara-gara kucing"
Liam terkekeh mengambil alih kucing peliharaan mama lalu Menggendongnya sampai binatang itu mendusel senang.
Pasti kucing betina...
"Yuk masuk!"
...----------------...
"Mama mengerti perasaan kamu Vana.. ", untuk pertama kali Vana tersentuh oleh kasih sayang seorang ibu.
Sejak terlahir di dunia, ibu kandung Vana telah tiada. Sekedar memeluk saja tak sampai. Itulah sebabnya Vana dirawat oleh adik dari mamanya. Beliau sudah seperti papa kandung, andai istri nya juga memperlakukan Vana layaknya anak. Pantas tak dikaruniai anak...
"Mama tahu kamu dan Liam belum cukup dekat. Tapi kamu sudah pernah dekat dengan Dipta kan? Mereka hampir sama, eh! Bukan berarti mama mau kamu menganggap Liam itu Dipta ya? Tidak! Tetap anggap mereka berbeda."
Amy sedikit menjeda ucapan seriusnya, "kalau bisa kamu sayangi Liam ya? Anak mama itu baik dan sebenarnya manja.. Hahaha! Liam itu kalau udah bikin janji pasti di tepati, dia akan menjaga yang menurut dia berharga."
Vana mendengar seksama setiap kata demi kata pujian tentang Liam. Dia tak menyangkal, jelas sekali Liam memang baik luar dalam.
"Pacar Liam yang sebelum nya namanya Wilona, mama enggak suka liat dia. Pakaian terlalu terbuka, suka menyinggung dan mengatur Liam. Mama gak masalah Liam diatur, tapi pernah sekali anak kesayangan mama dibawa ke club, gimana gak marah coba?", baiklah arah pembicaraan sekarang lebih ke gosipan ibu-ibu yang geram pada anak muda.
Vana terkekeh dibuatnya. Setelah beberapa hari sulit tersenyum, sedikit demi sedikit Vana terhibur.
"Tapi saat liat kamu... Mama tahu kamu itu bukan perempuan nakal. Aura kamu sangat positif nak, rasanya mama beruntung bisa dapat menantu seperti kamu"
Tersentuh. Satu kata itu berhasil mengisi hati Vana.
Tak jauh dari taman, Liam sibuk memperhatikan seraya tersenyum tipis. Ia bernafas lega usai menemukan keceriaan Vana kembali.
"Cantik ya nak?"
"Iya... "
Liam tak menyadari keberadaan Hamka.
Sengaja sekali menggoda.
...----------------...
Deg.
Keadaan awkward mengisi ruangan pasutri yang harusnya biasa saja.
Liam dengan bagian tubuh atas belum sempat mengenakan kaos setelah mandi kini semakin salah tingkah. Sedang Vana sibuk mengalihkan pandangan.
"Mau kemana? Bukannya mau mandi?", aduh makin panas kan pipi Vana.
Handuk di bahu Vana menjelaskan akan apa yang ingin ia lakukan.
Daripada harus keluar dapat godaan dari papa dan mama mertua, Vana kembali memutar tubuh berjalan sampai berdiri berhadap-hadapan bersama Liam.
"Eum... Itu... An-anu, permisi kak... "
Menyadari posisi tempatnya berdiri, Liam menggeser badan sampai Vana melewati tubuh tegapnya. Gadis dengan tinggi hanya mencapai dada Liam perlahan membuka pintu. Kenapa jadi lambat gini...
"Vana... Tunggu!"
Liam membasahi bibir keringnya kemudian berucap, "jangan panggil say–", baiklah harus ada yang diubah dari gaya bahasa mereka.
" Jangan panggil aku kakak... "
"Liam saja."
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!