NovelToon NovelToon

Beside You (End)

1. KEMATIAN

Eps. 1

å

Mentari menyingsing dari ufuk timur. Perlahan sinarnya semakin terang menembus tirai yang bergerak terkena hembusan air conditioner. Sepasang manik mata cantik berwarna coklat hazel itu mengerjap, bulu mata lentiknya memberikan gerakan indah.

Arindiana Gisella, atau yang sering disapa Gisella. Gadis manis dengan tahi lalat kecil tepat di bawah bibir juga lesung pipi di pipi sebelah kirinya, membuatnya semakin manis ketika tersenyum.

Gisella terbangun dan merentangkan tangan, menekuk kepalanya ke kiri dan kanan. Tangannya terulur untuk mengikat rambutnya yang lurus sebahu dengan asal. Kemudian mulai turun dari ranjang dan membuka tirai. Pancaran sinar mentari menyentuh wajahnya ketika tirai itu terbuka, ia memejamkan mata sejenak untuk menerima sentuhan hangat dari sang surya. Hanya itu yang selama hampir dua puluh tahun ia lakukan jika merindukan pelukan hangat dari kedua orangtuanya yang tidak pernah ia dapatkan. Membayangkan bahwa kehangatan yang menerpa kulitnya adalah kehangatan dari pelukan sang Ibu atau Ayah.

"Gisella."

Sebuah suara menyeru membuat Gisella menoleh, ia sudah hafal suara siapa itu, siapa lagi kalau bukan adik angkatnya yang, —Mia. Atau sebenarnya ialah yang menjadi anak angkat, karena orangtua Mia yang mengadopsinya. Gadis manis dengan tingkah yang kelewat cerewet, sering merecokinya dengan segala cerita yang berputar itu-itu saja. Tapi meski demikian Gisella senang karena dengan adanya Mia ia menjadi terhibur, dengan adanya Mia senyuman yang pernah hilang perlahan muncul kembali.

Sebenarnya usia keduanya hanya terpaut beberapa hari, tapi tetap saja Gisella yang lahir lebih dulu. Tapi meskipun begitu mereka berdua sama-sama memanggil dengan sebutan nama saja. Tidak menggunakan embel-embel adik ataupun kakak.

"Aku akan mengunjungi kekasihku, mari ikut denganku," Mia terlihat sangat antusias.

"Aku ada kuliah pagi ini, Mia."

"Ayolah.. kau belum pernah bertemu dengannya bukan? Mama memintaku membawakan bekal makanan untuknya," rengek Mia menarik lengan Gisella.

"Untuk apa aku bertemu dengannya? Bukankah dia kekasihmu?"

Mia mencebik. "Setidaknya biarkan aku pamer padamu kalau kekasihku itu sangat tampan," ujarnya angkuh, kemudian ia terkekeh.

Gisella memutar bola matanya. "Jangan lupakan bahwa kau juga baru bertemu dengannya beberapa hari yang lalu."

Mia terkikik. "Dan aku sangat terpesona dengan pertemuan pertama. Dia pria idamanku selama ini. Tidak! Mungkin juga idaman semua wanita."

Gisella melipat tangan. "Aku tidak yakin dia ikhlas menerima perjodohan ini," ledeknya.

Mia melotot sebal yang justru membuat Gisella tergelak.

"Baiklah, baiklah, aku akan menemanimu. Apa kau puas?" putus Gisella kemudian.

Kedua ujung bibir Mia terangkat. "Sangat puas, setengah jam lagi kita berangkat. Oke," ucapnya riang. "Aku mandi dulu," imbuhnya gegas berlalu meninggalkan kamar Gisella.

...***...

Gisella dan Mia sampai di depan gedung tinggi yang berisi beberapa lantai, gedung tempat kerja kekasih Mia, atau bisa disebut calon tunangan Mia. Kedua orangtua Mia menjodohkannya dengan seorang pria, anak dari teman orangtuanya. Baru beberapa minggu yang lalu Mia dan sang calon tunangan bertemu, sepertinya mereka saling cocok. Sedangkan Gisella tidak mengetahui bagaimana wajah dari calon tunangan Mia karena saat makan malam diadakan dirinya tengah berada di kampus untuk kuis. Keduanya memasuki gedung dan menuju lift yang berbeda dengan orang lain.

Gisella menyernyit heran. "Mia, kenapa kita tidak pakai lift seperti mereka?"

Mia tersenyum lebar. "Yang itu untuk karyawan. Yang ini khusus petinggi perusahaan," jawabnya berbisik.

"Maksudmu, dia punya jabatan tinggi di sini?"

Mia mengangguk dengan senyuman yang kian lebar.

Keduanya menaiki lift menuju lantai dua puluh, di sana Mia menanyakan keberadaan sang calon tunangan yang ternyata sedang keluar untuk urusan meeting. Mia memutuskan untuk berjalan-jalan selagi menunggu calon tunangannya datang.

Mia kembali mengajak Gisella untuk menaiki lift menuju atap gedung, sesampainya di sana mereka disuguhi ruangan yang begitu luas tanpa ada sekatan sama sekali, mirip seperti aula. Sedangkan di ujung kanan menuju roof top tanpa atap yang langsung menghadap luar ruangan, kita bisa melihat pemandangan gedung dan rumah-rumah dari atas sana, seperti halnya balkon, namun lebih luas.

Gisella mengikuti kemanapun Mia berjalan. Kemudian Mia menuju sebuah ruangan kecil yang jika kita masuk harus menunduk karena pintunya yang kecil, yang nyatanya itu adalah sebuah jalan menuju tangga darurat. Mia terus saja berjalan, bahkan berlari di ruangan luas mirip aula itu, menari-nari dengan gerakan lincah. Kemudian berbelok menuju roof top gedung.

Gisella yang masih berada di dalam ruangan kecil tangga darurat hanya menggeleng saat melihat tingkah Mia yang menari-nari dari balik kaca. Dalam ruangan tangga darurat tersebut mempunyai kaca di sisi kanan yang menampilkan pemandangan ruangan luas dan juga balkon. Sedangkan sebelah kirinya menuju tangga darurat.

Gisella terkesiap saat melihat seorang pria datang dari arah lift, membuat dirinya reflek bersembunyi di balik dinding, saat itulah ia melihat Mia yang baru saja kembali dari balkon.

Gisella melihat tatapan pria itu menggelap ketika melihat Mia, pria itu berjalan menuju ruangan tempatnya berada. Jantung Gisella sudah berdebar hebat ketika tangan sang pria meraih besi panjang di ujung kirinya. Beruntung sang pria tidak sampai memasuki ruangan tempatnya bersembunyi, hanya tangannya saja yang menggapai besi itu. Tubuh Gisella bergetar. 'Untuk apa besi itu?' bathinnya mulai awas.

Gisella membeku, kedua tangannya menutup mulutnya saat melihat sang pria tiba-tiba memukuli tubuh Mia dengan besi tersebut. Kepala Gisella berdenyut, tubuhnya luruh ke lantai, seluruh persendiannya seakan berhenti, keringat mulai muncul di sekujur tubuhnya. Bayangan masa lalu muncul di pikirannya, saat dimana seluruh keluarganya tidak menyukai kelahirannya karena kedua orangtuanya menginginkan bayi laki-laki. Ia selalu diabaikan oleh kedua orangtuanya, hanya neneknya yang menyayanginya saat itu.

Kemudian saat Gisella berusia tujuh tahun, sang adik lahir dengan jenis kelamin laki-laki, semua orang sangat menyanyangi bayi laki-laki tersebut, tak terkecuali Gisella. Ia sangat menyayangi sang adik, bahkan ketika sang adik memintanya untuk bermain sepeda, Gisella menuruti. Membawa sang adik berkeliling komplek dengan sepeda mininya. Saat itulah sebuah bola melintas di depannya membuat sepedanya oleng, keduanya terjatuh di aspal, naas saat itu sebuah sepeda motor melintas dengan kencang dan menabrak sang adik, membuat sang adik meninggal dunia.

Seluruh keluarga besar menyalahkan dirinya atas meninggalnya sang adik, ia dituduh sebagai pembunuh. Di usia yang begitu dini ia selalu di cemooh dengan sebutan pembunuh oleh semua orang, terutama kedua orangtuanya. Mereka menuding Gisella adalah gadis pembawa sial, hanya sang nenek yang tidak menyalahkannya. Tapi itu tidak berlangsung lama. Saat rumahnya kemasukan perampok dan menodongkan pistol ke arahnya, sang Ibu menjadi tameng untuknya, memintanya untuk bersembunyi membuat peluru mengenai sang Ibu. Gisella melihat dengan matanya sendiri bagaimana Ibu dan Ayahnya ditembak oleh perampok tersebut. Sejak saat itu neneknya mulai membencinya serta menyebut bahwa ia memang gadis pembawa sial. Ia di usir dari rumah, tidak dianggap keluarga lagi oleh keluarganya, tidak ada yang menerimanya. Tidak ada yang menginginkannya. Ia dicaci, dimaki, diseret, ditendang oleh keluarganya.

Dan sekarang ia kembali melihat kekerasan di depan matanya, wajahnya memucat, tubuhnya menggigil melihat Mia yang berteriak minta tolong. Gisella bingung, apa yang harus ia lakukan, ia benar-benar takut, trauma itu kembali lagi. Ia tidak bisa melihat kekerasan di depan matanya, ia tidak bisa melihat kematian di depan matanya. Ia benar-benar ketakutan.

Gisella memilih berjalan merangkak  menuju tangga darurat. Ia akan meminta bantuan karena ia sama sekali tidak bisa menolong Mia. Dengan tubuh bergetar, bahkan wajahnya memucat, sesekali ia terjatuh di tangga, bahkan bibirnya yang memutih ikut bergetar, hawa dingin menusuk kulitnya, jantungnya berdebar begitu cepat membuat nafasnya begitu sesak.

Tiba di lantai bawah ia segera memasuki lift menuju lobby. Butuh waktu lama untuknya sampai di lobby gedung. Baru saja kakinya menginjak di lobby gedung, kerumunan menyambutnya, hampir seluruh karyawan berada di sana, melihat ke satu titik di depan gedung.

Lagi-lagi tubuh Gisella bergetar. 'Ku mohon jangan,' pintanya dalam hati. Kedua jemarinya yang dingin saling meremas, ia berjalan tertatih menembus kerumunan. Hingga ia melihat tubuh seorang gadis tergeletak di tanah dengan simbahan darah, mata gadis itu terbuka seakan mengarah padanya.

Tubuh Gisella ambruk, ia terduduk lemas, bahkan airmatanya tak bisa mengalir, tatapannya kosong. Bayangan mayat Ibu dan Ayahnya yang bersimbah darah kembali melintas membuat tubuhnya memaku lemas. Bahkan untuk sekedar mengucapkan kata 'Mia' ia tidak sanggup, bibirnya seolah terjahit  tidak bisa mengeluarkan kata-kata.

Hingga sebuah suara melengking nyaring, membuat seluruh tatapan mengarah padanya.

"Kau.. pembunuh!!"

Gisella mendongak, melihat kehadiran Dini dan juga Mario, —orangtua kandung dari Mia, orangtua angkatnya.

"Apa yang kau lakukan dengan anakku, sialan!!" pekik Dini menampar pipi Gisella keras. "Kau memang pembunuh, Gisella, aku menyesal telah menerimamu sebagai bagian dari keluargaku!" Dini menunjuk jasad Mia. "Kau lihat, Mia mati, Mia mati, Gisella!!" Ia mengguncang tubuh Gisella. Wanita itu meraung melihat putri semata wayangnya meregang nyawa dengan cara mengenaskan, jatuh dari ketinggian lantai gedung perusahaan.

"Apa yang kau lakukan dengan anakku?!!" teriak Dini membentak Gisella yang hanya diam membisu.

"Dasar pembunuh!!"

Kalimat itu terdengar lagi, Gisella bingung, ia tidak tahu apapun, seketika otaknya buntu, pikirannya kosong entah ada dimana. Ia benar-benar terkejut, trauma dalam dirinya merongrong jiwa membuat kesadarannya menghilang. Ia tersungkur dengan mata terpejam.

.

.

Tbc

...••...

...••...

...••...

..."**Jangan takut apapun, aku akan selalu di sini, menjaga dan melindungimu, menggenggam erat tanganmu, di tempat yang tidak pernah berubah....

...Di sampingmu**."...

...~Beside you by Saskavirby~...

2. AKU TIDAK GILA

Eps. 2

å

Saat terbangun, Gisella merasa berada di tempat yang berbeda, aroma antiseptik menembus indera penciumannya. Netranya mengerjap. Untuk sesaat ia memikirkan kenapa bisa berada di ruangan itu. Ia menyadari kehadiran seseorang, seorang pria dengan pakaian formal tengah menatapnya dengan tatapan membunuh.

"Apa yang terjadi dengan Mia?" tuntut  pria itu mengeratkan rahang.

Tiba-tiba Gisella teringat Mia, bayangan Mia yang dipukuli dan dihabisi pria tak dikenal melintas, dan juga Mia yang sudah meninggal di depan gedung.

"Jawab!"

Gisella berjengit mendengar suara hentakan pria di hadapannya, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban.

Sang pria mengepalkan tangan. "Apa kau yang membunuhnya?" desisnya tajam.

Gisella kembali menggeleng.

Sang pria geram, ia mencengkeram wajah Gisella dengan sebelah tangan, mencengkeram kuat kedua pipinya agar mendongak menatapnya. Saat itulah ia tertegun melihat manik mata coklat hazel yang begitu indah, seperti halnya melihat lautan lepas yang sejuk, ia tidak pernah melihat mata yang begitu indah. Seakan tersadar, ia kembali berucap. "Katakan sesuatu mengenai Mia, atau kau dalam masalah besar," desisnya mengancam, berusaha mengabaikan sorot kesedihan dari kedua manik mata indah itu.

Gisella hanya diam, menatap balik netra tegas pria di hadapannya, tidak ada kata yang keluar dari bibirnya.

Sang pria tentu merasa kesal, ia menghempas wajah Gisella kasar. "Jika kau terus diam, aku pastikan kau akan menderita," ancamnya, kemudian meninggal Gisella yang membeku.

...***...

Pria itu bernama Theodore Gaza Andreas, pemilik perusahaan yang dikunjungi Mia dan juga Gisella tadi siang. Pria itu merupakan calon tunangan dari Mia karena perjodohan kedua orangtuanya.

Gaza, biasa orang memanggilnya, pria itu terkejut saat melihat kerumunan di depan kantornya, dan lebih mengejutkan saat melihat Mia, —sang calon tunangan. yang meregang nyawa dengan mata terbuka. Hingga ia mengetahui fakta bahwa Mia terjatuh dari atap gedung saat bersama seorang gadis, tidak tahu apa yang terjadi, ia memutuskan untuk mengunjungi sang gadis yang saat itu berada di rumah sakit untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.

Namun apa yang didapatkan? Gadis itu hanya diam tidak mengucapkan kalimat apapun, bahkan seakan jiwanya sedang berada di tempat lain.

Beberapa hari kemudian ia mendapatkan informasi dari sang dokter bahwa gadis yang ternyata bernama Gisella itu mengalami trauma psikis yang cukup berat.

Keluarga Mia menyebut Gisella gila, dan menginginkan agar Gisella dibawa ke rumah sakit jiwa atau di penjara. Gaza tentu tidak bisa melakukan keduanya, ia belum mempunyai bukti bahwa Gisella yang membunuh Mia. Tapi keterdiaman Gisella membuat semua orang membenarkan bahwa Gisella-lah yang membunuh Mia, karena jelas terlihat tidak ada kesedihan, bahkan gadis itu tidak menangis saat Mia meninggal, yang terlihat justru ketakutan dari pancaran matanya, membuat persepsi semua orang semakin yakin bahwa ketakutan yang dipancarkan dari gadis itu karena telah membunuh Mia. Mau tidak mau, Gaza akhirnya menyetujui untuk membawa Gisella ke rumah sakit jiwa. Karena pihak kepolisian tentu tidak akan menahan seseorang dengan gangguan jiwa.

Berhari-hari Gaza mengunjungi Gisella di dalam ruangannya, namun gadis itu masih tetap diam, bahkan posisinya tidak berubah sejak terakhir kali ia mengunjunginya. Berulang kali, berganti-ganti psikiater didatangkan untuk sekedar membuat Gisella membuka suara. Namun nihil, mereka pulang dengan tangan kosong, tidak mendapatkan jawaban apapun dari bibir Gisella. Gadis itu seakan tengah berada di dalam pikirannya sendiri, jiwanya entah dimana, tatapannya kosong.

Gaza menghela nafas panjang. "Kau memang menyukai berada di tempat ini. Karena jika kau tidak mau membuka suara, kau tidak akan pernah bisa keluar dari sini," desisnya lagi berlalu meninggalkan ruangan.

Kepala Gisella mendongak menatap kepergian Gaza yang perlahan menghilang di balik pintu. "Aku tidak gila," gumamnya pelan.

...***...

Entah sudah berapa minggu Gisella berada di dalam rumah sakit jiwa, tapi itu bukan waktu yang sebentar. Saat terbangun dari tidurnya, netranya menatap sekeliling dengan kernyitan dahi yang begitu dalam. "Dimana aku?"

Seorang suster datang membawakan sarapan untuknya.

"Suster, aku dimana?"

Sang suster terlonjak kaget mendengar Gisella yang bertanya, bahkan nampan yang dibawanya hampir terjatuh, karena selama ini yang ia tahu gadis itu tidak pernah membuka suara sama sekali. "Anda berada di rumah sakit jiwa, Nona."

Gisella menghembuskan nafas pelan. "Suster, bisakah aku meminta kertas dan bolpoin?"

Sang suster mengangguk. "Akan saya ambilkan."

"Terimakasih, Suster."

Sang suster lagi-lagi terkejut, terbesit pemikiran apakah gadis itu benar-benar gila?

Hari yang terus berjalan Gisella habiskan dengan menulis di buku yang diberikan sang suster kala itu, awalnya suster memberinya selembar kertas. Tapi kertas itu sudah penuh, jadi ia kembali meminta buku.

Gisella masih menjadi sosok pendiam seperti sebelumnya, hanya coretan dan tulisan kertas yang menemaninya, ia tidak tahu sampai kapan ia akan berada di tempat itu. Bahkan ia tidak tahu kenapa ia berada di sana, ia hanya ingat saat melihat seorang pria memukuli Mia, ia berniat meminta tolong pada seseorang namun terlambat, ia juga ingat tubuh Mia tergeletak dengan simbahan darah. Selebihnya ia tidak ingat sama sekali. Tapi Gisella tahu, ia berada di rumah sakit jiwa karena masalah Mia, pasti orang-orang mengira bahwa ialah pembunuh Mia, sama seperti sebelumnya, saat ia dituduh sebagai pembunuh adik dan kedua orangtuanya.

Ceklek!

Pintu terbuka, menampilkan sosok seorang pria dengan pakaian formal berjalan ke arahnya. Gisella nampak mengingat-ingat siapa pria itu, namun nihil, ia tidak tahu siapa pria asing yang menatapnya dingin itu.

"Suster bilang kau sudah lebih baik," Gaza berujar mengambil duduk di depan Gisella. Ekor matanya memperhatikan sekeliling, terdapat beberapa tempelan kertas di dinding dengan berbagai tulisan dan gambar. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya menatap Gisella.

Gisella mengangguk.

"Bisa kau jelaskan, kronologi Mia terjatuh dari atap gedung?" tanya Gaza to the point, cukup lama ia menantikan jawaban dari gadis di depannya.

Gisella menunduk, kepalanya menggeleng pelan.

Gaza meraup wajahnya, kemudian menghembuskan nafas pelan. "Kalau kau terus diam, kau tidak akan keluar dari tempat ini," ucapnya mulai tak sabar. "Aku tahu sebenarnya kau tidak gila. Tapi kalau kau menyukai tempat ini, dengan senang hati aku akan membiarkanmu berada di sini."

Gisella mendongak cepat. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan.

Kedua alis Gaza menukik tajam. "Maksudmu?"

"Aku tidak tahu kenapa Mia bisa terjatuh dari atap gedung." Kedua tangan Gisella saling meremas dengan kepala tertunduk. "Saat itu aku melihat seorang pria datang dan langsung memukuli tubuh Mia dengan besi. Aku takut. Aku ingin mencari pertolongan tapi terlambat, karena Mia sudah terkapar di tanah," sambungnya dengan suara bergetar.

Gaza menegang. "Pria? Siapa dia?"

Gisella menggeleng. "Aku tidak tahu. Tiba-tiba dia datang dan menyerang Mia."

Gaza memijit pangkal hidungnya, kemudian beranjak meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata.

*

Beberapa hari kemudian seorang suster memasuki kamar Gisella, memberitahukan bahwa dirinya sudah sembuh dan bisa pulang.

"Terimakasih, Suster," ucap Gisella tulus.

Sang suster mengelus lengan Gisella. "Sama-sama, Nona, berhati-hatilah."

Gisella mengangguk.

Langkah kaki Gisella menyusuri jalan, tujuannya satu, mengunjungi rumah yang menjadi tempat berteduhnya beberapa tahun, saat usianya menginjak dua belas tahun. Baru saja ia menginjakkan kaki di teras rumah, pintu tiba-tiba terbuka lebar dan keras.

"Mau apa lagi kau, pembunuh!" hardik Dini mendorong tubuh Gisella hingga terjatuh.

"Bukan aku yang membunuh Mia, Ma."

"Stop! Jangan panggil aku Mama, aku bukan Ibumu. Pergi kau dari sini!"

"Izinkan aku mengambil surat-surat pentingku," pinta Gisella bersimpuh.

"Semua yang berhubungan denganmu sudah aku buang, jadi tidak perlu lagi kau berada di rumahku. Pergi kau!" Dini kembali mendorong tubuh Gisella.

"Maafkan aku, Ma," luruh sudah pertahanan Gisella.

"Maaf? Apa jika aku memaafkanmu Mia akan kembali? Ha! Kau memang anak pembawa sial, Gisella. Aku membencimu. Sungguh membencimu, anak sialan!"

Tubuh Gisella bergetar, lagi-lagi kalimat itu terdengar di telinganya. "Tapi aku tidak membunuh Mia, Ma, bukan aku," ucapnya membela diri.

Dini menarik rambut Gisella kuat. "Jika kau menolongnya, Mia tidak akan mati. Tapi apa? Kau membiarkannya disiksa, sedangkan kau hanya diam dengan ketakutanmu sendiri, biadab kau, Gisella!" pekik Dini menghempaskan rambut Gisella.

Gisella terisak, kalimat Dini memang benar adanya, jika saja dirinya berani menolong Mia, Mia tidak akan mati. Tapi apa yang bisa ia lakukan saat trauma itu kembali memburunya, menghantui pikirannya.

"Pergi kau, pembunuh!" Dini menarik tubuh Gisella. Mendorongnya kuat serta menghempaskannya di aspal yang keras. "Jangan pernah kau injakkan kaki di rumahku, atau aku sendiri yang akan membunuhmu!" ancamnya berteriak marah.

Gisella tertunduk dengan air mata yang mengalir deras, situasi itu sama persis ketika ia diusir oleh neneknya, diseret dan dihempaskan di jalanan. Bahkan saat itu kakinya harus terluka karena terkena kerikil kecil, ucapan dan hinaan yang dilontarkan Dini sama persis dengan sang nenek. Menyebut dirinya pembunuh, anak pembawa sial, biadab, dan juga kata-kata yang mengancam jika ia menginjakkan kaki di rumahnya.

Ternyata memang tidak ada yang menginginkannya untuk hidup, lalu untuk apa dirinya hidup, untuk siapa dirinya hidup? Seringkali pertanyaan itu melintas di pikirannya, karena selama ini semua orang seakan membencinya, tidak menginginkan kehadirannya, dan menginginkan kematiannya.

.

.

Tbc

3. HARI BARU

Eps. 3

å

..."You touch me with your smile."...

...•...

...•...

...•...

Beberapa hari menyusuri jalanan, akhirnya Gisella mendapatkan pekerjaan dan juga tempat tinggal. Bukan pekerjaan kantoran atau pelayan dsb. Menjadi penjual koran keliling sudah membuatnya merasa bersyukur.

Setelah di usir dari rumah Dini, ia tidak sengaja bertemu Pak Joko —seorang pria paruh baya penjual koran keliling. Iseng-iseng ia menanyakan dimana bisa menjual koran, dan ternyata Pak Joko mengambil dari seseorang bernama Pak Surya. Dan dari Pak Surya Gisella mendapatkan sebuah tempat tinggal berupa kost kecil dengan harga sewa yang sangat murah.

Gisella bersyukur masih dipertemukan dengan orang baik seperti Pak Joko dan Pak Surya. Awalnya kedua pria paruh baya itu terkejut saat mendengar penuturannya yang ingin menjadi penjual koran. Dilihat dari postur tubuh dan wajahnya yang cantik dan manis tidak akan cocok dengan pekerjaan itu. Tapi dengan penuh keyakinan Gisella meyakinkan kedua pria paruh baya itu untuk memberinya pekerjaan.

Di sinilah ia sekarang, setiap hari, setiap pagi, menjajakan korannya di persimpangan lalu lintas, menawarkan pada pengemudi yang tengah terjebak macet di padatnya kendaraan. Nilai plus untuknya karena mempunyai wajah yang cantik, sehingga banyak yang membeli korannya, walaupun tak sedikit yang sering memberikan godaan terhadapnya.

"Paman, ini uang hasil menjual koran," Gisella menyerahkan uang kepada Surya.

"Kau memang pembawa keberuntungan untukku, Gisella," balas Surya menerima uang dari Gisella dengan wajah sumringah.

"Jangan memujiku seperti itu, Paman."

"Ini bagian untukmu."

"Wah.. apa ini tidak kelebihan, Paman?"

"Tidak, kau pantas mendapatkannya."

"Kalau begitu, terimakasih banyak, Paman."

Surya tersenyum. "Sama-sama."

"Paman, apa aku bisa mendapatkan pekerjaan lain selain menjual koran?"

Surya menyernyit. "Apa kau ingin berhenti menjual koran?" tanyanya penasaran.

Gisella menggeleng. "Tidak. Hanya saja setelah menjual koran di pagi hari, tidak ada pekerjaan lain yang aku lakukan di sore hari. Aku ingin mendapatkan uang tambahan," tuturnya.

Surya mengangguk-angguk seraya berfikir. "Sebenarnya tukang gosok di rumah sedang cuti melahirkan. Apa kau mau bekerja jadi tukang setrika?"

Senyum Gisella merekah, ia mengangguk antusias. "Mau, Paman, aku mau."

"Baiklah, setelah ini aku akan membawamu bertemu istriku."

Gisella mengangguk senang.

...***...

Mobil Audy berwarna hitam melaju dengan tenang dan perlahan, kondisi seperti itu sudah biasa terjadi saat semua orang ingin menjadi yang tercepat untuk sampai ke tempat tujuan, yangang justru menyebabkan kemacetan berkilo-kilo meter.

Gaza membuka Ipad-nya selagi mobilnya terjebak macet karena lampu merah, meneliti pasar paham dan beberapa masalah pelik tentang perusahaannya. "Leon, belikan aku koran," titahnya pada Leon, —sopir pribadi yang merangkap sebagai tangan kanannya.

"Baik, Tuan."

Di sisi lain, terlihat Gisella beberapa kali mengetuk kaca mobil pengendara, berharap salah satu dari mereka berniat membuka kaca dan membeli korannya. "Koran, koran, korannya, Tuan," tawarnya saat sebuah mobil berwarna hitam membuka kaca mobilnya.

Leon terkesiap. "Nona Gisella?" gumamnya pelan.

Gaza yang mendengar nama Gisella disebut mendongak dari Ipad-nya, memperhatikan gadis penjual koran yang ternyata adalah Gisella, gadis yang pernah ia masukkan ke rumah sakit jiwa. Setelah penjelasan terakhir kali dari Gisella, beberapa hari kemudian Gaza memutuskan untuk mengeluarkan gadis itu dari rumah sakit jiwa karena memang kondisi psikis gadis itu sudah membaik.

"Anda mengatakan sesuatu, Tuan?" tanya Gisella memperhatikan wajah Leon.

Leon menggeleng. "Tidak. Aku ingin membeli koranmu."

Gisella tersenyum, menyerahkan koran pada Leon.

"Ambil saja kembaliannya," ucap Leon setelah memberikan selembar uang pecahan lima puluh ribu.

Netra jernih itu berbinar. "Sungguh? Kalau begitu terimakasih banyak, Tuan, semoga rejeki anda dilipat gandakan. Aminn," doanya tulus dengan senyuman renyah memperlihatkan sebelah pipinya yang cekung.

Leon tersenyum. "Amin."

Gaza terus memperhatikan Gisella yang sedari tadi berbicara dengan Leon, bahkan untuk pertama kalinya ia melihat seorang Gisella tersenyum. Ada sesuatu yang mengusik hatinya menyadari pekerjaan Gisella sekarang. Ia mendengar kabar bahwa keluarga Mario mengusir Gisella dari rumah dan berakhir menjadi penjual koran. Sebenarnya seberapa buruk keadaan gadis itu hingga menjadi penjual koran? Bahkan Gaza Mengetahui bahwa Gisella merupakan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi dengan kemampuan di atas rata-rata.

Mengabaikan Gisella, Gaza kembali hanyut dalam lembaran koran di tangannya, mencari sebuah berita terbaru.

...***...

Sepulang dari berjualan koran, Gisella berangkat menuju rumah Surya yang sudah ia ketahui tempatnya, istri dari Surya yang bernama Ibu Marini mempunyai usaha laundry. Ia melepaskan alas kaki di depan rumah sebelum masuk menuju ruang belakang. Di sana sudah ada rekannya sesama tukang gosok bernama Bi Darmi yang sepertinya berusia sekitar setengah abad yang tersenyum menyambut kedatangannya.

"Kau sudah datang, Sella."

Gisella tersenyum. "Iya, Bi. Alhamdulillah koran hari ini lebih cepat laku."

"Alhamdulillah, apa kau tidak lelah? Baru saja selesai berjualan langsung kemari? Kenapa tidak istirahat dulu?"

Gisella menggeleng. "Tidak, Bibi, aku sama sekali tidak lelah. Lagipula kalau dikerjakan lebih awal selesainya bisa lebih cepat," jawabnya mulai menata baju-baju yang akan disetrika.

"Aku heran padamu, Sella. Kau itu masih muda, cantik, tapi kenapa malah kerja jadi tukang koran? Jadi tukang gosok?"

"Yang penting halal, Bi," jawab Gisella sekenanya.

"Oh, iya, kalau boleh Bibi tahu, dimana kedua orangtuamu, Sella?" Bi Darmi menoleh sekilas.

Tubuh Gisella menegang, ia membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Em, orangtuaku sudah meninggal, Bi."

Bi Darmi terkesiap. "Maafkan Bibi, —"

"Tidak apa-apa, Bi, aku sudah ikhlas," potong Gisella tersenyum memperlihatkan lesung pipi di sebelah pipi kirinya.

"Apa kau asli orang sini?"

Gisella nampak berfikir, kemudian menggeleng. "Bukan, Bi, aku dari Desa. Mencoba peruntungan dengan mencari pekerjaan di kota," bohongnya. Ia tidak ingin orang lain mengetahui siapa ia sebenarnya, bukan takut orang lain akan mengatakan dirinya pembunuh. Tapi ia ingin melupakan semuanya dan memulai hidup baru.

Bi Darmi terkekeh. "Dan kau justru terdampar di sini sebagai tukang gosok?" ledeknya.

Gisella ikut tersenyum. "Mungkin sudah takdirnya seperti ini, Bi, kalau aku tidak di sini, Bibi tidak mungkin mengenalku," candanya.

Bi Darmi mengangguk. "Andai saja aku masih mempunyai anak laki-laki yang belum menikah."

Gisella menoleh. "Kenapa, Bi?"

"Pasti Bibi akan menjodohkan dia denganmu," jawab Bi Darmi tertawa renyah.

"Bibi bisa saja," tanggap Gisella tersenyum.

Keduanya terlibat obrolan ringan, meskipun baru dua hari Gisella bekerja, namun Bi Darmi begitu baik dengannya, terkadang beliau membawakan bekal untuknya. Karena jujur, Gisella memang lebih banyak hanya minum air putih ketika dirinya lapar, atau hanya memakan roti saja. Ia harus banyak berhemat, untuk membayar biaya kost. Dan Bi Darmi menyadari bahwa Gisella memiliki masalah keuangan, sehingga beberapa kali ia membawakan bekal untuk gadis itu.

...***...

Gisella pulang ke kostan hampir petang, laundry milik Ibu Marini sangat ramai hari itu sehingga ia lebih banyak menghabiskan harinya di sana. Menghempaskan tubuhnya di ranjang kecil, seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal, apalagi tangan dan kakinya yang digunakan menggosok pakaian dengan posisi berdiri.

Gisella merasa beruntung masih bisa mendapatkan pekerjaan, masih banyak diluar sana yang mempunyai nasib lebih buruk darinya, beruntung dirinya tidak harus menjadi pengemis atau pemulung. Sebenarnya ia mempunyai ijazah dan juga beberapa piagam penghargaan, tapi semua itu sudah hilang tanpa sisa. Di kota sebesar itu bekerja tanpa ijazah apa gunanya? Bahkan ijazah SMA tidak akan cukup. Terpaksa pula ia menghentikan kuliah, karena jangankan untuk biaya kuliah, untuk makan sehari-hari saja ia harus benar-benar bekerja keras.

Gisella bangkit, mengambil stok mie instan dari dalam almari, hanya makanan itu yang mampu ia beli saat ini. Meskipun ia tahu, memakan mie instan setiap hari tidak baik untuk kesehatan, tapi ia tidak punya pilihan lain. Gisella berharap suatu hari nanti rejekinya bisa bertambah, sehingga ia bisa untuk sekedar membeli nasi bungkus. Seberat itu kehidupan yang dijalaninya sekarang, ia akan berjuang sebisa mungkin.

.

.

Tbc

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!