Angin bertiup sedikit kencang malam ini. Daun pintu dibuat terhempas sana sini, seorang wanita keluar dari rumah kayu itu, menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Selesai, dia melangkah menuju dapur. Tampak seorang anak laki-laki berusia 7 tahunan, dengan pria paruh baya tengah menunggunya di sana.
Melihat senyuman dari anak kecil itu, hati wanita tersebut terasa sangat tenang. Satu hal yang istimewa dari anak ini, bahwa dia memiliki pupil mata emas.
“Ibu, cepatlah, Hao’er sudah sangat lapar!” Anak kecil yang bernama Lin Hao itu menggerutu.
Wen Li, wanita tersebut tersenyum hangat. Dia tahu sebenarnya bukan perkara lapar yang membuat anak semata wayangnya itu menggerutu, melainkan karena tidak sabar untuk menyantap daging rusa panggang di hadapannya. Wanita itu lalu duduk bergabung bersama mereka. Dia mengambil piring. Sembari menyendok makanan, wanita itu juga berkata, “malam ini cuaca sedang tidak bersahabat, sebentar lagi akan ada badai.”
“Kau benar, Istriku,” Lin Dan menanggapi pernyataan istrinya. Sejenak pandanganya menoleh ke arah Lin Hao yang saat itu tengah berusaha menggigit daging rusa.
“Eh, Hao’er, bagaimana latihanmu hari ini?”
Masih dalam keadaan mengunyah, Lin Hao lantas menjawab pertanyaan ayahnya, “Aku sudah menguasai dasar-dasar teknik berpedang, Ayah. Lalu kapan Ayah akan mengajariku mengendalikan energi Qi?”
“Bagus, Hao'er. Besok pagi ayah akan mengajarimu mengumpulkan dan mengendalikan energi Qi!”
“Benarkah? Hao'er jadi tidak sabar untuk menunggu besok!” Lin Hao mengangkat potongan daging rusa dengan penuh semangat. Kedua matanya melebar, hal ini membuat pupil mata anak itu bersinar emas.
Wen Li serta Lin Dan saling berpandangan. Setiap kali Lin Hao mencurahkan emosinya, saat itulah kedua orang tua itu akan merasakan sensasi aneh yang membuat mereka merasa khawatir. Sinar dari pupil mata emas itu seolah memberi tekanan yang membuat keduanya kadang-kadang merasa terancam. Bahkan pernah sekali Wen Li sampai dibuat pingsan saat pupil emas Lin Hao bereaksi akibat rengekan dari anak itu.
Malam itu mereka menyantap hidangan dengan sangat lahap. Meski terbilang sederhana, namun itu lebih dari cukup untuk menciptakan rasa hangat serta nyaman. Lin Dan sangat pintar mencari suasana, keahliannya dalam membuat lelucon kecil selalu saja membuat Lin Hao tertawa renyah.
Makan malam telah selesai, Lin Hao masuk ke dalam kamar lebih dulu, matanya terasa berat. Beberapa kali anak itu menguap hingga sesampainya di tempat tidur dirinya langsung merebah, dia lelap dengan sangat cepat. Wen Li dan Lin Dan memperhatikan tingkah putra mereka itu diam-diam. Seutas senyum hangat terukir di bibir mereka.
“Suamiku, Hao'er sudah besar sekarang. Dia juga sangat tampan.”
“Benar, Istriku. Akan tetapi, aku semakin khawatir dengan pupil mata emasnya. Sudah tujuh tahun kita berada di kekaisaran ini. Meskipun jauh dari keluarga kita, tapi entah mengapa akhir-akhir ini aku merasa tidak tenang!” Lin Dan mengungkapkan perasaan janggal yang selama ini selalu mengetuk pintu hatinya.
“Suamiku, itu hanyalah sebuah firasat. Kita sudah sangat jauh dengan Klan Wen dan Lin. Mereka tidak akan mungkin mengejar kita sampai ke sini!” Sebenarnya Wen Li juga sama memiliki perasaan buruk. Tapi dia memilih untuk menyembunyikannya demi menghibur suaminya.
Lin Dan tersenyum hangat, dia mencium kening istrinya. Setelah itu keduanya masuk ke dalam kamar.
Hari semakin larut. Badai benar-benar datang. Atap rumah beberapa kali dihantam angin kencang, seolah-olah angin itu akan membuat rubuh bangunan kecil itu.
Lin Hao kecil bangun saat merasa ingin buang air kecil. Dia beranjak dari tempat tidurnya.
Brak…
Suara benda yang hancur tiba-tiba saja terdengar. Bersamaan dengan itu bunyi dentingan pedang terdengar saling bersahutan. Lin Hao mencoba mengintip dibalik celah dinding kamarnya. Benar saja, beberapa orang berpakaian hitam tengah bertarung bersama dengan ayah serta ibunya. Semula dia masih bisa tenang saat satu per satu orang-orang itu berhasil dibunuh oleh orang tuanya. Tapi saat sesosok pengguna golok itu tiba-tiba datang dari balik bayang-bayang, menyerang ayahnya, itu berhasil meninggalkan sayatan dalam pada punggung Lin Dan. Lin Hao melebarkan mata.
Anak itu menarik pedang, lalu keluar dari kamar. “Menjauh dari ayahku!” Lin Hao melompat sembari mengayunkan pedangnya, menargetkan laki-laki pengguna golok itu. Gerakannya cukup gesit, sosok yang menorehkan sayatan pada Lin Dan tadi segera mengambil jarak.
“Hao'er, mengapa kau keluar?”
“Aku tidak bisa diam saja melihat ayah dan ibu diserang sama orang-orang ini.” Sorot matanya memancarkan kobaran penuh akan keberanian.
Lin Dan menepuk pundak anaknya, darah di telapak tangannya menempel di baju anak itu. “Hao'er, orang-orang ini sangat kejam. Ayah tidak bisa menjamin keselamatan ayah. Larilah sejauh yang kamu bisa. Ayah dan Ibu akan melindungimu.”
“Tidak… Aku tidak akan meninggalkan ayah dan ibu. Biarkan aku bertarung bersama kalian!” Lin Hao tetap nekat.
Suara tepukan tangan terdengar dari sosok pria bersenjata golok itu. Dia maju beberapa langkah.
“Anak baik. Ikutlah bertarung bersama ayahmu. Jika kau pergi, mereka akan mati oleh golokku!” Pria ini sebenarnya cukup tertegun dengan pupil emas milik Lin Hao. Memang tujuan mereka jauh-jauh mendatangi kekaisaran Zhang ini karena anak itu.
Lin Hao mengeratkan cengkraman pedang.
“Ayah, biarkan aku membunuhnya!” ucapnya penuh percaya diri.
Lin Dan menggeleng. Dari teknik yang dikeluarkan oleh pria bersenjata golok itu, dia tahu kalau mereka berasal dari sekte Bayangan Hantu, salah satu sekte yang berdiri di kekaisaran Liu. Mereka sangatlah berbahaya.
“Apakah kalian sudah selesai? Aku sudah muak melihat drama kalian!” Pria itu kemudian menyuruh para bawahannya untuk menangkap Lin Hao.
Pertarungan kembali terjadi. Seseorang mengayunkan pedang, menebas lurus nyaris mengenai Lin Hao. Beruntung Lin Dan bergerak gesit untuk menepis pedang itu. Lin Dan mendorong kasar Lin Hao hingga anak itu terpental jauh menembus dinding rumah. Anak itu jatuh terbaring di atas tanah yang mulai becek oleh genangan air hujan.
“Hao’er, larilah sejauh yang kau bisa dan jangan pernah kembali!” teriak Lin Dan. Dia tahu, akan ada orang lain yang datang mengejar anaknya. Dan saat itu tiba, dia tidak yakin masih bisa hidup.
“Cepat, tangkap anak itu!”
Beberapa orang segera beranjak keluar untuk mengejar Lin Hao. Tapi, Lin Dan tidak membiarkan itu terjadi, dia menahan orang itu. Adu pedang sempat terjadi, tapi tidak berlangsung selama dua kali gerakan, Lin Dan berhasil membunuhnya.
Pria bersenjata golok menggertakan giginya. “Dasar tidak berguna!” umpatnya. Dia kemudian turun dan bertarung langsung bersama Lin Dan. Beberapa orang juga membantunya menyibukkan Lin Dan. Saat ini, celah tercipta, dua orang segera memisahkan diri dari pertarungan, mengejar Lin Hao.
Sementara ini, Lin Hao telah bangkit dan ragu-ragu untuk melangkah pergi.
“Tidak, Ayah, aku tidak akan meninggalkan kalian!”
Lin Hao menggenggam erat gagang pedang, berlari hendak masuk ke dalam rumah.
Whush…
Pedang melintang, nyaris menebas batang lehernya. Beruntung Lin Hao masih sempat menyadari dan menghindar cepat. Anak itu menghela nafas lega saat berhasil menghindar. Dalam hati dia cukup bersyukur telah dilatih mempertajam insting oleh ayahnya.
“Kau tidak akan bisa kabur lagi, Anak kecil!”
Lin Hao mengambil sikap ancang-ancang, dia tahu pertarungan tidak bisa dihindari.
Dua orang mengenakan penutup kepala segera maju menyerang. Lin Hao menyambut keduanya sekaligus.
Satu tebasan miring disambut dengan tepisan kuat. Namun, pasokan energi dari keduanya sangat jauh berbeda. Lin Hao merasakan tangannya yang kebas, bergetar. Dia bergerak mundur, tapi orang itu tidak berniat membiarkan dirinya mengambil jarak.
Keduanya memojokkan Lin Hao dengan sangat cepat. Jelas sekali perbedaan pengalaman bertarung membuat Lin Hao sangat dirugikan. Dia tidak bisa lagi mengangkat pedang untuk menepis serangan masuk, sehingga itu tepat menyayat lengannya. Darah segar mengalir deras dari sana. Lin Hao meringis perih. Satu tendangan kuat masuk membuatnya jatuh terseret di atas tanah.
Kedua orang itu tersenyum remeh dibalik penutup kepala. Salah satu dari mereka mendekat, memegang kepala Lin Hao, menyeret anak itu. Tapi, belum lama dia melakukannya, mendadak sebilah pedang tajam mengayun cepat, berhasil memotong lengannya.
Slash..
Lengan itu tergeletak di atas tanah. Pemiliknya panik, darah telah mengucur deras dari bekas potongan itu. Seorang wanita cantik muncul dengan tatapan marah. Nanar matanya memancarkan kobaran emosi yang membuat dua orang tadi bergidik ngeri.
“Berani sekali kalian menyentuh putraku!” Wen Li menatap tajam dua orang itu. Tampak bagian pipinya terdapat bekas darah dari pertarungan sebelumnya.
Lin Hao segera bangkit, menatap ibunya dengan nanar mata berkaca-kaca.
“Ibu, mari kita bantu ayah membunuh mereka semua!” Lin Hao menggenggam erat lengan ibunya. Berharap wanita itu menyetujui perkataannya.
“Hao’er. Ayah dan ibu masih bisa mengalahkan mereka semua tanpa kamu turun tangan. Pergilah sejauh yang kau bisa dan jangan pernah kembali. Ayah dan ibu akan menyusulmu nanti setelah kami selesai membunuh mereka semua!” ucap Wen Li dengan memasang senyum tulus.
Lin Hao masih ragu, sementara dua orang itu telah bergerak menyerang. Tanpa menunggu reaksi anak itu, Wen Li segera mendorong tubuh Lin Hao hingga posisi keduanya cukup berjauhan. Wanita itu juga sempat memberikan pedang pada Lin Hao saat mendorongnya tadi.
Pertarungan dua lawan satu itu langsung terjadi. Lin Hao melihat itu dengan perasaan kacau. Dia tampak geram hingga pupil matanya mengeluarkan cahaya emas. Pepohonan bergoyang kencang, tapi itu tidak berlangsung lama mereda. Lin Hao berubah tenang saat melihat senyum tulus dari sosok Wen Li. Saat itu wanita tersebut telah berhasil membunuh satu orang.
“Pergilah Nak.” Itu ucapan terakhir yang Lin Hao dengar sebelum anak itu benar-benar memutuskan untuk pergi.
“Aku akan menunggu kalian!”
Sepeninggalan Lin Hao, Lin Dan keluar dan menghampiri istrinya yang saat itu telah berhasil membunuh lawannya.
“Hao’er kemana?” tanya Lin Dan, memastikan kalau anak mereka itu baik-baik saja.
“Dia telah pergi.”
“Semoga saja Hao'er selalu mendapatkan kemudahan dalam perjalanannya.” Lin Dan cukup khawatir, tapi dia juga tidak bisa membiarkan Lin Hao tetap berada di rumah ini. “Istriku, mari kita sambut tamu kita dari kekaisaran Liu. Jangan biarkan mereka masuk terlalu dalam dan menemui Hao'er.”
“Benar, Suamiku!”
Terlambat, puluhan orang telah berkumpul mengelilingi mereka sebelum mereka benar-benar beranjak dari tempat. Suami istri itu saling memunggungi dengan pedang teracung di depan. Bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi.
“Sepasang Pedang Walet. Apakah kalian akan menyangka kami mendatangi kalian sampai ke sini? Omong-omong, kemana perginya anak kalian yang memiliki mata dewa itu?” Salah seorang pria dengan pakaian putih bercorak naga berkata dengan sinis. Dia langsung menyebutkan gelar yang dimiliki oleh sepasang suami istri tersebut.
Baik Lin Dan maupun Wen Li tidak ada yang menjawab. Mereka malah sibuk memperhatikan orang-orang yang datang itu, menghitung kemungkinan menang melawan puluhan orang sekaligus. Tapi saat menyadari ada beberapa orang yang memiliki kekuatan setara dan sedikit di atas mereka, ini membuat keduanya merasa tidak memiliki peluang untuk menang.
“Istriku, kalaupun kita harus mati hari ini, kita juga harus membawa mereka semua bersama kita.” Lin Dan bertekad kuat.
“Benar, suamiku. Mari kita tunjukkan kepada mereka, apa itu julukan Sepasang Pedang Walet!”
Orang-orang yang mengelilingi sepasang suami istri itu segera maju menyerang. Keduanya menyambut dengan gerakan lihai. Keduanya sangat kompak selama bertarung, saling melengkapi dan melindungi satu sama lain. Mereka berhasil melumpuhkan dua sampai tiga orang dalam satu menit. Itu terus bertambah. Teknik Sepasang Pedang Walet yang mereka gunakan itu membuat mereka bergerak sangat indah selayaknya burung walet yang menari dan mengejar musuh dengan pedang. Lawan sulit mendapat celah, bahkan hingga lima menit pertarungan berjalan, keduanya belum mendapat sentuhan dari lawan.
“Dasar tidak berguna!” gumam kesal salah seorang kultivator yang sedari tadi menonton pertarungan itu. Kultivasinya berada satu tingkat lebih tinggi dari Sepasang Pedang Walet.
Dia menoleh pria botak yang ada di sampingnya, lantas mengeluarkan satu kalimat. “Apakah tetua Feng masih akan berdiam dan membiarkan Sepasang Pedang Walet itu membantai semua orang-orangmu?”
Pria botak yang dipanggil tetua Feng menoleh. “Lalu bagaimana denganmu, Tetua Jin?” tetua Feng bertanya balik.
Keduanya saling mengangguk, setelah itu memutuskan untuk sama-sama bertindak. Pertama-tama mereka mencoba untuk memisahkan suami istri itu. Akan tetapi, itu tidak semudah yang dibayangkan.
Pria botak mencoba mengaliri energi Qi pada pedangnya, melakukan perubahan unsur elemen api lalu menebas ke arah depan.
Sabit api terbentuk, melesat cepat dan menargetkan Wen Li. Wanita itu refleks menepis dengan pedang. Lin Dan membalas dengan melepaskan bilah petir.
Pria botak menghindar. Saat itu tetua Jin mengambil kesempatan dengan melepaskan puluhan pedang sekaligus. Pedang-pedang itu menukik tajam ke arah sepasang suami istri.
Permainan pedang yang lihai cukup mampu untuk menepis semua pedang yang dikendalikan oleh tetua Jin. Itu menimbulkan bunyi dentingan yang beruntun. Pedang-pedang itu menghilang setelah ditepis. Hingga satu pedang yang tidak keduanya sadari datang bersama dengan tetua Jin yang membawanya.
Slash…
Berhasil menembus perut Wen Li. Wanita itu melebarkan mata, mulutnya mendadak memuntahkan darah segar. Tetua Jin tersenyum senang, lalu dia menarik pedangnya, menyebabkan koyak pada daging tubuh wanita itu bertambah besar.
“Istriku!”
Lin Dan menangkap tubuh Wen Li yang ambruk. Wanita itu sempat hendak mengeluarkan kata-kata, tapi nyawanya terlanjur melayang. Lin Dan berteriak histeris. Saat ini dia kehilangan akal sehatnya. Memeluk jasad wanita yang merupakan separuh hidupnya itu. Dengan amarah yang menggebu-gebu, dia meraih pedang yang tergeletak di sampingnya, lalu bertarung dengan brutal.
“Kalian harus membayar nyawa istriku!” ucapnya dengan intonasi dingin.
Satu dua orang berhasil dibunuh dengan ganas. Orang-orang yang maju menyerang itu segera bergerak mundur. Tapi, Lin Dan tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Dia mengejar mereka. Namun karena bertarung dengan penuh emosi itu justru membuat Lin Dan memiliki banyak celah. Sehingga mudah saja bagi pria botak dan tetua Jin untuk melumpuhkan lelaki itu.
Lin Hao terus berlari tanpa henti. Hingga gelapnya malam membuat anak itu terjatuh saat kakinya tidak sengaja tersandung akar pepohonan. Anak itu menarik kembali pedang pemberian ibunya yang tergeletak tidak jauh darinya, beranjak melanjutkan pelarian.
Hujan saat itu sangat deras, bahana guntur beberapa kali terdengar menggelegar. Angin bertiup kencang, sesekali akan menjatuhkan ranting kayu pepohonan. Petir juga tidak kalah berpartisipasi dalam menciptakan amukan badai yang mengerikan.
Anak itu terus berlari, hingga langkahnya terhenti saat belasan orang menghadang di depan. Mereka mengenakan pakaian persis seperti yang dikenakan oleh tetua Jin.
Lin Hao mengacungkan pedang, siap untuk bertarung.
“Hanya untuk mengurus anak kecil ini, biar aku saja!” Seseorang maju hendak menangkap Lin Hao.
Anak kecil itu mengayunkan pedang. Teknik dasar berpedang yang dia kuasai dari pelatihannya selama ini diperagakan. Gerakannya cukup tajam, pedang berat itu sama sekali tidak menyulitkannya.
Lelaki yang menyombongkan diri tadi mulai ciut. Dirinya kalah dalam pertarungan fisik. Selama ini dia hanya mengandalkan kekuatan dari energi spiritual serta basis kultivasinya dibanding dengan mengasah kemampuan pertarungan senjata. Sehingga saat bertarung dengan Lin Hao, dirinya kalah telak.
Melihat celah terbuka lebar, Lin Hao segera mengayunkan pedangnya, tepat di lengan lelaki itu.
Slash…
“Bocah Sialan, akan ku bunuh kau!” Lelaki itu geram, lengangnya telah terluka oleh sayatan dalam. Dia lantas memusatkan energi Qi pada pedangnya. Energi yang terkumpul kemudian diubah menjadi vitalitas angin tajam yang membaluti pedang. Setelah itu melepaskan pedang tersebut ke udara.
Whush…
Pedang menghunjam tajam ke arah Lin Hao, bergerak sendiri layaknya memiliki seutas jiwa didalamnya.
Lin Hao bergerak mundur, pedangnya diarahkan ke depan secara horizontal, menahan ujung runcing pedang yang datang ke arahnya. Akan tetapi, intensitas energi angin tajam pada sekitaran pedang lawan merambat, hingga menyentuh pergelangan tangan hingga lengannya, meninggalkan sayatan perih yang membuat tangan Lin Hao bergetar.
Lelaki itu terjatuh dalam genangan air hujan. Pedang lawan tadi kembali ke tangan pemiliknya.
“Bocah Sialan… Aku tidak akan membunuhmu hanya karena kau begitu istimewa dimata Tuan,” ucap lelaki tadi dengan geram, maju mendekat ke arah Lin Hao.
“Cepat tangkap dia!”
Lin Hao tidak bisa mengelak saat dua tangan perkasa mengangkat paksa tubuhnya. Dia memberontak, mencoba untuk melepaskan diri. Naas, tubuhnya terlalu kecil, dia bisa dikendalikan dengan mudah.
“Lepaskan aku, aku ingin bertemu ayah dan ibuku!” Lin Hao memukul bahu orang yang menggendongnya itu. Tapi, bahkan lelaki berbadan kekar itu bergeming tanpa merasakan rasa sakit barang sedikitpun.
“Anak baik, lebih baik kau diam. Kau hanya berisik dari tadi. Jangan sampai orang-orang kekaisaran ini mengetahui keberadaan kita!”
Mendengar perkataan lelaki itu, Lin Hao sedikit banyak telah mengerti akan situasinya. Otaknya lebih cepat mencerna dibandingkan dengan anak lain seumurannya.
Segera dia berteriak keras, guna didengar oleh orang-orang kekaisaran Zhang ini.
“Tolong aku… Orang kekaisaran lain telah datang tanpa izin. Siapapun tolong laporkan mereka. Desa-desa serta kota-kota yang ada di sekitaran sini sedikit lagi akan dihancurkan!” Besar sekali suaranya. Lelaki tadi panik, bagaimana jika benar-benar ada yang datang dan menangkap mereka? Selesai sudah.
“Bocah Sialan!” Lelaki itu kemudian membungkam mulut Lin Hao dengan sepenggal kain. Ini berhasil membuat anak itu berhenti bersuara.
“Bocah, kau diam begini lebih tampan. Dan ya, kau bilang ingin bertemu dengan ayah serta ibumu, bukan? Mereka sudah dibunuh oleh tetua Jin dan tetua Feng. Jadi, kau patuh lah ikut bersama kami!”
Mendengar itu, seketika jantung Lin Hao berdegup kencang. Tubuhnya bergetar hebat, kedua pupil matanya melebar.
“Ayah… Ibu!” Lin Hao menjerit dalam diam. Emosinya naik hingga ke puncak, memicu lonjakan energi internal yang ada pada tubuhnya. Kedua pupil matanya bercahaya emas. Orang-orang yang berniat membawa Lin Hao itu mendadak menghentikan langkah, tekanan berat bisa mereka rasakan.
Orang yang menggendong Lin Hao seketika ciut, tubuhnya ambruk saat merasakan tubuh Lin Hao yang beratnya melebihi material apapun yang pernah dia angkat.
Lin Hao berdiri dengan tatapan mata kosong. Pikirannya saat itu hanyalah tentang ayah serta ibunya. Dendam seketika menguak hebat dalam hatinya, menciptakan aura mengerikan yang memaksa belasan orang itu dalam keadaan berlutut.
Lin Hao mengambil pedang pemberian ibunya. Pedang itu mengeluarkan reaksi, cahaya merah tampak bersinar pada bilahnya.
Pedang dicengkraman tangan Lin Hao mendadak melepaskan diri. Detik berikutnya, belasan orang itu seketika ambruk dengan keadaan kepala yang terpotong. Tak ada yang tersisa.
Setelah membunuh belasan orang itu, Lin Hao masih belum merasa tenang. Jantungnya semakin memompa cepat. Saat ini sosok lain muncul dan perlahan menguasai kesadarannya.
Mata Dewa itu semakin liar, cahayanya semakin terang hingga menimbulkan efek panas yang membakar pepohonan. Hujan. Badai ini tidak cukup mampu mematikan api. Bahkan semakin menjalar, hingga pohon dalam radius jarak lima puluh meter darinya terbakar tanpa sisa.
“Ayah … ibu!” Lin Hao berteriak putus asa
Hingga pada akhirnya dia kehilangan kesadaran sepenuhnya. Tubuhnya dikendalikan oleh sosok lain. Senyum sinis terukir di wajah Lin Hao.
"Hahah... Akhirnya setelah menunggu selama ribuan tahun, aku kembali mendapati tubuh manusia."
Suara ini tampak lain, terdengar seperti orang tua dengan suara bass khas.
Namun, sejenak ekspresinya berubah ketakutan kala merasakan adanya sosok jiwa yang terpanggil dalam pedang.
Pedang itu bergetar semakin hebat, desingan yang timbul semakin kuat. Pedang itu melayang dengan memancarkan aura yang semakin hebat.
"Tidak... Jangan!" Sosok itu berteriak ketakutan. Hingga suaranya tertelan dan menghilang sepenuhnya. Tubuh Lin Hao ambruk, jatuh tak sadarkan diri. Pedang itu juga mulai mereda, jatuh perlahan tepat di sebelah Lin Hao.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!