Dengan memakai kaca mata dan masker Alana akhirnya memutuskan untuk ke apotek membeli tespek. Sudah lebih dari sepuluh hari dia telat datang bulan. Dia ingin memastikan apakah dirinya sedang hamil atau ada penyakit lainnya yang menyebabkan datang bulannya telat.
Setelah membeli tespek, Alana melajukan sepeda motornya menuju kost yang dia tempati selama dua tahun belakangan ini. Sampai di tempat kost, dia langsung menuju kamar mandi.
Alana menampung air seninya dan memasukan ke suatu wadah. Dia lalu memasukan tespek ke dalam tempat yang berisi air seni tersebut. Beberapa saat kemudian dia mengangkatnya.
Alana memejamkan mata. Dia belum sanggup melihat, takut tak sesuai kenyataan. Tentu saja namanya pasti akan sangat buruk.
Perlahan matanya di buka dan melihat ke tespek. Melihat dua tanda garis merah membuat tubuhnya menjadi lemah. Beruntung dia sempat bersandar ke dinding sehingga tak luruh ke lantai.
Alana belum siap untuk berbadan dua, karena sang kekasih Daffa yang belum siap berumah tangga. Setiap dia mengajak menikah saat mereka melakukan hubungan, pria itu selalu mengatakan tunggu dia siap. Wanita itu lalu keluar dari kamar mandi. Duduk di tepi ranjangnya.
Alana meraih ponsel dan mencoba menghubungi Daffa. Pria itu harus tahu, jika darah dagingnya sedang tumbuh dalam rahim ini.
Beberapa kali menghubungi tapi hasilnya tetap sama. Daffa tak mengangkatnya. Alana memutuskan untuk ke apartemen kekasihnya saja. Tempat mereka sering memadu kasih hingga buah cinta itu tumbuh di rahimnya saat ini.
Alana berharap dengan adanya anak dalam kandungan ini, akan membuat sang kekasih senang dan segera menikahinya. Dia lalu mengganti pakaiannya. Setelah itu memesan taksi online.
Setengah jam perjalanan, sampailah Alana di apartemen kekasihnya Daffa. Dia langsung menuju lantai lima. Dia memiliki akses ke tempat itu dari sang kekasih sehingga tak perlu menunggu pria bersamanya.
Di depan unit apartemen Daffa, dia lalu menekan kode masuknya. Pintu terbuka. Alana berjalan masuk dengan santai karena telah terbiasa, seperti di kost pribadinya.
Alana sedikit heran melihat ruang keluarga apartemen yang terlihat berantakan dengan sampah yang berserakan di mana-mana. Seperti baru habis makan-makan. Dia mengerutkan dahinya berpikir siapa yang di bawa Daffa ke apartemen ini.
"Berarti Daffa ada, kenapa dia tak mengangkat teleponku?" tanya Alana dalam hatinya. Bungkusan makanan itu terlihat baru di makan, itu berarti Daffa berada di sini.
Alana berjalan menuju kamar, tempat mereka biasa memadu kasih. Saat dia akan membuka pintu, terdengar suara yang sangat menggangu pendengarannya. Seperti dua orang yang sedang bercinta. Jantung Alana berdetak lebih kencang mendengarnya.
Menarik napas dalam untuk meredakan degup jantungnya, setelah itu dia berusaha kuat walau tangannya gemetar membayangkan apa yang terjadi di kamar itu. Beruntung kamar tak di kunci, dia menarik gagang handel pintu dengan pelan agar tak mengganggu aktivitas orang yang berada di dalam.
Kedua orang yang sedang asyik memadu kasih itu masih belum menyadari kehadiran seseorang di antara mereka. Alana lalu menyalakan lampu kamar. Saat itulah sepasang manusia berlainan jenis itu terkejut. Mereka lalu menghentikan kegiatannya.
"Siapa kau, mengganggu saja!" ucap wanita yang sedang bercinta dengan kekasihnya, Daffa.
Daffa lalu melepaskan penyatuannya dengan wanita itu. Dia menatap Alana dengan mata melotot, sepertinya marah karena aktifitasnya terganggu karena kehadiran wanita itu.
Wanita itu menarik selimut dan menutup tubuhnya yang telanjang. Sedangkan Daffa memungut pakaian dalam dan celana pendeknya. Dia dengan santai memakainya di depan Alana.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Daffa tanpa ada rasa bersalah.
"Apa ini yang sering kamu lakukan di belakangku?" tanya Alana dengan suara serak karena menahan tangis.
"Ya, kenapa?" Daffa balik bertanya dengan senyuman mematikan.
"Jadi ini alasan kamu tidak mau menikahi ku, kamu hanya ingin bersenang-senang dengan banyak wanita," ucap Alana. Suaranya makin terdengar serak karena menahan tangis.
"Benar. Aku masih ingin hidup bebas. Menikah hanya akan membuat aku terikat dan tak bisa bebas melakukan apa pun seperti saat ini!" balas Daffa tanpa ada rasa bersalah.
Wanita yang bersama Daffa itu hanya diam memandangi keduanya yang berdebat. Tidak ada raut wajah bersalah.
"Jika kamu ingin bebas, kenapa kamu menodaiku, kamu bisa menyewa wanita malam atau berhubungan dengan wanita murahan seperti itu. Kamu telah merenggut kesucianku, sekarang dengan entengnya kamu berkata semua yang dilakukan hanya untuk bersenang-senang!" ucap Alana dengan suara mulai meninggi.
"Jika aku murahan, sebutan apa yang pantas untukmu? Kau juga dengan sukarela menyerahkan dirimu untuk ditiduri Daffa. Jadi jangan merasa sok suci!" balas wanita yang telah melakukan hubungan badan dengan Daffa tadi.
"Kalian pantas bersama. Sama-sama murahan! Aku baru sadar, jika aku telah mencintai pria yang salah. Aku selama ini melakukan dengan rasa cinta berharap janjimu akan menikahi ku itu terwujud. Apa kau tak merasa bersalah sedikitpun karena telah membohongi aku?" tanya Alana lagi.
"Kenapa aku harus merasa bersalah, kita melakukan dengan dasar suka sama suka. Aku bukan memperkosamu," jawab Daffa dengan santainya.
"Bisanya menyebut orang murahan, padahal dirinya lebih murahan!" ucap wanita itu dengan suara lirih.
"Dasar bajingan. Aku tak akan melakukannya jika kamu tak merayuku dengan janji busukmu itu. Apa kau tau akibat dari perbuatan kita itu? Di sini, di rahim ini telah tumbuh darah dagingmu!" ucap Alana dengan memegang perutnya.
Daffa tampak tersenyum miring, seolah semua tak mempengaruhi dirinya.
"Salah sendiri kamu tak menggunakan pengaman. Gugurkan saja, aku sudah katakan dari awal jika aku belum siap berumah tangga apa lagi memiliki anak!" kata Daffa.
Alana tersenyum miris mendengar jawaban Daffa. Dia merasa bodoh karena selama ini begitu percaya dengan kata manis pria itu. Tangannya terangkat, dan langsung menampar wajah Daffa dengan keras.
"Dasar pecundang! Ringan sekali bibirmu berucap. Apa kau pikir mudah menggugurkan kandungan ini. Aku memang bodoh karena percaya ucapan manismu. Semoga kau tak menyesali apa yang telah kau lakukan denganku! Aku baru sadar siapa kamu sebenarnya. Sampai kapan pun aku tak akan mau menikah denganmu!" ucap Alana.
"Aku juga belum siap menikah!" balas Daffa tanpa rasa bersalah. Dia memegang pipinya yang terasa panas. Beruntung dia tak bermaksud membalas tamparan dari Alana.
"Suatu saat aku berharap kau akan menyesali semua ini. Dan saat kau datang lagi untuk meminta maaf, aku telah pergi dan melupakanmu."
Alana lalu berjalan meninggalkan kamar itu dengan langkah cepat. Tak mau melihat wajah Daffa lagi.
***
Selamat Pagi semuanya. Mama hadir lagi dengan novel terbaru. Mama sangat berharap kali ini, semua membacanya hingga akhir.
Mohon pengertian dan dukungannya. Terima kasih.
Sampai di halaman apartemen hujan turun membasahi bumi seakan ikut merasakan kesedihan wanita itu. Petir menggelegar tak membuat dia urung melangkahkan kakinya. Alana tak tahu harus bagaimana lagi. Dia tak memiliki keluarga.
Alana memegang perutnya yang masih rata. Jika dia membesarkan anaknya, pasti akan banyak cemoohan dari orang-orang, karena hamil di luar nikah.
Seharusnya aku sadar diri kalau posisiku tak ada sedikitpun di hatimu. Maafkan jika aku terlalu dalam mencintaimu. Seharusnya aku sadar jika selama ini kamu hanya bercanda, dan seharusnya aku tertawa bukannya jatuh cinta. Aku terlalu terburu-buru menyukaimu, sampai lupa berkaca seperti apa diriku. Aku yang terlalu tinggi menaruh ekspektasi hingga lupa itu hanya imajinasi. Terlalu serius mencintai mu sehingga lupa bahwa kamu cuma ingin ditemani, bukan dimiliki. Sebenarnya tidak ada yang menyakiti hatiku, aku hanya terluka dengan harapanku sendiri.
Alana terus berjalan tanpa peduli pakaian dan tubuhnya telah basah kuyup. Dia berharap hujan dapat membasuh luka hatinya.
Pandangan Alana tertuju ke jalan raya. Tidak banyak mobil berkeliaran karena mungkin orang lebih memilih bertahan di rumah dari pada harus menempuh hujan.
"Ya, Tuhan. Maafkan aku. Mungkin ini jalan terbaik bagiku. Aku belum siap menanggung malu ini," ucap Alana.
Dia lalu berjalan menuju jalan raya. Tak menghiraukan lalu lalang kendaraan yang ingin cepat berlalu.
Alana berjalan cepat menuju ke tengah jalan, menghadang satu kendaraan yang lewat. Ternyata dia ingin bunuh diri dengan menabrakkan tubuhnya.
Beruntung kendaraan itu tak melaju dengan kecepatan tinggi sehingga bisa menginjak rem di waktu yang tepat. Alana jatuh pingsan juga walau hanya tersenggol, mungkin karena terkejut dan juga mungkin karena kehamilannya.
Seorang pria muda yang tampan keluar dari mobil. Melihat tubuh Alana yang tergeletak, dia langsung menggendong dan membawa masuk ke dalam mobil.
"Bagaimana keadaannya?" tanya seorang wanita paruh baya yang ada di dalam mobil itu.
"Tidak ada luka, hanya pingsan saja. Mungkin terkejut, Ma. Tapi bukan salahku. Mama lihat sendiri kan kalau dia yang menabrakkan diri ke mobil. Sepertinya mau bunuh diri," ucap pria muda itu.
"Jika benar dia mau bunuh diri, kasihan sekali. Pasti masalah yang sedang dia hadapi begitu beratnya.," ucap wanita itu lagi.
"Ma, bisa saja dia sengaja untuk mendapatkan uang. Mama jangan tertipu. Modus penipuan sekarang banyak," balas pria muda itu lagi.
Wanita paruh baya itu membalikan badannya, memandangi Alana yang masih belum sadarkan diri.
"Gafi, sepertinya mama pernah lihat gadis ini. Wajahnya tidak seperti penipu. Pasti dia sedang ada masalah," ucap Mama pria yang bernama Gafi itu.
Mobil yang dikendarai Gafi memasuki halaman rumah sakit. Pria itu kembali menggendong Alana menuju ruang IGD. Setelah dibaringkan, dokter datang memeriksa. Gafi dan mamanya menunggu di luar.
"Keluarganya harus dikabari, takut mencari keberadaannya. Mama tak apa'kan buka ponselnya untuk mencari nomor keluarga atau orang tuanya?" tanya Mama.
"Kok tanya aku sih, Ma? Tapi aku rasa tak apalah, Ma. Kita hanya sekedar mencari nomor keluarganya," jawab Gafi.
Mamanya Gafi lalu mengambil ponsel dari dalam tas wanita itu. Saat itu juga matanya melotot menatap foto di wallpaper ponsel gadis itu.
"Gafi, kamu lihat, bukankah ini Daffa adikmu. Fotonya sangat mesra. Apa gadis ini kekasihnya Daffa?" tanya Mama dengan raut wajah yang sangat terkejut.
Tanpa mengindahkan privasi Alana, wanita paruh baya itu membuka galeri foto di ponsel gadis itu. Mama Gafi tak peduli jika dia di anggap lancang, rasa keingintahuannya lebih besar.
Mama Gafi yang bernama Dewi menutup mulutnya tak percaya melihat banyak foto mesra dan intim antara putranya Daffa dan Alana.
"Kamu lihat ini ... apa yang sudah mereka lakukan berdua? Bukankah ini foto di kamar apartemennya Daffa? Pantas anak itu tak mau tinggal bersama dengan kita, ternyata dia ingin bebas membawa para gadis," ucap Mama Dewi tak percaya.
Gafi meraih ponsel dari tangan mamanya. Melihat foto-foto adiknya dan Alana dengan jijik. Dia tak habis pikir, sang adik melakukan itu sebelum menikah.
"Ma, sebaiknya kita tanyakan saja Daffa. Mama minta dia datang ke sini!"
"Iya, Nak. Mama akan minta adikmu datang," balas Mama Dewi.
Mama Dewi meraih ponselnya. Mencoba menghubungi Daffa. Beberapa kali dia menekan tombol panggil, tak ada juga sahutan. Mungkin saja Daffa melanjutkan pertempurannya yang tertunda tadi. Mama Dewi lalu mengirimkan pesan.
Akhirnya mama Dewi menyerah untuk menghubungi Daffa. Dia dan Gafi hanya bisa duduk menunggu dokter memeriksa keadaan Alana.
Beberapa saat kemudian, dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Mama Dewi dan Gafi langsung berdiri mendekati dokter.
"Apakah Ibu dan Bapak adalah keluarga pasien tersebut?" tanya Dokter.
"Bener, Dok. Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Mama Dewi.
"Tak ada masalah serius, Ibu itu pingsan, mungkin karena belum makan, atau perubahan hormon yang biasa terjadi pada wanita yang hamil muda," jawab Dokter itu.
Jawaban dokter membuat Mama Dewi dan Gafi saling pandang. Mereka sangat terkejut mendengar penjelasan dokter tersebut.
"Hamil ...? Apa dia sedang hamil, Dok?" tanya Mama Dewi untuk meyakinkan pendengarannya.
"Betul, Bu. Jadi tidak ada penyakit serius. Sekarang Bapak bisa mengurus administrasi agar pasien dapat dipindahkan ke ruang inap. Untuk beberapa hari ke depan, Ibu masih perlu di rawat untuk memantau keadaannya," jawab Dokter.
"Baiklah, Dok. Terima kasih atas penjelasannya," balas Gafi.
Dokter itu lalu pamit. Dia harus memeriksa keadaan pasien lain. Mama yang merasa tubuhnya lemas, memilih duduk kembali di kursi tunggu.
"Apa itu bayinya Daffa?" tanya Ibu dengan suara pelan. Tak percaya putra bungsunya melakukan perbuatan yang tak menyenangkan begitu.
"Ma, jangan panik begitu. Semua belum tentu benar. Nanti kita bisa tanyakan langsung dengan wanita itu," jawab Gafi.
"Mama takut apa yang ada dalam pikiran mama itu benar adanya," balas Mama Dewi.
"Mama berpikir apa?" tanya Gafi penasaran.
"Mama takut jika gadis itu mencoba bunuh diri setelah tau dia hamil. Mungkin karena Daffa yang tak mau bertanggung jawab. Kamu tahu'kan gimana sikap adikmu selama ini. Semua yang dia inginkan harus diikuti. Dia itu tak pernah bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan. Apa karena dari kecil sudah di tinggal pergi Papa?" tanya Mama Dewi dengan perasaan sedih.
"Ma, aku harap mama jangan berpikir terlalu jauh. Kita tunggu saja konfirmasi dari wanita itu, apa benar dia hamil anak Daffa. Bisa saja dia memang pernah menjalin hubungan dengan Daffa, tapi hamil bukan anaknya. Sekarang Mama tenangkan diri dulu. Aku mau daftar buat rawat inapnya," jawab Gafi.
"Iya, Nak. Pergilah sana. Mama menunggu di sini saja," balas Mama Dewi.
Setelah mengurus administrasi, dan meminta petugas memindahkan Alana ke ruangan yang dia pesan, Gafi lalu menemui mama Dewi.
"Ma, ayo kita ke ruang inap gadis itu. Katanya mama ingin tau hubungannya dengan Daffa," ucap Gafi.
"Iya, Nak," jawab Mama Dewi dengan suara pelan.
Dengan memeluk lengan putranya, mama Dewi berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang tempat Alana di rawat. Sepanjang jalan pikiran wanita itu selalu tertuju pada putra bungsunya Daffa.
Keduanya sempat berhenti melangkah sebelum masuk ke kamar. Mama Dewi memandangi wajah putra sulungnya itu. Dia yang selalu ada menemani sang mama.
"Mama merasa takut, Gafi," ucap Mama Dewi.
"Apa yang mama takutkan?" tanya Gafi dengan tersenyum. Dia mengerti ketakutan ibunya. Pasti dia takut jika benar bayi yang wanita itu kandung adalah anak dari Daffa.
"Mama malu jika benar Daffa menghamili gadis itu dan tak mau bertanggung jawab. Mama tak pernah mengajari anak mama pengecut," ucap Mama Dewi.
"Ma, semua itu belum tentu benar. Kenapa Mama sudah ketakutan? Jika memang itu anak Daffa, kita tinggal nikahin saja," balas Gafi.
"Kamu benar, Nak. Ayo kita masuk," ajak Mama Dewi.
Mama Dewi dan Gafi melangkah masuk dengan perlahan. Saat mereka membuka pintu, bertepatan dengan wanita itu yang membuka mata.
Mama Dewi memberikan senyuman manisnya, sedangkan Gafi, seperti biasanya hanya memandangi dengan wajah datar. Pria itu jarang tersenyum jika bukan dengan mamanya.
"Selamat malam, Nak," sapa Mama Dewi ramah. Mama Dewi langsung mengulurkan tangannya, berjabat tangan. Alana menyambutnya dengan ragu dan heran.
"Selamat malam, Bu," balas Alana dengan suara pelan. Dia memandangi Mama Dewi dan Gafi secara bergantian.
"Kalian siapa?" tanya Alana.
"Kenalkan, Mama Dewi dan ini anak mama, Gafi. Nama kamu siapa?" tanya Mama Dewi memperkenalkan diri.
"Alana ...."
"Maafkan anak mama, dia tak sengaja menabrak kamu. Kami akan bertanggung jawab dengan semua biaya pengobatan," kata Mama Dewi.
"Bukan aku yang menabrak, Ma. Tapi dia yang ingin bunuh diri dengan menabrakkan tubuhnya ke mobil. Atau mungkin juga dia sangaja untuk memeras kita!" ucap Gafi dengan penuh penekanan.
"Gafi ...." Mama Dewi melototkan matanya pada sang putra. Gafi memang tak biasa berbasa-basi.
Antara Gafi dan Daffa memang memiliki kepribadian yang berbeda. Daffa lebih banyak bergaul dan lebih riang. Daffa lebih banyak diam. Mungkin mereka mengikuti pribadi ayahnya. Ya, Daffa dan Gafi memiliki ayah yang berbeda. Ayah Gafi meningal saat dia masih bayi, dan mama Dewi menikah kembali saat putranya itu berusia dua tahun.
Doni, papa kandungnya Daffa meninggalkan mereka demi wanita lain saat sang putra masih duduk di sekolah menengah pertama. Sejak saat itu, dia terlihat frustasi dan bergaul sedikit bebas.
"Aku berkata apa adanya! Katakan dengan jujur, kamu sengaja kan tadi menabrakkan dirimu?" tanya Gafi dengan nada penuh penekanan.
"Gafi ... biar mama yang bicara," ucap Mama Dewi dengan suara lembut.
Dia menarik bangku yang ada di samping ranjang. Meraih tangan Alana dan menggenggamnya. Mama Dewi ingin bertanya ada hubungan apa antara putranya Daffa dan gadis itu.
"Alana, maafkan Mama. Tadi Mama terpaksa membuka ponselmu. Ingin mencari nomor salah satu keluargamu, tapi sepertinya kamu menyimpan dengan nama lain. Tak ada ayah atau ibu di kontakmu," ucap Mama Dewi.
"Ayah dan ibuku telah tiada tiga tahun lalu," jawab Alana dengan suara sendu. Terbayang kedua orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan.
Mendengar jawaban dari Alana, mama Dewi menjadi sedih. Dia tak menduga jika gadis itu hidup sebatang kara.
"Maaf, jika Mama membuat kamu sedih," balas Mama Dewi.
"Tak apa, Bu." Alana tak memanggil dengan sebutan Mama, walau wanita itu memintanya.
Mama Dewi menarik napas dalam. Dia sedang berpikir kata yang tepat untuk bertanya. Takut nanti kata-katanya akan menyinggung perasaan gadis itu.
"Alana, setelah dokter melakukan pemeriksaan, di tubuhmu tidak terdapat luka serius. Jika ternyata kamu pingsan, itu karena perubahan hormon di awal kehamilan," ucap Mama Dewi.
Alana terkejut mendengar ucapan mama Dewi. Dia tak mengira sang Dokter akan mengatakan kebenaran mengenai kehamilannya.
Dia merasa sangat malu. Pasti kedua orang yang telah membawanya ke rumah sakit ini akan berpikir buruk tentang dirinya, gumam Alana dalam hati.
"Tadi saat membuka ponselmu, Mama melihat foto Daffa, ada hubungan apa kamu dengannya?" tanya Mama Dewi dengan suara pelan.
Alana jadi teringat saat dia melihat dengan mata kepalanya Daffa sedang bercinta. Dia lalu memegang dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Air mata akhirnya tumpah membasahi pipi.
"Apa Ibu kenal dengan pria bajingan itu?" tanya Alana dengan suara terbata.
Mendengar adiknya di sebut bajingan, tentu saja Gafi tak terima. Dia langsung berdiri. Mama yang melihat langsung mencegah dengan menggelengkan kepala.
"Tetaplah duduk di sana. Biar mama saja yang bicara dengan Alana!" perintah mama Dewi.
"Apa yang telah Daffa lakukan padamu? Sepertinya kamu sangat membencinya?" tanya Mama Dewi lagi.
"Dia pria brengsek yang pernah aku kenal," jawab Alana.
"Maaf, jika pertanyaan mama kali ini sedikit pribadi. Apa Daffa ayah dari bayi yang kamu kandung?" tanya Mama Dewi dengan hati-hati.
Tangis Alana pecah saat mendengar pertanyaan itu. Dia jadi teringat tentang kehamilannya.
"Kenapa Ibu menolongku? Seharusnya biarkan saja aku mati tergeletak di tengah jalan. Biar Daffa senang. Anak yang tak dia harapkan ini mati bersamaku!"
"Alana, kenapa kamu bicara begitu? Jadi benar Daffa, bapak anakmu?" Kembali Mama Dewi bertanya. Alana mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan wanita itu.
Mama Dewi dan Gafi cukup terkejut melihat jawaban dari Alana. Walau dari awal dia telah menduga tapi tetap saja itu membuat mereka syok.
Mama Dewi lalu meraih tangan Alana dan menggenggamnya lagi. Air mata juga menetes dari sudut matanya. Tak menduga jika sang putra melakukan hal ini.
"Maafkan Daffa, Nak. Mama akan minta dia bertanggung jawab atas kehamilanmu. Jangan pernah lagi kau ulangi perbuatanmu yang tadi. Mengakhiri hidup bukan solusinya. Anak dalam kandunganmu itu tak bersalah," ucap Mama Dewi.
"Sebenarnya ada hubungan apa Ibu dan Daffa? Kenapa harus minta maaf?" tanya Alana heran.
Belum sempat Mama Dewi menjawab, pintu ruangan itu terbuka. Tampak sesosok pria muda masuk.
"Siapa yang sakit, Ma?" tanya Daffa dengan napas terburu. Tadi dia di minta datang ke rumah sakit. Dia berpikir abang atau mamanya yang sakit. Daffa telah bertanya kamar mana yang ditempati sebelum datang. Pandangan mata Daffa tertuju ke ranjang. Dia sangat terkejut melihat siapa yang berbaring.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!