NovelToon NovelToon

Pingka Gadis Pedalaman

Perkenalan

Pingka Jingga Biru gadis cantik rambut hitam panjang,  kulit putih bersih tanpa cacat. Ramah tamah, baik hati dan suka menolong. Walau terlahir dari keluarga sederhana dan di Desa pedalaman, tidak membuatnya minder bahkan obsesinya sangat kuat untuk memajukan desanya yang tertinggal. Desa yang jauh dari keramaian, listrik dan bisingnya kendaraan.

Disana, suara binatang alam dan air sungai yang mengalir meramaikan keseharian penduduk. Serta, tiap sudut jalan hanya diterangi lampu Desa yang tersalur dari tenaga surya,  mereka tidur diterangi lampu tembok yang menempel cantik di dinding rumah panggung yang terbuat dari kayu.

Pingka terlahir di Desa terpencil di suatu pulau , yatim piatu sejak berusia 15 tahun. Kedua orang tuanya meninggal diserang wabah, karena keterbatasan peralatan medis dan jarak tempuh ke kota  yang cukup jauh membuat banyaknya korban berjatuhan. Sakit rasa di hati Pingka menyaksikan kedua orang tuanya menghembuskan nafas terakhir sementara dia tak bisa berbuat apa- apa.

Rania gadis desa sahabat baik Pingka, hampir seperti Kakak baginya. Kehidupan gadis ini lebih baik dari pada keluarga Pingka, tiap suka dan duka mereka rasakan bersama. Persahabatan yang sejak kecil sudah terjalin itu hancur begitu saja, saat Rania memilih mencintai kekasih Pingka.

Hendri pemuda Desa anak orang berada. Dia kekasih Pingka hubungan yang dibangun sejak lama dimulai saat bangku SMA itu kandas begitu saja, ketika pengkhianatan terjadi saat Pingka menempuh pendidikan di Kota, kepulangannya setelah wisuda disuguhkan dengan undangan pernikahan Hendri dan Rania .

Pingka tinggal bersama Bibinya dan Kakak sepupunya. Fajar, Kakak sepupu Pingka yang begitu sayang padanya sedari kecil. Mereka sudah terbiasa berbagi segala sesuatunya. Fajar akan menjadi tameng terdepan saat Pingka mendapat masalah dan keterpurukan saat ter-khianati, Fajar juga merasakan betapa hancur perasaan Adiknya itu.

Tiap hari  Bibi Halimah berkebun sayur untuk dijual keliling ke perkebunan sawit yang tak jauh dari kampung, sebagian penduduk disini ikut bekerja harian di perkebunan kelapa sawit dengan antar jemput dari perusahaan.

Kini Pingka berusia 24 tahun, dia memutuskan untuk bekerja disebuah perusahaan  besar. Yang ia tahu perusahaan itu adalah milik sahabat  Ibunya semasa hidup. Dengan bantuan ibu  Erly. Ibu pemilik perusahaan itu Pingka bisa berada di sana.

Ibu Erly bersahabat dengan Ibu Pingka. Beliau berjanji pada almarhum sahabatnya itu, untuk menolong putrinya jika dalam kesusahan. Bahkan ibu Erly berjanji menjodohkan putranya . Endra Saguna.

Endra sosok laki-laki pekerja keras dan sedikit arogan, sikap tegasnya dikagumi oleh kolega bisnisnya. Perusahaan yang didirikan mendiang Ayahnya itu berkembang pesat di tangannya. Endra memiliki kekasih bernama Melisa.

Melisa wanita cantik. Anggun, manja dan seksi. Berprofesi sebagai model ternama banyak pria yang mendambakannya di luar sana .

Selain memiliki Endra, ibu Erly juga memiliki putri yang bernama  Melan Saguna. Mahasiswi cantik ini mengambil jurusan Dokter anak, dia adalah gadis periang tapi sedikit angkuh.

Endra memiliki Asisten sekaligus sahabatnya mereka selalu bekerja dengan profesional. Sandi bersikap datar tapi perhatian. Selain Sandi, Endra juga memiliki teman bernama Dimas rekan bisnisnya.

Dimas, laki-laki jangkung dan tak kalah tampan dari Endra. Ia perhatian dan pencinta motor besar. CEO ini kerap kali menggunakan motor kesayangannya jika bepergian. Selain itu mereka juga memiliki teman yang bernama Dokter Reno laki- laki tampan dan baik hati. Dokter tampan itu sangat kocak dan usil.

Ibu Erly sangat ingin menjodohkan putranya dan Pingka

"Sampai di kota belajarlah berenang, agar kamu bisa menolong dirimu sendiri." Pesan Pingka pada laki laki berusia 12 tahun itu.

Perjodohan

Endra uring-uringan di kantor, setelah Ibunya membicarakan perjodohan dengan sekretarisnya sendiri. Yaitu gadis pedalaman bernama Pingka. Hampir semua karyawan yang bertemu padanya hari ini, menjadi sasaran amarahnya.

Ponsel Endra bergetar di atas meja kerjanya, sesaat matanya hanya memandang benda tipis itu. Semakin diabaikan semakin sering ponselnya berdering. Dengan kasar diraihnya ponsel itu dan menggeser ke tombol hijau.

" Hallo Ibu." Jawab Endra tak bersemangat.

"En, nanti siang ajaklah Pingka ke rumah kita, Ibu ingin membicarakan perjodohan kalian !"

" Aku sibuk, Bu. Nanti saja dibahas lagi !" Endra mematikan telpon tanpa basa - basi lagi. Dia mengusap wajahnya kasar dalam hatinya sangat menolak perjodohan ini, dia tidak menyukai gadis bernama Pingka yang menjadi sekretarisnya.

Semenjak dia tahu wanita yang dijodohkan dengannya adalah sekretarisnya, tiba - tiba hubungan mereka menjadi tidak baik, acap kali Pingka mendapatkan amarah dari Endra yang tidak beralasan.

"Dasar wanita udik ! Besar juga mimpinya ingin menikah denganku" Gumam Endra kesal. Dia menekan interkom di atas meja kerjanya. "Ke ruangan saya sekarang !" Titahnya dengan nada sedikit keras.

Pingka mengetuk pintu yang bertuliskan CEO itu setelah mendapat panggilan dari interkom. "Permisi " Ucapnya setelah mengetuk pintu.

"Masuk !" Balas Endra dengan tatapan yang begitu dingin.

Pingka menundukkan kepalanya tidak berani menatap wajah atasannya itu, karena firasatnya mengatakan jika dirinya akan mendapatkan hujatan kembali dari Endra.

"Pingka, katakan ! Apa tujuanmu sebenarnya menerima perjodohan konyol ini ?" Tanya Endra dengan suara baritone nya.

"Tidak ada, Pak. Saya menerima ini karena permintaan Bibi Erly yang ingin menepati janji beliau pada almarhumah Ibu saya" Jawab Pingka dengan masih menundukkan kepalanya.

"Tatap lawan bicaramu Pingka !" Apa wajah saya berpindah dilantai, HAH !" Bentak Endra geram

"Ma—maafkan saya, Pak." Pingka terbata.

"Alasan palsu ! Saya menolak perjodohan ini, asal kamu tahu saya sudah memiliki kekasih. Dia jauh berkelas darimu ! Kamu hanya wanita udik lahir dari Desa pedalaman. Lihatlah dirimu ! Dari segi mana pantasnya menjadi istri Endra Saguna ?! Jangankan menjadi istri, menjadi temanmu saja merupakan hal yang sangat memalukan !" Ujar Endra panjang lebar sambil menatap sinis pada Pingka.

"Itu hak Bapak, silahkan bicarakan lagi pada Bibi Erly untuk membatalkan perjodohan ini. Saya menurut saja, permisi !" Balas Pingka keluar dari sana.

Pingka merasakan tubuhnya gemetar menahan emosi, sesak di dadanya semakin menyempit rongga pernafasannya, pertahanannya runtuh saat buliran bening dengan manjanya turun membasahi pipi mulusnya. "Kamu harus kuat Pingka. Mungkin, ini juga berat untuknya, bersabarlah dulu." Gumamnya. Sambil menghapus air mata yang sudah meleleh di pipinya. Pingka menatap jam mungil ditangannya, saatnya makan siang pikirnya. Pingka merapikan mejanya sebelum turun ke lantai bawah.

"Pingka !" Sapa Ravita teman kantornya sambil berlari kecil menghampirinya.

Pingka tersenyum. "Ayo makan siang !" Ajaknya

Ravita mengangguk " Matamu sembab kenapa ?"

"Aku tidak apa - apa, tadi terbawa suasana saat Bibiku menelpon." Jawab Pingka berbohong

"Baiklah, ayo kita makan ! cacing di perutku sudah menangis minta makan." Ujar Ravita mengandeng tangan Pingka.

Mereka bersama - sama memesan makanannya sambil bercanda dan tertawa. Ravita adalah teman wanita satu - satunya Pingka. Mereka bertemu saat sama - sama memasuki perusahaan itu.

Walau begitu. Tapi tidak mudah untuk Pingka terbuka pada orang lain, mengingat penghianatan sahabat seperti kakak baginya dengan tega menikahi kekasihnya.

"Vit, kamu tidak malu berteman dengan gadis pedalaman sepertiku?" Tanya Pingka disela - sela suapannya.

"Pertanyaan macam apa itu? Aku tidak merasa malu. Bahkan, aku ingin sepertimu. Cantik alami dan kulit putih bersih, kamu tahu? Aku mengira perawatan mu sangat mahal sampai seperti ini." Jawab Ravita menyeruput minumannya.

Pingka tersenyum. "Di Desaku sejak remaja kami sering dioleskan pinang muda dibibir apabila malam hari, paginya baru dibersihkan menggunakan air hangat. Dan alis kami diukir menggunakan bawang putih biar tebal dan hitam." Ujarnya bercerita.

"Wah, senang ya dari kecil sudah dirawat." Ravita tersenyum

"Ayo Vit, jam istirahat sudah habis kita kembali." Ajak Pingka.

...----------------...

Tanpa terasa makan sambil bercerita membuat keduanya hampir lupa waktu. Pingka langsung naik kelantai atas yang sama dengan ruangan CEO .

"Dari mana saja kamu ?!" Tanya Endra datar

" Makan siang, Pak."

"Sandi kurangi gajinya, dia terlambat sepuluh menit !" Ucap Endra masuk kembali ke ruangannya.

"Iya, Pak !" Balas Sandi

Pingka hanya mampu mengelus dada untuk bersabar tak ada niatan membantah. Pingka kembali menyalakan komputer dan mulai bekerja lagi.

Pingka tipe wanita pekerja keras, mandiri dan murah hati. Setelah putus dari kekasihnya, Pingka menjadi sosok yang pendiam. Dalam hatinya masih takut untuk membuka hati pada laki - laki lain walau saat ini dia akan dijodohkan.

Endra tidak bisa berkonsentrasi bekerja, pikirannya selalu terganggu dengan perjodohan yang sama sekali tidak diinginkannya.

"Sandi, bagaimana caranya aku bisa menghentikan perjodohan ini ? Aku hanya ingin menikah dengan kekasihku, Melisa." Endra mengetuk - ngetuk jarinya di atas meja terlihat dari raut wajahnya saat ini dia sedang berpikir keras.

"Pak En, menurut saya anda bicaralah dengan pelan pada Nyonya besar. Supaya beliau dapat mengerti." Ujar Sandi menggunakan bahasa formal saat di kantor

"Ya, baiklah. Nanti kucoba sekarang kita kembali bekerja. Sudah kamu atur pengurangan gaji wanita itu ?" Endra bertanya sambil memulai bekerja lagi.

"Sudah, Pak ! "Sandi menjawab dengan rasa kesal di hatinya.

Semoga kamu tidak menyesal kemudian hari, En !

Pada mulanya Endra bersikap biasa saja pada Pingka sebagai atasan dan bawahan, dia pun tahu seperti apa Pingka dalam bekerja. Tapi semenjak dia akan dijodohkan pandangan Endra berubah. Dia berpikir Pingka menyetujui perjodohan itu karena ingin menumpang hidup pada keluarganya.

Usai berkutat pada pekerjaannya yang hampir sembilan jam di kantor, dari jam tujuh sampai jam empat sore. Pingka bersiap untuk pulang, setelah berkemas dia pamitan pada Endra. Ia mengetuk pintu ruangan CEO

"Masuk !" Titah  Endra

"Permisi, Pak. Saya hanya ingin berpamitan pulang !" Ucap Pingka

"Hm, besok jika ingin pulang tidak usah berpamitan pada saya." Balas Endra dingin

"Permisi." Pingka meninggalkan ruangan CEO. Ia turun mengunakan lift khusus karyawan. Di lantai bawah  sudah hampir sepi, Pingka langsung melangkah menuju halte bus.

Menunggu lima belas menit, bus datang menurunkan dan menaikan penumpang. Pingka masuk kedalam bus, dia mengeluarkan earphone nya dan mulai menyetel lagu  kesukaannya. Sambil menatap luar jendela terngiang kembali perkataan Endra. Pingka tersenyum kecut menarik nafas perlahan dan menghembuskan nya, ia mulai menepis rasa sesak di dadanya atas penghinaan Endra.

...****************...

Usai membersihkan diri Pingka mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya untuk menelpon Bibi Halimah.

"Halo Bibi apa kabar?" Tanya Pingka.

"Baik, Nak. Kamu sendiri bagaimana ?"

"Aku baik."Jawab Pingka diam sejenak. Kemudian ia berkata. "Bi, bisakah perjodohan ini dibatalkan? Sepertinya Pak Endra sangat berat menerimanya. Kasian juga kekasihnya jika tahu Pak Endra menikah dengan orang lain. Aku sudah pernah merasakannya betapa sakitnya dikhianati." Ucap Pingka sedih

"Sayang, sebenarnya Bibi juga tidak ingin kamu menikah karena perjodohan. Tapi Ibu Erly bersikukuh. Bibi tak bisa berbuat apa - apa, Nak Maafkan Bibi."

"Tidak apa - apa, Bi. Semoga hal baik selalu bersama kita, Aku memasak dulu ya buat makan malam. Aku matikan dulu telpon nya."

Usai menelpon Pingka langsung berpindah ke dapur. Sangat lihai tangannya menggunakan pisau dapur dan mengupas bahan dan bumbu, Pingka memakan makan malamnya sembari menonton TV.

...----------------...

Kediaman Saguna. Endra sudah  menyiapkan kata pamungkasnya untuk sang Ibu, malam ini adalah terakhir perjuangannya memohon untuk membatalkan perjodohan itu. Besar harapannya agar permohonannya terkabul, dalam pikiran Endra sudah terbayangkan wajah Melisa menangis pilu karena dia menikah dengan wanita lain. Usai makan malam mereka berkumpul di ruang keluarga.

Endra sudah beberapa kali mengatur nafasnya. "Ibu, apa yakin pada perjodohan ini ?" Tanyanya hati - hati.

"Yakin sekali, Pingka adalah gadis baik-baik." Jawab Ibu Erly sambil memindahkan Chanel televisi

"Bagaimana, jika dia hanya ingin hartaku saja?" Tanya Endra dingin

"Jaga ucapan mu, En ! Dia bukan seperti itu." Bentak Ibu Erly dengan raut wajah kesal.

"Maaf, Bu. Tapi bisakah Ibu mempertimbangkannya lagi ? Aku tidak menyukainya, Bu ! Aku sudah memiliki Melisa yang seribu kali lebih baik dari segala sudut." Balas Endra yang mulai tersulut emosi.

"Apa kamu yakin Melisa itu terbaik untukmu?" Sarkasme Ibu Erly tersenyum sinis.

"Ya ! Dia yang pantas mendampingiku. Bukan wanita udik dari pedalaman itu ! Apa Ibu kekurangan stock wanita di kota ini ? Sampai menjodohkanku dengan wanita Dusun itu !" Ucap Endra menggebu

"Kamu lupa, En ?! Ibumu ini berasal dari mana? Apa Ibu juga tidak pantas menjadi Ibumu ? Atau menjadi istri mendiang Ayahmu? Karena Ibu juga terlahir dari Dusun yang sama dengan Pingka." Ibu Erly menangis sedih dengan nada bicara yang melemah.

"Bu—bukan begitu, aku tidak bermaksud menyinggung Ibu. Aku minta maaf. Aku salah bicara, Bu." Endra memohon menyentuh kedua tangan Ibunya.

Ibu Erly mengusap pipinya yang basah dan berkata dengan tegas.

"Jika ingin Ibu maafkan, nikahilah Pingka dalam waktu tiga hari !"

Dada Endra seakan terhantam beban yang berat, pikirannya segera kacau. Dia tak mampu berbuat apa - apa lagi. "Beri aku waktu untuk berpikir, Bu ! Aku ke kamar dulu" Ujarnya meninggalkan Ibunya sendiri di ruang tengah.

Ibu Erly meraih bingkai foto yang tersimpan rapi di atas meja di sampingnya duduk, ditatapnya penuh rindu sosok laki- laki yang sebaya dengannya. Laki - laki perkasa yang menghujaninya banyak cinta dan kasih sayang. Laki - laki yang merubah hidup dan menerimanya dengan sempurna. Hingga, kekurangan dirinya tak nampak sedikit pun. Laki - laki hebat yang dijodohkan padanya dimasa muda, laki-laki yang memberinya buah cinta sepasang anak lucu yang menjelma menjadi pria dan wanita dewasa sekarang ini. Tanpa terasa air matanya semakin tumpah ruah mengenang kebersamaannya dengan Almarhum suaminya Rama Saguna.

"Yah, apa dulu kamu juga malu memiliki istri sepertiku? Apa aku salah memilihkan istri untuk putra kita? Aku hanya ingin yang terbaik untuknya !" Ibu Erly bicara pada foto keluarga yang ada foto Mendiang suaminya .

Endra berdiri dibalik pintu kamarnya, dari atas sana dia dapat melihat wajah sedih dan kerinduan Ibunya pada sosok Ayahnya. Endra jadi dilema. Haruskah ? Dia bicara baik - baik pada Pingka. Agar bisa membujuk Ibunya membatalkan perjodohan mereka.

Terimakasih sudah membaca jangan lupa dukung Author ya 🥰

...----------------...

Maaf kan jika penulisan nya ada typo ya...

Yuk ! Yang mau berteman dengan author follow

IG. iyien_02

FB. Iyien Rira

Keputusan

Kediaman Saguna...

Laki - laki tampan yang sedang tidur itu seakan enggan membuka mata, rasa malas dan putus asa menghinggapinya semenjak tadi malam. Dimana hari ini keputusan besar harus ia ambil. Demi Ibu, demi wanita yang melahirkannya. Dia harus mengambil keputusan walau pada akhirnya dia akan mencari celah untuk mengakhirinya.

Endra mempersiapkan dirinya untuk pergi ke kantor, sedikit bertanya dalam hatinya kemana ketukkan sang Ibu yang tiap pagi membangunkannya ? Endra bergegas turun sambil menjinjing tas kerjanya dan memegang ponsel. Dilihatnya meja makan hanya ada Melan di sana sedang sarapan.

"Dimana Ibu?" Tanya Endra sambil  menarik kursi dan duduk.

"Belum turun !" Balas Melan santai mengunyah makanannya.

Bi Lia melewati meja makan  membawa nampan yang berisi piring nasi dan air putih.

"Dibawa kemana, Bi?" Tanya Endra sambil menyendok nasi gorengnya.

"Dibawa ke kamar, Nyonya ! Nak Endra beliau sarapan di kamar. Katanya kurang enak badan."Jawab Bi Lia lalu naik ke lantai atas.

Endra menghentikan makannya dan langsung  meminum air putih di gelas. Dia langsung naik ke atas menemui Ibunya. Perlahan jarinya memegang gagang pintu dan membukanya. Mata Endra mengarah pada nampan yang belum tersentuh sama sekali makanannya.

"Ibu Makanlah, nanti Ibu sakit." Endra menyentuh tangan Ibunya yang sedang bersandar di sofa memeluk bingkai foto mendiang suaminya.

"Ibu tidak lapar." Ibu Erly tidak mengalihkan pandangannya dari luar kaca jendela balkon kamar.

"Bu, jangan menyiksa diri Ibu seperti ini." Ujar Endra sedih

"Pergilah ! Jangan habiskan waktumu disini." Balas Ibu Erly datar.

"Apa Ibu marah padaku ? Aku minta maaf, Bu. Perkataan ku kemarin menyakiti perasaan Ibu. Baiklah, aku akan menikahi wanita itu.Tapi aku  tidak berjanji memperlakukannya dengan baik, karena aku tidak mencintainya." Ujar Endra berdiri dan meninggalkan kamar Ibunya.

Ibu Erly tersenyum bahagia. "Tak masalah, Nak ! Saat ini, mungkin kamu belum bisa menerimanya tapi suatu saat kamu pasti menyukainya." Ibu Erly menatap punggung putranya yang sudah menjauh.

Melan mendengarkan kalimat Ibunya dibalik dinding itu menjadi geram.

Kenapa Ibu gigih sekali

menikahkan Kak Endra sama wanita Dusun itu ? Kasian kamu, Kak.

Melan masuk kedalam menemui ibunya. "Bu, makanlah. Apa perlu kupanggilkan Dokter Reno ?" Tanya nya duduk di samping Ibu Erly

"Tidak perlu, nanti Ibu makan. Berangkatlah ke kampus nanti kamu terlambat." Titah Ibu Erly tersenyum.

Melan berdiri mencium kedua pipi Ibunya dan keluar dari sana . "Bi Lia, kabari aku dan Kak Endra jika terjadi sesuatu pada Ibu." Ujar nya  ingin keluar dari rumah.

"Iya Nak, Mel."

...----------------...

Pingka terburu - buru. Usai sarapan dia langsung  ke halte bus, menunggu beberapa saat. Tibalah bus yang ditunggu. Pingka duduk dengan tenang di kursi, matanya tak lepas menatap luar jendela sambil menyusuri keindahan Kota.

Bus berhenti di halte dekat kantornya. Dengan cepat kakinya melangkah masuk kedalam gedung yang menjulang tinggi itu. Dengan nafas yang tersengal dan sedikit kelelahan, dia menerobos Lift khusus karyawan.

"Pingka, kenapa terlambat ?" Tanya Ravita saat melihat temannya tergesa-gesa.

"Tidurku malam sekali, aku keatas dulu sebelum dimaki" Ujar Pingka terkekeh.

Ravita mengangguk dan kembali ke ruangannya mulai bekerja.

Pingka menetralkan nafasnya, dia tahu kalau atasannya itu sudah ada di dalam ruangannya. Perlahan dia mulai mengangkat tangannya mengetuk pintu tebal itu.

"Masuk !" Seru Endra dari dalam sana

"Permisi, Pak. Saya terlambat hari ini, saya akan membacakan jadwal Bapak." Ujar Pingka tanpa berani menatap wajah bosnya.

"Tidak perlu, Sandi sudah memberitahuku."

"Baiklah, sekali lagi saya minta maaf. Saya permisi." Pingka melangkah meraih gagang pintu.

"Tunggu !" Seru Endra menghentikan langkah Pingka membuka gagang pintu.

"Ya, ada yang perlu saya bantu ?" Tanya Pingka berbalik.

Endra berdiri dan duduk di pinggir mejanya sambil melipat kedua tangan di dada, matanya menatap tajam wanita yang berdiri tak jauh darinya. "Pingka ! Selamat atas keberhasilan mu memperalat Ibuku untuk menikahi mu !" Ujarnya dingin tersirat emosi yang kuat di dalam kalimatnya.

Pingka mengangkat wajahnya dan seketika mata mereka bertemu. "Maksud Bapak apa? Saya tidak mempengaruhi siapa pun, jika perlu saya akan bicara pada Bibi Erly untuk membatalkan perjodohan ini, karena saya sudah membicarakan ini pada Bibi saya dan beliau setuju untuk membatalkannya!"

Mata ini dimana aku pernah melihat nya ?

"Tidak perlu ! Aku tidak mau Ibuku jatuh sakit mendengar penolakan dariku." jawab Endra dingin.

"Lalu mau Bapak apa?" tanya Pingka bingung.

"Aku akan menikahi mu. Pernikahan ini jangan sampai ada yang tahu selain keluarga. Jangan sampai kekasihku tahu, aku tidak ingin dia menangis karena melihatku menikahi orang lain, aku tidak mau dia merasa ter-khianati  walau aku tidak berniat meng-khianatinya. Wanita sepertimu mana tahu rasanya menyakiti perasaan wanita lainnya." Ucap  Endra sinis.

"Saya tahu ! Dan sangat tahu Pak Endra, rasanya di khianati !" Balas Pingka dingin dan datar serta mata yang sudah mulai berkaca berkaca.

"Bagus ! Sekarang kamu tahu posisimu yang sama sekali tidak saya inginkan, pernikahan ini hanya dasar paksaan !" Ucap Endra menegaskan.

"Permisi." Balas Pingka tanpa membalas ucapan Endra, sesak di dadanya sudah membuncah ingin mencekik tenggorokannya.

Pingka mengambil air mineral dari dalam tasnya, ia meneguk air itu tanpa jeda hingga tandas. Nafas yang masih naik turun itu perlahan diatasinya. Cukup tenang Pingka mulai bekerja dan menyalakan komputernya. Saat sibuk - sibuk berkerja Pingka dikejutkan dengan suara wanita di depannya.

"Permisi Endra ada ?" Tanyanya Sopan

"Ada Nona, sebentar saya  telpon dulu ke dalam." Ucap Pingka.

"Tidak perlu saya kekasihnya, Melisa !" Balas wanita itu memperkenalkan diri .

"Baiklah silahkan masuk, maaf saya tidak mengenali anda." Ucap Pingka sopan 

Melisa tidak menggubrisnya, dia berlalu melangkah dengan anggunnya masuk kedalam ruangan Endra.

"Sayang. Aku merindukanmu." Cicitnya manja menghampiri Endra.

"Hm sayang, kamu mengagetkanku." Endra meraih tubuh kekasih untuk duduk di pangkuannya .

"Ayo makan siang ! Aku juga ingin membicarakan sesuatu." Balas Melisa

"Sebentar lagi sayang, tunggulah disini." Endra mulai melanjutkan pekerjaan sementara Melisa masih betah duduk di pangkuan kekasihnya itu. Endra menekan  tombol interkom dimeja nya. "Buatkan teh untuk kekasihku, jangan banyak gula dan jangan terlalu panas." Titahnya

"Baik, Pak." Jawab Pingka langsung berdiri melangkah ke pantri. Lima menit kemudian Pingka mengantarkan teh itu kedalam ruangan Endra.

"Masuk." Titah Endra yang masih fokus pada laptopnya, setelah Melisa sudah pindah ke sofa.

"Permisi, Pak. Nona, ini tehnya." Pingka ingin menaruh tehnya di atas meja dekat Melisa.

"AAA !!! PANAS !" Teriak Melisa.

Pingka menjadi kelabakan dan mengusap lengan Melisa.

"APA YANG KAMU LAKUKAN ? HAH !" Teriak Endra berdiri melihat kekasihnya berteriak panas.

"Ma —maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Nona Melisa menyenggol gelasnya." Pingka menunduk dan mengambil tissue berusaha membersihkan tumpahan teh.

"MINGGIR !" Teriak Endra lagi. Ia mendorong Pingka hingga terjatuh di lantai

"Aaaa..." Jerit Pingka menyentuh pergelangan kakinya yang terpeleset karena memakai sepatu berhak tinggi.

"Sayang kenapa kamu kasar padanya ? Aku yang salah." Bela Melisa pada Pingka.

"Tidak ! Dia yang salah ! Jika dia lebih berhati-hati. Tidak mungkin tehnya tumpah, tanganmu merah sayang. Bagaimana kalau ada pemotretan dalam waktu dekat?" Endra meniup punggung tangan Melisa yang sedikit merah.

"Maafkan saya, Nona. Pak ! Saya tidak akan mengulangi kesalahan saya." Ucap Pingka menunduk

"KELUAR ! Entah kesialan apa lagi nanti jika kamu lama - lama disini." Ujar Endra tanpa melihat kepada Pingka.

Mata Pingka mulai perih dan merah, dia berusaha berdiri. Tapi di pergelangan kakinya serasa ngilu. Dengan susah payah dia mampu berdiri dan melangkah dengan pincang keluar dari ruangan Endra, wajahnya penuh keringat menahan sakit yang menjalar di pergelangan kakinya. Pingka perlahan melepas sepatu dan melihat pergelangan kakinya membiru.

Sandi merasa iba menyaksikan semua yang terjadi dari kaca pembatas. "Pingka, ayo ! Saya antar ke ruang kesehatan." Ucapnya menyentuh pundak Pingka.

"Tidak perlu Pak Sandi, nanti juga sembuh." Tolak Pingka halus.

"Wajahmu sudah pucat, kakimu memar ini pasti terkilir." Sandi sedikit memaksa.

"Jangan memanjakannya Sandi ! Sekretaris tidak becus sepertinya harus diberi pelajaran agar bisa bekerja dengan baik." Ucap Endra keluar dari dalam ruangannya bersama Melisa.

Sandi dan Pingka terkejut. "Maaf, Pak ! Jika karyawan sakit maka harus diobati. Bapak mau citra perusahaan ini rusak hanya karena mengabaikan karyawan yang sedang sakit ?" Sandi yang sebenarnya kecewa pada sikap Endra yang kasar tak bisa mengontrol kata-katanya.

"Sudah Pak Sandi, tidak perlu ribut. Sakit ini tidak akan lama, saya sudah terbiasa merasa sakit dan lebih sakit dari ini." Ucap Pingka menekan kata sakit sambil memijit ringan kakinya.

Mata Endra mengarah ke kaki Pingka yang memar dan mulai bengkak. Ada perasaan tak nyaman dihatinya.

Apa aku terlalu keras mendorongnya ?

"Ayo sayang, aku sudah lapar." Melisa bergelayut manja di lengan Endra.

"Ayo." Balas Endra masih menatap kaki Pingka.

Sandi menelpon OB untuk membelikan makan siang untuk Pingka. "Aku ambilkan salep dan obat pereda nyeri." Ucapnya yang masih pada niat baiknya.

Pingka mengangguk sambil memijit kakinya, dia juga menelpon seseorang untuk menjemputnya saat jam pulang bekerja.

Sandi datang membawa salep dan obat. "Kamu sudah makan?"

"Sudah, Pak."

"Ini obat anti nyeri minumlah dan ini salepnya oleskan di kakimu." Ujar Sandi

"Terimakasih Pak."

...----------------...

Di kafe...

Endra dan Melisa memilih makan di restoran yang tak jauh dari kantor.

"Sayang kamu mau bicara apa ?" Tanya Endra sambil menunggu makanan datang.

"Aku ada pekerjaan Di Jepang selama tiga bulan, aku tidak bisa pulang pergi" Ujar Melisa.

"Baiklah walau berat hati tapi itu profesi mu. Apa aku bisa mengunjungimu di sana?" Ujar Endra penuh harap.

"Bisa sayang, tapi buat janji dulu agar tidak terbentur dengan jadwal kerjaku." Jawab Melisa senang.

Makanan datang saat keduanya masih berbincang

"Makanlah dulu  nanti kita bicarakan lagi." Ujar Endra.

Melisa mengangguk dan mulai menyendok makanan dari piring  ke mulutnya. Endra sengaja tidak menceritakan perjodohannya, karena tidak tega menyaksikan wajah sedih Melisa.

Usai bekerja seharian, Pingka mulai berkemas untuk pulang. Ravita datang membawakan sandal jepit untuk Pingka karena dia melepaskan  sepatunya. Dengan sabar Ravita memapah Pingka dari lantai atas menuju ke bawah.

Banyak mata karyawan yang melihat dan bertanya - tanya. Tapi tidak dipedulikan dua wanita ini. Dengan susah payah  Pingka menyeret kakinya untuk melangkah, keringat dingin sudah mulai membanjiri wajah cantiknya.

"Pingka badanmu panas, apa kakimu nyeri lagi ?" Tanya Ravita.

"Ya, berhenti sebentar aku bernafas dulu." Jawab Pingka sambil menyeka keringatnya dan mengatur nafas sambil menahan sakit di kakinya.

Dari jauh Endra dan Sandi melihat Pingka dan Ravita yang melangkah menuju luar,  Endra dan Sandi masih membicarakan pekerjaan.

"Ayo maaf merepotkanmu."

"Jangan bicara seperti itu, sebenarnya kamu jatuh dimana?" Tanya Ravita

"Di pantri."Jawab Pingka sambil menggeser kakinya.

"Perlahan, nanti tambah bengkak." Manik mata Ravita mulai berkaca - kaca tak mampu menahan kesedihannya. Akhirnya, air matanya tumpah. "Pingka, siapa yang mengurusmu kalau kamu sakit ?" Tanya Ravita disela tangisnya.

"Hei kenapa menangis ? Aku belum mati. Hanya luka kecil  ini sudah biasa, Vit." Pingka membuat pertahanan untuknya agar tidak terlihat rapuh.

"Kamu gila ! Sudahlah, duduk disini tunggu orang yang menjemputmu, kamu menolak ku  mengantarmu tadi." Ujar Ravita.

Pingka dan Ravita duduk di pos depan kantor, dari kejauhan Endra dan Sandi masih mengawasi sambil melangkah keluar untuk pulang. Tak lama datanglah mobil hitam berhenti tepat di depan Pingka.

"Jingga."

"Kak Fajar, ayo bantu aku naik." Ujar Pingka meringis

"Ayo ! Ya Tuhan badanmu panas Jingga, ayo kita ke Dokter dan tukang urut" Ajak Fajar cemas menggendong Pingka ke dalam mobil.

"Iya, Kak."

"Terimakasih sudah membantu Jingga. Ah, maksud saya Pingka, kami pamit dulu." Ujar Fajar buru-buru. Ravita hanya mengangguk  tanpa bicara dirinya masih terpesona pada lelaki di depannya tadi .

Jingga...

Endra melihat mobil hitam yang membawa Pingka dari depan kantornya sambil menunggu Sandi mengambil mobilnya.

-

-

-

Terimakasih sudah membaca jangan lupa dukungan nya 🥰

...----------------...

Maafkan jika penulisannya ada typo ya...

Yuk ! Yang mau berteman dengan author follow

IG. iyien_02

FB. Iyien Rira

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!