NovelToon NovelToon

Istri Kontrak Tuan Mafia

Lamaran²

...❣️❣️❣️...

...Lola Fernandes, seorang gadis cantik dan lugu, dengan bahu ringkihnya terpaksa memikul beban berat menjadi pembantu di rumahnya sendiri. Setiap sudut rumah itu, yang seharusnya menjadi pelabuhan aman baginya, kini terasa seperti sangkar dingin yang mengurungnya. Kematian ibunya akibat depresi yang menggerogoti jiwanya masih meninggalkan luka menganga di hatinya, dan setiap napas yang ia hirup terasa dipenuhi dengan aroma kesedihan dan pengkhianatan. Depresi sang ibu, sebuah bayangan hitam yang menelan senyumnya, dipicu oleh pedihnya perselingkuhan ayahnya, Tuan Markus Fernandes, dengan mantan kekasihnya, Lena Fernandes. ...

...Dari hubungan terlarang yang berbau dusta itu, lahirlah Sonia Fernandes, seorang putri yang usianya lebih tua dari Lola, dan kehadirannya selalu menjadi duri yang menusuk hati Lola, mengingatkan akan pahitnya kenyataan....

...Suatu hari, ketenangan semu kediaman mereka terpecah oleh kedatangan Nyonya Emilia Rodrigues dan suaminya, Tuan Alberto Rodrigues. Langkah kaki mereka yang mantap seolah membawa aura keangkuhan dan kekuasaan ke dalam mansion. Mereka datang dengan maksud melamar salah satu putri Tuan Markus untuk putra tunggal mereka, Bastian Rodrigues....

"Selamat datang, Nyonya Emilia dan Tuan Alberto," sapa Nyonya Lena dengan suara yang dilumuri madu, hangat namun terasa hampa bagi Lola.

...Nyonya Emilia dan suaminya melangkah masuk, pandangan mereka menyapu seisi ruang tamu sebelum akhirnya mendudukkan diri di sofa mewah. Tak lama kemudian, Sonia muncul dari dalam kamar, wanginya parfum yang menyengat mendahuluinya. Riasan wajahnya yang berlebihan dan tebal membuat Nyonya Emilia sedikit terkejut, alisnya terangkat tipis, dan percik antusiasme di matanya seolah meredup....

"Halo, Tante, Om," sapa Sonia dengan sopan, suaranya sedikit dibuat-buat, sambil duduk di samping ibunya.

...Tuan Alberto dan Nyonya Emilia hanya mengangguk singkat, ekspresi mereka datar. Beberapa saat kemudian, Lola keluar dari dapur, langkahnya pelan dan hati-hati, membawa nampan berisi teh hangat yang uapnya mengepul lembut dan kue brownies yang aroma manis cokelatnya menguar samar. Kehadirannya dengan kecantikan alaminya yang memancar tanpa cela, tanpa riasan berlebihan, langsung memukau Nyonya Emilia. Sorot mata Nyonya Emilia berbinar, seolah menemukan permata tersembunyi....

"Selamat pagi, Om, Tante. Silakan diminum," sapa Lola sambil tersenyum ramah, senyumnya tulus dan sedikit malu-malu, lalu menyajikan teh kepada mereka semua. Sentuhan jemarinya pada cangkir teh terasa hangat dan lembut.

"Lola, usia kamu berapa?" tanya Nyonya Emilia, menatapnya dengan kekaguman yang tak disembunyikan, matanya memancarkan rasa ingin tahu yang dalam.

"U-umur saya dua puluh satu tahun, Tante," jawab Lola gugup, suaranya sedikit tercekat, sambil menundukkan kepala sedikit, merasakan pipinya memanas karena perhatian yang tak terduga.

Tuan Alberto dan Nyonya Emilia mengangguk serentak. Kemudian, Tuan Alberto yang tampak tertarik, senyum tipis terukir di bibirnya, ikut bertanya, "Kamu masih bersekolah?"

"Saya-"

"Lola sudah berhenti sekolah karena malas dan kurang pintar, tidak seperti putriku yang cantik ini. Dia selalu juara satu, lho, Jen!" potong Nyonya Lena dengan suara melengking penuh semangat yang dibuat-buat, matanya melirik Lola dengan pandangan merendahkan.

...Ketidaksukaan Nyonya Emilia terlihat jelas dari tatapan dingin yang langsung membeku dan tertuju pada Nyonya Lena. Udara di ruangan itu seolah menegang....

"Saya tidak bertanya kepada Anda, Nyonya Lena. Saya tidak suka pembicaraan dipotong," tegas Nyonya Emilia, suaranya rendah namun penuh otoritas, menatap tajam ke arah Nyonya Lena.

...Nyonya Lena terdiam seketika, raut wajahnya memucat. Sementara itu, Sonia menatap Lola dengan sinis, matanya menyiratkan kecemburuan dan kebencian. Merasakan tatapan tajam dan menusuk itu, Lola langsung menundukkan kepala, dada terasa sesak. Dengan lirih, ia berpamitan untuk pergi dari sana....

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Tante," ucap Lola pelan, suaranya nyaris berbisik.

"Mau ke mana, Lola? Sini duduk, Tante Emilia ingin membicarakan sesuatu," cegah Nyonya Emilia sambil menepuk lembut sofa kosong di sebelahnya, sentuhannya hangat dan menenangkan.

...Dengan ragu, Lola duduk. Ia tetap menunduk, tidak berani menatap Nyonya Lena dan Sonia yang menatapnya tajam, seolah siap menerkam....

"Begini, Nyonya Lena dan Tuan Markus," Nyonya Emilia memulai dengan tenang, suaranya kini lebih lembut, namun tetap tegas.

"Kedatangan saya hari ini adalah untuk melamar salah satu putri kalian untuk putra saya, Bastian. Dan menurut saya, Lola adalah gadis yang tepat untuk putraku."

Beliau mengelus lembut kepala Lola, sentuhan tangannya terasa seperti sebuah janji akan perlindungan.

...Perkataan Nyonya Emilia sontak membuat semua orang terkejut, termasuk Lola. Jantungnya berdebar kencang, darah seolah berhenti mengalir di nadinya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kedatangan mereka adalah untuk melamar, bukan sekadar berkunjung. Pikirannya berputar, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba ini....

"Tapi... kenapa harus dia, Emilia? Putriku jauh lebih cocok dengan putra kalian!" protes Nyonya Lena dengan nada tidak percaya yang melengking, wajahnya memerah karena amarah.

"Karena saya yang memilih. Dan jika kalian tidak setuju, kami akan segera pergi dari sini," balas Nyonya Emilia dengan dingin, suaranya tanpa keraguan sedikit pun, memancarkan aura ketegasan yang tak terbantahkan.

Astaga, batin Tuan Markus panik. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Jika mereka benar-benar pergi, bagaimana nasib perusahaanku? Ketakutan akan kebangkrutan mencengkeramnya.

"Baiklah, Tuan dan Nyonya," putus Tuan Markus tiba-tiba, suaranya sedikit serak, membuat Sonia dan Nyonya Lena tersentak kaget, tatapan terkejut terpancar dari mata mereka.

"Tapi, Papa—"

"Ini keputusan Papa, Sonia. Jangan membantah!" tegas Tuan Markus, suaranya meninggi, penuh ancaman, membuat Sonia terdiam dengan rahang mengeras dan mata berkilat marah.

...Nyonya Emilia segera memberi isyarat kepada asistennya yang langsung masuk membawa sebuah berkas. Suara langkah kaki asisten yang gesit terasa menggema di ruangan itu. Berkas itu diserahkannya kepada Tuan Markus untuk dibaca. Mata Tuan Markus memindai setiap baris kalimat, dan semakin lama semakin melebar, nafasnya tertahan, terkejut dengan isi yang tertera di dalamnya. Angka-angka besar yang tertera seolah membius matanya....

"Ini adalah mahar untuk Lola. Setelah Tuan menandatangani berkas ini, maka Lola akan menjadi menantu kami sepenuhnya," ucap Nyonya Emilia dengan penekanan yang tak terbantahkan, suaranya memenuhi ruangan, meninggalkan kesan yang mendalam.

...Tepat saat Tuan Markus hendak membubuhkan tanda tangannya, Lola mengulurkan tangan, jemarinya dingin dan gemetar, menghentikannya....

"Papa, tunggu! Lola mohon, izinkan Lola bicara sebentar saja," pinta Lola dengan suara bergetar, hampir tak terdengar, mata berkaca-kaca menatap ayahnya, penuh permohonan.

...Dengan berat hati, Tuan Markus mengangguk. Ia tidak ingin keluarga Rodrigues mengetahui sifat aslinya. Dengan senyum kaku, ia bangkit dari sofa dan berjalan menjauh, diikuti Lola dari belakang menuju bagian belakang mansion, setiap langkah Lola terasa berat, seperti ditarik beban tak kasat mata....

"Papa, bolehkah Lola menolak lamaran ini?" tanya Lola dengan suara bergetar, menahan tangis yang mendesak.

Plak!

Suara tamparan yang keras menggema di kesunyian, memecah harapan terakhir Lola. "Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah kubesarkan, sekarang malah membantah. Kamu pikir semua ini gratis?" geram Tuan Markus, wajahnya memerah karena amarah, urat lehernya menonjol, sambil menampar Lola dengan keras. Rasa perih dan panas menjalar di pipi Lola, membakar kulitnya.

"Tapi, Papa... Lola tidak ingin menikah. Lola mohon..." lirih Lola dengan air mata berlinang deras, isak tangis tertahan di tenggorokannya, sambil memegangi pipinya yang terasa panas membara akibat tamparan ayahnya.

"Keputusan ada di tanganku! Pokoknya kamu harus mau. Ini demi perusahaan, demi masa depan kita!" tekan Tuan Markus, matanya berkilat marah dan penuh perhitungan, suaranya dingin dan tanpa empati.

...Setelah memarahi Lola, Tuan Markus berbalik dan melangkah masuk, meninggalkan putrinya yang terisak seorang diri. Rasa dingin dan hampa menyelimuti Lola, seolah seluruh dunianya runtuh. Tanpa sedikit pun keraguan, ia langsung menandatangani berkas itu, suara goresan pena pada kertas terdengar tajam, mengabaikan sepenuhnya perasaan Lola, seolah hatinya terbuat dari batu....

(Bersambung)

Istri kontrak²

...❣️❣️❣️...

...Setelah surat perjanjian itu ditandatangani, Lola merasakan cengkeraman takdir yang tak terhindarkan. Ia dibawa pergi oleh Nyonya Amelia dan Tuan Alberto menuju kediaman Bastian yang megah, menjulang tinggi seolah menantang langit, sebuah kontras mencolok dengan kamarnya yang sederhana. Setibanya di sana, saat mereka turun dari mobil, Lola disajikan pemandangan yang tak biasa: barisan pelayan berjejer rapi di depan pintu, seragam mereka tampak sempurna dan bersih, siap menyambut....

"Selamat datang kembali, Tuan dan Nyonya Besar. Selamat datang di kediaman Bastian, Nona Lola," sapa para pelayan serempak dengan nada hormat yang dingin dan terlatih.

...Lola membalas sapaan itu dengan senyum tulus yang sedikit kaku, namun ia tak luput memperhatikan beberapa pelayan yang menyambutnya dengan ramah, tatapan mata mereka lembut, sementara yang lain menatapnya dengan tatapan sinis dan penuh curiga, seolah menelanjanginya dengan mata mereka. Begitu mereka masuk ke dalam rumah, lantai marmer yang dingin terasa di bawah kakinya, dan Bastian sudah menunggu mereka di ruang tengah yang luas dan mewah, aura ketidaksukaan terpancar jelas dari tubuhnya....

"Mama, Papa, kenapa kalian secepat ini?" Bastian memprotes, suaranya penuh kejengkelan, menatap Lola dengan jelas menunjukkan ketidaksukaannya yang telanjang. "Sudah kubilang aku akan menikah, tapi bukan dengan orang asing yang sama sekali tidak kukenal!"

...Mendengar protes Bastian, Nyonya Amelia menghela napas panjang, terdengar sedikit lelah. Ia sudah menduga putranya akan menolak, namun situasinya memang mendesak, dan Bastian sendiri belum menunjukkan tanda-tanda ingin menikah....

"Lalu, kapan kamu akan melakukannya, Bastian?" gerutu Nyonya Amelia, suaranya menajam, menatap tajam putranya yang keras kepala, mata mereka beradu dalam pertarungan kehendak. "Kita butuh penerus keluarga! Jangan bilang kamu masih mengharapkan wanita itu?"

"Setidaknya aku mengenalnya dan mencintainya," Bastian mencibir, senyum sinis terukir di bibirnya, menunjuk Lola dengan tatapan merendahkan, seolah Lola tak lebih dari sampah. "Daripada bersanding dengannya, lebih baik aku memelihara seekor anjing!"

"Cukup!" bentak Tuan Alberto, suaranya menggelegar, wajahnya memerah karena marah, urat-urat di lehernya menonjol. "Apa kau buta, Bastian?! Wanita itu tidak pernah mempedulikanmu! Kenapa kau begitu keras kepala?!"

...Melihat suaminya mulai emosi, Nyonya Amelia dengan sigap mendekati Tuan Alberto dan mengusap lengan kekarnya, sentuhannya menenangkan, berusaha meredakan amarahnya. Lalu, ia menoleh dan menatap Bastian dengan tatapan dingin yang menusuk, seolah mampu membekukan udara di sekitarnya....

"Bastian, dengarkan Mama baik-baik," tekan Nyonya Amelia, suaranya dingin mengisyaratkan otoritas yang tak terbantahkan, setiap kata terucap dengan tegas. "Mama hanya menerima satu menantu, dan itu adalah Lola. Jika Mama sampai mendengar kamu menyakitinya, jangan harap kamu bisa lolos dari Mama." Aura seorang istri ketua mafia terpancar jelas dari tatapannya, sebuah peringatan yang tak terbantahkan.

"Cih!" desis Bastian geram, suara desisnya penuh kekesalan dan amarah, lalu berbalik dan pergi meninggalkan mereka di ruang tengah, langkahnya tergesa-gesa dan berat.

...Bastian tahu betul, percuma saja melawan ibunya jika sudah mengeluarkan aura seorang istri ketua mafia. Ayahnya yang disegani saja selalu tunduk padanya. Jadi, Bastian memilih untuk mundur dan pergi. Setelah Bastian menghilang dari pandangan, Nyonya Amelia menghampiri Lola. Tangannya yang lembut menggenggam tangan Lola yang dingin....

"Nak," ucap Nyonya Amelia lembut, menatap Lola dengan tatapan penuh harap dan kehangatan seorang ibu. "Bersabarlah. Bastian memang kasar, tapi percayalah, begitu hatinya terbuka, dia akan menghargai dan mencintaimu lebih dari siapapun."

"Iya, Tante... Lola akan berusaha sebaik mungkin," jawab Lola dengan senyum tulus, meskipun hatinya masih sedikit canggung, terdapat gumpalan kecemasan di dalam dirinya.

"Jangan panggil Tante lagi, sayang. Mulai sekarang, panggil Mama. Kamu sudah menjadi istri Bastian," ujar Nyonya Amelia sambil tersenyum lembut dan mengelus rambut Lola dengan sayang, sentuhannya menghadirkan sedikit kenyamanan di tengah badai.

"Iya, Ma... Mama," jawab Lola dengan sedikit gugup, namun berusaha tersenyum, rasa asing masih menyelimuti bibirnya saat mengucapkan kata 'Mama'.

"Nah, begitu lebih baik didengar," kata Nyonya Amelia dengan senyum hangat.

...Setelah berbincang cukup lama, Nyonya Amelia dan Tuan Alberto berpamitan untuk pulang. Lola, yang masih diliputi kebingungan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya, otaknya terasa penuh dengan pertanyaan tak terjawab, akhirnya memutuskan untuk berjalan menaiki tangga menuju kamar Bastian. Setiap anak tangga terasa semakin berat, membebani langkahnya. Dengan jantung berdebar-debar, degupannya terasa menggedor-gedor di telinganya, Lola berdiri di depan pintu kamar. Dengan tangan gemetar, jemarinya dingin dan berkeringat, ia perlahan membuka pintu dan hendak melangkah masuk ke dalam,...

...namun......

Bruk!

Suara koper yang terhempas ke lantai terdengar nyaring, memecah kesunyian. "Kau tidur di kamar pelayan," sentak Bastian dengan nada jijik, suaranya tajam seperti belati, matanya menatap Lola dengan dingin, pandangannya penuh penghinaan. "Aku tidak sudi kau mengotori kamarku dengan bau murahanmu yang mirip bau tempat sampah itu!" Ia kemudian melemparkan koper milik Lola yang baru saja dibawa masuk oleh para pelayan hingga terhempas ke lantai.

Napas Lola tercekat.

...Tenggorokannya terasa kering dan sesak. Ia mencengkeram erat dadanya yang terasa perih dan berat, seolah ditindih batu besar. Hinaan dari ibu dan kakak tirinya sudah sering ia terima, namun kata-kata Bastian barusan terasa seperti sayatan pisau tajam di jantungnya, melukai hingga ke relung jiwa. Air mata seketika menggenang di pelupuk matanya, pandangannya mulai kabur....

"Baiklah," ucap Lola pelan, suaranya nyaris tak terdengar, serak menahan tangis. Ia menundukkan kepala, menutupi kepedihannya. Dengan tangan gemetar, ia meraih kopernya, bobot koper terasa berlipat ganda, lalu berbalik dan meninggalkan kamar Bastian tanpa sepatah kata pun.

...Saat menuruni anak tangga, Lola melihat sekelompok pelayan sudah berkumpul di bawah, bisikan-bisikan mereka terdengar seperti desiran ular, menatapnya dengan senyum sinis dan bisikan-bisikan penuh ejekan. Lola berusaha tidak menghiraukan mereka, memasang dinding tipis di sekeliling hatinya. Bagaimanapun, hinaan dan cibiran sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Namun, kali ini, rasa sakitnya terasa lebih dalam, menusuk hingga ke tulang....

"Aduh... kasihan sekali," sindir salah satu pelayan dengan nada dibuat-buat, penuh kepalsuan, saat Lola melewatinya.

"Baru juga resmi jadi istri, sudah diusir dari kamar suami. Memalukan sekali!"

"Namanya juga istri dadakan," timpal pelayan yang lain dengan nada merendahkan, seolah Lola adalah makhluk rendahan. "Kalau cantik dan kaya sih... orang masih bisa mempertimbangkan. Ini sudah jelek, kusam, bau lagi! Cih! Dari jauh saja baunya sudah menyengat."

...Lola membeku di tempatnya, tubuhnya kaku dan dingin, memunggungi mereka, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Setiap kata-kata mereka menghunjam, meninggalkan luka baru. Dari kejauhan, kepala pelayan melihat kerumunan itu dan segera menghampiri mereka dengan langkah tegas, suara langkahnya terdengar membahana....

"Kenapa kalian berkumpul di sini?! Apa kalian dibayar untuk bergosip dan menyindir?! Bubar kalian semua, sekarang!" bentak kepala pelayan dengan nada marah, suaranya tajam, penuh wibawa.

...Setelah para pelayan itu membubarkan diri dengan cepat, kepala pelayan menghampiri Lola yang masih berdiri diam, punggungnya terlihat rapuh....

Dengan tatapan lembut, ia bertanya, "Nona, apakah ada yang bisa saya bantu?"

...Lola dengan cepat menyeka air mata yang hampir jatuh dan berbalik menghadap kepala pelayan....

Matanya masih sedikit merah dan bengkak. "Bi... saya ingin ke kamar saya, tapi saya tidak tahu kamar yang mana. Tuan Bastian bilang saya tidur di kamar pelayan," jawab Lola dengan suara serak, menahan isak tangis.

Kasihan sekali nasibmu, Nak, batin kepala pelayan dengan rasa iba yang mendalam terhadap Lola. Hatinya tergerak melihat kepedihan Lola.

"Sini, Bibi antar," tawar kepala pelayan sambil berjalan lebih dulu.

...Lola pun mengangguk kecil, kepalanya terasa berat, lalu berjalan mengikuti kepala pelayan dari belakang. Sesampainya di depan sebuah pintu kamar, kepala pelayan membukanya. Lola mengintip ke dalam, menatap sekeliling ruangan itu. Kamar itu ternyata tidak jauh berbeda dengan kamarnya di mansion miliknya sendiri—sama-sama kecil dan sederhana. Sebuah kenyataan yang sedikit mengejutkan mengingat kemegahan rumah Bastian, rasa pahit menyelimuti lidahnya....

(Bersambung)

Bab-03²

...❣️❣️❣️...

...Pagi itu, Lola masih terlelap dalam tidurnya, terbuai oleh kehangatan selimut tipis, ketika tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan paksa, berdebam keras, mengagetkan seluruh indranya. Lola yang terkejut langsung terbangun, duduk tegak di atas kasur, jantungnya berdebar kencang di dada, dan menatap nanar ke arah pintu. Ternyata yang masuk adalah Bastian, sosoknya menjulang tinggi dan diselimuti aura dingin....

"Bangun! Dan tanda tangan surat ini," perintah Bastian, suaranya datar dan tanpa emosi, menatap Lola dengan tatapan dingin yang menusuk, seolah tak ada kehangatan sedikit pun di matanya, sambil melempar selembar kertas dan pena tepat ke wajah Lola. Kertas itu melayang seperti daun kering, lalu mendarat di pipinya dengan sentuhan kasar.

...Lola memungut kertas itu, jemarinya sedikit gemetar, lalu membacanya. Walaupun dia hanya tamat sekolah SMP, Lola sangat mahir membaca. Wajah Lola langsung terlihat lesu, seolah semua darah mengalir pergi, setelah membaca kertas itu. Rasa sakit dan penerimaan yang pahit membanjiri dirinya. Dia pun mendongak menatap Bastian....

"Kak Bastian, Lola akan menandatanganinya," ujar Lola, suaranya pelan dan bergetar, lalu mengambil pena dan menandatanganinya dengan cepat, goresan pena pada kertas terasa dingin dan final. Kemudian, dia kembali memberikan kertas itu kepada Bastian.

"Dan satu lagi, kamu dilarang menyebut namaku di sini. Panggil aku Tuan, karena statusmu tidak beda jauh dari para pelayan yang berada di sini," tekan Bastian, suaranya penuh penghinaan, setiap kata terasa seperti cambuk.

"Ba-baik, Tuan," ucap Lola, suaranya nyaris berbisik, menundukkan kepala dalam-dalam sambil meremas kain seprei, jemarinya mencengkeram erat, menyalurkan rasa sakit yang tak terucapkan.

"Dan pakai kartu ini untuk pergi ke salon dan belanja baju yang layak dipakai, karena kamu akan berada di sini selama setahun. Aku tidak mau kamu berkeliaran di mansionku dengan wajah kusam dan bau badan yang sangat menjijikkan itu," hina Bastian, nada suaranya merendahkan, penuh celaan, melempar sebuah black card kepada Lola. Kartu itu melayang, berkilat hitam di udara, lalu jatuh di pangkuan Lola dengan suara klik pelan.

...Lola kembali menganggukkan kepala dengan pelan sambil menunduk takut. Kepalanya terasa berat, dan pandangannya hanya tertuju pada lantai dingin. Bastian menggeretakkan gigi, suara geretak giginya terdengar tajam, lalu keluar dari kamar Lola, langkah kakinya terdengar keras dan terburu-buru....

...Bukanlah Lola tidak tahu cara merawat diri, tapi di mansion miliknya, dia tidak diberikan uang untuk belanja, dan semua pakaian yang dia pakai adalah baju bekas mendiang sang ibu. Tidak seperti Sonia yang bebas berdandan menor, Lola bahkan bekerja seperti pembantu tanpa digaji....

"Aku pasti bisa," batin Lola, suara hatinya penuh tekad yang rapuh. "Setelah satu tahun dia menceraikanku, aku akan pergi jauh dari kota ini dan menjalani hidupku sendiri, menjauh dari mereka semua." Air mata menetes perlahan, membasahi pipinya yang dingin, namun tak ada suara isak tangis yang keluar, hanya keheningan yang menyakitkan.

...Saat sedang melamun, Lola mendengar suara langkah kaki masuk ke dalam kamarnya. Langkah kaki itu terdengar tergesa-gesa dan penuh amarah....

"Hei! Cepat ganti baju, Pak Supir sedang menunggumu di luar. Jangan membuat orang lain menunggumu, kau bukan nyonya besar di mansion ini!" bentak pelayan Bastian, suaranya menusuk, penuh ejekan.

"Ma-maaf, aku akan segera bersiap," imbuh Lola, terkesiap kaget, turun dari atas kasur dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Pintu kamar mandi tertutup dengan suara gedebuk pelan.

Setelah selesai mandi, Lola pun berjalan keluar dan masuk ke dalam mobil. Kursi mobil yang dingin terasa di bawahnya. Sang sopir membawa Lola ke salon. Tiga jam Lola melakukan perawatan dan akhirnya selesai. Kulitnya terasa lebih halus, dan rambutnya terasa lebih ringan. Kemudian, Lola kembali menuju ke mal untuk berbelanja baju dan skin care.

"Sepertinya ini sudah cukup," gumam Lola, suaranya lega, melihat barang belanjaannya yang kini memenuhi dua tas besar. Tangan dan lengannya sedikit pegal membawa semua itu.

...Lola pun bergegas keluar dari mal dan pulang. Setelah sampai di mansion, Lola turun dan berjalan masuk sambil membawa barang belanjaannya masuk ke dalam kamar, lalu mulai menatanya satu per satu sampai selesai. Setiap lipatan baju dan botol skin care ditempatkan dengan rapi, seolah menata kembali sedikit ketertiban dalam hidupnya....

"Hufff... akhirnya selesai," gumam Lola menghela napas lega, rasa puas bercampur lelah menyelimuti dirinya.

Brak!

...Lola kaget dan menoleh ke arah pintu, jantungnya berdegup kencang lagi. Terlihat pelayan yang tadi pagi masuk sambil membawa baju pelayan di tangannya dan melemparnya ke arah Lola. Kain kasar itu jatuh di lantai dengan suara gedebuk pelan....

"Pakai ini dan ikut kami bekerja!" bentak pelayan itu lagi, suaranya menusuk telinga, tanpa ampun.

...Lola memungut baju tersebut, bahan kainnya terasa kasar di jemarinya, dan mengangguk mengerti. Pelayan itu pun keluar dari kamar meninggalkan Lola. Lola segera mengganti baju dengan cepat, sentuhan kain yang kasar terasa asing di kulitnya, lalu menuju dapur, tapi dia malah dibawa ke halaman belakang bagian cuci baju....

"Cuci semua gorden dan kain ini, karena besok akan dipakai," perintah pelayan itu sambil menunjuk ke arah dua baskom besar yang berisi kain kotor. Bau apek dan lembap dari kain-kain itu tercium samar.

"Baik," jawab Lola singkat, suaranya pasrah.

Lola pun mulai mencuci semua gorden satu per satu sampai selesai, tangan dan lengannya terasa pegal dan perih akibat air sabun yang dingin, lalu menjemurnya di halaman belakang.

...Lola yang sedikit pendek kesusahan karena tali jemuran cukup tinggi. Jemarinya mencoba menggapai, berjinjit, namun tetap saja kesulitan. Saat sedang berusaha menarik tali jemuran, tiba-tiba ada seseorang datang membantunya, dan membuat Lola langsung kaget, sebuah sentuhan lembut di lengannya membuat bulu kuduknya berdiri....

"Maaf, Nona. Aku tadi tidak sengaja melihatmu kesusahan jadi aku membantumu, dan aku tidak bermaksud membuatmu kaget," ucap pria itu, suaranya lembut dan menenangkan, tersenyum ke arah Lola sambil menarik tali jemuran.

"Maaf, Tuan, dan terima kasih," tutur Lola sambil menundukkan kepala, rasa malu dan canggung menyelimutinya.

"Eh! Jangan panggil aku Tuan, panggil saja Mark. Aku adalah teman Bastian," kata Mark memperkenalkan diri, senyumnya ramah dan tulus.

"Terima kasih, Ma-Mark," tutur Lola lagi dengan gugup, pipinya sedikit memerah.

"Namamu siapa? Dan kamu pasti pelayan baru, ya? Karena ini pertama kalinya aku melihatmu di sini," ucap Mark antusias, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

"Na-namaku Lola, dan ya, aku baru saja bekerja di sini," elak Lola, suaranya sedikit tercekat, menjawab singkat.

"Kalau begitu selamat bekerja, aku masuk dulu, sampai ketemu lagi, Lola," ujar Mark berjalan pergi meninggalkan Lola, langkah kakinya terdengar ringan dan riang.

...Lola hanya mengangguk sambil tersenyum dan kembali bekerja. Rasa hangat dan sedikit harapan menyelinap di hatinya setelah percakapan singkat itu. Setelah selesai, Lola pun beristirahat sejenak di bawah pohon di halaman belakang mansion, bayangan pohon yang sejuk terasa membelai kulitnya, karena dia terlalu capek untuk berjalan masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya terasa berat dan lelah, namun pikirannya mulai sedikit jernih....

(Bersambung)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!