NovelToon NovelToon

PUSTAKA RINDU

Mewangi

Namaku Mewangi Jingga. Ada yang memanggilku Jingga, ada pula yang memanggilku Wangi. Tetapi, ketahuilah bahwa aku suka dipanggil Wangi. Kenapa? Karena aku ingat betul kata ibu, bahwa ayah sangat menginginkan putrinya bernama Wangi, yang tak hanya sekedar harum saja, tetapi diharapkan lebih dari itu.

Berbicara tentang ayah, jujur, aku sangat merindukannya, merindukan pelukannya, merindukan senyumannya, petuahnya, belaian nya dan tentunya, aku ingin bersamanya. Ibu bilang, ayahku adalah sosok yang sangat baik, penyayang, sabar, dan menyenangkan. Dan, itulah alasan ibuku tak berkeinginan untuk menikah lagi, setelah ayah pergi dan belum jua kembali

Sejak kecil, kami hidup sederhana. Semenjak ayah tak berkabar lagi, ibu terpaksa bekerja sebisanya, menghidupiku dan simbahku. Kami hidup dengan kesederhanaan, meski begitu, aku diajarkan ibu untuk tidak mengeluh, karena aku harus bisa menjadi wanita tangguh.

Sepeda biru, adalah peninggalan ayahku. Dia menemaniku sejak aku duduk di bang ku putih biru. Sepeda biru, yang selalu diceritakan ibu, sebagai pengantar ku menuju tempat lahir ku. Dan ayah, adalah sopir terbaik yang pernah ada. Ayah senantiasa menaiki sepeda biru itu, untuk mengantar ibuku periksa kandungan, pengantarku ke bidan untuk proses persalinan, serta mengantarkan aku ketika aku jatuh sakit dan demam.

Ibu, selalu bercerita, bahwa ayah sangat mencintaiku, mencintai ibu. Tapi, kenapa ayah pergi bu? Tanyaku yang masih belum tau apa itu rindu.

"Ayah harus berjuang di tanah rantau, untuk memberikan kebahagiaan untuk kita. Ayah bekerja keras untuk kita, jadi kita harus mendoakan ayah, supaya ayah sehat selalu." begitu pesan ibu.

Tetapi, entah mengapa, sudah lama tak ada kabar dari ayah lagi. Ibu pun hanya diam tak banyak bicara tentang ayah. Ibu, sering menangis saat sendiri, sambil mengelus cincin di jemari kanannya. Aku tak mengerti, apa itu rindu, Tetapi aku tau bahwa ibuku sedang merindu.

Masa kecilku dihabiskan bersama ibu, di sebuah kampung yang cukup jauh dari kota, hingga saat ku lepas putih merah, aku mulai sedikit mengenal kota kecamatan. Aku masih diantar jemput ibu, karena khawatir oleh banyaknya kendaraan di jalan raya. Namun, perlahan-lahan, akhirnya akupun mulai bersepeda sendiri dengan mengendarai sepeda biru ku, peninggalan ayahku tentunya.

Kebahagiaan yang terukir bersama ibuku, ternyata tak lama, cinta-cita untuk berkumpul bersama dengan formasi keluarga utuh, hanya jadi impian semata. Karena sebelum ayah kembali pulang, ibu harus mendahului kami berpulang. Ibu menderita suatu penyakit yang kami tak ada yang mengetahuinya. Ibu menyembunyikan penyakitnya secara sempurna, hingga kejutan itupun tiba.

Sejak saat itu, aku hanya hidup bersama simbah putri yang juga sudah sepuh. Simbah sangat menyayangiku, melebihi kasih sayangnya pada putra putrinya. Perlahan tapi pasti, akupun terus melanjutkan pendidikan ku sesuai pesan ibu.

"Nak, teruslah belajar, sekolah lah dengan baik, bahkan sampai sarjana. InshaaAllah, ibu ridho nak. Satu pesan ibu, jangan lupakan ayahmu. Dia masih terus mengirimkan doa-doa terbaik nya untuk mu. Ibu yakin, dia masih hidup, dan dia sangat menyayangimu." seyakin itu ibu akan ayah, meski aku telah ragu, karena hingga aku menginjak remaja, ayah tak jua segera pulang.

Dari pesan itu, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang putih abu. Tanpa ibu.

Namun, siapa sangka, di jenjang ini, aku menemukan beberapa teman baru yang membuatku haru dan bahagia selalu. Namun, tak bisa kupungkiri, bahwa aku terkadang juga iri, pada mereka yang memiliki keluarga utuh, dan bahagia. Akupun merasakan rasanya simpati pada lawan jenis, tapi, sekaligus merasakan patah hati di masa yang sama. Dan sejak saat itu, aku memilih untuk acuh pada hatiku.

Tetapi, tak ku sangka, justru di mulai dari masa putih abu, justru aku bertemu dengan jodohku, yang kini menjadi suamiku. Siapa dia? Jangan lupa, tinggalkan jejak dengan menekan gambar jempol di bawah tulisan ini. Okey?

Teman Baru

Ku lepas masa lalu di putih biru, dan kini kujejakkan kakiku di gedung hijau, yang kini akan menjadi tempatku menimba ilmu, menjemput masa depan yang seperti harapan ibu.

Saat masa MOS atau kala itu kami masih menyebutnya 'Masa Orientasi Siswa', mungkin kini, sudah berubah nama, sesuai aturan yang ada dari mentri pendidikan yang baru. Setiap sekolah, pasti diwajibkan mengadakan acara ini, guna menyambut siswa baru, seperti aku.

Hari itu, aku yang belum mengetahui jalan menuju sekolahku, harus mengendarai sepeda biruku, lalu naik bus dulu untuk sampai di gedung sekolah putih abuku. Dengan pernak pernik yang Aneh, ala-ala anak MOS, tentunya para penumpang bus sudah hafal, kalau penampilanku menunjukkan bahwa aku adalah salah satu peserta MOS. Sayangnya, di dalam bus sudah penuh dengan penumpang anak sekolah, sehingga aku terpaksa berdiri, berpegangan tiang yang melintang diatasku, sebagai pegangan. Berdesak-desakan, dengan beberapa penumpang lainnya, tak mengenal laki dan perempuan, semua campur jadi satu di dalam kendaraan kotak panjang itu.

"MOS ya dek?" sapa seorang laki-laki yang tampak ramah menyapaku dengan senyum manisnya.

'What? Manis? Eh, sejak kapan aku menilainya manis?' rutukku.

"Iya kak."

"Sekolah di mana?"

"Di SMA Taman Siswa, kak." jawabku sopan.

"Oh, berarti nanti masih agak jauh dek. Dulunya, dari sekolah mana?" tanyanya lagi

'Ih, mas nya nih, nanya mulu? Emang penting ya?' batinku merasa tak suka dengan obrolan garing nya.

"SMP Negeri Bagastara kak." jawabku berusaha tetap ramah.

"Oh... oya, aku Luqman." kata laki-laki bercelana jins dengan jaket hitamnya mengulurkan tangan. Kalau dilihat dari penampilannya, sudah jelas, dia bukan anak sekolah. Karena bercelana jins.

"Wangi." jawabku singkat sambil menerima uluran tangannya.

Fiks, pagi ini aku mendapat kenalan di bus, seorang mahasiswa Universitas swasta di kotaku, dengan jurusan Perpustakaan. Dia begitu ramah dan baik, dia mengarahkan jalan menuju sekolahan ku, dan dia mengarahkan aku ketika aku harus bersiap turun sebelum bus tiba di depan gedung sekolahan ku. Tak hanya itu, dia juga membayari ongkos busku. Beruntung sekali aku, di hari pertama masuk sekolah, mengendarai bus, mendapat kenalan baru yang begitu baik.

"Terimakasih kak Luqman." kataku ramah.

"Sama-sama Wangi, semangat ya sekolahnya." katanya sambil mengepalkan tangannya ke atas, isyarat memberi semangat, sebelum aku menggeser kan tubuhku dari bejubel penumpang lainnya menuju pintu depan bus.

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Saat aku tiba di depan gerbang sekolah, aku sempatkan diri melihat ke jendela bus, tampak laki-laki baik bernama Luqman itu, memperhatikan ku, sepertinya dia ingin memastikan, bahwa aku baik-baik saja.

"Alhamdulillah." gumamku sambil berjalan melangkah menuju gerbang sekolah. Ternyata tak hanya aku yang turun dari bus, tetapi ada beberapa anak perempuan dan laki-laki seusiaku yang juga turun dari bus yang sama dan masuk ke gedung sekolah yang sama.

"Assalamualaikum, kamu murid baru juga ya?" sapa nya.

"Wa'alaikumussalam. Iya." jawabku singkat.

"Aku Mega, kita masuk bareng yuk, aku juga peserta MOS kok." katanya.

"Oh. iya. Aku Wangi." jawabku.

"Wangi? Wow, nama yang unik." pujinya.

"Terimakasih."

"Ya udah yuk, segera masuk, nanti kita terlambat. Kita langsung ke Aula kan?" tanyanya memastikan.

"Iya." jawabku singkat.

Aku dan Mega berjalan menuju aula, tempat kami akan melakukan kegiatan MOS. Disana kami termasuk peserta yang datang awal, karena belum banyak peserta yang datang. Aku dan Mega sengaja mengambil duduk di barisan depan, supaya kami bisa menikmati pengarahan dari kakak panitia.

Sekolah

"Apa? Kamu mau lanjut sekolah?" tanya pakde Janto dengan suara tinggi, dia adalah kakak kandung ayahku. Dia adalah anak sulung simbah, yang tinggal berdekatan dengan rumah simbah. Tetapi, meski dekat, pakde memang sangat jarang berkomunikasi denganku, maupun simbah. Apalagi ibuku, karena kabarnya, sejak awal pakde tak menyukai pernikahan ayah dan ibuku, hingga ayah memutuskan merantau, ke luar jawa, dan hingga kini belum juga kembali dan tak berkabar.

"Iya pakde." jawabku lirih dengan menundukkan kepala.

"Kamu tu apa ga mikir? Kamu itu siapa? Terus kamu punya apa? Wong tuwo wis ora duwe, kok aneh-aneh aja kamu ini. Mikir dulu dong, mikir! Kalau mau ambil keputusan, harusnya tanya dulu sama pakde, ga sak senenge dewe kaya gitu!" hardik pakde masih dengan emosi membuncah.

Entah, aku tak tau apa alasan pakde Janto suka marah-marah padaku, apalagi terkait pendidikan. Jika mengikuti kata pakde Janto, bisa saja aku tak jadi seperti ini, karena pakde Janto sempat memintaku untuk cukup sekolah dasar saja, karena dia berkali-kali mengatakan, 'Kowe ki sopo? Ra duwe bondo we gaya mau sekolah lagi." ketus pakde Janto.

Namun, aku tetap bersikukuh dengan pendirianku untuk tetap sekolah.

"Nggih pakde, Wangi mboten gadah nopo-nopo, tapi Wangi punya kesempatan dengan beasiswa ini pakde." kataku mendebat pakde Janto, untuk kesekian kalinya.

"Who lha, bocah ngeyel! Karepamu! Yen pingin tetep sekolah, sekolaho! Tapi ojo njaluk bantuan pakde!" kata pakde pada akhirnya, sama persis seperti saat aku awal akan lanjut sekolah SMP.

"Nggih pakde, maturnuwun." jawabku berusaha tetap sopan meski hatiku bergemuruh hebat, saat mendapat perkataan kasar dari pakdeku.

Dengan tekad bulat, aku melangkah pergi meninggalkan rumah pakde Janto, dengan ditatap oleh istri dan anaknya. Pakde Janto sudah hidup berkecukupan, bahkan anak sulungnya sudah sukses dengan jualannya dipasar, menjadi juragan beras, sedangkan anak bungsunya memang masih berusia di bawahku satu tahun, dan dikabarkan dia juga akan lanjut sekolah ke SMA favorit.

Aku pulang ke rumah dan disambut simbah dengan wajah prihatin nya.

"Piye, Nduk?" tanya simbah putri kepadaku.

Melihat wajah simbah yang sudah semakin menua termakan usia, lipatan-lipatan di wajahnya sudah semakin tampak. Aku berusaha menutup gejolak dalam hatiku, supaya simbah tidak menaruh kebencian yang mendalam pada pakde.

"Alhamdulillah, Wangi diijinkan mbah." jawabku dengan tersenyum, mencoba meneduhkan hati simbah yang lebih paham dengan tabiat anak sulungnya.

"Tapi, dengan syarat?" tanya simbah menebak.

"Mboten mbah, namung catatan kecil mawon. Pakde tidak bisa membantu biaya atau apapun itu yang berkaitan dengan sekolah Wangi." kataku jujur.

"Ya Nduk, gapapa. Ada simbah di sini. Simbah siap menjadi orang tuamu, yang akan mendukungmu terus sekolah. Sekolah lah, semangat ya." kata simbah.

"Nggih mbah, nuwun mbah." kataku sambil memeluk simbah.

Malam itu, aku bersimpuh disepertiga malam, memohon pertolongan Allah dengan keputusan yang sudah kuambil. Ya, aku mengambil tawaran beasiswa di Sekolah SMA Taman Siswa, yang menjadi penghargaan bagiku atas prestasiku di bangku putih biru.

"Mampukan aku yaa Rob." lirihku dengan linangan air mata.

Teringat olehku, saat om Bagas, anak bungsu simbah saat enam bulan yang lalu menyatakan bahwa dirinya sudah tidak bisa turut serta membiayai hidupku lagi, karena Om Bagas harus fokus dengan keluarga barunya. Hanya sekedar sedikit membantu kebutuhan pokok simbah, seperti membayar listrik, dan kiriman uang untuk membeli kebutuhan dapur saja. Selebihnya, om Bagas sudah angkat tangan jika harus membiayai sekolahku dan menjamin uang sakuku.

Perlahan, aku membuka kaleng tabunganku, yang berisi tabunganku semenjak ibu pergi. Setiap ada orang yang memberiku uang, aku selalu memasukkannya dalam kaleng ini, dan setelah ku hitung, aku berharap ini bisa menjadi modal awal bagiku untuk bersekolah di jenjang putih abu.

"Bismillah, aku ada sepeda biru peninggalan bapak, ada tabungan ini, semoga aku bisa menggapai cita ku. Ibu... aku akan berusaha wujudkan mimpimu. Ayah... suatu saat nanti, aku akan menemukan mu. Tunggu aku ayah... aku merindukanmu." lirihku dengan menatap masa depan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!