Di sebuah rumah sakit, terbaring seorang laki-laki paruh baya. Dengan kondisi yang benar-benar memperihatinkan, seluruh tubuh penuh luka, tangan dan kakinya patah. Bahkan, sebagian tulang remuk. Namun, dia masih bertahan dan memanggil seseorang kepercayaannya.
"Tuan, sebaiknya Anda tidak banyak bicara dulu," pinta seorang laki-laki lainnya yang datang tergesa setelah seorang perawat memintanya untuk datang.
"Darwis, aku titipkan Denis kepadamu. Berikan ini padanya, hadiah dari ayah. Bila suatu saat ayah atau orang kepercayaannya melihat, mereka akan mengenali Denis dengan mudah. Uhuk-uhuk!" ucap Surya dengan suara yang lemah.
"Tuan! Tolong, jangan berbicara seolah-olah Anda akan pergi meninggalkan tuan muda. Tuan Muda sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini selain Anda. Saya mohon, bertahanlah, Tuan. Demi tuan muda," mohon Darwis sambil menangis pilu.
Laki-laki yang dipanggilnya tuan itu tersenyum. Menepuk lengan sang asisten meski tanpa tenaga. Dia sangat mempercayai Darwis.
"Jangan bawa Denis kembali ke rumah itu. Ambil saja semua uangku, dan bawa dia pergi bersama keluargamu. Aku percayakan Denis kepadamu. Hanya kau yang dia miliki ... dia ... dia ... argh!"
Laki-laki tersebut terkulai, lunglai tak bernapas. Alat pendeteksi jantung berbunyi nyaring, menampilkan garis lurus yang berkepanjangan.
"Tuan! Tuan! Bagaimana ini?" Dia yang bingung segera menekan tombol untuk memanggil para tenaga medis.
Harapan masih memiliki banyak waktu untuk bersama, tapi takdir berkata lain. Sang tuan pergi untuk selamanya, meninggalkan tanggung jawab besar. Seorang anak berusia lima tahun yang harus dia lindungi. Ibunya meninggal saat melahirkan, dan banyak orang yang menginginkan kematiannya. Kecuali sang kakek, yang terus mencari keberadaannya.
****
Dua puluh tahun berlalu, anak yang dulu ditinggal mati oleh ayahnya kini telah tumbuh dewasa. Menjadi sosok pemuda tampan nan rupawan meski memiliki bekas luka di wajah. Itu diakibatkan karena kecelakaan dulu bersama sang ayah.
"Paman, Bibi, terima kasih sudah merawatku dengan baik. Aku berjanji pada kalian akan hidup dengan baik. Beristirahatlah dengan tenang, sampaikan salamku pada ayah. Katakan padanya, aku tumbuh dengan baik dan akan tetap baik-baik saja," ucapnya di hadapan dua gundukan tanah yang baru saja mengubur ayah angkatnya.
Dia Denis Agata Mahendra, putra dari Surya Mahendra, juga cucu dari Jaya Kusuma Mahendra. Seorang pengusaha sukses yang memiliki kuasa di kota tempat dia tinggal. Denis memiliki postur tubuh tinggi, mata setajam elang dibingkai alis yang tebal. Hidungnya mancung serta bibir yang seksi membuat siapa saja yang melihatnya akan terpesona. Ia bangkit, menatap ketiga pusara yang berdampingan. Enggan untuk pergi, tapi cepat atau lambat itu semua akan ia tinggalkan jua.
"Tuan Muda, selanjutnya bagaimana? Apa Anda akan tetap di sini!" tanya seorang laki-laki seusia Denis. Ia berdiri berdampingan, menabur bunga di pemakaman kedua orang tuanya. Dia Haris, anak dari Darwis--orang kepercayaan ayah Denis sekaligus yang telah merawatnya dari kecil.
"Tidak, Haris. Aku akan meninggalkan tempat terpencil ini, aku akan ikut denganmu ke kota," jawab Denis sembari tersenyum menatap Haris.
"Jangan panggil aku tuan, kita saudara. Kamu harus ingat," tambah Denis lagi yang disambut anggukan kecil oleh Haris.
"Baiklah. Aku sudah menyiapkan apartemen untukmu. Lalu, bagaimana dengan perusahaan? Apa kau akan mulai menduduki kursimu?" tanya Haris lagi berharap Denis akan mulai bekerja dan tidak melulu mengandalkan dirinya.
Denis melirik sambil mengulas senyum tipis.
"Belum saatnya, Haris. Aku ingin bertemu keluargaku terlebih dahulu, terutama kakek. Setelah itu, aku akan datang ke perusahaan," jawab Denis disambut helaan napas panjang dan dalam oleh Haris.
"Baiklah, terserah kau." Haris mengalah, berbalik dan pergi terlebih dahulu. Kini, tanggung jawab menjaga Denis berada di tangannya sesuai perintah sang ayah.
Denis mengejar, merangkul bahu saudara angkatnya itu. Mereka sangat dekat, seperti saudara sendiri. Hari itu juga, Denis memutuskan untuk pergi ke kota asalnya. Mencari tahu tentang anggota keluarga sekaligus penyebab kecelakaan beberapa tahun lalu yang menewaskan ayahnya. Juga membuatnya cacat, bekas luka di pipi tak akan pernah ia lupakan.
"Kau tidak ingin pergi mengobati bekas luka itu? Kudengar sada dokter bedah plastik yang mampu menghilangkannya," ucap Haris setelah mereka duduk di dalam mobil.
"Tidak, biarlah. Aku senang dengan bekas luka ini karena mengingatkanku pada balas dendam atas kematian ayah," jawab Denis dengan dingin.
Haris mengangguk dan tak lagi banyak bicara. Ada rasa enggan dan besar meninggalkan daerah terpencil itu. Di mana banyak kenangan manis yang mungkin akan pupus ditelan waktu. Deburan ombak di pantai mengiringi perjalanan mereka, seolah-olah melepas kepergian sanak saudara dari buaian.
Suasana pedesaan yang tenang dan tentram, damai dan penuh kebahagiaan. Mungkin tak akan pernah mereka temukan lagi di kota yang akan dituju.
****
Setengah hari menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di kota tujuan. Alih-alih beristirahat, Denis justru ingin melihat-lihat keadaan kota tersebut. Jalanan begitu dipadati kendaraan, kemacetan mengular hingga puluhan kilometer. Gedung-gedung pencakar langit berjejer di kanan dan kiri jalan. Sangat jarang sekali pepohonan, tak seperti desa tempat tinggalnya dulu.
"Kenapa malam begini masih macet? Apa memang setiap hari seperti ini?" tanya Denis pada Haris yang setiap Minggu bolak-balik pergi ke kota.
"Iya, memang seperti ini. Bagaimana? Apa kita ke apartemen saja dan beristirahat?" tanya Haris.
"Oh, tidak! Aku ingin pergi ke tempat itu." Denis menunjuk gedung paling tinggi dengan lampu yang berkelap-kelip.
Tanpa berkata-kata, Haris segera pergi menuju gedung tersebut. Sebuah hotel milik keluarga Mahendra yang sedang mengadakan pesta pertunangan.
"Hotel ini milik keluargamu, sepertinya di dalam sedang ada pesta," ujar Haris setelah berhenti di seberang jalan hotel tersebut.
"Milik keluargaku? Itu artinya kakek ada di dalam? Aku ingin masuk," jawab Denis yang hendak membuka pintu, tapi dengan cepat dicegah Haris.
"Memang siapa yang mengenalimu? Aku sendiri belum pernah melihat kakekmu. Kau tidak akan pernah diizinkan masuk," sergah Haris.
"Aku punya ini," ucap Denis sambil mengeluarkan kalung pemberian Darwis.
Haris memutar bola mata malas, "Ayah bilang hanya kakek yang mengenali kalung tersebut. Mereka tidak." Haris menunjuk para penjaga di pintu masuk.
Denis membanting tubuh, membenarkan ucapan Haris. Berselang dia melihat seorang laki-laki tua tengah berjalan sendirian di tempat sepi. Di belakangnya, seseorang mengikuti dengan pisau di tangan. Denis tersentak, tanpa menunggu waktu dia keluar.
Tepat, saat orang tersebut hendak menikam laki-laki tua itu, Denis menariknya dan menahan pisau itu dengan tangannya. Lalu, menendang si penjahat dengan sangat kuat hingga terjengkang. Tak hanya itu, Denis melempar pisau tersebut dan memberikan bogem mentah hingga babak belur tiada berdaya.
Di saat itu kalung yang dikenakannya keluar, dan laki-laki tua tersebut melebarkan mata saat melihatnya.
"Itu ... itu ...."
"Kakek, Anda tidak apa-apa?" Denis mendongak, terlihat panik saat melihat serombongan orang berseragam datang.
"Tuan! Tuan!" Mereka memanggil.
"Itu ... kau ...." Laki-laki tua itu menatap Denis dengan saksama.
"Maaf, Kek. Saya harus pergi." Denis pergi dan kembali masuk ke dalam mobil. Meminta Haris segera melaju.
"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya salah seorang dari mereka.
"Tangkap orang itu!" Beberapa orang meringkus si penjahat.
"Temukan pemuda dengan luka di wajahnya. Aku ingin kau segera membawanya kepadaku," titah laki-laki tua itu.
"Baik, Tuan." Meski bingung, sang pengawal tetap mematuhi perintahnya.
"Kau terluka? Memang apa yang kau pikirkan? Kenapa tidak memintaku untuk pergi?" cecar Haris saat melihat tangan Denis berdarah.
Ia membuka dasbor dan mengambil kotak peralatan obat. Membersihkan luka di tangan Denis, dan membalutnya. Pemuda itu hanya diam, tidak terdengar merintih atau meringis.
"Ini hanya luka kecil saja, lagipula sepertinya ada yang mengincar nyawa laki-laki tua itu," ucap Denis seraya menarik tangannya usai dibalut perban oleh Haris.
"Kau cukup terampil. Kenapa tidak menjadi tenaga medis saja?" ejek Denis membuat Haris memutar bola mata malas.
"Lain kali jangan ceroboh seperti ini. Apalagi kau tidak mengenalnya sama sekali," ingat Haris yang kemudian menjalankan mobil meninggalkan keramaian.
Denis menjatuhkan kepala pada sandaran kursi, termenung membayangkan laki-laki tua yang ditolongnya tadi. Entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal di hati setelah pertemuan tanpa sengaja itu. Rasanya, dia ingin bertemu lagi dan lagi.
"Kita sudah sampai," ucap Haris membuyarkan lamunan Denis.
Tanpa berkata, Denis keluar mengikuti Haris menuju sebuah lift.
"Apartemen mu ada di lantai dua puluh tujuh," beritahu Haris yang hanya mendapat anggukan kepala dari Denis.
"Kau sendiri tinggal di mana?" tanya Denis penasaran.
"Aku ada di lantai yang sama," jawab Haris seraya menekan tombol untuk tiba di lantai paling teratas.
Suasana gedung begitu sunyi, mungkin hanya terdengar langkah kaki mereka berdua saja. Keadaan yang tak biasa bagi Denis karena ia baru saja tiba di kota tersebut.
"Ini kamarmu, dan ini kamarku. Jika butuh sesuatu panggil saja aku!" Haris memberikan sebuah ID card kepada Denis untuk membuka pintu.
Di lantai tersebut hanya terdapat dua pintu saja, tak seperti lantai lainnya. Dua kamar itu milik Haris dan Denis. Malam itu, Denis tidak melakukan banyak kegiatan. Setelah membersihkan diri, ia merebahkan tubuh di atas ranjang besar yang empuk. Sungguh jauh berbeda dengan kehidupannya di desa.
Sementara Haris, ia bergulat di depan layar komputer memeriksa setiap laporan yang masuk. Sebelum akhirnya, berkelana di alam mimpi.
****
Satu Minggu berlalu, selama itu Denis berkeliling melihat-lihat kota bersama Haris. Akan tetapi, akhir pekan itu dia pergi sendirian ke hotel milik keluarganya. Hanya sekedar ingin mencari tahu tentang sang kakek. Ia menyamar sebagai seorang pelayan di pesta pernikahan sepupunya.
"Aku harus dapat menemukan kakek tanpa membuat curiga yang lainnya," gumam Denis seraya mengenakan masker dan mendorong troli berisi minuman untuk dibagikan kepada para tamu undangan.
Matanya melilau ke segala arah, memperhatikan setiap kepala yang ada. Tak satu orang pun dia kenali, meski sebagian dari mereka adalah keluarga. Denis berdiri tak jauh dari podium, menyaksikan sepasang kekasih yang akan menyematkan cincin sebelum acara pernikahan dimulai.
Apa dia sepupuku? Beruntung sekali dia, mendapatkan gadis cantik seperti itu.
Denis bergumam, memuji mempelai wanita yang nampak cantik dan elegan. Namun, tiba-tiba hal yak terduga terjadi.
"Tunggu! Kalian tidak bisa melanjutkan pernikahan ini! Dia harus menikahi aku bukan wanita itu!" teriak seorang wanita yang tiba-tiba muncul dengan perutnya yang sedikit membuncit.
Semua orang menoleh, tidak terkecuali sepasang kekasih yang sebentar lagi melaksanakan pernikahan.
"Siapa kau? Beraninya mengacaukan pernikahanku!" tanya sang mempelai wanita dengan lantang.
Wanita yang sedang mengandung itu tertawa sinis, melangkah semakin dekat dengan podium. Tepatnya di sisi Denis.
"Dia sudah menghamili aku, dan berjanji akan bertanggungjawab atas janin di kandunganku. Kau tidak bisa menikah dengannya," ujar wanita tersebut tanpa rasa malu.
Raditya Mahendra mengusap wajah gusar, pernikahan yang dia impikan harus hancur karena wanita itu.
Mempelai wanita membesarkan bola mata, menatap Raditya dengan pandangan kecewa. Lalu ....
Plak!
"Pernikahan ini batal! Aku tidak sudi menikah dengan laki-laki yang suka bermain-main," ucapnya dengan tegas kemudian menuruni podium hendak pergi.
Denis tersenyum mencibir dari balik maskernya.
Pemandangan yang menarik, kita lihat apa yang akan dilakukan sepupu itu.
Raditya mengejar calon istrinya, menarik tangan wanita itu ketika tiba di tempat Denis berdiri.
"Tunggu! Jangan dengarkan dia, aku hanya ingin menikah denganmu bukan dengan yang lain," ucap laki-laki itu memohon.
Namun, gadis tersebut menghempaskan tangannya hingga terlepas.
"Sudah aku katakan, aku tak sudi menikah denganmu."
Wanita itu melirik ke sekeliling, dan menemukan Denis tengah memperhatikan mereka. Ia mendekat, menggenggam tangan pelayan tersebut dengan erat. Denis membelalak.
"Aku Larisa Juanda akan menikah dengannya hari ini, dan kau tidak boleh menolak," ucap wanita tersebut membuat Denis membeku tak percaya.
Raditya tak terima, ia meradang dan menarik kasar tangan Larisa.
"Apa yang kau lakukan? Dia hanya seorang pelayan, tak pantas menjadi suamimu. Jikapun kau tak ingin menikah denganku, setidaknya jangan laki-laki ini," geram Raditya tak terima dibandingkan dengan Denis. Dia merasa harga dirinya terinjak-injak.
Larisa melepaskan tangannya, merapat ke arah Denis.
"Apa pedulimu! Aku tidak akan mempermasalahkan profesinya, dia terlihat jauh lebih baik dari pada kau!" sengit Larisa tanpa menatap Aditya.
Menarik! Ayo, aku ikuti permainanmu. Denis bergumam dalam hati.
"Tidak! Kau tidak boleh menikah dengannya!" Raditya kembali mencengkeram lengan Larisa, tapi Denis tak tinggal diam.
"Apa Anda tidak mendengar, dia ingin menikah denganku. Saat ini, dia adalah calon istriku! Aku tidak mengizinkan siapapun berbuat kasar terhadapnya," tegas Denis seraya menghempaskan lengan Raditya.
Melihat itu, Larisa terenyuh. Awalnya dia hanya mencari pelampiasan, tapi sepertinya akan berlanjut untuk membuat Raditya semakin merasa terhina.
"Kau!"
"Ayo, sebaiknya kita pergi ke kantor pencatatan pernikahan," ajak Larisa yang disambut anggukan kepala oleh Denis.
"Sial! Awas kau, Larisa!" geram Raditya tak sadar bahwa semua pengunjung tengah membicarakan perbuatannya.
Di pintu keluar hotel, Larisa dan Denis berpapasan dengan kakek tua yang ia tolong malam itu. Namun, sepertinya Larisa enggan menjelaskan. Ia terus saja berjalan meski melihat tatapan bingung dari rombongan keluarga mempelai laki-laki itu.
"Cari tahu apa yang terjadi?" titah sang kakek pada putranya.
"Baik, Ayah." Indra Mahendra--ayah Raditya bergegas masuk ke dalam gedung.
"Ikuti mereka!" Tuan Jaya memberi perintah lain pada orang kepercayaannya.
"Baik, Tuan!"
Laki-laki tua itu masuk ingin mengetahui masalah yang terjadi di dalam.
"Ada apa ini?" bentak Indra dengan suara menggelegar. Ia nampak bingung melihat anaknya yang bersanding dengan wanita lain.
"Ayah, aku bisa jelaskan," ucap Raditya gugup.
"Ternyata keluarga Mahendra memang seperti itu. Suka mempermainkan orang lain," ucap salah seorang tamu semakin membuat Indra geram.
"Raditya, jelaskan semuanya! Siapa wanita itu, dan kenapa calon istrimu pergi dengan laki-laki lain?" tuntut Indra membuat Raditya gemetar.
"Apalagi, Paman? Dia tidak punya nyali untuk menjelaskan. Dia ingin menikahi Larisa, sementara menghamili wanita lain. Lihat saja, sepupu telah membuat malu nama keluarga," ujar seorang pemuda dengan setelan jas melekat di tubuhnya.
"Kurang ajar!" Indra menggeram, kemudian menampar Raditya tanpa ragu.
"Pah!"
"Paman, kenapa Anda menamparnya?" Wanita hamil itu dengan berani memprotes.
"Diam kau!"
"Indra! Sudahlah, semuanya sudah terlanjur. Biarkan mereka menikah dulu," sergah Tuan Jaya membuat Indra mengepalkan tangan harus menanggung rasa malu.
Seseorang datang menghampiri tuan Jaya dan membisikkan sesuatu padanya.
"Apa? Bawa aku sekarang juga padanya!" titahnya yang segera diangguki.
Dua sejoli baru saja keluar dari sebuah gedung kantor urusan agama. Mereka melangsungkan pernikahan hari itu juga meski tidak langsung mendapat akta nikah. Tentu dengan biaya yang tidak murah, dan itu semua ditanggung pihak perempuan.
Denis memperhatikan gadis itu, tersenyum sendiri saat membayangkan dia kini tengah menjadi seorang suami.
"Kau jangan sampai menghilang, satu Minggu lagi kita bertemu di sini," ucap gadis tersebut dengan senyum ceria.
Tak ada raut penyesalan di wajahnya, dia terlihat puas dan senang. Denis mengangkat pandangan, melirik gadis manis dengan lesung pipi diwajahnya. Sungguh manis.
"Oh ya. Kau tinggal di mana?" tanya Larisa.
Denis menggeleng pelan, masih mengenakan maskernya setelah beberapa saat ia buka saat melakukan pengambilan gambar tadi.
"Kau tidak punya tempat tinggal?" tanya Larisa lagi sedikit terkejut.
Denis mengernyit, tentu saja punya. Dia seorang CEO dari sebuah perusahaan besar di kota itu. Sekedar tempat tinggal? Tentu dia memilikinya, tapi Denis memilih menganggukkan kepala. Menutupi identitas dirinya.
Menarik, aku akan mengikuti permainan wanita ini. Sejauh mana dia akan melakukan permainan ini.
Denis bergumam sembari menelisik wajah gadis itu. Dilihat dari ekspresinya, dia sebenarnya gadis yang periang dan ceria meski beban hidup berat ia pikul.
"Ah, tidak apa-apa. Kau jangan bersedih. Aku punya tempat tinggal sendiri meski tidak besar. Hari ini aku akan merapikan rumahku dulu, Minggu depan aku akan menjemputmu. Apa kau bersedia?" ucap Larisa tak berharap penuh Denis akan menyetujui idenya.
Kerutan di dahi laki-laki itu semakin bertambah, menelisik sorot mata bening milik Larisa, menyelami keadaan hatinya. Mata itu benar-benar memancarkan ketulusan, sekali bertemu saja Denis tahu dia adalah wanita yang baik.
Denis menganggukkan kepala lagi meski ragu, tapi ia cukup tertarik untuk melihat lebih jauh seperti apa kehidupan gadis yang baru beberapa saat menjadi istrinya itu.
Dilihat dari penampilan, sepertinya dia tidak memiliki cukup uang. Kasihan sekali jika seorang laki-laki tidak memegang uang. Hati Larisa bergumam.
"Mmm ... siapa namamu tadi? Aku lupa," tanya Larisa tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang rapi dan bersih.
"Denis," jawab Denis pelan.
Larisa mengangguk, seraya mendekat sembari menatap lekat mata elang milik Denis. Setidaknya dia ingin melihat lagi wajah suaminya itu.
"Boleh aku melihat wajahmu lagi? Agar aku tidak salah mengenalimu," pinta Larisa memasang senyum andalan, senyum manis yang menampakkan lesung di pipinya.
"Wajahku jelek juga menjijikkan. Semua orang tidak suka melihat wajahku ini," jawab Denis menguji Larisa.
"Menjijikkan?" Kedua alis berbentuk bulan sabit milik Larisa saling bertaut satu sama lain. "Siapa yang mengatakan itu?" Dia bertanya bingung, Denis pemuda yang tampan meski tertutup masker sekalipun.
"Apa benar kau ingin melihat wajahku? Apa kau tidak akan merasa takut?" tanya Denis memastikan.
Larisa melipat kedua tangan di perut, mendongak ke atas menatap kedua manik laki-laki itu. Ia tersenyum, kemudian menggeleng kuat.
"Untuk apa? Kau suamiku, kenapa aku harus takut?" katanya begitu menantang.
Denis tersenyum dari dalam maskernya. Wanita itu berbeda dengan kebanyakan wanita yang dia jumpai. Tanpa tahu status Denis, tanpa melihat seperti apa rupa Denis, dia melamarnya dengan yakin. Bahkan, sekarang telah menjadi istrinya.
"Baiklah, jika kau memaksa. Kuharap kau tidak lari dariku," ucap Denis yang kemudian membuka penutup wajah itu agar sang istri dapat melihat dengan jelas.
Bekas luka yang cukup panjang di bagian pipi sebelah kanan, menjadi hal yang pertama dilihat Larisa. Gadis itu tertegun, senyum di bibirnya hilang. Perlahan, bola matanya berputar kembali pada kedua manik Denis.
Di saat itu, orang-orang suruhan tuan Jaya menyaksikan dengan jelas pemuda dengan luka di wajahnya. Ia adalah sosok yang dicari tuan mereka, seorang pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya.
"Dia pemuda yang malam itu menyelamatkan tuan. Sebaiknya kita beritahu tuan," ucap salah satu dari mereka seraya berbalik dan pergi dari tempat persembunyian untuk melaporkan apa yang mereka lihat.
Sementara Denis tak dapat berlama-lama menampakkan wajahnya. Tidak terbiasa apalagi di kota yang baru ia singgahi itu.
"Kurasa cukup, kau sudah melihatnya. Sekarang, terserah padamu. Apakah masih akan menerimaku sebagai suami, atau kau akan menceraikan aku," ujar Denis yang hendak menutupi wajahnya kembali.
"Tunggu!" Larisa mencegah tangan Denis yang hendak memasang masker. Ia meraba wajah itu, menyentuh bekas luka di sana.
"Apa ini sakit?" Larisa menatap kedua manik Denis, bertanya dengan sorot mata yang sendu.
"Tidak lagi," jawab Denis.
Gadis itu kembali menatap bekas luka Denis, meraba untuk kedua kalinya.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan bekas luka sebesar ini?" tanya Larisa sembari memperhatikan goresan itu.
"Sudahlah. Kau tidak perlu tahu. Apa kau merasa jijik seperti orang-orang?" Denis menepis tangan Larisa, kemudian mengenakan maskernya lagi.
"Hei!" Larisa kembali melipat kedua tangan di perut, bibirnya mengerucut. Terlihat menggemaskan. Tak terima dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Denis.
"Siapa yang merasa jijik? Meskipun begitu aku akan tetap menerimamu sebagai suamiku. Kau jangan pernah berpikir begitu," ucapnya dengan lantang.
Begitu? Baiklah, aku ingin melihat kegigihannya.
"Benarkah?" tanya Denis.
Larisa mengangguk pasti tanpa ragu sedikit pun.
"Tapi aku hanya laki-laki miskin, tidak punya rumah, tidak punya mobil, tidak punya uang, juga tidak punya pekerjaan. Apa kau masih mengakui aku sebagai suami? Apa kau tidak akan merasa malu pada teman-temanmu nanti?" cecar Denis dengan nada meremehkan.
Larisa menghentak kedua tangannya, menatap nyalang pada Denis. Dia tidak suka diremehkan.
"Aku tidak peduli. Sudahlah, jangan bicara. Berikan nomor teleponmu, Minggu depan aku akan menghubungimu saat kita akan bertemu di sini," ucap Larisa sembari mengeluarkan ponsel keluaran terbarunya.
Denis tersenyum, semakin tertantang untuk hidup bersamanya. Ia mengeluarkan ponsel miliknya, beruntung sudah meminta Haris untuk membelikannya yang biasa saja. Mereka bertukar kontak, kemudian berpisah untuk hari itu.
"Baiklah. Kau tunggu aku menghubungi. Ingat, jangan melarikan diri. Kita sudah menikah," ucap Larisa seraya memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya.
Ia berbalik hendak pergi, tapi kemudian urung dan menghentikan langkahnya. Tubuh yang semula hendak pergi, kembali mendekat pada Denis yang masih berdiri di tempatnya. Larisa mengeluarkan sebuah kartu, dan memberikannya kepada Denis.
"Ini tabunganku meskipun isinya tidak banyak, tapi sebagai laki-laki kau harus mempunyai pegangan uang. Gunakan saja uang di kartu ini, jangan sungkan. Aku pergi dulu," ucap Larisa sembari menggenggamkan kartu tersebut dalam tangan Denis.
Laki-laki itu tercenung, tak berpikir Larisa akan berbuat sebegitu jauh terhadap dirinya. Ia menatap bingung kartu di tangan, kemudian beralih pada punggung gadis yang berjalan menjauh darinya. Denis tersenyum lebar, menggelengkan kepala pelan.
"Denis Agata Mahendra, seorang CEO perusahaan terbesar dinafkahi seorang gadis. Astaga!" Dia tertawa, merasa konyol sendiri. Takdir apa yang sedang menimpanya kini.
"Tuan Muda! Tuan Besar ingin bertemu!"
Denis tersentak ketika suara seseorang menggema di telinganya. Ia berbalik, dan mendapati sekolompok orang berseragam berbaris di belakangnya. Mereka menunggu kedatangan seseorang, tapi siapa? Denis sama sekali tidak mengenali mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!