Pagi ini Shahira begitu sibuk di dapur membuat adonan bolu dan donat pesanan pelanggannya. Dapur bahkan sudah seperti kapal pecah saja, piring kotor berserakan dimana mana.
"Kak, pesanan donatnya tambah dua puluh porsi lagi!" seru Aluna dari ruang tengah.
Aluna bertugas memeriksa pesanan pelanggan di akun facebook kakaknya itu. Karena disanalah Ira menjual kue kue buatannya secara online. Tentu saja pelanggannya juga terbatas hanya sebatas daerah daerah terdekat saja.
Shahira bekerja sendiri, dia tidak punya karyawan atau pun toko kue untuk memajang kue jualannya. Benar benar hanya bermodalkan akun facebooknya saja. Tapi, meski begitu omset yang dia dapatkan tidak main main. Bahkan sampai bisa meluluskan Aluna menjadi seorang dokter umum.
"Aku bisa bantu goreng donat deh kak." Aluna mengajukan diri untuk membantu kakaknya yang kerepotan itu.
"Boleh. Tapi nanti tangan adek pegal, kan siang adek ada operasi."
"Iya juga sih. Mana ini operasi pertama aku lagi."
"Ya udah makanya adek duduk diam aja, cek terus facebook kakak. Mana tau ada orderan yang masuk lagi."
"Ya udah deh, aku di depan sambil nonton ya kak."
"Hmm."
Aluna pun kembali ke ruang depan, duduk santai di depan tv sambil menonton berita acara hari ini.
Sedangkan Shahira, masih berjuang dengan segala kerepotannya. Padahal gak ada salahnya Aluna membantunya menggoreng donat. Tapi ya begitulah Shahira, dia paling tidak suka merepotkan adik kesayangannya itu.
"Loh dek, kok gak bantuin kakak?!" Seru ibu yang baru kembali dari warung membelikan beberapa perlengkapan untuk Ira membuat kue.
"Adek ada operasi nanti siang, buk. Biar aja adek istirahat!" Seru Ira dari dapur.
Mendengar itu, Marni pun meninggalkan Aluna sendirian.
"Jangan terlalu memanjakan Aluna, Ra. Kamu selalu kerepotan seperti ini sejak lama. Biarkan dia membantu kamu karena dia sudah di posisi yang aman saat ini." celoteh Marni pada putri sulungnya yang selalu bekerja keras demi kehidupan mereka.
"Aku gak repot kok, buk. Lagian nanti operasi pertama adek sebagai dokter. Kalau sampai ada kesalahan bisa fatal, buk."
Marni hanya bisa tersenyum saja menanggapi ocehan Ira. Dia sebenarnya kasihan pada Ira yang selalu mengorbankan kebahagiaannya demi keluarga kecil mereka ini.
"Coba saja ibu sehat, biar ibu saja yang kerja dan kamu bisa kuliah bisnis seperti cita citamu dulu, nak." ucap Marni merasa bersalah karena keadaan fisiknya yang sakit sakitan.
"Ibu ngomong apa sih. Aku melakukan semua ini karena memang ini hobiku, buk. Aku suka membuat kue dan aku bahagia karena kue kue ini disukai pelanggan. Ini bisnis buk. Aku gak perlu mengeluarkan banyak uang untuk mempelajari bisnis. Hanya butuh keterampilan dan tekad."
Ira mengatakan itu dengan raut wajah bahagia. Dia bahagia dengan bisnis kuenya ini. Meski memang, kadang ada perasaan jenuh dan lelah, tapi Ira tetap bangkit lagi, demi Aluna dan Ibu.
Tapi sekarang, Aluna sudah menjadi dokter.
Harusnya Shahira berhenti dan bisa memikirkan untuk mencari pasangan hidup. Itulah yang diinginkan Marni untuk putri sulungnya yang terus terusan menjadi bahan gunjingan tetangga yang menjulukinya perawan tua.
"Apa kamu tidak ingin menikah, nak?"
Pertanyaan ibu barusan membuat konsentrasi Ira buyar. Kue bolu yang sedang dihiasnya pun menjadi berantakan.
"Ibu ingin kamu menikah dan memiliki keluargamu sendiri, nak. Sudah cukup kamu menanggung kehidupan ibu dan Aluna."
Shahira tidak menjawab, dia merapikan lagi kue nya dan kembali menghias.
Dia mau menikah. Dia punya keinginan untuk menikah. Tapi sejauh ini belum ada pria yang mau menikahinya. Setiap pria yang dijodohkan dengannya berakhir ingin melamar Aluna.
Lalu, dengan siapa dia akan menikah? Belum. Saat ini jodoh untuknya masih belum datang menjemputnya, membawanya keluar dari rumah yang telah merenggut kebahagiaan dan masa mudanya.
Marni berjalan terburu buru masuk ke rumahnya. Dia tampak sangat bahagia.
"Nak, Ira..." dia memanggil Sahira setengah berteriak.
"Shahira!!"
Sementara yang dipanggil baru saja menyelesaikan bacaan Qur'annya.
"Ira, nak..."
"Iya, buk!" Seru Sahira yang langsung bergegas keluar dari kamarnya untuk menghampiri ibunya.
"Ibu kenapa, ada apa?" tanya Shahira heran melihat ibunya yang ngos ngosan seperti baru habis lari larian.
"Itu loh, nak. Ibu tadi ke warung, terus ibu..." ucapnya terbata bata.
"Buk, duduk dulu. Tarik napas, buang perlahan."
Ira membawa ibunya duduk di sofa ruang tamu. Dia juga mencoba membuat ibunya tenang dulu, baru lanjut bicara lagi.
"Udah tenang sekarang?"
"Udah, ibu gak apa apa. Ibu cuma kelewat senang aja, nak."
"Senang kenapa, buk..."
"Tadi ibu ketemu sama jeng Asni di warung. Kamu ingat Randi anaknya kan?"
"Ingat, buk."
"Nah tadi jeng Asni bilang, Randi mau melamar kamu, nak."
"Hah?! Melamar aku?"
"Iya. Kata jeng Asni, Randi sendiri yang bilang mau melamar Shahira."
"Loh gak mau ah buk. Randi kan sudah punya istri. Masak iya aku mau dijadikan istri kedua..."
"Tadinya ibu juga mikir gitu, nak. Tapi kata jeng Asni, Randi sudah cerai sama istrinya hampir setahun."
Marni sangat antusias, dia berharap Ira mau menerima Randi meski memang Randi sudah duda.
"Gak apa apa duda, nak. Yang jelas Randi itu baik. Dia juga bertanggung jawab. Lagian katanya dia cerai sama istrinya itu karena si istrinya itu selingkuh."
"Ibu dapat cerita dari mana. Nanti jatuhnya fitnah buk."
"Jeng Asni sendiri yang bilang. Gak mungkin lah dia buat buat cerita bohong tentang mantan menantu kesayangannya itu."
Shahira diam lagi, dia mencoba mengingat seperti apa rupa Randi itu. Terakhir dia melihat Randi, ya lima tahun lalu saat hadir di pernikahannya.
Setahu Shahira, dulu Randi memang pria yang baik dan bertanggung jawab. Tapi, setelah Randi menikah dan pindah ke kota, Ira mah gak tau lagi seperti apa sikap Randi kok sampai bisa bercerai dan istrinya selingkuh. Padahal, seingatnya istri Randi itu wanita sholehah yang jilbabnya bahkan panjang sampai lutut. Rasanya tidak mungkin dia selingkuh.
"Ra, kamu mau kan menerima lamaran Randi?" tanya ibu lagi.
"Memangnya kapan dia mau melamar, buk?"
"Besok malam."
"Secepat itu?"
"Lebih cepat lebih baik, nak. Supaya tetangga tau, kamu akhirnya nikah juga."
"Tapi menikah itu bukan untuk dipamerkan sama tetangga buk. Bagaimana kalau ternyata Randi hanya main main dan tidak serius mau menikahi aku?"
"Jangan berburuk sangka dulu, Ra. Kali ini ibu yakin Randi lelaki yang tepat nak. Buktinya dia sendiri yang mau melamar kamu, bukan karena dipaksa jeng Asni."
"Ya sudah, kalau menurut ibu Randi lelaki yang tepat, Ira setuju."
"Alhamdulillah. Semoga kali ini, anak ibu benar benar menikah."
Marni memeluk Ira. Dia sangat bahagia. Sedangkan Ira, malah khawatir kejadian sebelumnya terulang lagi. Bagaimana kalau pada akhirnya Randi beralih melamar Aluna seperti laki laki sebelum sebelumnya.
~
~
~
Pagi ini Ira bisa santai santai, karena dia memilih untuk tidak menerima orderan kue. Bukan karena apa apa, hanya karena ingin istirahat saja.
"Asyik yang nanti malam lamaran." goda Aluna menghampiri Ira di teras.
"Ih apaan sih dek."
"Cie cie malu malu."
"Siapa juga yang malu, weeekkk."
Aluna duduk di samping kakaknya, dia merebahkan kepalanya di pundak sang kakak.
"Aku bahagia kak. Semoga mas Randi benar benar jodoh kakak."
"Entahlah dek. Kakak gak begitu yakin."
"Tenang aja. Ntar malam aku ada operasi. Jadi pas acara lamaran aku tidak akan di rumah. Supaya mas Randinya kakak gak berpaling seperti bajingan bajingan terdahulu." celetuknya yang membuat Ira lumayan tersinggung.
"Bagaimana kalau berakhir sama? Apa adek mau menerima lamaran Randi?"
"Idih gak lah. Enak aja. Aku punya tipe idaman sendiri ya."
"Hmm, dan anehnya semua yang ingin melamar kakak, malah berpaling sama adek."
"Kakak, jangan sedih gitu. Aku minta maaf ya." Aluna memeluk Ira erat.
"Kenapa adek yang harus minta maaf. Toh bukan salah adek juga. Mereka punya mata yang bagus. Adek kan memang jauh lebih menarik dari kakak."
"Tuh kan mulai lagi. Kakak ah apaan coba." Aluna cemberut.
Dia selalu tidak suka saat kakaknya mulai membanding bandingkan fisik.
"Bagiku kakak adalah wanita tercantik dan terbaik yang pernah ada dihidupku setelah ibu. Mereka itu buta kak. Mereka gak bisa melihat betapa cantinya kakak aku ini."
"Ya, kakak berharap mereka semua buta."
Ira mencubit manja kedua belah pipi Aluna. Lalu mereka tertawa bersama.
Sekilas kakak adik itu saling menyayangi satu sama lain. Terlihat dari Shahira yang rela berhenti sekolah demi membiayai sekolah Aluna sampai Aluna menjadi dokter.
Lalu Aluna sendiri, memilih tidak pernah menjalin hubungan percintaan dengan laki laki demi menghormati kakaknya yang tidak pernah punya waktu untuk hal hal seperti itu. Aluna juga berjanji tidak akan menikah duluan sebelum Shahira menikah lebih dulu.
Mereka berdua saling berkorban demi kebahagian satu dan yang lain. Lalu, apakah pengorbanan mereka akan berbuah kebahagiaan dimasa depan?
"Dek, kalau seandainya kakak benar benar akan menikah dengan Randi, itu berarti adek juga harus segera menemukan cinta adek." ucap Ira kemudian.
"Tentu dong kakakku yang paling cantik. Aku tidak akan menunggu waktu yang lama untuk segera menyusul kakak."
"Kakak berharap, semoga Randi benaran jodoh kakak."
"Aamiin. Tapi, apa kakak yakin bisa mencintai Randi?"
"Entahlah. Kakak akan mencoba setelah kami menikah."
"Ya, kadang cinta bisa hadir setelah menikah."
"Akh, rasanya masih seperti mimpi. Ini baru lamaran. Tapi, rasanya kakak seperti akan segera menikah. Apa itu artinya kakak sudah tidak sabar untuk segera menikah ya dek?"
"Hmm bisa jadi."
Shahira tersenyum miris, sedangkan Aluna tersenyum lepas. Dia bahagia mewakili kebahagiaan kakaknya yang akan segera dilamar nanti malam.
Malam ini, Shahira tampil anggun dan dengan sedikit polesan makeup. Tentu saja Aluna yang melakukannya sebelum dia berangkat ke rumah sakit.
"Harusnya adek menemani aku malam ini, buk." ujar Shahira yang mulai merasa gugup.
"Ada atau gak ada adek, malam ini akan tetap menjadi malam bersejarah dan malam membahagiakan untuk kita semua terutama kamu, nak."
Shahira pun tersenyum berat. Dia tahu, dia harus optimis malam ini lamarannya akan berjalan lancar. Tapi, bayangan kejadian kejadian di masa lalu terus melintas dipikirannya.
"Nak, semuanya akan berjalan dengan lancar malam ini. Kamu jangan takut ya."
"Iya buk."
"Ya sudah, ayok kita ke depan. Semua orang sudah menunggu."
Shahira pun melangkah di rangkul ibunya keluar dari kamar yang langsung menuju ruang tengah, dimana sudah dipenuhi oleh orang orang yang hadir untuk menyaksikan acara lamaran malam ini.
"Shahira cantik banget!" bisik bebera tetangga begitu melihat tampilan wajah Shahira dengan polesan makeup.
Kemudian, Shahira pun duduk diantara ibunya dan Asni calon mertuanya itu. Sedangkan Randi duduk di antara pak Rt dan ayahnya.
"Karena nak Shahira dan nak Randi sudah ada di sini, ada baiknya acara langsung saja kita mulai." ucap pak Rt.
Lalu acara pun mulai dengan kata sambutan dari pak Rt, dilanjut sepatah dua patah kata dari perwakilan keluarga Randi, berlanjut dari keluarga Shahira.
"Tujuan dan maksud berkumpulnya kita di kediaman ibu Marni sudah jelas. Jadi, sekarang saya ingin mendengar langsung dari mulut nak Randi."
"Nak Randi, silahkan sampaikan apa yang ingin diutarakan kepada bu Marni, atau bahkan mungkin kepada dek Shahira." lanjut pak Rt memberi Randi kesempatan untuk bicara.
Randi tampak ragu, tapi kemudian dia mulai bicara dengan mengawali permintaan maaf pada semua orang yang hadir. Lalu dia juga meminta maaf pada Marni dan Shahira.
Ucapan Randi barusan membuat Shahira berpikir bahwa kali ini pun Randi akan membatalkan lamarannya. Marni pun merasa demikian, sehingga dia menggenggam erat tangan Ira untuk menguatkan putri sulungnya itu.
"Sungguh saya minta maaf. Terutama pada Shahira dan bu Marni. Tadinya saya serius ingin melamar Shahira. Tapi, ternyata saya salah paham pada diri saya sendiri..."
"Randi, kamu jangan main main." bisik ayahnya dan juga Asni ibunya.
"Maafkan saya. Sepertinya saya menyukai Aluna. Saya datang untuk melamar Aluna, bukan Shahira." Ucap Randi tegas, namun dengan suara yang terdengar gemetar.
Shahira sudah menyangka akan kembali terulang seperti ini. Namun, jika sebelum sebelumnya Shahira akan tampak bersedih, tidak dengan saat ini. Dia malah tersenyum lepas.
Semua tamu pun tampak iba melihat senyuman lepas Shahira. Justru dia terlihat seperti wanita yang sangat putus asa. Atau mungkin Shahira mengalami gangguan mental setelah berkali kali lamaran dibatalkan.
"Terimakasih atas kedatangan keluarga besar mas Randi. Dan maaf untuk warga yang harus terus terusan hadir di acara lamaran saya yang selalu berakhir gagal..." ucap Shahira.
"Jadi, karena saya kakaknya Aluna. Saya rasa Aluna akan menolak lamaran kamu Randi. Jadi, mohon untuk kalian semua keluar dari rumah ini. Ah iya, jangan pernah datang lagi bahkan jika ada acara lamaran untuk saya dikemudian hari, karena itu akan memiliki akhir yang sama."
"Mohon maaf merepotkan kalian semua..."
Shahira berdiri meski hampir jatuh. Air matanya ikut tumpah. Dia sedih dan sakit saat ini. Bukan karena ditolak untuk kesekian kalinya, tapi karena dia malu, semua orang terus terlibat dalam lamaran yang berakhir gagal ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!