Mengingat momen dua tahun ke belakang ada begitu banyak tragedi kelam. Sepatutnya harus dilupakan. Mau gimana lagi, mereka putuskan tetap mengenang demi bertahan hidup.
Hanya dengan kematian teman-temannya, mereka lebih waspada dan dewasa. Perbedaan lebih terasa ketika Jefri, Mira, Awan, Dewi, Surya, Irlan, dan Zafran berkumpul. Beberapa tetap sama.
Mereka jarang mengadakan pertemuan karena jadwal kuliah dan studi di tempat berbeda.
Kabar baiknya, Zafran kuliah di Korea Selatan. Irlan dan Jefri masuk jurusan manajemen, sedangkan Mira jurusan akuntansi di universitas yang sama. Dewi sekarang bekerja di butik ibunya. Kalau Surya ... Hm, dia salah jalur, masuk jurusan psikologi.
Ratih dan Hana balik ke Bogor. Yang mengisi rumah kakek sekarang Mira, Jefri, dan Awan.
Sebagai kakak, tugas mereka menjaga Awan. Kasihan Awan tidak bisa berantem lagi di sekolah. Dia kena SP 1 dapat wali kelas Pak Adit, gara-gara dua biji sapu patah buat adu jurus sama hantu di kelas.
Dulu masih junior belum parah. Semenjak jadi senior kelakuannya di luar nalar. Hari ini Awan mau protes ke Pak Adit minta pindah kelas.
"Ini kelas bekas Mira sama Zafran, Pak. Saya gak bisa lama-lama di sini. Saya mau mengajukan pindah kelas!"
Pak Adit menggebrak meja pakai map di tangannya. "Alih-alih pindah kelas ... Gak sekalian pindah sekolah? Kamu yang buat masalah, kamu yang minta pindah."
"Pak, please. Saya gak mau di kelas bapak ..." Awan merengek ngosek-ngosek kakinya.
Pak Adit melempar senyum ke guru-guru yang memandang geli mereka. Malu sekali pasti menghadapi bocah tak tahu diri.
"Cuma saya yang mau terima kamu. Jadi kamu terima aja..." Pria itu mengangguk pasrah. Semoga Awan paham.
"Gak ada yang mau terima saya? Saya pinter lho, Pak, Bu!" Awan meyakinkan semua guru di kantor.
"Sikap lebih diutamakan daripada nilai.
Omong-omong, kamu udah ganti sapu kelas?"
"Hah?"
Pak Adit menunjuk Awan hendak memarahi lagi.
"Permisi."
Awan menoleh, sett! Ketua kelas paling cantik datang.
"Mbak Putri!" Awan menyukai perempuan cantik. Dia memandang fisik. Memang kurang ajar.
Putri masuk menemui Pak Adit untuk melaporkan bahwa, "Saya gak tau apa yang dia lakuin. Sapu kelas patah lagi."
Putri menunjukkan foto sapu yang patah pada Pak Adit. Guru yang dikenal baik hati berubah jadi singa sejak Awan masuk kelasnya.
"Kamu lagi?"
Awan siap-siap berdiri. "Perut saya mendadak kelilit, Pak. Izin ke toilet bentar."
"Apa sekolah bakal bangkrut buat beli sapu?" Pak Adit tanya Putri.
Putri melirik sinis Awan. Awan duduk lagi. Baginya Putri lebih menakutkan dari sepupu-sepupunya.
"Hukum aja sapu semua kelas di lantai dua," kata Putri.
"Gila lo." Awan bisa encok nyapu dari ujung ke ujung.
Pak Adit merasa ide Putri cemerlang. "lya ya. Kok saya gak kepikiran."
"Yah, Pak. Jangan nyapu, emang saya babu sekolah?" Awan kesal Putri tidak membelanya sebagai teman sekelas. "Put, lo gak inget apa yang udah kita lakuin senin kemarin?"
Pak Adit dan Putri saling pandang ambigu.
"Gue nolongin lo lom- Aduh!" Kakinya keburu diinjak Putri.
Bisa-bisanya Putri menginjak kaki orang dengan wajahnya tanpa ekspresi.
Putri kembali bertanya, "Nanti saya yang awasin Awan. Hukuman tadi... Bapak setuju atau gak?"
"Setuju." Pak Adit mah senang ada yang bersih-bersih kelas.
Awan komat-kamit. Inikah alasan Mira malas menolong orang? Jenis manusia seperti Putri masih ada. Sudah ditolong, tidak berterima kasih, dibalas air tuba.
***
Dunia perkuliahan tak jauh berbeda menurut pandangan Mira. Perbedaannya terletak pada kenangan masa SMA. Mira masih terjebak di sana.
Melanjutkan pendidikan dengan mata batin yang masih terbuka kini lebih terbiasa. la banyak kemajuan, contohnya bisa membedakan manusia dan hantu.
Rona berseri-seri di wajahnya telah redup. Riwayat pesan dari seorang yang pergi masih tersimpan dan dibaca tiap alami kesulitan.
Mira suka kesendirian yang sekarang. Lebih damai dan dapat pemikiran positif. Bukan berarti kesepian.
Setelah Mirza tiada, hubungannya dengan Jefri tidak sedekat dahulu. Mereka satu rumah namun mengurus urusan sendiri.
Irlan datang langsung duduk di sebelah Mira. "Ngapain?"
Mira nengok sebentar. "Oh, gue kira siapa. Gak ngapa-ngapain, Lan. Duduk aja liatin orang di lapangan."
Irlan mengeluarkan jus buah kemasan dari tasnya. "Jangan banyak pikiran. Lo harus selalu sehat."
"Buat gue?"
"Hm."
Mira menerima tanpa meminum langsung.
"Thanks."
Irlan ikut memandang ke arah yang sama.
Sebelum atau sesudah kelas Irlan selalu menyempatkan waktu menemui Mira. Tidak bertanya pada Jefri apalagi Surya. Setelah menemukan keberadaan Mira hatinya tenang.
"Sehat terus jangan sampai sakit. Lo belum tau di depan sana ada kebahagiaan apa. Gue harap lo bisa ketawa bareng kita lagi."
Irlan bergegas bangun. Lima belas menit lagi ada materi. Irlan sempat melihat ke belakang sebelum betul-betul pergi.
*
Sepuluh menit lalu Irlan dan Jefri papasan di kantin. Mereka saling sapa dan bertanya mau ke mana.
"Gue mau ke kelas. Lo udah selesai?" ucap Irlan.
"Langsung balik. Irlan, gue mau minta tolong." Jefri memegang minuman di tangan kanan. "Bisa kasih ke Mira di lapangan? Lo yang paling sering ketemu."
Irlan tidak mengerti dia jadi perantara sedangkan bisa kasih langsung.
"Kalian satu rumah," ucap Irlan tetap bersedia bantu Jefri. "Entar gue kasih. Lo berdua masih canggung?"
"Gak banyak berubah. Thanks, Lan." Jefri menepuk lengan Irlan setelah itu pergi pulang.
*
Bukan Irlan saja yang berharap mereka kembali seperti dulu. Semua pun sama. Apakah mungkin?
Awan gusrak-gusruk nyapu kelas ketiga. "Cewek cakep emang rada-rada." Tidak ada hukuman yang lebih keren kah? Masih ada empat kelas lagi. Ahh, lebih capek dari perang.
Putri memutar bola mata malas menunggu lama. Dia ambil sapu lagi di belakang kelas bantu Awan.
"Jangan banyak ngeluh. Gue juga mau pulang." Dia di sana sebagai saksi. Lebih capek liat cowok nyapu gak kelar-kelar.
Senyum tipis terbit sembunyi. "Gue bakal lebih cepet."
Putri mau pentung Awan pakai sapu. "Lo gak pernah nyapu, hah? Dari ujung sana, ke depan diserok pakai pengki."
"Hah?" Otaknya nge-lag.
"Lo jaga di luar kelas. Jangan kabur!"
"Okay, siap!"
Awan menggantung sapu dan mengambil pengki berdiri di pintu. Putri sempat memerhatikan pria aneh itu.
"Hidup gue gak pernah tenang." Dia bergumam pasrah.
"Mbak Putri!"
"Apa?"
"Semangat!"
Terbukti Putri menyapu tidak sampai lima menit selesai. Kelas kinclong karena tangannya.
Putri tambah yakin Awan aneh. Tidak ada hal spesial dia tepuk tangan sendiri.
"Mira gak pernah nyapu secepat ini. Lo keren banget, Put!"
Alis gadis itu naik sebelah keheranan. "Gak bener isi otaknya."
Awan buang sampah di tempatnya kemudian masuk lagi mengembalikan sapu dan pengki.
Lanjut ke kelas berikutnya hingga 12G.
Pas Awan buka pintu angin lembut menyapu wajahnya.
"Kenapa kaget gitu?" tanya Putri.
"Kelilipan!" Langsung dia pura-pura kucek mata. "Tiupin mata gue dong!" Sambil modus.
Putri acuh tak acuh melewati Awan, masuk ambil sapu. "Gue mau cepet pulang. Mohon kerja samanya, bukan modus pasaran."
"Gak mempan lagi."
"Ambil sapunya buruan!"
"Iya!"
Selesai menjalankan hukuman, Awan mengajak Putri ke kantin buat minum es sebentar. Putri bilang dia tunggu di depan gerbang saja.
"Pak Adit, beruntung gue dihukum. Dibantuin, berduaan, pulang bareng Putri lagi. Mantap."
Di tangan Awan ada es jeruk dan es teh. la berjalan gembira melihat Putri berdiri memperlihatkan rambut panjang terurai.
Putri hendak mengirim pesan ke Awan, tapi baru ingat tidak punya nomornya. Mata Putri berkedip ada kaki yang berdiri tepat di hadapannya.
"Ngapain dia berdiri di sana?" Awan benci melihat hantu bermuka hancur. "Put-" Baru mau dipanggil, Awan mana tahu mereka tampak bertatapan serius. "Anjir gue merinding."
"Ngapain?" Putri bertanya datar pada sosok pria yang kerap muncul di sekitarnya.
Tuh kan betul dugaan Awan. Putri bisa lihat hantu dari aura yang terpancar meski disangkal berkali-kali.
"Putri." Jantung Awan berdegup kencang. Dia mau menjatuhkan es karena tangannya gemetar.
Putri santai menoleh untuk konfirmasi. "Hm. Gue bisa liat."
Sangat mengejutkan. Banyak orang yang punya warna aura sama tetapi belum tentu bisa lihat, hanya peka. Awan pikir saat Putri membantah bisa lihat hantu, dia betulan anak biasa.
***
Kebetulan Mira mengarah pulang di halte. Dia melihat Surya lagi bicara pakai earphone dan berhenti di sebelahnya.
Surya nengok kanan kiri, eh ketemu Mira. "Woi, udah pulang lo?" Tanpa embel-embel di mana Jefri, bisa gawat keceplosan dikit.
"Baru aja."
"Lo liat gue tadi? Berisik ya?" Surya masih cerewet. Sekarang lebih tidak kondusif. "Kok gak nyapa gue? Kebetulan gue mau ke butik, kita barengan naik busway."
Mau nolak telat, busway telah datang. Surya menyuruh Mira naik dahulu, setelah itu dia.
Mereka duduk di kursi dua.
"Ck, gue pikir bakal pulang sendirian lagi. Untung ada lo." Surya bosan bolak-balik di tempat yang sama padahal baru setahun kuliah.
"Udah lama gak kumpul. Weekend sibuk gak?"
Kaget ditanya, spontan Mira menggeleng.
"Biar gue yang atur jadwal. Gue sama Dewi selalu senggang. Jefri, Irlan, Awan serahin ke gue. Mau makan gak?" tanya Surya mendadak lapar.
Mira amati Surya mengeluarkan dua dosis dan susu kotak. Tanpa sadar tersenyum mengingat dulu Surya sering begini. Ada saja makanan dalam tas tak tahu kapan belinya.
Surya menunjuk botol di tangan Mira. "Itu jus kesukaan Jefri. Dibeliin?" Mulutnya berhenti mengunyah sebentar.
Mira menatap minumannya. Sama sekali tidak tahu apa yang Jefri suka dan tidak suka sekarang. Semua telah berubah, tidak banyak namun mereka tutup mata dan telinga.
"Dikasih Irlan," jawab Mira.
"Oh, Irlan." Setahunya Irlan lebih suka air putih, makanya hati dia ikut transparan.
Bagaimana Surya jelaskan Irlan dalam dua suku kata? Dia pria berhati murni dan bersih. Saat SMA memang masih labil, seiring waktu dia tambah menakjubkan.
"Lo masih galau, Mir?"
Mira melirik biasa. "Galau kenapa?"
"Zafran balik akhir tahun, tenang aja."
"Gak ada yang tanya Zafran."
"Kasian banget, kan? Gue penasaran kabarnya gimana. Di chat sekarang balesnya dua hari kemudian. Bocah kurang ajar."
"Kelas lo lancar, Sur? Belajar apa hari ini?" Mira ingin tahu sedikit.
"Harus lancar dong. Gue belajar sekalian nyembuhin diri sendiri."
Surya minta izin tidur di bahu Mira sebentar.
Mira bergeming di tempat, kalimat barusan sangat dalam menusuk hatinya.
Bukan dia saja, semua orang belum sembuh dari masa lalu. Mereka hanya menggunakan oksigen untuk bernapas, bertahan hidup sampai umur berhenti sambil terus terkurung.
**
Dewi kaget Surya datang bersama Mira.
Tangan Surya merentang siap terima pelukan kangen, pacarnya malah menyambut Mira doang.
"Miraaa! Kangennn!"
Mira tersentak dipeluk. "Gue juga."
Dewi memegang lengannya. "Sekian purnama baru denger lo kangenin gue. Apa pun itu gue seneng lo ke sini. Duduk, duduk. Mau minum apa?"
Mira diarahkan duduk di kursi. "Masih ada minum." Ditunjukkan minumannya di tangan.
"Gue gak ditanya?" Surya merasa jadi angin.
"Lo udah sering ke sini. Ambil minum sendiri di kulkas."
"Lo berdua kalau ketemuan gak inget gue," kata Surya menyibak gorden pembatas butik dan bagian belakang tempat Dewi istirahat.
"Sepi, Dew?"
Ciri khas Dewi itu rempong. Dia gak bisa duduk diam. Harus bicara atau main handphone. Selagi ada Mira dialah objek obrolannya.
"Bukan sepi. Butik gue ini khusus pelanggan yang udah janjian. Ntar malem jam delapan ada, sekarang santai. Mira, gue seneng banget lo ke sini."
"Lo udah bilang tadi," ingat Mira.
Dewi memukul punggung tangan Mira karena gemas. "Kalau gak diajak Surya mana mau lo ke sini. Lo gak kangen gue?"
"Butik lo lebih jauh dari rumah gue. Gue juga males mampir. Sorry."
"No, no." Dewi sama sekali tidak masalah mau berapa kali dijenguk Mira. "Asal jangan lupain gue."
"Dewi! Daging ayam di kulkas mana, anjir!" Suara Surya makin dekat. Dia kehilangan stok daging, padahal baru mau diolah sekarang.
Mira baru tahu kehidupan mereka layaknya pasangan suami istri di satu atap.
"Gue goreng. Laper."
"Goblok, kenapa gak izin?" Mulai mengomel lah si Surya.
"Gak ada pilihan lain. Percuma izin gak dibolehin. Lo tega gue kelaperan lagi banyak orderan?"
"Lo ngomong seakan-akan di luar butik gak ada yang jualan. Abang yang jual jajan jejeran di sono, Dew!"
"Ya udah sih beli lagi. Lo banyak duit ini."
"Banyak duit dari hongkong!"
"Eh aamiin, gitu dong."
"Susah ngomong sama emak. Panas kuping gue," desis Surya masuk lagi.
Terdengar hentakan kaki kesal. Surya pasti ngambek.
"Jangan urusin dia. Biasa ngomel," kata Dewi.
"Beliin makanan dulu buat Surya. Kasian pasti capek abis kuliah."
Dewi mengeluh capek juga. "Sama. Di belakang masih ada capcai sama gorengan."
"Surya lagi makan daging doang, mana bisa makan dua-duanya."
"Kalian sering berbagi cerita di belakang gue?" Dewi cemburu.
Tiba-tiba Surya muncul dari balik tirai. "Kok lo tau?! Gue gak pernah kasih tau Mira."
"Irlan yang bilang." Mira gugup.
"Manusia itu omnivora. Pemakan segalanya."
"Lo! Nyolong daging gak minta maaf malah pidato!" sahut Surya.
"Lo mau bikin otot begimana, hah? Olahraga gak pernah. Diet tapi makan daging."
"Biarin aja suka-suka dia," lerai Mira.
"Gue berharap ketemu lo duluan, Mira." Surya menatap teduh pemahaman Mira. "Bukan Dewi."
Dewi lepas sandal mau dilempar ke orang yang bicara barusan. "Makan sono!"
"Iya! Galak!"
Dewi gagal fokus botol yang dipegang Mira dari tadi. "Gak diminum?"
"Nanti."
"Jadi inget Jefri. Dia tergila-gila sama jus jambu. Kemarin dia ke sini kasih gue kue. Awan, tuh anak bilang keladi bener-bener semprul matahin sapu sampe abis!"
Mendengar Dewi cerita ada yang Mira ketahui dan tidak. la sering dapat laporan dari Pak Adit tiap Awan berulah. Sering Pak Adit suruh Mira memindahkan Awan ke Bogor saja ketimbang nambah beban.
"Gue bilang dia salah jurusan. Ngapain masuk psikologi orang dia sendiri gila."
*
Surya lagi makan yoghurt di belakang keselek. "Kata orang kalau keselek ada yang gibahin. Pasti Dewi nih, yakin gue." Tanpa dengar pun dia mengetahui.
*
"Dukung aja. Pasti berguna di masa depan."
"Gue harap ..."
"Siapa tau kalian punya anak, ada masalah, Surya yang kasih solusi. Ya kan?"
"Bener!" Dewi kenapa gak sampai ke sana ya mikirnya. "Ada untungnya juga."
"Beberapa tahun kemudian, gue pasti butuh Surya juga. Sekarang dukung aja apa yang dia lakuin."
"Yahh, vibes-nya mellow banget omongan lo."
"Ketawa sekarang hambar, Dew." Mira kehilangan alasan bahagia. Paling tidak tersenyum menutupi luka adalah usaha keras yang bisa ia lakukan di depan semua orang.
Dewi sangat paham. Meski tidak sehampa Mira, dia punya Surya. Di sisi Mira ada Jefri tapi sayangnya kepercayaan di antara mereka telah pudar.
"Maafın Jefri ... Perasaan lo bisa lebih legowo.
Jujur menurut gue, Jefri gak salah. Keputusan semuanya kan atas kemauan Mirza." Saat menyebut nama Mirza, Dewi memelankan suara.
"Gue gak pernah sebut siapa yang salah."
Mira hanya belum menerima, itu.
"Cuma dengan cara ini gue gak terlalu bahagia, Dew. Bahagia sesaat bikin gue terlalu kecewa pada akhirnya. Biar kayak gini, gue lebih nyaman."
Surya masuk buat ambil tasnya di meja kasir.
"Mira bener, ngapain lo ketawa haha hihi tapi di dalem banyak unek-unek. Nyakitin diri sendiri namanya."
"Bisa diem gak lo?"
"Gue ngomong sesuai apa yang gue pelajari.
Manusia bebas berekspresi. Jangan paksa orang buat bahagia, tiap orang punya luka yang beda. Ada orang luka dikit, perih dulu, diobatin sembuh. Ada orang yang luka dalam, kesakitan, diobatin akhirnya sembuh. Yang parah lukanya gak bisa diobatin, paling gak cuma bisa ditahan.
Entah sampai berapa lama hidup."
"Lo ngomong seakan-akan luka kulit sama kayak luka perasaan."
Surya melihat Mira nunduk murung. "Tapi semua ada kesamaan. Ada waktunya rasa sakit itu hilang."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!