NovelToon NovelToon

Dicerai Suami Dinikahi Mantan Atasan

Bab 1 Putri Pelacur

"Apa ini, Mas?" Nisa tersenyum manis melihat apa yang dilakukan suaminya, Arman.

Biasanya Nisa-lah yang mengurus keperluan Arman. Tapi pagi ini sedikit berbeda karena Arman sudah lebih dulu melayaninya. Padahal, Arman masih tertidur pulas saat Nisa bangun tadi.

"Sarapan untuk istri tersayangku," jawab Arman.

Pria itu meletakkan nampan berisi susu hangat dan roti diatas meja. Lalu mencium kening Nisa yang baru keluar dari kamar mandi.

Sontak tingkah Arman yang kelewat romantis membuat Nisa heran. "Mas, hari ini kamu aneh!"

"Kamu yang aneh." Arman mencubit pipi Nisa. Terlalu gemas dengan kebiasaan istrinya yang selalu lupa dengan hari ulang tahunnya sendiri.

Tanpa basi-basi, Arman pun mengeluarkan sebuah kotak hadiah berisi cincin yang sudah dia siapkan, lalu menyematkannya di jari Nisa.

"Selamat ulang tahun, sayangku!" Arman tersenyum manis. Sangat manis dimata Nisa yang sangat mencintainya.

"Terimakasih, Mas!" kata Nisa sembari memeluk erat suaminya.

"Kamu suka?" tanya Arman.

"Suka". Nisa mengangguk. Tentu saja Nisa menyukai hadiah itu. Tapi, menjadi istri Arman adalah hal yang paling dia sukai.

Masih dalam dekapan Arman, Nisa mengangkat wajahnya. Memandang lekat wajah pria yang selalu menginginkan anak laki-laki darinya.

"Kenapa melihat dengan tatapan seperti itu?" Arman menyentil hidung mancung Nisa. "Menggoda suamimu?"

"Siapa juga yang menggoda?" Kaget, Nisa mencubit ringan lengan Arman. " Nisa hanya bersyukur memiliki suami seperti kamu, Mas!"

Arman yang mendapatkan pujian setinggi langit dari Nisa pun kembali memeluknya. "Sayang, aku juga sangat bersyukur memiliki istri seperti kamu. I love you."

Sebuah ciuman hangat mendarat di bibir Nisa. Sepertinya Arman ingin mengulang adegan menggairahkan semalam.

"Mas." Nisa mendorong tubuh Arman. Mengingatkan suaminya jam berapa sekarang. "Kita harus kerja, kan?"

Arman pun melirik jam di dinding. Sedikit kecewa, tapi tetap membiarkan istrinya bersiap.

***

"Sayang, maaf ya. Sepertinya Mas nggak bisa jemput kamu hari ini." Arman memegang tangan Nisa dengan wajah menyesal.

Maklum, pria itu sedang dipromosikan. Banyak tugas baru yang menantinya di kantor.

Nisa yang bekerja sebagai resepsionis hotel tentu tidak mempermasalahkan hal itu. "Nggak apa-apa. Nisa bisa pulang sendiri."

Wanita cantik dengan balutan hijab itu mencium punggung tangan Arman. Tak ingin ketinggalan, Arman membalasnya dengan mencium ubun-ubun Nisa. "Sampai jumpa nanti malam!"

"Hati-hati di jalan!" sahut Nisa seraya melambaikan tangan.

Untuk beberapa saat, Nisa tak beranjak. Setelah motor suaminya hilang dari pandangan, barulah Nisa bergegas memasuki pelataran hotel.

Hari itu Nisa bekerja seperti biasa. Masuk pukul 07.00 pagi dan pulang pukul 15.00 sore. Sayangnya salah satu rekannya absen sehingga Nisa terpaksa menggantikannya. Praktis, Nisa harus lembur sampai jam 23.00 malam.

Malam itu semuanya berjalan lancar. Sampai Sandra, Asisten General Manajer menghampiri Nisa dan memarahinya.

"Nisa?" Sandra memasang wajah marah. "Kenapa kamu mengirim sembarang orang untuk mengganti sprei di kamar tamu VVIP kita?"

"Maaf?" Kaget, Nisa pun berdiri. "Sembarang orang?" tanyanya dengan wajah bingung.

Nisa sudah melakukan pekerjaannya sesuai prosedur. Menghubungi bagian room service untuk mengganti sprei sesuai permintaan tamu VVIP yang menghubunginya beberapa menit yang lalu. Lantas, dimana letak kesalahannya?

"Kamu tahu, tamu VVIP kita itu tidak suka sembarang dilayani orang. Setidaknya minta bagian room service untuk mengirim pegawai wanita yang paling menarik. Bukannya pria aneh seperti karyawan yang kamu kirim barusan!" semprot Sandra.

Kali ini, Sandra tidak hanya berteriak. Wanita lajang itu bahkan sampai memukul meja resepsionis sebagai bentuk luapan kekesalannya.

"Maaf atas kesalahan saya, Nona Sandra!" Nisa mulai gelagapan dimarahi atasannya yang arogan. "Saya akan menghubungi room service untuk mengirim pegawai yang lain."

"Tidak perlu!" Sandra melipat dua tangannya. Lalu memberikan tatapan penuh intimidasi dan berkata, "Kamu saja yang pergi!"

"Saya?" Mata Nisa memelotot. Dia hanya resepsionis, mengganti sprei bukanlah tugasnya. "T-tapi itu kan bukan,-"

"Cukup!" Suara Sandra kian meninggi. "Pergi sekarang atau kamu saya pecat jika tamu VVIP kita komplain atas pelayanan hotel yang buruk!"

"B-baik, Nona Sandra. S-saya akan mengganti spreinya sekarang." Dengan berat hati, Nisa pun menyanggupi permintaan Sandra.

Bergegas menuju kamar VVIP itu tanpa tahu rumah tangganya yang harmonis bersama Arman sedang dipertaruhkan.

"Lama sekali!" tegur seorang tamu pria yang menyambut Nisa di dalam kamar.

"Maaf, Pak!" Nisa tersenyum tipis. "Saya akan mengganti spreinya sekarang!"

Dengan cekatan, Nisa melakukan tugasnya. Sementara pria mabuk itu memperhatikan Nisa dari ujung kepala sampai ujung sepatunya.

Pria itu tersenyum puas. Pelayan cantik seperti Nisa-lah yang dia inginkan. Bukan pria setengah baya seperti pelayan yang masuk ke kamarnya beberapa menit yang lalu.

"Namaku Freddy." Tak lama berselang, tamu hotel itu bangkit. Berdiri di belakang Nisa yang sudah selesai mengganti sprei. "Temani aku tidur malam ini!"

DEG

Nisa terdiam. Keringat dingin mulai menjalar mendengar permintaan Freddy barusan.

"Pak, sepertinya Anda salah orang?" Perlahan, Nisa menjauh. "Sprei sudah diganti. Selamat malam!" ucap Nisa beralasan.

Nisa segera berbalik arah, ingin keluar dari kamar itu secepatnya. Sayangnya, tangan pria itu sudah lebih dulu menariknya.

"Ingin pergi begitu saja?" Pria itu tersenyum penuh nafsu. "Tidak semudah itu ... cantik!"

Pria itu menarik tangan Nisa. Mendorong tubuhnya ke ranjang untuk memulai aksinya.

Sementara itu, Nisa semakin panik. "Tolong, biarkan saya pergi, Pak!"

"Jangan bercanda." Pria itu menyeringai. Mencoba mencium bahkan membuka pakaian Nisa. "Kamu harus melayaniku malam ini, sayang!"

"Lepas!" Sekali lagi Nisa berteriak. Menendang dan mendorong Freddy dengan sekuat tenaganya. Beruntung pria itu mabuk. Jadi Nisa memiliki kesempatan untuk kabur.

"Wanita jalang!" Freddy mengamuk. Pria itu segera bangkit. Meraih Nisa dan mencengkeram lehernya sebelum menariknya keluar kamar. "Pelayanmu sangat buruk!"

Tidak hanya mengumpat dan mendorong dengan kasar, Freddy bahkan mengambil segepok uang dan menghamburkannya kearah Nisa. "Ambil itu dan pergi!"

BRAK

Pintu di tutup dengan kasar. Nisa yang diperlakukan layaknya wanita malam bahkan tidak tahu harus melakukan apa saking kagetnya.

Wanita itu terdiam di lantai. Sampai dia melihat siluet seorang pria yang sangat dia kenal tengah berdiri di ujung lorong.

"Aku khawatir karena kamu tak kunjung keluar." Perlahan, Arman mendekat. "Tapi, sepertinya percuma karena kamu baru saja bersenang-senang dengan tamu hotel."

"Mas Arman?" Masih bersimpuh di lantai, Nisa mengangkat wajahnya. "Mas, ini tidak seperti yang kamu pikirkan!"

Nisa segera bangkit. Ingin mengadu dan menceritakan apa yang baru saja ia alami. Tapi, begitu Nisa mendekat, Arman justru memberikan hadiah berupa tamparan keras di pipinya.

PLAK

"Jangan mendekat!" hardik Arman.

Nisa memelotot sembari memegangi pipinya yang kemerahan. Buliran air mata yang jatuh dari manik-manik matanya sudah menjelaskan betapa nelangsanya dia.

Yah, pipi Nisa memang sakit. Tapi hatinya jauh lebih sakit karena ini adalah kali pertama Arman memukul Nisa.

"K-kenapa?" Suara Nisa terbata-bata. "Kenapa aku tidak boleh mendekat, Mas?"

"Aku bisa menerimamu meskipun kamu lahir dari rahim seorang pelacur. Tapi aku tidak menyangka diam-diam kamu mewarisi profesi hina itu, Nisa!"

***

Bab 2 Di Ujung Perceraian

"Mas, ini tidak seperti yang kamu lihat!" sanggah Nisa.

"Benarkah?" Kali ini, Arman meraih tangan Nisa. Menariknya dengan kasar hingga Nisa melihat penampilannya dari pantulan kaca dari lukisan yang menempel di dinding. "Lalu ... ini apa?"

Rambut yang selalu tertutup menyembul keluar. Sementara pakaian yang dia kenakan sangat berantakan.

"Sejak kapan?" Arman meraih leher Nisa. Melihatnya dengan tatapan kebencian sembari mencekik lehernya. "Sejak kapan kamu menjual tubuhmu?"

"M-Mas ... " Nisa menelan ludahnya. Lalu menatap wajah suaminya lekat-lekat. "Demi Allah! Nisa nggak pernah berzina."

Entah bagaimana. Tapi Nisa linglung sesaat karena semua terjadi begitu cepat. "Tolong percaya sama Nisa, Mas!"

Tangannya meraih tangan Arman. Berharap suaminya itu mengendurkan cengkeraman tangan di lehernya. Tapi sayang usahanya sia-sia.

Di sisi lain, Arman tersenyum kecut. "Aku tidak percaya." Pria itu memandang Nisa hanya beberapa detik sebelum membuang muka ke arah lain. "Kalau boleh jujur, aku bahkan jijik melihatmu, Nis!"

"A-apa?" Nisa terhenyak. "J-jijik?"

"Ya. Aku jijik melihatmu." Kali ini, Arman mendorong Nisa dengan kasar hingga terjerembab ke lantai. "Pergilah. Aku tidak ingin melihatmu lagi!"

Puas meluapkan kekesalannya, Arman pun berbalik arah. Tapi tangan Nisa sempat meraih kakinya sebelum Arman melangkah. "Mas, jangan tinggalin Nisa. Perut Nisa sakit."

Wajah Nisa terlihat pucat. Sesekali meringis sembari memegangi perutnya yang sakit. Sepertinya dia kelelahan karen pandangannya terasa buram, bersamaan dengan kesadarannya yang mulai menghilang.

Yah, akhirnya Nisa pingsan. Tepat di hadapan kaki suaminya yang baru saja berlaku kasar kepadanya.

"Pingsan?" Satu alis Arman terangkat ke atas. Heran karena Nisa terkulai lemas tak bergerak. "Ada apa dengannya? Biasanya dia tidak lemah begini, kan?"

.

.

.

Beberapa saat kemudian, akhirnya Nisa siuman. Kepalanya masih berat, meskipun begitu, dia langsung duduk begitu melihat Arman berdiri di samping ranjang.

"Mas?" Suara Nisa terdengar lemah. "Percaya sama Nisa, Mas. Nisa bukan wanita seperti itu."

Sekali lagi, Nisa mencoba menjelaskan. Tapi kesempatan itu tidak pernah ada karena Arman tidak mengijinkannya.

"Siapa ayahnya?" Tiba-tiba Arman mendekat. Melihat Nisa dengan tatapan benci yang lebih besar dari sebelumnya. "Mungkinkah pria yang tidur denganmu barusan?"

"Ayah?" Nisa tampak bingung. "A-ayah apa?"

Wanita itu tidak mengerti apa yang sedang Arman bicarakan. Sampai Arman melemparkan lembaran kertas ke wajahnya yang sendu. "Tentu saja ayah dari janin yang ada di perutmu itu!"

Telinga Nisa mendengung saking kerasnya teriakan Arman. Dengan tangan gemetar, Nisa mengambil kertas itu.

Membacanya di dalam hati tanpa tahu harus berekspresi seperti apa. "Aku hamil?" gumamnya.

Dua tahun menikah. Kehadiran buah hati adalah apa yang Nisa tunggu. Gadis itu tersenyum tipis, senang karena buah cinta mereka sedang mendiami rahimnya.

Tapi, senyumnya perlahan memudar setelah mengingat Arman justru bertanya siapa ayah dari anak itu. "Mas, apa yang kamu katakan barusan? Tentu saja kamu ayahnya, Mas."

"Kamu yakin?" Arman terlihat mondar-mandir. Menghela nafas super panjang sebelum memijit kening. "Bagaimana kalau bukan? Bagaimana kalau ayah anak itu adalah pria yang tidur denganmu barusan?"

"Tapi kamu benar-benar ... "

"Gugurkan saja anak itu!" potong Arman. "Aku tidak menginginkannya!" lanjutnya.

"Apa?" tanya Nisa tak percaya.

Di tengah pertengkaran itu, sesosok wanita berusia paruh baya muncul. Heran, karena suara anak dan menantunya sama-sama meninggi. Padahal, Arman tak pernah membentak Nisa sebelumnya.

"Apa yang terjadi? Kalian bertengkar?" Widuri, itulah nama wanita paruh baya itu. Mertua yang sedikitpun tak pernah menyukai Nisa. "Anak siapa yang mau di gugurkan?"

Tak ada jawaban, Widuri pun mengguncang bahu Arman. "Arman?"

Awalnya, Arman tak ingin bicara. Atas desakan sang ibu, Arman pun menceritakan semuanya. Tepatnya setelah membawa ibunya keluar dari ruang perawatan.

"Nisa, Ma!" lirih Arman.

"Nisa kenapa?" tanya Widuri.

"Nisa selingkuh!" Arman meremas tangannya sendiri. "Aku melihat Nisa tidur dengan pria lain barusan."

"Apa?" Mata Widuri memelotot. "N-Nisa s-selingkuh? Wanita polos itu selingkuh?"

Perempuan tua itu penasaran, sementara Arman menghela nafas panjang sebelum menceritakan semuanya.

Dari Arman yang memergoki Nisa satu kamar dengan pria lain sampai status Nisa yang Arman tutupi selama ini. Tentu saja pengakuan Arman membuat Widuri terkejut.

"Arman, kamu gila." Widuri langsung bangkit dari duduknya. "Jadi ternyata menantu sialanku itu lahir dari rahim pelacur? Dan kamu tetap menikahinya?"

Arman mengangguk pelan. "Sekarang Nisa hamil. Tapi Arman tidak yakin itu anak Arman, Ma!"

"Astaga!" Widuri jelas kaget dengan pengakuan Arman. "Ceraikan dia, Arman. Masih banyak gadis baik di luar sana yang lebih pantas menjadi istrimu daripada anak pelacur itu!"

Rahang wanita itu mengeras. Sekeras hatinya yang tak pernah sedikitpun lembut pada Nisa selama Nisa menjadi menantunya. Apa kata tetangga kalau sampai mereka tahu bahwa menantunya adalah anak seorang pelacur.

Arman yang di hadapkan pada pilihan sulit pun terdiam. Tanpa mengiyakan atau menolak permintaan ibunya.

Saat itulah Nisa yang mendengar semua pembicaraan mereka dari balik pintu ikut bicara. "Nisa cinta sama kamu, Mas. Jadi tolong jangan ceraikan Nisa. Selain itu, ada anak kamu di perut Nisa."

Nisa berharap Arman akan mengatakan iya. Nisa pikir, Arman akan memeluknya dan meminta maaf. Tapi semua itu hanya khayalan Nisa semata. Karena faktanya, Arman hanya berdiri lalu mengajak ibunya pergi. "Ayo kita pulang, Ma!"

.

.

.

Pagi itu, hujan turun. Nisa memutuskan untuk mengunjungi makam ibunya untuk mengadu. Makam sederhana itu sangat terawat karena Nisa selalu membersihkannya ketika berkunjung.

"Ma, apa yang harus Nisa lakukan?" Wajah cantik itu masih membengkak setelah pertengkaran semalam. Tapi tangisnya kembali pecah saat dia bersimpuh di depan pusara ibunya.

Sesekali, Nisa menyeka air matanya yang tumpah. "Mas Arman sudah berubah, Ma!" Wanita itu semakin tersedu. Apalagi mengingat janji Arman sebelum mereka menikah.

Dulu, Nisa hanyalah anak yang dibesarkan di panti asuhan. Sejak bayi hingga dewasa Nisa tidak tahu siapa orangtuanya. Bukan karena Nisa tidak ingin tahu, tapi karena pihak panti menyembunyikan identitas orangtuanya.

Sampai akhirnya Nisa bertemu Arman dan memutuskan untuk menikah. Dengan dalih membutuhkan wali untuk menikahi Nisa, Arman pun mendesak pihak panti. Akhirnya pihak panti pun memberitahunya. Bukan hanya latar belakang orangtuanya, tapi juga bagaimana mereka menemukan Nisa.

Malam itu, kepala panti asuhan sedang dalam perjalanan pulang. Meskipun hujan turun dengan lebat tapi perjalanannya sangat lancar. Sampai terjadi sebuah kecelakaan maut yang menimpa seorang wanita malam dan seorang bayi perempuan tepat di depan mobil yang dikendarai kepala panti.

Wanita malam itu mengalami pendarahan hebat hingga dinyatakan meninggal dunia. Tapi sebelum ajal menjemputnya, wanita itu sempat berpesan pada kepala panti agar bersedia merawat anak yang ada di pelukannya.

Bayi kecil itu adalah Nisa. Althafunnisa yang sempat ingin membatalkan pernikahan dengan Arman setelah tahu siapa dirinya. Tapi, Arman terus meyakinkan Nisa. Bahwa dia mencintai Nisa dan tak peduli dari rahim mana Nisa dilahirkan.

Hari itu Arman menjanjikan dua hal untuk Nisa. Berjanji tidak akan memberitahu siapapun tentang asal usulnya dan berjanji tidak akan meninggalkan Nisa apapun yang terjadi.

Janji tinggallah janji. Karena Arman sudah melupakan dua janjinya untuk Nisa yang kini patah hati. "Kenapa kamu nggak percaya sama Nisa, Mas? Kenapa?"

***

Bab 3 Patah Hati

Sementara itu di sisi kota yang lain.

"Abiyyu?" Darmawan tersenyum lebar melihat siapa yang datang. "Jangan berdiri terus. Ayo, cepat masuk!"

Pria paruh baya itu menyambut kedatangan Abiyyu dengan hati senang. Rasanya baru kemarin Darmawan memberikan beasiswa agar Abiyyu bisa menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang tertinggi.

Tapi sekarang Abiyyu sudah bisa menghidupi dirinya dan keluarganya dengan sangat layak. Jabatannya pun cukup mentereng, yaitu sebagai General Manajer. Tepatnya di hotel tempat Nisa bekerja.

"Bagaimana pekerjaan kamu?" Darmawan menepuk pundak Abiyyu. "Tidak ada masalah, kan?"

"Alhamdulillah, semuanya lancar, Pa!" Abiyyu tersenyum simpul. "Ini semua berkat bantuan papa!"

Ya, begitulah cara Abiyyu memanggil Darmawan. Abiyyu memang bukan anak Darmawan, tapi hubungan mereka jauh lebih manis dari hubungan ayah dan anak.

Abiyyu sangat menghormati Darmawan sementara Darmawan menganggap Abiyyu seperti anak kandungnya sendiri. Dua minggu sekali, setidaknya Abiyyu akan datang ke rumah Darmawan untuk bersilaturahmi.

"Baguslah kalau seperti itu," puji Darmawan.

Darmawan pun membawa Abiyyu masuk. Dan di dalam sana, senyuman hangat Hanni menyambut kedatangan mereka.

"Kamu lihat itu, Abiyyu?" Wanita bernama Hanni itu merajuk. "Suamiku bahkan tidak tersenyum selebar itu saat berbincang denganku. Sepertinya dia lebih suka berbincang denganmu."

Hanni, dialah sang nyonya rumah. Satu-satunya istri Darmawan yang lembut, cantik dan baik hati.

"Sayang, tolong jangan bicara seperti itu di depan Abiyyu!" Darmawan bergegas menghampiri istrinya. Lekas membujuknya sebelum dia marah tak jelas.

"Aku sangat suka berbincang denganmu, sayang. Tapi ... " Darmawan menggantung kalimatnya. Lalu melirik Abiyyu sebelum melanjutkan ucapannya, "Bukankah wajar kalau suamimu ini tersenyum lebar saat Abiyyu datang? Dia sudah tumbuh menjadi pria hebat sekarang."

Mendengar ucapan suaminya, Hanni pun tertawa ringan. Lalu bergegas menghampiri Abiyyu yang sebenarnya sangat dia rindukan. "Nak, dua minggu terlalu lama untuk mama. Kalau bisa, datanglah ke rumah setiap hari!"

"Maafkan Abiyyu, Ma!" Abiyyu tersenyum tipis, lalu memeluk erat wanita yang sudah dia anggap seperti ibu kandungnya sendiri. "Abiyyu janji akan lebih sering datang kemari."

Di sisi lain, Darmawan yang tak habis pikir dengan permintaan istrinya pun berujar, "Kenapa tidak meminta Abiyyu tinggal di rumah kita sekalian, sayang?"

Tentu saja ucapan Darmawan hanyalah ungkapan untuk menghangatkan suasana. Tapi, rupanya Hanni menanggapi ucapan suaminya dengan serius.

"Itu ide bagus, Pa!" Senyum sumringah menghiasi bibir Hanni. "Tapi ada syaratnya."

"Syarat?" tanya Darmawan dan Abiyyu bersamaan.

Dua pria itu bahkan saling memandang karena tidak mengerti syarat apa yang Hanni maksud.

"Apa syaratnya, Ma?" tanya Abiyyu.

"Kamu harus jadi menantuku," jawab Hanni singkat.

"Uhuk!" Abiyyu batuk pelan. Sekalipun, Abiyyu belum pernah melihat sosok putri Darmawan dan Hanni meskipun mereka sering bercerita.

Apapun itu, Abiyyu yakin, putri mereka pasti sangatlah cantik, baik, dan berpendidikan tinggi. Abiyyu yang hanya seorang anak yatim tentu tidak berani membayangkan untuk bersanding dengannya.

Terlebih ada dua hal penting yang menjadi fokus utamanya sekarang. Yaitu membahagiakan ibunya yang bertatus janda dan memperjuangkan pendidikan adiknya yang masih duduk di bangku SMA.

Selain itu, sebenarnya Abiyyu sudah memiliki satu wanita yang selama ini menjadi incarannya.

"Abiyyu, kamu mau, kan?" tanya Hanni. Wanita itu memanggil Abiyyu karena Abiyyu tak menyahut.

"Oh. I-itu ... " Abiyyu menggaruk pipinya yang tidak gatal. Sementara Darmawan yang menyadari perubahan sikap Abiyyu malah menggodanya.

"Lihatlah, wajahmu merah. Apa kamu sudah punya calon istri?" tanya Darmawan.

"I-itu. S-sebenarnya Abiyyu sudah punya pacar."

Bohong. Semua itu bohong. Abiyyu tidak punya pacar. Dia hanya takut di jodohkan. Yang mengejutkan, Hanni dan Darmawan justru memberikan reaksi yang tak terduga.

Bukannya memaksa Abiyyu. Mereka malah meminta Abiyyu membawa gadis yang menjadi pilihannya. "Kalau begitu, bawa calon istrimu itu kemari. Mama ingin melihatnya," pinta Hani.

"Membawanya kemari?" tanya Abiyyu.

"Iya, membawanya kemari." Hanni memegang tangan Abiyyu. "Apa kamu tidak ingin memperkenalkannya pada mama dan papamu ini?"

Saat ini, Abiyyu memang menyunggingkan senyum di bibirnya. Tapi, pikirannya melayang entah kemana.

Kalau boleh jujur, Abiyyu ingin memenuhi permintaan Hanni barusan. Membawa gadis pilihannya menemui ibunya untuk meminta restu sebelum memperkenalkannya pada Hanni dan Darmawan.

Lalu menikah seperti pasangan lain dan hidup bahagia. Sayangnya, Abiyyu tidak bisa melakukannya karena gadis yang dicintainya sudah lebih dulu dimiliki Arman.

Iya, wanita yang dicintai dan diinginkan Abiyyu, tak lain dan tak bukan adalah Nisa, Althafunnisa.

"Lain kali, Ma!" Abiyyu menghela nafas panjang. "Lain kali, Abiyyu pasti akan membawanya kemari!"

"Janji?" tanya Hanni.

"Ya, Abiyyu janji."

.

.

.

Keesokan harinya.

"Selamat pagi, Pak!" sapa beberapa karyawan ketika berpapasan dengan Abiyyu.

"Selamat pagi!" sahut Abiyyu.

Beberapa hari terakhir, Abiyyu sangat sibuk karena ada pekerjaan di luar kota. Selama itu pula Abiyyu tidak menginjakkan kakinya di hotel. Termasuk tidak tahu kabar terbaru tentang Nisa.

"Kamu baik-baik saja kan, Nis?" Pria berwajah tampan itu tersenyum tipis. Tak sabar menyapa Nisa di meja resepsionisnya.

Sayangnya Nisa tidak ada disana. "Apa dia masih belum datang?" gumamnya seraya melihat jam yang melingkar di tangannya.

Abiyyu masih berpikir positif, mengira Nisa kebagian jadwal shift sore atau semacamnya. Sampai Abiyyu melihat Nisa keluar dari ruangan Sandra.

"Nisa?" panggil Abiyyu.

"Selamat pagi, Pak!" sahut Nisa.

Abiyyu sedikit gelagapan. Antara senang, kaget dan tak percaya. "Sepagi ini mencari Sandra, ada masalah?" tanyanya basa-basi.

"I-itu ... " Nisa menundukkan kepalanya. Lalu menunjuk ke ruangan Sandra sembari menjelaskan maksudnya menemui Sandra. "Saya baru saja menyerahkan surat pengunduran diri, Pak!"

"Apa?" Abiyyu melongo saking terkejut. "Kamu mengundurkan diri? Tapi kenapa?"

"Saya hamil, Pak Abiyyu!" Nisa memegang perutnya. "Dokter meminta saya untuk istirahat total."

"H-hamil?" Abiyyu melirik perut Nisa yang masih rata. Tersenyum tipis meskipun kabar baik itu bagaikan sambaran petir. "Jadi, kamu sudah menjadi calon ibu sekarang?"

Nisa mengangguk dan tersenyum manis. Tak lupa berpamitan pada pria yang tingginya nyaris dua jengkal darinya. "Kalau begitu, Nisa permisi, Pak!"

"Tunggu, Nis!" Abiyyu memutar tubuhnya. "Aku senang mendengarnya. Jadi, beristirahatlah dan jaga dirimu baik-baik. Kalau mau, kamu bisa mampir kesini kapanpun kamu mau."

"Baik dan terimakasih, Pak!" Sekali lagi Nisa mengangguk. "Sampai jumpa!"

Pelan tapi pasti, Nisa semakin menjauh. Meninggalkan Abiyyu yang terus melihatnya sampai hilang dari pandangan matanya.

Padahal, beberapa menit yang lalu, pria itu sangat antusias. Tapi sekarang, entah kemana semangatnya yang tadi.

Dengan langkah gontai, Abiyyu mendekati jendela kaca. Melihat rintik hujan yang mulai turun dan menghapus semua jejak yang tertinggal diatasnya tanpa ada yang tersisa.

"Maafkan aku, Tuhan. Tapi, kalau boleh jujur, aku lebih senang jika aku yang jadi suaminya," gumam Abiyyu.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!