HARAP BIJAK MEMBACA..
Dalam keheningan kamar rumah sakit, cahaya lembut menyilaukan mata Seina yang terbaring di ranjangnya.
Selang beberapa waktu, pintu terbuka dan langkah seseorang menghampirinya. Gara, remaja tampan dengan ekspresi cemas mendekati wanita cantik itu.
“Gara, kamu kok tidak pergi ke sekolah?” tanya Seina dengan lembut. Gara menarik kursi, lalu duduk di sisi kanan kakaknya.
“Gara tidak bisa tenang lihat kakak di rumah sakit sendirian. Gara cuma punya Kakak di dunia ini,” ucap Gara, “apalagi kakak kan sudah seminggu dirawat di sini. Gara takut kehilangan, Kakak.” Lanjutnya sedih.
Seina beranjak duduk. Ia menepuk punggung tangan Gara lalu tersenyum hingga menampakkan dua lesung pipinya yang manis.
“Kau tidak usah khawatir, biaya rumah sakit kan sudah ditanggung suami kakak.” Sambil memandangi cincin emas di jarinya yang merupakan mahar dari sang suami tercinta.
“Kalau begitu, apa seminggu ini dia sudah melihat kakak?” tanya Gara membuat senyum Seina hilang seketika. Wanita muda itu menunduk dengan sedih.
“Kak, akhir-akhir ini Gara berpikir dia sudah tidak peduli pada kakak,” ujar Gara.
“Kamu jangan berpikir begitu. Mas Jovan selalu peduli kok, buktinya dia masih sempat kasih bunga kemarin.” Timpal Seina menunjuk tanaman bunga tulip di sana.
“Apakah dia sendiri yang membawanya, kak?” tanya Gara tidak yakin.
“Daripada bahas Mas Jovan terus, kakak punya kabar bahagia buat kamu dan Mas Jovan nanti,” ucap Seina mengalihkan topiknya dengan cepat.
“Kabar bahagia apa, Kak?” Seina menggerakkan dua jarinya, ia menyuruh Gara lebih dekat. Tampak Seina ingin membisikkan sesuatu. Lalu, mata Gara sontak melebar sempurna.
“Serius Gara bakalan jadi Paman?” Cowok SMA itu menunjuk dirinya sendiri. Ia seakan tidak percaya kakak kesayangannya hamil.
“Hm, serius. Masa Kakak tega bohongin adik kakak.” Gemas Seina mengacak-acak rambut sang adik yang tampak bahagia. Gara yang berdiri langsung memeluk Seina. Air matanya berlinang tapi Gara mengusapnya sebelum penampilan coolnya luntur.
“Kak, Gara bingung, mau senang tapi rasanya mau nangis.” Ungkap Gara menarik nafas dan mencoba mengatur perasaannya. Seina pun terbahak-bahak, ia bergidik geli mendengar si pembuat onar di sekolah itu memperlihatkan sisi lemahnya.
Kemudian Seina mengusap perutnya, membayangkan reaksi suaminya akan terharu seperti Gara. Seina juga tak menyangka ia yang mandul tiba-tiba mengandung anak sekaligus sang pewaris keluarga Robert yang merupakan konglomerat yang masuk dalam daftar orang terkaya di dunia.
“Setahun penantian kami, akhirnya kakak hamil juga, Gara.” Seina menangis.
Ia teringat awal pertemuannya dengan Jovan yang mana saat itu ia bertemu Jovan di cafe luar negeri. Lalu dari tumpahan kopi yang tak disengaja Seina, Jovan lantas jatuh cinta pada pandangan pertama dan saat itu juga mereka mulai berpacaran selama lima tahun hingga akhirnya Jovan menikahinya di tahun lalu.
Tapi satu hal yang membuat Seina sedih sepanjang hari adalah keberadaannya dan statusnya tak pernah Jovan ungkap pada keluarga besarnya. Hal tersebut karena pria itu menundanya sampai Seina hamil. Karena itu, Seina berharap kehadiran si kembar bisa menjadi hadiah terindah untuk ulang tahun pernikahannya dan harapan dapat bertemu mertuanya nanti.
“Kak, katakan apa yang mau kakak inginkan? Biarkan Gara yang pergi belikan untuk kakak,” tutur Gara bersiap pergi.
“Astaga.... kakak sampai terkejut melihat perubahan mu yang tiba-tiba rajin ini, Gara.” Seina tertawa lagi sembari menyingkirkan genangan air matanya.
“Udah ah... jangan ketawa mulu, katakan saja apa yang mau kakak makan sekarang? Apel? Mangga? Atau martabak telur?” Gara tampak sudah tak sabar lagi menunggu lahirnya sang keponakan.
“Tidak usah belikan apapun untuk Kakak, kamu di sini saja temani kakak.” Tolak Seina. “Biarkan Mas Jovan saja yang nanti belikan keinginan kakak.” Sambung Seina membuat Gara cemberut.
“Ya udah... karena kamu maksa, kakak mau makan yang kecut-kecut. Jadi coba kamu ke .... loooh, Gara kemanaaa?”
Seina terkejut. Ia baru saja berbicara dua kalimat, tapi adiknya tiba-tiba sudah lenyap. Tentu saja Gara pergi setelah mendengar kata kecut.
“Aku yang harus menjadi orang pertama yang berikan kakak buah mangga itu!” batinnya ternyata Gara tidak mau didahului oleh kakak iparnya.
Tak lama kemudian, Gara berhasil mendapatkan satu ikat mangga muda. Dengan senyuman bangga yang penuh, remaja itu membawa motornya pergi dari toko buah.
Akan tetapi di tengah jalan, ia tak sengaja mendapati mobil kakak iparnya terparkir di depan salon besar. Ia pun memarkirkan motornya tidak jauh dari sana lalu perlahan mendekat ke mobil hitam itu.
“Platnya sama. Tidak salah lagi ini mobil suami kakak, tapi kenapa dia ada di sini?” Gara bingung. Seingatnya Jovan tak punya saudara lain alias Jovan adalah anak tunggal dan merupakan cucu terakhir generasi ke tujuh keluarganya.
“Apakah mungkin dia mengantar Ibunya?” gumam Gara berjalan ke arah pintu masuk salon besar itu tapi sebelum membukanya, Gara secepatnya bersembunyi di dekat banner raksasa saat pria tampan alias kakak iparnya mau keluar. Tapi yang membuat Gara heran dan terkejut adalah wanita cantik di sisi Jovan.
“Siapa wanita yang bersamanya itu?” batin Gara. Ia berpikir sambil memperhatikan penampilan wanita itu hingga Gara pun terdiam membisu usai mengenalinya.
Terlebih lagi, Gara termangu melihat wanita itu mengecup pipi Jovan sebelum mereka masuk ke dalam mobil.
Dada Gara berpacu kencang. Perasaannya mulai tak karuan lagi. Ia buru-buru menuju ke motornya untuk membuntuti mobil Jovan yang mengarah ke kawasan elit para orang kaya.
Motor Gara menepi di dekat pohon. Remaja tampan itu terus mengamati mobil Jovan yang berhenti di depan salah satu rumah besar dan elit. Gara turun dari motor. Ia mengendap-endap mendekat agar dapat mendengar percakapan Jovan dan wanita misterius itu. Gara lalu bersembunyi di balik semak-semak.
“Makasih ya, Mas. Hari ini aku senaangg bangeet deh kau mau luangkan waktu buat nemeniin aku selamaa semingguuu ini.” Ungkap wanita itu dengan manja.
“Mau sesibuk apapun aku, itu tidak masalah bagiku jika menyangkut dirimu. Aku akan terus siapkan waktu mewujudkan apapun yang istri tercintaku inginkan.” Jovan dengan mesra ia mencubit hidung mancung si wanita.
Srek!
Tiba-tiba terdengar sesuatu yang membuat Jovan mengalihkan perhatiannya lalu Jovan mengerutkan dahinya tak melihat apa-apa di semak-semak yang tidak jauh dari mereka.
“Apa yang kau lihat, Mas?” tanya wanita itu.
“Hm, tadi aku dengar ada yang gerak dari sana. Memang kamu tidak dengar barusan?” Jovan menunjuk semak-semak itu.
“Mungkin kucing liar, Mas.” Ucap wanita itu lalu merangkul lengan kanan Jovan.
“Kita masuk yuk, Mas, sebelum ada orang lain yang melihat kita. Nanti bisa jadi berita heboh kalau publik tahu kita sudah menikah sekarang.”
“Bagus dong, itu kan yang keluarga kita tunggu-tunggu.” Jovan tersenyum tapi langkah pria itu terhenti saat ia mendapat panggilan dari Asistennya.
Raut wajah Jovan seketika berubah dingin saat Asisten Lu mengatakan sesuatu.
“Tuan, hari ini jadwal mengunjungi Nona Sei. Anda harus ke sana melihatnya,” ujar Asisten Lu dengan sedikit tegas.
“Ck, baiklah.”
Kening wanita itu mengernyit melihat Jovan berdecak lidah. “Siapa barusan itu, Mas?”
“Maaf, Ghina, aku ada urusan di kantor. Tidak apa-apa kan kalau malam ini aku pulangnya agak telat?” Jovan terpaksa berbohong sambil tersenyum kecut.
“Ya sudah deh, kamu pergi saja tapi ingat ya jangan paksakan dirimu dan jangan buat baby kita khawatir,” balas Ghina pun tersenyum.
Jovan mengangguk dan mengelus perut Gina yang masih terlihat rata. Tampak wajah Jovan yang berseri-seri itu menjelaskan perasaannya yang bahagia akan menjadi Ayah walau usia kandungan Ghina masih empat minggu.
...
Novel pertama saya, moga kalian suka ya, jangan lupa tinggalkan jejak dan ikuti terus 🌹 update tiap hari...
Gara yang masih syok saat ini duduk di bangku halte bus. Remaja itu menjambak rambutnya hingga enam orang di sampingnya merasa heran.
Awalnya Gara mengira Jovan adalah pria baik hati yang tulus menikahi kakaknya. Namun penilaiannya salah. Ia merasa bodoh telah percaya dan merestui hubungan kakaknya.
Gara juga marah dan sedih. Ia harusnya sadar bahwa kasta mereka berbeda. Jovan terlahir sempurna dan kaya, sedangkan Seina dan Gara terlahir dari keluarga miskin bahkan mereka berdua anak yang dibuang oleh orang tuanya saat Seina masih berumur enam tahun dan yang mana saat itu Gara masih bayi.
“Tuhan, apa yang harus aku katakan pada Kak Seina nanti? Apa yang harus aku lakukan?”
Gara meringis, bingung. Tapi saat ia kembali melihat mobil Jovan melaju pergi, ia pun menyalahkan mesin motornya menuju ke rumah sakit karena arah tujuan mobil Jovan mengarah ke tempat Seina dirawat.
Rupanya mobil Jovan lebih cepat sampai di rumah sakit. Pria itu keluar dari mobilnya dan tidak lupa ia memakai kacamata hitam supaya kehadirannya tak menjadi pusat perhatian. Meski begitu, Asisten Lu yang menunggunya dapat mengenalinya.
“Asisten Lu, bagaimana berkas yang saya minta kemarin itu? Sudah kau sediakan?” tanya Jovan dengan arogan.
“Sudah, Tuan. Tapi Anda yakin ingin bercerai dengan Nona Seina?” tanya Asisten Lu merasa keputusannya terlalu mendadak.
“Ya, untuk apa lagi aku mempertahankan wanita tidak berguna dan sakit-sakitan itu?”
Asisten Lu kecewa dalam hati. Kata-kata Jovan sangat kejam. Padahal Jovan selalu baik, bahkan dulu bucin pada Seina tetapi sekarang dia berubah setelah Ghina kembali dari luar negeri.
“Saya harap Anda tidak menyesal, Tuan,” ucap Asisten Lu sekali lagi.
“Saya akan lebih menyesal jika tidak bercerai darinya. Sekarang, kau diam saja Asisten Lu. Cukup ikuti saya dan jangan katakan apapun padanya nanti,” balas Jovan sinis.
Asisten Lu pun membawa berkasnya sambil mengikuti langkah Jovan yang angkuh. Setelah masuk ke kamar Seina, bibir wanita itu merekah membentuk senyuman bahagia tapi raut wajah Jovan masih terlihat datar.
“Sudah aku bilang, Mas Jovan pasti datang karena hari ini ulang tahun pernikahan kami,” batin Seina tetapi ia pun bingung karena Jovan tak membawa kado untuknya.
“Mas, aku senang kamu akhirnya datang ke sini. Tapi mana nih hadiahku?” tanya Seina. Ia penasaran hadiah apa yang dipersiapkan suaminya. Terutama penasaran berkas yang dipegang Asisten Lu.
“Apa itu sertifikat rumah untuk kami?” Seina merasa deg-degan membayangkan anak-anak mereka hidup bersama di rumah baru mereka.
Drap... Drap... Drap...
Beberapa menit kemudian terlihat seseorang berlari ke arah kamar Seina. Ia tidak lain adalah Gara yang baru sampai karena ia barusan menolong seorang anak menyebrangi jalan.
“Kakaaaaak....!!”
Deghh..
Suara Gara tercekat mendapati kamar Seina sudah kosong. Ia berjalan cepat ke toilet kamar itu tapi ia tidak menemukan kakaknya.
“Eh... cari siapa, dek?” tanya seorang suster yang datang membereskan kamar itu.
“Pasien di kamar ini, Mba. Kakak saya,” jawab Gara sangat gelisah.
“Ohh.. kakak Anda sudah pulang, tadi ada yang menjemput...” ucap suster itu terhenti ketika Gara melewatinya. Suster itu membuang napasnya lalu melanjutkan tugasnya.
Hari pun berganti malam dan Gara terlihat tiba di depan rumah besar itu tapi remaja itu yang hendak berniat membuka pintu pagar malah dihadang oleh dua satpam bertubuh kekar tapi Gara tidak gentar pada mereka.
“Minggir kalian, saya mau masuk,” pinta Gara dengan tatapan tajam.
“Anda sudah tidak bisa masuk ke dalam sana, Dek,” ucap mereka melarang.
“Sudah tidak bisa masuk? Tapi rumah ini kan milik kakak saya, kakak saya pasti sudah ada di dalam sana,” tutur Gara sembari mengepal kedua tangan.
“Pffft.... kamu jangan terlalu kepedean, Dek. Rumah ini masih atas nama Tuan Jovan dan dia sudah mengusir kakak kamu dari tempat ini. Artinya kamu tidak berhak berkata begitu apalagi menginjakkan kakimu ke sini.”
Dua satpam itu terbahak-bahak, sedangkan Gara mendesis sebal. Rasanya ia ingin memukul wajah mereka tapi sekarang Seina yang terpenting baginya.
“Kakaaaakkkk....!!!”
“Kaaakkkk..!!”
Sekarang Gara mencari Seina di setiap jalan. Selama enam tahun ini mereka tinggal di rumah besar Jovan. Mereka dulunya tinggal di panti asuhan tapi karena panti asuhan itu kini sudah tidak ada. Gara semakin gelisah memikirkan Seina yang berada di mana.
“Apa mungkin pria brengsek itu membawa kak Seina ke rumah orang tuanya?”
“Tidaakk... tidaakk... mana mungkin semudah itu Kak Seina dibawa ke sana.”
Gara membuang pikirannya itu dan kembali melajukan motornya ke jalan lain hingga pada akhirnya remaja itu melihat Seina di pinggir jalan tol di atas sedang berdiri sendirian.
“Kakaaakk.... jangaaannn...!” pekik Gara yang melihat Seina berencana ke tengah jalan.
Sebelum terlambat, Gara mematikan mesinnya lalu membuang motornya begitu saja. Lalu, ia berlari cepat. Pandangan mata Seina terlihat kosong. Keputusasaan nampak di raut wajah cantiknya yang lelah.
Seina menatap ke bawah yang mana terlihat banyak kendaraan berlalu lalang. Jika ia melompat dari atas ke bawah sana, perutnya akan hancur dilindas mobil. Tapi kini hatinya sudah lebih hancur mengetahui pria yang ia cintai telah berkhianat.
Angin malam terasa tersapu ke arahnya tapi Seina tidak merasa dingin sedikit pun sebab hatinya sudah beku akan kekecewaannya. Tapi saat kaki kanannya akan menginjak udara, dari samping kirinya tiba-tiba seseorang menarik tangannya lalu ia pun terjatuh ke belakang di mana Gara berhasil menghentikannya.
“Kakaaakkk... sudah gila ya...?!” bentak Gara marah tapi ia pun tersentak melihat air mata Seina mengalir bebas sambil memberontak hebat.
“Lepasss.... lepassskan aku. Biarkaaan aku mati, biarkan aku ke sanaa... hiks... jangan halangi aku.”
Gara segera mendekap tubuh wanita hamil itu yang terkulai lemas. “Kak... jangan bodoh seperti ini hanya karena pria itu mengusirmu, kakak masih punya Gara. Masih punya aku yang sayang sama kakak.”
Remaja SMA itu terisak, merasa sakit dan kecewa. Tapi tangisan pilu Seina lebih menyakitkan lagi.
“Dia tidak hanya mengusir kakak, Mas Jovan juga tega membuang anaknya sendiri, Gara...” Tangisan Seina terpukul mengingat pertengkaran mereka dan Jovan yang begitu kejam sudah menikah lagi dengan wanita lain.
“Mas Jovan tidak percaya kakak bisa hamil. Dia bilang anak dalam perutku anak haram hasil hubungan jin.”
Emosi Gara seakan ingin meluap mendengar hinaan yang diterima Seina. Namun perasaannya itu hilang ketika Seina tiba-tiba pingsan.
“Kaaakkk!” Gara segera menggendong Seina susah payah untuk dibawa ke rumah sakit tapi motornya di sana sudah dicuri orang lain.
“Arghhhhh...” Kesal Gara. Ia tidak tahu harus kemana lagi. Ia mencoba menghentikan mobil orang lain yang dia temui tapi tidak ada satu pun yang bersedia mau menolongnya. Lelah dan frustasi, Gara berhenti dan duduk sejenak di pinggir trotoar jalan tol itu sambil merenung nasib kakaknya.
“Bangsaat.... bangsatt...” Umpat Gara lalu ia melirik Seina yang bersandar di bahunya. Air mata remaja itu ingin menetes tapi tiba-tiba seseorang mengulurkan sapu tangan di depan wajahnya.
Gara mendongak. Ia lalu terkejut pada gadis berkacamata di depannya. Yang mana gadis itu merupakan salah satu anak yang sering menjadi sasaran bullying di sekolah karena penampilannya yang cupu.
“Oh... kamu? Kenapa ada di sini?” tanya gadis cupu itu juga terkejut.
Berkat kebaikan gadis cupu itu, Gara mendapatkan tempat tinggal meski harus merelakan harga dirinya jatuh demi Seina yang sedang hamil bisa istirahat di rumah gadis cupu itu.
“Ini kamarku, karena kalian akan tinggal di sini, aku bakalan pindah ke kamar sebelah.” Ia membukakan pintunya untuk Gara lalu menyuruhnya meletakkan Seina ke tempat tidurnya.
“Kecil sekali kamarmu ini,” ucap Gara sambil melirik isi kamarnya yang lumayan sempit membuat gadis cupu di sampingnya pun mendengkus.
“Kamarku memang kecil tapi jangan meremehkannya seperti itu. Tanpa kamar ini, kau dan wanita ini mungkin akan tidur di luar sana,” balas gadis cupu itu.
“Iya... iya... ngerti kok, terima kasih sudah berbaik hati mau menampung kami, yang mulia,” ucap Gara sambil menyelimuti Seina.
“Panggil saja Vara,” celetuk Vara kesal.
“Oh ya, siapa perempuan ini?” Ia kemudian menunjuk Seina dan bertanya pada Gara yang duduk sejenak di kursi.
“Seina, dia kakakku satu-satunya,” jawab Gara datar.
“Aku tidak menyangka ternyata pembully sepertimu punya kakak perempuan yang cantik, tapi sayang dia punya adik yang suka bully cewek-cewek di sekolah,” pungkas Vara.
“Hei, aku juga tidak menyangka gadis cupu sepertimu ternyata cerewet saat di rumah,” balas Gara mengejek.
“Apaan? Aku tidak cerewet kok!” sentak Vara.
“Sudah... sudah... jangan bikin aku marah. Mendingan kamu kasih aku air es. Aku haus nih gara-gara jalan kaki sepanjang enam ratus meter,” titah Gara dengan santainya bak Raja pada dayangnya.
“Dih lebay juga dia. Padahal jaraknya tidak sejauh itu kok,” batin Vara berkacak pinggang.
“Aku tidak mau.” Tolaknya kemudian.
“Kenapa menolak?” Tanya Gara kaget.
“Kamu kan punya kaki dan tangan, ambil saja sendiri di dalam kulkas.” Jelas Vara ketus.
“Aku tamu loh, sebagai tuan rumah kau harusnya menjamuku dengan baik. Bukan berlagak sombong begitu!” protes Gara berdiri dan mendekatinya tapi langkah Gara terhenti karena Vara tiba-tiba maju.
“Aku tidak pernah menganggap kamu tamu di sini. Aku hanya menganggap dia, sedangkan kamu hanya orang lain yang tidak tahu diri,” balas Vara melotot.
“Ck, gadis ini cerewet sekali, berbeda saat di sekolah dia malah takut padaku. Apa karena ini rumahnya jadi dia berani menginjak-injak aku?” pikir Gara.
“Dipikir-pikir, aku juga tidak sudi minum air es-mu. Rasanya pasti seperti aspal.”
Bam!
Vara sedikit tersentak mendengar pintunya dibanting, tapi gadis itu lebih kesal mendengar ucapan Gara itu.
“Iisshh... mau di sekolah atau di sini, sifatnya masih sama. Sombong sekali!” gerutunya lalu memandangi raut wajah Seina yang terlihat sendu dan lelah. Vara pun penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
Vara lantas keluar untuk menanyakan kepada Gara tetapi tiba-tiba pintu rumahnya diketuk seseorang.
“Heem... siapa itu malam-malam datang ke sini?” tanya Gara sudah berdiri di samping Vara membuat gadis cupu itu terlonjak.
“Heeh, kamu jangan bengong saja, buka tuh pintunya,” suruh Gara ke Vara yang menatap jengkel padanya.
“Kalau kamu tidak mau, aku saja yang pergi membukanya,” sambung Gara tapi Vara pun melarangnya.
“Tidak usah kamu, biarkan aku saja!” bentak Vara dan cepat-cepat membuka pintunya.
Gara yang penasaran siapa itu, ia mendekat perlahan dan ia pun berhenti tepat di belakang Vara.
“Kakak...? Kok tumben pulang cepat hari ini? Emang tugasnya di rumah sakit sudah selesai, kak?” tanya Vara.
“Hm, iya, pasien yang kakak jagain seminggu ini sudah pulang jadi... lohhhh kamu?”
Vara mengalihkan matanya ke belakang lalu menatap bergantian kakaknya dan Gara.
“Ehh kakak kenal sama dia?” Tunjuk Vara ke Gara dengan bingung.
“Hm, iya, dia adiknya pasien kakak. Kok kamu ada di rumah saya?” tanya wanita itu pada Gara.
Vara pun menjelaskan awal dia bertemu Gara. Setelah itu, kakak Vara pun mengangguk paham.
“Mba, kebetulan Anda ada di sini, tolong periksa kondisi kakak saya,” mohon Gara.
“Dih, ternyata dia juga bisa memohon ke Kak Salwa. Aku pikir dia bisa mengurus kakaknya sendiri,” batin Vara entah mengapa ia senang melihat Gara tidak berdaya di hadapannya.
Salwa dengan tersenyum menuju ke kamar Vara.
“Kakakmu hanya sedikit terguncang, dia akan kembali baik-baik saja kok. Mungkin kakakmu masih terkejut karena kehamilannya itu,” ucap Salwa berpikir positif tentang kondisi Seina.
“Hamil, kak?” Vara yang terkejut, melirik Gara yang juga menatapnya.
“Walau aku berandal di sekolah tapi aku tidak sejahat itu seperti dalam otakmu!” kata Gara tampak tahu arti tatapan Vara.
“Ohh ternyata kalian lumayan dekat ya. Bagus deh, adik kakak punya teman di sekolah. Tolong ya, Dek Gara, jaga adik saya di sekolah soalnya dia sering sekali pulang terus nangis tiba-tiba,” mohon Salwa.
“Kak, sebenarnya dia itu... hmp!”
Mendadak mulut Vara dibekap oleh Gara.
“Hahaha... maafkan saya, Mba. Sebenarnya kami baru kenalan tadi, tapi saya berjanji akan menjaga dia untuk membayarkan kebaikan, Mba,” ujar Gara cepat sambil tersenyum pada Vara tapi Vara malah berpaling lalu bergeser sedikit.
“Oh ya, kamu juga harus jagain kakakmu. Dia sekarang ini lagi mengandung anak kembar.”
“APA, KEMBAR?” ucap Gara dan Vara serentak membuat Salwa tertawa kecil.
“Hm, kembar tiga malah,” sambung Salwa.
Gara dan Vara kembali terbelalak kemudian Salwa pamit untuk mengganti pakaian dulu.
“Hai, berandal, siapa suami kakakmu?” tanya Vara penasaran pria yang menghamili Seina.
“Bukan urusanmu,” jawab Gara ketus.
“Dih, ya sudah, aku juga tidak butuh jawaban darimu!” Vara lalu pergi ke arah kamar Salwa untuk bertanya pada kakaknya sendiri, tapi Salwa tidak tahu juga.
Kini Gara duduk di samping Seina sembari mengusap kepala wanita cantik itu.
“Kak Seina, maafkan Gara tidak bisa menjaga kakak dari pria itu. Maafkan Gara yang tidak becus membahagiakan kakak. Tapi sekarang Gara berjanji akan selalu menjaga kakak dari pria brengsek itu. Kakak harus bertahan, demi Gara dan anak-anak kakak. Lupakan dia yang sudah mencampakkan kakak. Biarkan Gara sendiri membalaskan dendam ini padanya.”
Setelah mengatakannya, Gara pun keluar dari kamar Seina yang mana mata wanita cantik itu meneteskan air mata.
Hari demi hari terus berlalu dan kondisi Seina sudah pulih walau masih ada kesedihan yang terpancar dari matanya. Namun Seina mencoba belajar menerima kenyataan Jovan yang telah menipunya.
“Kakak, kok nangis? Masakan yang Gara bikin tidak enak ya?” tanya Gara sambil menyuapi Seina yang tiba-tiba menangis.
“Kakak masih tidak habis pikir Mas Jovan setega itu membohongi kakak selama ini. Ternyata kakak hanya dijadikan pelampiasan dia.” Isak Seina teringat ucapan Jovan, kalau Jovan terpaksa mencintainya karena saat itu Jovan putus dari Ghina yang ingin melanjutkan pendidikannya di luar negeri.
“Padahal kakak mengira dia orang yang tulus tapi rupa-rupanya kakak dipermainkan.”
Gara meletakkan piringnya di atas nakas lalu duduk mendekap tubuh sang kakak. Bahkan tangisan Seina sampai terdengar ke telinga Vara yang mau masuk ke dalam namun Vara berhenti di depan pintu. Gadis itu ikutan sedih mendengar ungkapan hati Seina. Tapi Vara pun tertegun akan perkataan Gara.
“Kak, lupakan pria brengsek itu. Kalau kakak terus memikirkannya, siang ini juga Gara ke rumah dia.” Ancam Gara serius.
“JANGAN!” larang Seina tak mau Gara terluka.
Gara pun berdiri. Ia menyuruh Seina kembali istirahat dan berjanji tidak akan ke rumah itu. Seina pun memejamkan matanya, sementara Gara keluar dari kamar Seina.
“Loh, kamu ngapain berdiri di sini? Habis nguping ya?” Tunjuk Gara ke Vara.
“Tidak kok, aku barusan datang dari sana,” elak Vara menunjuk dapur kecilnya.
“Terus ngapain kamu ke sini?” tanya Gara.
“Jutek banget sih, aku kan ke sini bukan buat nagih hutang, aku cuma pengen tanyain apa cita-cita kamu? Tadi di sekolah kan guru kita pengen tahu apa cita-cita kita tapi kamu malah bengong,” jawab Vara ngegas.
“Terus cita-cita kamu apa?” tanya Gara sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Jadi kaya raya lah, biar hidupku enak dan gak dibebani oleh cowok resek kek kamu.”
Gara menahan tawa mendengarnya.
“Ihhhh malah ketawa! Kek punya cita-cita paling bagus aja,” cerocos Vara sewot.
“Hm tapi emangnya cita-cita kamu apaan?” tanya Vara penasaran. Saat itu juga ekspresi Gara berubah dingin.
“Bukan urusanmu.”
“Iiihhh selalu saja begitu, jawabnya yang lain dong. Mau jadi tentara, dokter atau jadi polisi kek.”
“Memangnya apa gunanya buat kamu?” tanya Gara menunjuk dengan sinis.
“Siapa tahu aku bisa bantu kamu,” ucap Vara tersenyum paksa tapi Gara berdecak lidah.
“Aku tidak butuh kutu kunti seperti kamu.” Setelah mengatakan itu, Gara berlalu pergi.
“Haiii... malah pergi, jawab dong biar aku gak penasaran!” pekik Vara gegas mengejarnya.
“Yaaa ampuun mereka setiap hari berdebat terus.” Hembus Salwa geleng-geleng kepala lalu keluar dari kamarnya untuk menyiapkan makan malam. Tidak lupa Seina yang sudah merasa baikan ia mulai belajar membiasakan diri membantu Salwa.
Salwa dengan senang hati mengizinkannya. Seminggu kemudian hubungan mereka telah seperti saudara kandung walaupun Gara dan Vara masih layaknya Tom and Jerry.
Lain halnya Asisten Lu yang hari ini tampak tergesa-gesa dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran.
“Tuan Jovan...!!! Gawat... gawat....!!!” ujarnya di depan meja Jovan membuat pria tampan itu menghentikan aktivitasnya yang sedang mengecek dokumen perusahaan.
“Ada apa denganmu, Asisten Lu? Mengapa kau berlari seperti itu?” tanya Jovan bingung melihat Asisten Lu ngos-ngosan.
“Tuan Jovan, telah terjadi sesuatu pada Nyonya!”
“Apa? Apa yang terjadi padanya?” Jovan lantas berdiri dari kursinya karena terkejut.
“Saya mendapat kabar bahwa Nyonya baru saja terjatuh dari tangga. Sekarang tengah dilarikan ke rumah sakit.”
Karena kabar buruk itu, Jovan secepatnya melajukan mobilnya ke sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!