Alice tengah berjalan anggun memutari seluruh ruang pesta. Dengan gaun violetnya yang panjang tanpa lengan dan bibir merah darah, ia tampak seperti dewi penggoda malam ini. Rambutnya yang panjang ia sanggul tinggi, menampakkan lehernya yang jenjang. Sepasang anting imitasi berwarna emas menghiasi telinganya.
Semoga saja ia segera menemukan targetnya. Alice merasa tak akan bisa bertahan lebih lama lagi malam ini. Nuraninya telah menjerit memberontak dengan kejam.
Ia tersenyum lelah. Sebelumnya ia berpikir bahwa rencana yang ia susun akan semudah menjentikkan jari. Akan tetapi, sepertinya dugaanya salah besar.
Alex, suami sialan itu telah menjadi tragedi tebesar dalam hidupnya yang singkat. Dua tahun menjalani rumah tangga bersamanya hanya menghasilkan bencana. Wajahnya yang tampan dan riang ternyata adalah topeng iblis yang sesungguhnya. Siapa sangka pernikahan yang Alice agung-agungkan hancur di tangan suaminya sendiri.
Alex berhasil menghambur-hamburkan semua aset Alice selama masa pernikahan mereka. Menyewa wanita lain, bermain judi, dan berfoya-foya telah menjadi kebiasaan yang mampu lelaki itu tutupi. Dengan bodohnya, Alice berperan menjadi wanita yang patuh tanpa mengeluh sedikit pun. Ia dengan lapang dada menjadi ibu rumah tangga dan menyerahkan segala kepemilikan asetnya kepada sang suami. Siapa sangka kebodohanya berujung kehancuranya sendiri.
Dua bulan lalu setelah kematian suaminya dengan wanita lain dalam sebuah kecelakaan karena terdeteksi mengemudi dengan mabuk, ia dikejutkan dengan catatan hutang Alex dari banyak pihak. Hampir seluruh aset milik Alice telah dijadikan jaminan oleh Alex. Lelaki itu terlalu licik memalsukan banyak tanda tangan bermaterai istrinya sendiri dalam semua perjanjian yang ia lakukan.
Sekarang, sebagai istri dan satu-satunya pewaris Alex, Alice harus memutar otak agar semua aset miliknya mampu ia pertahankan. Segala cara telah ia lakukan tetapi berakhir buntu. Dia telah mendatangi banyak bank untuk mengajukan pinjaman dan ditolak, karena ternyata ia dan Alex telah lama masuk dalam daftar hitam mereka. Alice juga telah mencoba meminta pinjaman pada banyak kolega yang dulu dimiliki almarhum ayahnya saat masih hidup, tetapi tak ada satu pun yang menerimanya karena Alex telah banyak melakukan kesepakatan yang tak jujur dengan mereka.
Alice mencoba mencari pekerjaan yang layak, tetapi penghasilanya jauh dari target jumlah hutang yang harus ia lunasi. Hutang tersebut semakin membengkak setiap bulanya dan selalu berubah menjadi lebih besar setiap saatnya. Ia tak lagi memiliki keluarga dekat, jadi mustahil untuk membagi bebanya dengan orang lain. Satu-satunya keluarga yang ia miliki adalah suaminya yang telah sukses membuat kehancuran besar bagi hidup Alice.
Setelah segala cara gagal ia dapatkan, Alice memutuskan untuk bertindak gila.
Satu-satunya aset yang masih ia miliki adalah pesonanya. Alice memiliki tubuh yang indah dan berlekuk di tempat-tempat yang semestinya. Parasnya cantik dengan nuansa eropa dan timur tengah. Tekstur wajahnya yang klasik membuatnya memiliki keanggunan yang unik. Matanya yang berwarna cokelat emas mampu memberi sorot tajam dan menggoda di saat yang bersamaan. Rambut merahnya yang bergelombang seolah memberi kesan tangguh. Satu-satunya kekurangan yang ia miliki adalah pengalamanya dengan lelaki.
Satu-satunya lelaki yang ia ijinkan untuk menyentuh hanyalah suaminya. Sayangnya Alex beranggapan bahwa Alice adalah wanita dingin yang kuno jika menyangkut ranjang. Jadi, Alice terpaksa mengakui bahwa ia memang minim pengalaman. Sangat minim.
Dengan pengalaman yang minim inilah sekarang Alice bertekad mendapatkan lelaki mapan yang siap menerima wanita simpanan. Seorang laki-laki kaya dengan kemurahan hati seperti dewa dan mampu memberinya pasokan uang untuk menutup hutang. Alice tak peduli setua apa lelaki itu atau seburuk apa wajahnya. Ia hanya perlu kemampuan finansialnya untuk menopang Alice.
Alice telah menjadikan pesta amal yang ia datangi sebagai ajang pencarian. Acara ini adalah jenis acara yang akan didatangi orang-orang kaya dari banyak kalangan. Dia hanya perlu mencari seorang lelaki yang benar-benar kaya untuk ia jadikan sebagai donor keuangan.
Namun, ternyata tak semudah itu. Kaum lelaki yang datang di acara ini sebagian besar telah membawa pasangan wanita. Mustahil bagi Alice menggoda mereka di hadapan pasanganya masing-masing. Beberapa di antara mereka ada yang datang seorang diri, tetapi dari gelagatnya mereka laki-laki baik yang tidak tertarik memiliki simpanan.
Alice sebenarnya sudah menemukan dua kandidat yang mendekati keinginanya. Yang pertama adalah seorang lelaki paruh baya. Dia menunjukkan ketertarikan pada Alice, tapi orang itu terlalu suka mengumbar kemesraan dan sulit menjaga rahasia. Akan sulit bagi Alice untuk menjalin hubungan sebagai wanita simpanan secara terang-terangan. Alice tak ingin semua kolega dan karyawanya tahu ia seorang wanita simpanan. Dia butuh seseorang yang menjaga rahasia.
Kandidat yang kedua adalah seorang lelaki berusia awal empat puluh dengan ketampanan di atas rata-rata. Dia mampu mengartikan maksud tersembunyi Alice dan menanggapinya dengan antusias. Hanya saja lelaki itu memiliki kecenderungan melakukan hubungan keras dan dominan. Alice mundur perlahan meninggalkanya. Dia jelas tak ingin terjebak dengan lelaki penganut BDSM atau semacamnya.
Setelah lelah berkeliling di lantai pesta, Alice memutuskan keluar ke taman belakang. Dia butuh udara segar untuk menjernihkan pikiranya dan menyusun strategi baru.
Lampu-lampu taman menjadi sebuah pemandangan yang indah di malam hari. Sinar bulan yang menyorot samar menambah keanggunan alam. Suara angin yang mendesau seolah menciptakan harmoni tersendiri.
Alice berjalan menyusuri jalan setapak menuju sebuah gazebo. Bangunan kecil itu tampak menjanjikan ketenangan di antara hiru pikuknya pesta.
Alice berdiri terpaku saat ia menyadari ada seorang lelaki yang telah berada di gazebo terlebih dahulu darinya. Lelaki dengan jas hitam dan celana senada yang tengah berdiri memunggunginya. Alice berbalik arah berniat untuk mencari tempat lain tapi kemudian ia urungkan. Bukankah lelaki itu tengah berdiri seorang diri tanpa wanita di sisinya? Alice harus mencoba mendekatinya.
Alice berjalan dengan langkah yang menggoda saat mendekati target. Dia meluruskan beberapa ikal rambutnya yang membandel dan dengan tergesa merapikanya secara kilat. Alice menelan ludah merasakan aura yang sangat mendominasi saat ia telah berada di dekat sang lelaki.
"Hi Sir, bagaimana lelaki sepertimu mengasingkan diri di tempat ini tanpa seorang pun wanita yang menemani?" Alice menyandarkan kedua tanganya di pembatas Gazebo dengan cara yang menurutnya seksi.
Saat berbalik, Alice terkejut mendapati lelaki tersebut mengenakan penutup mata di sebelah kiri seperti seorang bajak laut. Apakah sebelah matanya mengalami kebutaan?
"Mungkin karena aku tak tertarik ditemani dan mungkin juga karena wanita tak terlalu tertarik menemani lelaki cacat sepertiku," ucapnya penuh sarkatis.
Jadi karena cacat. Separah apa sehingga ia memilih menutupinya?
Meskipun lelaki itu mengakui dirinya cacat, namun tubuh dan auranya menyiratkan kekuatan yang sangat mendominasi. Alice memperkirakan usia lelaki itu mungkin sekitar tiga puluh lima. Otot tubuhnya tampak terjaga dengan baik. Bahkan sangat baik. Tulang wajahnya bertekstur kuat seakan menampakkan karakternya yang keras. kulitnya kecokelatan secara alami.
Bahkan dengan kecacatan yang diakuinya, lelaki ini masih saja menguarkan aroma kepemimpinan yang kental. Seolah ia memiliki kekuatan menggerakkan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Pandangan matanya menunjukkan keangkuhan yang tak disembunyikan. Alice merasa tak yakin sanggup menggoda lelaki sepertinya. Ia bahkan tak memiliki pengalaman sebagai penggoda sama sekali. Tetapi sudah kepalang basah untuk mundur. Dia harus mencoba peruntunganya kali ini.
"Itu tergantung dari apa yang sanggup kau tawarkan agar wanita bersedia menemanimu," ucap Alice penuh makna.
"Memang apa yang kaum wanita harapkan?"
"Mungkin jaminan materi, uang, berlian, atau semacamnya." Alice mengedipkan salah satu matanya, berusaha menggoda senatural mungkin.
"Jadi mana yang akan kau pilih yang sanggup kau berikan?" Alice perlu menjangkau lebih dalam seberapa besar kemampuan finansial lelaki itu sebelum ia melangkah lebih jauh. Meskipun jika dilihat dari busana yang ia pakai jelas memiliki nilai yang tak sedikit.
"Aku mampu memberikan semuanya. Tetapi apa yang wanita itu mampu berikan terhadapku? Aku menyukai totalitas dalam segala hal Ms ...."
"Alice White, panggil saja Alice, dan anda Mr?"
"Anson Mallory," ujarnya mengulurkan tangan. Alice menyambutnya dan merasakan getaran yang kuat dalam genggaman tangan Anson.
"Jadi Anson, apakah kau telah menjadi suami atau pun tunangan seseorang?" Alice perlu memastikan segalanya. Dia tak ingin tiba-tiba dicabik-cabik wanita lain tanpa persiapan.
"Tidak. Apa yang sebenarnya coba kau tawarkan padaku Alice? Apa yang sebenarnya kau incar?" tanyanya tersenyum sinis.
Mental Alice langsung surut di tingkat terendah. Dia meringis menyadari nilainya telah merosot tajam sebagai wanita baik-baik. Sekarang, dia tak lebih dari sekadar wanita penggoda tak bermoral. Orang tuanya pasti akan menangis lirih di surga menyaksikan satu-satunya anak perempuan mereka berdiri menghadang kehancuranya sendiri.
"Aku menawarkan diri sebagai wanita simpananmu jika kau bermurah hati membagi sebagian dari dollarmu, Anson. Dengan syarat-syarat yang berlaku tentunya," katanya ringan seolah mereka sedang membicarakan perbedaan cuaca.
Anson berjalan mendekat ke arah Alice. Dia mengamati secara menyeluruh diri wanita itu dari bagian atas hingga bawah, seolah tengah meneliti barang yang hendak ia beli. Alice tidak pernah merasa ditelanjangi seperti ini meskipun gaunnya masih melekat erat di tubuhnya.
"Kau melemparkan diri pada orang cacat sepertiku begitu saja? Seputus asa apa sebenarnya dirimu AliceM" katanya dengan cara yang terdengar kejam di telinga Alice.
Ya Tuhan. Selama ini Alice selalu memandang rendah sederetan wanita penggoda milik Alex. Ia tak pernah menyangka untuk menjadi salah satu dari mereka, dibutuhkan keberanian besar dengan meninggalkan semua rasa malu yang tersisa. Sebatas mana ia nanti mampu bertahan dengan jalan ini?
"Apa itu artinya aku ditolak olehmu, Anson?"
"Aku tak yakin wanita sepertimu bisa bertahan dengan kekurangan fisikku, Alice."
"Mungkin jika kau memberikan harga yang pantas, aku mampu bertahan dengan segala keadaan."
Bagus Alice. Kini kau terdengar semakin murahan.
"Jadi berapa hargamu?" tanya Anson semakin sinis. Pandanganya kian meremehkan, seolah Alice seonggok barang tak bermakna.
Alice tersenyum pahit. Mungkin ini tak akan membawa hasil sesuai yang ia inginkan. Sikap Anson bahkan lebih parah dari pada dua lelaki yang ia dekati sebelumnya. Alice tak terkejut jika nanti akhirnya Anson menolak dirinya. Hanya saja, sikapnya secara terang-terangan melukai harga dirinya terlalu jauh.
"Aku tak ingin terlibat hanya satu atau dua malam. Aku menginginkan hubungan semi permanen. Mungkin sekitar enam bulan. Jadi kurasa akan lebih mudah jika aku memberikan tarif total kebutuhanku selama enam bulan." Alice telah mengalkulasikan semua hutang peninggalan Alex yang jumlahnya jauh dari kata sedikit. Jumlah yang cukup mengejutkan itu tidak bisa ia tutup dengan semalam atau dua malam melalui misi gilanya. Dia membutuhkan banyak uang sehingga akan lebih mudah memberi jangka enam bulan. Jumlah itu bisa membantu menutupi semua kebutuhanya.
Alice menyebutkan sejumlah uang yang cukup besar. Anson tertawa sinis, seolah menunjukkan bahwa Alice adalah wanita yang terlalu matrealistis. Semakin pembicaraan ini berlanjut, semakin kacau emosi Alice menghadapi Anson.
"Kau memiliki gaya hidup terlalu glamor dengan jumlah pengeluaran yang tak masuk akal," ujarnya menaikkan sebelah alisnya.
"Bukankah yang terbaik membutuhkan harga yang terbaik pula?" ucap Alice berani.
"Bahkan dari seluruh wanitaku, tak ada yang tarifnya melampaui setengah dari permintaanmu."
Alice mengerjapkan matanya menyadari sesuatu. Jadi Anson bukanlah jenis lelaki yang mengalami krisis wanita dalam hidupnya. Memang bukan hal yang mengejutkan sebetulnya. Meskipun Anson mengakui kecacatanya, dia tetap saja memiliki nilai lain yang mampu membuat wanita meliriknya.
Baiklah. Mungkin dari awal, pembicaraan ini memang tak akan membawa hasil apa pun untuk Alice.
"Aku tak akan memaksakan kehendakku jika kau tak berminat, Anson. Maaf mengganggu waktumu," kata Alice santai bermaksud pergi meninggalkan gazebo.
Dia tak ingin diremehkan lebih parah lagi oleh Anson. Sedikit banyak harga dirinya masih sensitif untuk diperlakukan serendah itu. Meskipun sebenarnya Alice sendirilah pemicunya.
"Sebenarnya apa yang kau miliki yang menjadi penawaran mahalmu?" kata Anson kritis mencoba menghalangi jalan Alice.
Alice terpaku. Dia tak memiliki jawaban apa pun untuk Anson. Alex selalu mengatakan sebagai istri, ia terlalu dingin. Dia tak memiliki keahlian apa pun yang diharapkan kaum lelaki. Alice tak bisa memberikan tarian sensual, melemparkan gesture menggoda ataupun cara-cara lain yang meningkatkan libido kaum adam. Satu-satunya aset hanyalah tubuhnya, yang kata orang terlihat menarik. Dan aset itu telah ia pamerkan dengan gaun violetnya malam ini. Apalagi yang bisa ia tunjukkan pada lelaki di depanya?
"Aku ingin menguji apakah kau bisa bertahan dengan wajahku yang sebenarnya," kata Anson melepas penutup matanya. Sebuah bekas luka tampak terlihat mengerikan di sepanjang mata kananya. Alice mengamati luka itu dan menyadari bahwa Anson pastilah telah mengalami hal buruk dalam hidupnya.
Mungkin sebagian wanita akan merasa jijik atau pun terganggu dengan keberadaan bekas luka itu.
Namun bagi Alice, ia tak merasa terusik sama sekali. Dia bisa menerimanya dengan sebuah penerimaan yang tulus.
Anson berdiri mendekat, membuat jantung Alice berdetak cepat. Lelaki itu terlalu mendominasi dirinya. Alice meneguk ludah merasa gamang. Tiba-tiba, Anson menatapnya penuh arti dan tersenyum penuh kepuasan.
"Mari kita bicarakan syarat-syaratnya," kata Anson ringan,berhasil membuat jantung Alice berdegup tak beraturan.
Itu artinya, Alice berhasil menjadi calon simpanan Anson.
...
"Kita akan terikat hanya pada malam hari. Masing-masing dari kita berhak memiliki kesibukan sendiri tanpa harus dicampuri oleh satu sama lain." Alice mengajukan syarat pertama yang mendapat persetujuan dari Anson.
"Boleh." Anson memahami syarat tersebut.
"Dan kita akan menyembunyikan hubungan ini dari publik."
"Baiklah. Kau berhasil menawarkan hubungan yang dangkal dengan harga setinggi langit, sweetheart." Anson menatap wajah anggun Alice penuh arti.
"Jadi apakah kita akan tinggal bersama? Aku tak terlalu suka mengalami kerepotan hanya untuk berkunjung di tempatmu." Anson menjentikkan jarinya perlahan. Seolah waktunya adalah uang, sehingga dia enggan membuang waktunya dalam perjalanan untuk Alice.
"Kau bisa mengirimkan alamat tempat tinggalmu. Aku akan menuju kesana setiap kali kau membutuhkanku dan akan kembali lagi tanpa perlu kau usir, bagaimana?" Alice mengusap kedua telapak tanganya saat memikirkan kemungkinan ini.
"Baiklah." Anson memberikan alamat rumahnya pada Alice. Dia tersenyum dingin.
"Datanglah mulai besok petang. Aku akan menyiapkan bayaranmu." Anson mengecup sisi wajah Alice secara mendadak dan pergi meninggalkanya seorang diri di gazebo.
Lelaki itu sangat aneh. Dia bisa bersikap dingin tapi menggoda pada saat yang bersamaan.
Perlahan Alice memejamkan matanya. Dia mulai ragu apakah langkah yang ia lakukan adalah langkah yang benar. Secara teori dia telah melakukan sesuai rencana, tapi kenyataanya ia seperti sengaja bunuh diri melalui tindakanya sendiri.
...
Kertas-kertas tagihan berserakan di meja Alice. Beberapa lembar laporan keuangan setahun terakhir menumpuk tak tertata di sudut rak. Tiga mug black coffee telah kosong dihadapanya.
Alice memijat kepala. Sepertinya ia membutuhkan aspirin sore ini. Tiga jam lebih memahami kondisi keuangan perusahaan membuat emosinya memburuk. Alex, selama dua tahun ini berhasil menciptakan rekor sebagai trouble maker sejati. Semua jejak tapaknya menunjukkan kebobrokan.
Surat peringatan jatuh tempo dari berbagai lembaga keuangan seperti teror tanpa ujung. Alice sempat tergoda untuk mencopot pemasangan telepon rumah hanya untuk menghindari panggilan tagihan. Tapi mengingat dia juga masih membutuhkan benda terkutuk itu untuk mengurus bisnisnya yang tersisa, ia terpaksa membatalkan niatnya.
Hari telah menjelang petang saat ia berdiri untuk mengguyur tubuhnya. Semua sendinya bergemeretak menunjukkan protes. Tapi persetan dengan semuanya. Hidupnya jungkir balik dan ia membutuhkan solusi nyata dari kebangkrutan. Kesehatan tubuhnya ada di dalam prioritas paling akhir sekarang. Dan uanglah yang berada di urutan teratas.
Setelah memulas wajahnya dan berpakaian semenarik mungkin, Alice mengemudikan mobil berjenis mini cooper keluar dari garasinya. Mobil ini salah satu benda kenangan yang masih mampu ia pertahankan.
Alice mengatur GPS menuju alamat yang diberikan oleh Anson kemarin malam. Jika kondisi jalan lancar, mungkin ia akan tiba dalam waktu satu setengah jam dari sekarang.
"Hebat Alice. Kau berhasil bermetamorfosis dari tuan puteri menjadi wanita simpanan. Seharusnya tahun ini kau mendapatkan piala Oscar untuk peranmu." Alice bermonolog.
Dengan getir Alice mencermati riasan wajahnya melalui cermin mungil. Bayangan di depanya menampakkan seraut wajah wanita berpengalaman dengan gincu merah maroon. Dressnya memiliki potongan yang cukup berani. Rambut merahnya dibiarkan tergerai tak beraturan, seperti wanita nakal.
Sebuah lagu writing's on the wall dari Sam Smith mengalun lembut. Saat lagu sampai pada lirik
When you're not here I'm suffocating, Alice berteriak marah.
"Saat kau tak disini aku tercekik, Alex. Aku tercekik nyaris mati untuk membereskan semua hutang-hutangmu. Sialan kau Alex! Pergilah ke neraka!" Alice memukul kemudi sepenuh tenaga. Mengingat Alex selalu mampu membuatnya marah.
Sekitar satu setengah jam kemudian, Alice memasuki sebuah kawasan perumahan elit. Dia terus saja mencari rumah bernomor 53 sepanjang jalan.
Alice tertawa getir menatap sebuah rumah berpagar tinggi di hadapanya. Bahkan dengan standar tinggi yang Alice miliki, rumah Anson jauh berada di atas bayanganya. Berdiri di sini hanya membuat wanita itu semakin merasa kerdil.
Seorang kepala pelayan berdiri menyambutnya. Lelaki itu mempersilakan Alice masuk dan membiarkan pelayan lain memarkirkan mobil Alice.
"Silakan lewat sini, Ms White. Anda dipersilakan menunggu di dalam," kata kepala pelayan, berjalan lurus melewati taman luas membimbing Alice memasuki bangunan rumah.
Kemegahan seolah menyambut Alice saat ia berjalan memasuki ruang utama rumah ini. Lukisan karya seni ternama berderet di sepanjang dinding bercat krem. Guci-guci antik terpajang indah ditempat-tempat strategis. Dua set kursi berlapis kulit terletak persis di tengah ruangan. Benda-benda seni berukir dari kayu menghias di setiap sudut ruangan. Sebuah jam dinding besar bermotif kuno terpasang di salah satu sisi dinding.
Bagus. Rumah ini berhasil mengintimidasinya telak. Semakin Alice mengamati sekelilingnya, semakin Alice merasa nilainya menurun drastis. Otaknya meneriakkan berulang kali bahwa dia wanita murahan yang terlalu banyak bermimpi.
"Silakan anda menunggu disini Ms. White. Biarkan pelayan mengambilkan minuman dan makanan ringan untuk anda." Kepala pelayan yang memperkenalkan diri sebagai William mempersilakan Alice duduk di ruang tengah.
"Anson dimana?" tanya Alice.
"Tuan nanti akan menemui anda di sini," jawabnya formal dan meninggalkan Alice seorang diri. Tak berapa lama kemudian seorang wanita dengan baju pelayan berusia lima puluh tahun membawakan segelas minuman dam beberapa makanan ringan untuknya.
Alice duduk di sebuah kursi kayu berlengan di samping perapian. Meskipun rumah ini modern, namun perapianya tetap didesain alami dengan beberapa tungku kayu dibiarkan menyala. Sekarang musim gugur, cuaca mulai terasa dingin.
Menit berlalu berganti jam. Waktu bergulir terasa lama. Alice nyaris saja tertidur saat suara ketukan sepatu yang berirama mendekatinya dari belakang.
"Sudah menunggu lama?" tanya sebuah suara yang terasa familier. Nadanya dalam dan menggoda.
"Ya. Aku terpenjara di ruangan ini cukup lama. Jika saja aku tahu jam berapa kau pulang, akan kusesuaikan waktuku untuk ke sini," kata Alice meradang.
"Maaf," katanya santai tanpa rasa bersalah.
Sebuah penutup mata masih setia ia pakai. Dengan jas dan celana kerjanya, penampilan Anson semakin dominan. Alice memalingkan wajah. Pikiranya mulai membayangkan banyak hal. Dan itu tak baik.
"Keberatan jika aku mandi?" tanya Anson datar.
"Baiklah." Alice mengangguk. Dia juga tak siap melakukanya sekarang. Dia akan menerima alasan sekecil apa pun untuk menangguhkan kesepakatan mereka selama mungkin.
"Dimana aku harus menunggu?" Alice bertanya polos.
Anson menatap tajam wanita itu dan menarik bibirnya sedikit.
"Dimanapun kau mau, Alice. Kau bisa menungguku di sini. Atau pun menungguku di kamar."
Alice mundur mendadak dan berbalik arah. Itu jawaban yang sedikit tak sopan tentunya. Tapi apalagi yang dia harapkan jika dia saja sudah suka rela menawarkan diri sebagai wanita simpanan?
"Aku menunggu di sini," katanya kebas.
Anson meninggalkan Alice. Suara langkah-langkah kaki terdengar menjauh, membiarkan Alice dalam keheningan. Keheningan yang justru membuat ia mendengar detak nadinya berdentum liar.
Oh Tuhan. Tolong aku dengan kebodohanku sendiri.
Sekitar lima belas menit kemudian Anson mendatangi Alice. Dia telah berganti pakain dengan kaos cokelat dan jins kasual. Kedua tanganya masing-masing membawa sebotol brendi berwarna kuning keemasan dan dua gelas kosong.
"Mari kita minum. Sepertinya kau terlalu tegang."
Alice menerima gelas kosong dan menuang sedikit minuman tersebut.
Alice tak pernah terbiasa menikmati minuman beralkohol selain beer. Tapi untuk situasi seperti ini justru itulah yang ia harapkan. Satu-satunya memutus urat malu adalah dengan membuat dirinya mabuk.
"Jadi, bagaimana bayaranya?" tanya Alice sembari menyesap brendi. Tenggorokanya terasa terbakar. Dia meringis pelan. Dengan cepat ia meneguk kembali brendinya hingga tandas.
"Ini." Anson menyerahkan selembar cek dengan nominal yang dijanjikan.
"Tuangkan aku brendi lagi!" pinta Alice setelah menyimpan cek.
"Tidak. Sepertinya kau tak terbiasa meminumnya. Bukan seperti itu caranya. Kau hanya membuat dirimu sendiri mabuk."
Alice meletakkam gelasnya sembarangan di meja. Dia semakin kacau tak tahu harus melakukan apa. Seharusnya tadi sebelum ke sini ia membaca langkah-langkah panduan wanita penggoda. Sekarang ia harus bertindak sesuai naluri tanpa sedikit pun petunjuk.
Alice hanya duduk membeku. Keteganganya nyaris bisa dilihat secara kasat mata. Dia bahkan tak tahu harus memulai langkah seperti apa.
"Apa kau baik-baik saja?" Anson sedikit khawatir.
"Ya," Jawab Alice lirih.
"Kau yakin?"
Alice beringsut tak menentu.
"Ya."
Kedua telapak tangan Alice berkeringat. Telapak kakinya pun tak lebih baik. Keringat dingin mulai menyerangnya tanpa ampun. Alice mengusap wajahnya mencoba mengendalikan respon tubuhnya.
"Ada apa sebenarnya?" kesabaran Anson mulai diuji dengan tingkah Alice.
"Tidak. hanya ... hanya ... kapan kau akan memulainya? Aku sudah tak tahu harus bersikap bagaimana," kata Alice putus asa. Matanya tampak merah menahan tangis.
"Sssstt ... kau sudah tidak sabar?" Anson menyentuh lengan Alice yang selembut kulit bayi.
"Bukan begitu. Tapi aku benar-benar tegang." Alice memilih jujur. Dia menatap Anson meminta pengertian.
"Oh Alice." Anton menyentuh sisi wajah wanita itu. Dia mulai memgambil haknya dari Alice dan menyempurnakan kesepakatan mereka. Angin malam menjadi saksi bagi kedua insan yang sedang beradu kasih.
...
Mentari masih belum tampak. Hari masih terlalu gelap. Tapi ia tak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di sini, di tempat terkutuk ini.
Dengan kecepatan tinggi, Alice memakai dressnya dengan asal, berjalan berjinjit agar tak mengeluarkan suara dan memutar kenop pintu hati-hati. Sebuah suara "klek" nyaris saja membuatnya gentar. Setelah pintu berhasil ia buka, Alice menurunkan heelsnya dan menutup kembali pintu dibelakangnya.
"Akhirnya ...," bisiknya lirih, berjalan kesetanan mencari salah satu pelayan untuk mengambil kunci mobilnya. Alice menghabiskan waktu seperempat jam lebih untuk menemukan ruang pelayan. Dia semakin mengutuk harus terjebak di rumah yang sebesar ini. Semua lorong-lorongnya saling berhubungan dan mudah membuat orang salah arah.
Sementara itu, di sebuah ranjang yang baru saja Alice tinggalkan tampak Anson yang telah lama membuka mata, tersenyum sinis.
Wanita itu jelas tak bisa menahan diri lebih lama lagi untuk segera pergi dari sisinya. Yang ada dalam benaknya hanyalah uang.
Dalam aktifitas mereka, Anson cukup terkejut menyadari wanita itu memiliki sifat malu-malu dan terkesan polos. Seperti wanita remaja yang tidak berpengalaman.
Namun, kemudian Anson menyadari sesuatu, mungkin Alice tak selugu yang ditampilkanya. Dia hanyalah seorang artis hebat yang berpura-pura lugu. Sangat mustahil seorang wanita semacam dia memiliki kepolosan murni. Alice hanyalah wanita matrealistis yang akan melakukan apa pun demi uang. Tak peduli jika harus berakting menjadi wanita polos. Menampilkan diri seolah-olah ia sepolos anak remaja yang menginjak pubertas.
Wanita itu terlalu total dalam bersandiwara. Membuat Anson mulai memunculkan reaksi asing. Sesuatu yang sangat sulit untuk ia pahami.
Lama-lama Anson membenci dirinya sendiri yang mudah tergoda denganya. Dari awal pertemuan mereka, Anson sudah menyadari ketertarikan yang sangat kuat.
Dia bahkan tak berpikir dua kali untuk menerima tawaran Alice meskipun dengan harga yang sangat mahal. Wanita itu sepertinya terlalu boros memenuhi gaya hidupnya yang mewah. Terlihat dari mobil mini coopernya yang menjadi mobil keluaran ekslusif.
Jika hubungan mereka telah usai, tidak mustahil Alice akan menawarkan diri lagi pada sembarang lelaki yang mau menggelontorkan banyak uang. Tidak peduli siapa dan bagaimana lelaki itu, yang ia pedulikan adalah seberapa tebal dompet mereka. Pemikiran seperti itu membuat Anson muak.
Anson semakin membenci Alice. Namun tidak dengan reaksi alamiahnya. Entah kenapa, dia menyadari benang-benang kecil yang tak seharusnya terjalin.
...
Alice menatap tak berdaya lusinan kertas tagihan di meja kerjanya. Matanya memerah meradang penuh amarah. Dia mensortir kertas-kertas itu berdasarkan tanggal yang paling mendekati jatuh tempo.
"Hai wanita hebat. Kenapa wajahmu seperti korban tabrak lari begitu?" sapa Rachel, memasuki ruang kantor Alice tanpa permisi.
"Hai Rachel, tolong tutup pintunya!" pinta Alice. Dia tak ingin pembicaraanya dengan Rachel terdengar hingga ke meja para karyawanya. Kantor miliknya ini tak terlalu luas, sekat-sekatnya tak bisa meredam gosip yang terlanjur keluar.
Rachel menatap banyaknya tagihan yang disortir temanya.
"Wow. Kau wanita dengan rekor tagihan yang luar biasa," katanya mencoba mencairkan suasana.
"Ya. Mengenaskan bukan?" Alice tersenyum pasrah. Dia berdiri menuju meja kecil di sudut ruangan untuk membuat kopi.
"Tanpa cream," kata Rachel memberitahu. Sesaat kemudian Alice menyerahkan secangkir kopi sesuai yang diminta temanya.
"Bukankah kau sudah mendapatkan uang? kenapa tidak kau gunakan untuk menutup semua tagihan-tagihan keparatmu itu," kata Rachel tak mengerti.
"Ya, hanya saja ...." Alice menjawab bingung.
"Duduklah. Ceritakan padaku apakah semalam berjalan lancar." Rachel menepuk sofa usang di sisinya, memberi isyarat.
Alice duduk dengan kesal. Dia menatap temanya tanpa ekspresi.
"Tadi malam berjalan lancar. Setidaknya Anson membayarku tunai di muka. Hanya saja ...." Alice menggantung kalimatnya. Air mata berlinang menghiasi wajah lembutnya.
"Aku merasa sangat murahan," ujarnya putus asa. Sebuah isakan lolos dari tenggorokanya. Tubuhnya bergetar hebat.
"Hai tenanglah. Kau tidak harus berpikir seperti itu. Setiap laki-laki memang brengsek, kecuali tunanganku tentunya. Tidak seharusnya kau merendahkan dirimu sendiri." Rachel menenangkan.
"Dia hebat. Sehingga aku merasa melayang oleh setiap sikapnya, berbeda dengan Alex dulu memperlakukanku." Alice masih saja menangis.
"Terkutuklah Alex karena telah menyia-nyiakanmu." Rachel memggemeretakkan giginya marah.
"Alex dulu bilang bahwa aku istri yang buruk di ranjang. Dia bilang aku mayat hidup. Hubungan kami tidak lancar dan ya ... monoton" Alice saling menautkan jari-jarinya.
"Jadi itu artinya Anson lebih baik dari Alex? anggap saja itu sebagai keuntungan tersendiri. Jangan mudah terpuruk!" bujuk Rachel mengusap lembut lengan Alice.
"Tidak sesederhana itu Rachel. Anson lelaki hebat dan dia selalu memandang rendah padaku. Baginya aku tak lebih sebagai wanita jahanam yang masuk dengan cara kotor dalam hidupnya. Sementara aku selalu terbawa keadaan. Aku merasa sangat rentan denganya."
"Oh Ya Tuhan. Jangan bilang kau mulai menyukai dia." Rachel merinding.
"Tidak. Aku tidak menyukai dia. Aku rasa aku membencinya. Hanya saja dia bisa mempengaruhiku." Alice semakin terisak tak terkendali.
Rachel dengan sabar menopang Alice. Mereka telah menjalin persahabatan yang cukup lama sejak mereka masih remaja. Tak ada apa pun lagi yang mereka sambunyikan satu sama lain.
"Alice. Bertahanlah. Hanya eman bulan bukan? Setelah ini selesai kau bisa keluar dari hidup Anson dan keuanganmu tetap aman. Jika saja aku mampu membantumu, aku pasti tak akan membiarkanmu terperosok seperti ini," ucap Rachel prihatin.
Kehidupan Rachel adalah kehidupan sederhana sebagai wanita yang bekerja menjadi pelayan restoran cepat saji di kota ini. Keadaan itu tak bisa membuat Rachel membantu banyak mengurangi beban keuangan yang Alice miliki. Satu-satunya yang masih mampu ia tawarkan adalah keberadaanya.
"Jadi, bagaimana kabar uang yang ia berikan?"
Alice menegakkan bahu, mengusap air matanya yang masih berlinang.
"Entahlah, kupikir, aku tidak akan bisa menggunakanya"
"Alice White. Apa maksudmu?" teriak Rachel terkejut.
"Aku akan semakin merasa kotor jika menggunakanya."
Rachel memandang ngeri. Dia memijat sisi kepalanya yang mulai berdenyut. Ya Tuhan. Jenis wanita seperti apa temanya itu.
"Dan akan kau apakan uang itu?" Rachel menahan diri. Dia harus berdiskusi dengan lembut agar pikiran Alice berjalan rasional kembali.
"Aku belum tahu. Mungkin akan membiarkanya saja. Atau mungkin aku bisa mengembalikanya pada Anson." Alice bergeming. Dia seperti berpikir sesuatu.
"Ayolah Alice. Kau sudah terlanjur membuat kesepakan selama enam bulan. Apa kau akan berhenti di sini? bagaimana keuangan perusahaanmu dan nasib semua asetmu?"
Rachel berdiri mondar-mandir di depan jendela kecil ruangan Alice. Hak sepatunya berbunyi nyaring setiap kali ia melangkah.
"Entahlah Rachel. Mungkin aku akan melepaskan semuanya dan belajar bekerja pada orang lain. Bagaimana jika menjadi pelayan restoran sepertimu? Apakah masih membuka lowongan?"
Rachel menjerit frustasi mendengar pemikiran Alice. Sepertinya Anson adalah orang paling brengsek sedunia selain Alex. Dia membuat Alice dengan suka rela melepaskan semua asetnya.
"Apakah kau menggunakan pengaman tadi malam?" Rachel mengalihkan topik, tampak khawatir.
"Pengaman?"
"Iya. Pengaman." Emosi Rachel sudah nyaris habis menghadapi Alice.
"Tidak. Tapi tak perlu khawatir. Aku tak akan hamil. Bukankah dulu Alex tak pernah menggunakan pengaman juga padaku dan aku tak pernah hamil?" Alice berkata datar. Tak ada yang perlu ia khawatirkan.
"Tentu saja tak akan bisa hamil karena Alex melakukan tubektomi."
"Apa?" Alice berdiri terkejut. Alex tubektomi? bagaimana dia bisa tak mengetahui kenyataan itu sama sekali. Kebohongan apa lagi yang ******** itu sembunyikan dari Alice.
"Pernikahan seperti apa yang kalian miliki jika kenyataan sepenting itu tak kau ketahui, Alice. Oh lupakan. Alex memang brengsek. Sekarang masalahnya adalah, apakah kalian melakukan kecerobohan?"
"Ya." Alice mulai merasa tak berdaya. Kedua kakinya kehilangan tenaga secara perlahan.
"Apakah kau dalam masa subur?" Rachel histeris. Dia menggerak-gerakkan kedua tanganya frustasi.
"Sepertinya, iya." Alice menarik rambutnya kesal. Dia merasa terjebak.
"Apakah ini masih bisa diatasi?" tanya Alice polos pada Rachel. Tatapanya membuat Rachel semakin bersimpati.
"Ayo ikut aku ke klinik terdekat. Kita lihat apakah ada pil atau semacamnya yang bisa menolongmu saat ini. Aku terpaksa mengambil cuti untuk mengurus kecerobohanmu, Alice. Lain kali, kau harus mempertimbangkan semua tindakanmu!"
...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!