Prolog
"Kita nikahkan saja dia dengan gadis manapun, pada akhirnya anak banci itu tidak akan punya keturunan! Dan semua harta kekayaan milik Hartono akan menjadi milik kita ha ha ha ha...."
Lagi-lagi, motif dari kejahatan sebuah cerita adalah karena harta dan tahta. Seperti hal nya novel baru karya author ini. Ketamakan seorang ibu tiri akan harta, menjadikan ia seorang ibu tiri yang licik bagi seorang Nathan Hartono yang memiliki kepribadian lain.
Kita mulai dengan episode pertama yuk... Selamat membaca... 🤗
**Perjodohan**
Matahari sore mulai tenggelam di balik perbukitan, menciptakan semburat jingga di langit. Vina, gadis bar bar desa, baru saja menyelesaikan olahraga sore rutinnya.
Dengan peluh yang masih menetes di dahinya, ia mengendarai motor kesayangannya menuju rumah. Angin yang berhembus membawa kesejukan, menenangkan pikiran Vina yang penuh semangat setelah berlari mengelilingi desa.
Sesampainya di rumah, Vina memarkirkan motornya di halaman. Ia mengusap keringat di wajahnya dan masuk ke dalam rumah. Namun, suasana yang biasanya tenang terasa berbeda sore itu.
Kedua orang tuanya, Pak Andi dan Bu Siti, duduk di ruang tamu dengan ekspresi yang serius. Nampak, ada ketegangan yang tidak biasa di wajah mereka.
"Vina, duduk dulu, ada yang perlu kami bicarakan," kata Pak Andi dengan suara berat.
Mendengar hal itu, Vina merasa ada sesuatu yang tidak beres. Lalu, Ia melepas sepatu olahraganya dan duduk di hadapan kedua orang tuanya. "Ada apa, Pak? Bu?," tanyanya penasaran.
Bu Siti menarik napasnya dalam-dalam sebelum memulai pembicaraan. "Nak, keluarga kita sedang dalam masalah besar, hutang kita semakin menumpuk dan kita tidak punya cara lain untuk melunasinya."
Vina mengernyitkan dahi, merasa ada yang tidak beres dengan arah pembicaraan ini. "Apa maksudnya, Bu? Apa yang harus kita lakukan?."
Pak Andi pun mengambil alih dan melanjutkan pembicaraan. "Kami sudah memutuskan untuk menjodohkan kamu dengan Nathan, anak dari keluarga Hartono, mereka sangat kaya dan bisa membantu kita keluar dari masalah ini."
Kata-kata itu jatuh seperti bom di telinga Vina. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Apa?! Kalian ingin menjodohkan aku dengan seseorang yang bahkan tidak aku kenal? Hanya karena uang?," suaranya mulai meninggi, menandakan jika ia sangat marah akan hal itu.
Bu Siti mencoba menenangkan putrinya dan mencoba bicara lagi. "Nak, ini demi kebaikan kita semua, kami tidak punya pilihan lain. Keluarga Hartono adalah orang yang baik dan mereka sangat terpandang, ini kesempatan kita untuk menyelamatkan keluarga kita."
Namun, Vina tidak bisa menerima alasan itu begitu saja. "Kalian mau menjual aku demi uang?! Apa aku tidak punya hak untuk menentukan hidupku sendiri?!" teriaknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Pak Andi yang biasanya sabar, kini juga mulai kehilangan ketenangannya dan menjawab pertanyaan Vina dengan nada yang tidak kalah tinggi. "Vina, kamu harus mengerti situasi kita, ini bukan soal menjualmu, ini tentang menyelamatkan keluarga kita dari kehancuran, kamu harus mau berkorban," tegasnya dengan nada memaksa.
Perdebatan pun semakin memanas. Vina merasa seluruh dunianya runtuh. Bagaimana bisa orang tuanya memintanya untuk menyerahkan hidupnya demi sesuatu yang ia tidak percaya? Ia bangkit dari tempat duduknya dan air mata pun sudah mengalir di pipinya.
"Aku tidak peduli! Aku tidak akan menikah dengan orang yang tidak aku cintai! Apalagi jika ini hanya demi uang!", teriaknya, sebelum berlari keluar dari rumah.
Di luar, matahari telah tenggelam sepenuhnya, menyisakan langit yang gelap. Vina berlari tanpa tujuan, yang ia pikirkan hanya ingin menjauh dari kenyataan yang menyesakkan.
Di hatinya, ia merasa terjebak antara tanggung jawab terhadap keluarganya dan keinginannya untuk hidup bebas dan menentukan nasibnya sendiri.
Suara gemuruh di dalam hatinya hanya menambah kegalauan yang ia rasakan. "Aku tidak bisa melakukan itu! Tidak bisa!," teriaknya.
Di saat Vina sedang berada dalam rasa kalut seperti itu, tiba-tiba saja ia melihat sebuah pemandangan yang membuatnya ingin tertawa sekaligus jijik.
"Iw...! Jijik sekali! Aduuhh... Kenapa eke harus pergi ke tempat seperti ini siiih...."
Nampak dua orang di sebrang jalan sedang berdiri di samping mobil mereka. Terlihat seseorang yang patuh dan hati-hati dengan setelan jas hitam merupakan sopir dari seseorang yang tidak henti-hentinya memekik karena menginjak lumpur basah.
Tingkah konyol dari orang tersebut membuat Vina melupakan sejenak masalahnya dan tertawa kecil. Tapi, ia merasa jijik karena penampilan orang itu sangatlah nyentrik dan memakai pakaian serba pink, padahal jelas-jelas dia itu laki-laki.
"Amit-amit deh! Jangan sampai gua ketemu sama orang kaya gitu," gumam Vina sebelum beranjak pergi.
Malam itu, Vina menghabiskan waktu di tepi sungai, tempat favoritnya untuk menenangkan diri. Bunyi gemericik air yang mengalir biasanya bisa menenangkan hatinya, tapi tidak malam ini.
Ia merasa marah, bingung, dan dikhianati oleh orang tuanya sendiri. Bagaimana mereka bisa berpikir bahwa menjual kebebasannya adalah sebuah solusi?.
Ketika Vina akhirnya pulang, sudah lewat tengah malam. Rumah pun tampak sepi, dan lampu-lampu sebagian besar sudah dipadamkan.
Namun, ia tahu jika orang tuanya saat ini masih terjaga dan menunggunya di ruang tamu. Dengan langkah berat, Vina pun masuk ke dalam rumah. Mau tidak mau, ia harus menghadapi mereka sekali lagi.
"Kamu kemana saja?," suara Bu Siti penuh kekhawatiran, namun merasa lega ketika melihat putrinya kembali.
"Aku butuh waktu sendiri," jawab Vina singkat dengan suara yang masih terdengar dingin.
Pak Andi bangkit dari sofa, wajahnya terlihat lebih tua dari sebelumnya dengan garis-garis kekhawatiran yang terpampang jelas di wajahnya. "Vina, kami tahu ini berat bagimu, tapi kami ingin kamu memahami, bahwa ini bukan keputusan yang mudah bagi kami juga."
Vina menatap ayahnya dengan mata yang penuh air mata. "Ayah, bagaimana bisa aku menikah dengan seseorang yang tidak aku kenal? Bertemu pun belum pernah, bagaimana kalau dia jelek!."
Pak Andi terdiam sejenak, terlihat ada sesuatu yang ingin ia katakan namun ia ragu-ragu. Akhirnya, ia menarik napas panjang dan berbicara dengan suara yang lebih lembut.
"Nathan memang berbeda, Ayah pernah bertemu dengannya, tapi dia bukan orang yang buruk, dia punya hati yang baik, dan keluarganya... mereka akan memastikan kamu hidup bahagia."
Vina tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya seperti ada tembok besar yang memisahkannya dari keluarganya. Ia berbalik dan berjalan ke kamarnya, meninggalkan orang tuanya yang masih mencoba mencari cara untuk membujuknya.
Pagi berikutnya, Vina terbangun dengan rasa berat di hatinya. Ia memutuskan untuk menemui sahabatnya yang bernama Dina, untuk menceritakan apa yang sedang terjadi. Dina selalu menjadi pendengar setia dan penasihat yang baik untuknya.
Di sebuah kafe kecil di tepi desa, Vina menceritakan semuanya pada sahabatnya itu. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Din, mereka ingin aku menikah dengan Nathan, entah siapa lah namanya aku gak peduli, mereka ingin menjodohkanku hanya demi uang."
Dina mendengarkan curhatan Vina dengan seksama, wajahnya penuh empati. "Vin, aku mengerti situasimu sangat sulit, tapi mungkin kamu perlu mencoba mengenal Nathan terlebih dahulu, mungkin, setelah kalian bertemu, ada sisi dari dirinya yang bisa kamu terima."
Vina menggelengkan kepalanya dan bersikukuh. "Aku tidak bisa, Din, ini bukan tentang uang atau siapa Nathan itu, Ini tentang kebebasan dan pilihan, aku merasa seperti mereka mengkhianatiku."
Sementara itu, di rumah keluarga Hartono, Nathan juga merasakan tekanan yang sama. Meski keluarganya kaya raya dan terpandang, Nathan selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya.
Terlebih, ia merupakan anak tunggal namun memiliki adik tiri dari ibu tiri yang sudah di nikahi Hartono semenjak ia masih kecil. Juga karena kepribadiannya yang bertingkah layaknya seorang perempuan.
Ia tahu tentang rencana perjodohan ini, tapi tidak terlalu menghiraukan nya dan hanya menyetujuinya. Ia tahu perjodohan ini hanya karena masalah uang dan uang.
Pikirnya gadis yang akan di jodohkan dengannya itu adalah gadis mata duitan. Mengingat mana mungkin ada yang bersedia menikah dengan laki-laki banci sepertinya jika bukan karena uang.
Prolog
Hartono yang sedang berjalan santai di sekitar desa sambil berolahraga pagi, tidak sengaja melihat Pak Andi dan Bu Siti sedang berlutut memohon ampun pada beberapa orang yang bertubuh kekar.
Hartono memperhatikan dari kejauhan dan enggan untuk mendekat karena tidak mau kena masalah. Tapi saat melihat Pak Andi dan Bu Siti akan di pukuli, Hartono pun segera menegur mereka dan menghampirinya.
Setelah beberapa saat berbincang dengan para bankir, Hartono langsung memberikan sejumlah uang pada pak Andi yang lalu langsung di berikan pada bankir yang menagih hutangnya.
Setelah itu mereka pun jadi sering bertemu dan banyak berbincang hingga pada satu titik Hartono mengetahui jika pak Andi dan Bu Siti memiliki anak gadis lalu berniat ia jodohkan dengan putranya.
Suatu sore, ketika Vina pulang dari pasar, ia mendengar suara ribut dari dalam rumah. Langkahnya dipercepat saat ia mendekati pintu.
Ketika ia masuk, pemandangan mengerikan telah menyambutnya. Beberapa orang rentenir sedang mengerumuni orang tuanya dan bertindak kasar. Ia melihat Pak Andi dan Bu Siti terbaring di lantai dengan luka lebam di wajah dan tubuh mereka.
"Mana uangnya?! Kami tidak punya waktu untuk menunggu lebih lama lagi!." Salah satu rentenir berteriak sambil menendang Pak Andi dengan satu kakinya.
Sementara, Bu Siti menangis dan terus memohon, "Tolong, beri kami sedikit waktu lagi, kami sedang berusaha."
Namun, rentenir itu tidak peduli. Ia mengangkat tangan untuk memukul lagi, tetapi tiba-tiba Vina menerjang masuk dan mencoba menghentikan mereka. "Berhenti! Jangan sakiti orang tuaku!."
Para rentenir menoleh ke arah Vina dengan tatapan marah. "Kamu pikir kamu siapa, berani menghalangi kami? Hutang harus dibayar!." Salah satu dari mereka mendorong Vina hingga terjatuh.
Dengan air mata yang mengalir di wajahnya, Vina bangkit kembali. "Aku akan segera melunasi hutang itu, aku berjanji! Tolong, bebaskan ayah dan ibuku!."
Salah satu rentenir, yang tampaknya pemimpin kelompok, menatap Vina dengan tajam. "Kamu? Bagaimana bisa gadis sepertimu melunasi hutang sebesar itu? Jangan coba-coba menipu kami!."
Vina menatap langsung ke mata pemimpin rentenir itu. "Aku akan menikah dengan Nathan Hartono, keluarganya sangat kaya raya, mereka akan membantu kami melunasi hutang ini, beri kami sedikit waktu lagi."
Para rentenir saling berpandangan, lalu tertawa sinis. "Kita lihat saja apakah kamu benar-benar bisa melakukan itu. Tapi ingat, jika kamu berbohong, akibatnya akan lebih buruk."
Setelah meludah di depan orang tua Vina dan mengumpat kasar, mereka akhirnya pergi, meninggalkan Vina dengan kedua orang tuanya yang terluka. Vina segera membantu mereka bangkit dan memeluk mereka erat-erat.
"Ayah, Ibu, aku akan melakukannya, aku akan menikah dengan Nathan, aku tidak bisa melihat kalian menderita seperti ini lagi," kata Vina dengan suara gemetar.
Pak Andi, dengan wajah penuh luka, menatap putrinya dengan mata yang berkaca-kaca. "Vina, maafkan kami, kami tidak ingin kamu menderita seperti ini."
Vina menggeleng sambil berurai air mata. "Ini keputusan yang harus kita buat bersama, demi keluarga kita," ucap Vina pilu.
Bu Siti memeluk Vina erat namun merasa berat. "Kami sangat bangga padamu, nak, kamu adalah harapan kita."
Malam itu, Vina tidak bisa tidur. Pikiran tentang pernikahan yang akan datang terus menghantuinya. Namun, ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarganya.
Ia harus menerima nasibnya dan berharap bahwa Nathan, laki-laki yang tidak dia kenal bisa memberikan kebahagiaan yang tidak pernah ia bayangkan.
Hari itu, rumah keluarga Vina tampak lebih tenang setelah kejadian mengerikan beberapa hari yang lalu. Adapun Pak Andi dan Bu Siti, mereka masih memulihkan diri dari luka-luka yang sempat mereka alami.
Saat siang menuju sore hari, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah orang tua Vina. Dari balik jendela, Vina melihat seorang pria paruh baya yang elegan dan seorang wanita berpenampilan anggun keluar dari sebuah mobil mewah.
Mereka adalah Hartono dan Widia, yang tak lain merupakan orang tua Nathan. Vina segera memberitahu orang tuanya bahwa tamu yang sedang mereka tunggu sudah tiba.
Kemudian, Pak Andi dan Bu Siti berdiri di pintu untuk menyambut tamu mereka dengan hormat. "Selamat datang, Pak Hartono, Bu Widia. Silakan masuk," kata Pak Andi dengan suara yang mencoba terdengar tenang.
Hartono tersenyum ramah, namun Vina bisa melihat ada kelelahan di matanya. "Terima kasih sudah menerima kami," katanya sambil memasuki rumah.
Widia, ibu tiri Nathan, memandang sekeliling dengan tatapan tajam namun penuh perhitungan. Ia duduk di ruang tamu seraya mengamati setiap sudut rumah dengan teliti.
Setelah saling menukar basa-basi, Hartono pun memulai pembicaraan yang serius. "Kami datang ke sini untuk membicarakan perjodohan anak kami, Nathan, dengan putri Anda, Vina."
Mendengar hal itu, Pak Andi dan Bu Siti saling pandang sebelum mengangguk. "Kami memahami situasinya, Pak Hartono, kami berterima kasih atas niat baik Anda," kata Pak Andi hati-hati.
Widia menatap Vina dengan senyuman yang sulit diartikan. "Nathan adalah anak yang baik, meskipun... memiliki beberapa perbedaan, kami percaya bahwa pernikahan ini bisa membawa manfaat bagi kedua keluarga," ucap Hartono lagi.
Di balik senyum manisnya, Widia menyimpan pikiran licik. Baginya, menyetujui pernikahan Nathan dengan Vina tidak akan membawa masalah besar untuknya.
Nathan tidak akan pernah bisa memiliki keturunan, pikirnya, karena ia seperti banci. Ini hanya akan menjadi cara untuk menjaga nama baik keluarga mereka di mata masyarakat.
Hartono, di sisi lain, merasa bersyukur. Ia tahu bahwa tidak mudah menemukan keluarga yang mau menerima Nathan dengan segala kekurangannya.
"Kami bersyukur Anda menerima lamaran ini, kami akan memastikan Vina diperlakukan dengan baik dan semua kebutuhan keluarga Anda akan kami penuhi," katanya dengan tulus.
Sementara Bu Siti, yang sedari tadi mendengarkan dengan cemas, akhirnya ia mulai berbicara. "Kami hanya ingin yang terbaik untuk Vina, jika Anda berjanji akan menjaga dan mencintainya, kami akan menerima lamaran ini."
Hartono mengangguk dengan tegas. "Kami berjanji, Nathan mungkin berbeda, tapi ia memiliki hati yang tulus, kami yakin dia bisa membuat Vina bahagia."
Vina mendengarkan pembicaraan itu dengan hati yang berdebar. Di satu sisi, ia merasa lega bahwa keluarganya akan mendapatkan bantuan yang sangat mereka butuhkan. Namun, di sisi lain, ia bertanya-tanya dalam hati. "*Nathan agak berbeda? Apa maksudnya*?."
Setelah pembicaraan formal selesai, Hartono dan Widia pun berpamitan. "Kami akan segera mengatur persiapan pernikahan, terima kasih sekali lagi atas pengertian Anda," kata Hartono. "Dan ini, terimalah uang ini sebagai terima kasih kami," lanjutnya seraya menyerahkan sebuah koper yang berisi uang.
Pak Andi, Bu Siti begitu juga Vina melongo saat melihat uang yang bertumpuk di depan mata mereka. Vina mengerjapkan matanya seakan tidak percaya atas apa yang dia lihat.
"*Sekaya itukah mereka? Tapi tunggu, mereka dengan mudah menyerahkan uang sebanyak ini, apa anaknya itu memang bermasalah*?," batin Vina.
Setelah mereka pergi, Pak Andi dan Bu Siti menatap Vina dengan penuh harap. "Nak, ini adalah kesempatan kita untuk memulai hidup baru, kami tahu ini sulit, tapi kami yakin kamu bisa melalui ini."
Vina mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya. "Vina akan mencoba, Ayah, Ibu, demi kita semua."
Dalam hatinya, Vina berdoa agar keputusan ini adalah yang terbaik. Ia sangat menolak dan menentang perjodohan ini. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak mau melihat orang tuanya terus terlilit hutang.
Hari pernikahan pun akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari kediaman keluarga Hartono, yang sibuk dengan persiapan pernikahan Vina dan Nathan.
Seluruh rumah dihiasi bunga-bunga indah dan dekorasi megah, menandakan ada perayaan besar. Segala biaya dan persiapan acara ditanggung oleh keluarga Hartono agar di pastikan acara ini berlangsung sempurna.
Di salah satu kamar, Vina duduk di depan cermin, mengenakan gaun pengantin putih yang anggun. Gaun itu dirancang khusus untuknya, membuatnya terlihat sangat cantik dan anggun.
Seorang penata rias menyelesaikan sentuhan terakhir pada make-up Vina, sementara yang lain memperbaiki tatanan rambutnya.
Vina sempat merasa risih saat penata rias terlihat berbisik-bisik di belakangnya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan tapi itu tidak lantas membuat Vina terganggu.
"Apakah ini diriku?," gumam Vina ketika berdiri dan melihat dirinya di cermin, ia hampir tidak mengenali bayangan yang kembali menatapnya. Gadis bar bar dari desa yang keras kini tampak seperti putri dari dongeng.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan, dan Wiliam, adik tiri Nathan yang berusia lebih muda langsung masuk tanpa permisi. Ia berhenti sejenak karena terpukau oleh kecantikan Vina.
Namun, senyumnya segera berubah menjadi senyum sinis. "Kamu memang cantik, Vina," katanya dengan nada mengejek. "Tapi sayang sekali nasibmu harus menikah dengan Nathan, semoga kamu siap dengan segala keunikannya."
Vina mengernyitkan dahinya berusaha menahan emosi dan hanya menatap Wiliam dengan heran. "Siapa kamu? aku tahu apa yang aku hadapi, terima kasih atas peringatannya," jawab Vina acuh.
Wiliam tertawa kecil dan keluar dari kamar, meninggalkan Vina yang kembali fokus pada dirinya sendiri. Di ruangan lain, Nathan juga sedang bersiap-siap dengan bantuan beberapa asisten.
Persiapannya memakan waktu lebih lama dari yang diharapkan, karena kepribadian Nathan yang menyerupai wanita. "Aduuuh... Ini gimana siiih... Kok bajunya item semua! Aah, eke gak suka deeh...," ucapnya seraya terus membenahi make UP nya yang menor.
Ya, selain persiapan dengan bajunya, Nathan juga merias dirinya dengan make UP yang tebal layaknya hiasan pengantin perempuan.
Nathan mencoba beberapa setelan jas dengan gaya yang gemulai, memeriksa setiap detail di depan cermin. Ia memastikan bahwa setiap jahitan dan modelnya sempurna.
Para asisten berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti ritmenya, meskipun terkadang mereka kesulitan memahami keinginannya. "Bestii... gak ada yang ngerti keinginan eke apa, pusing kepala eke."
Beberapa asisten yang berada di dekatnya sempat terkekeh melihat tingkah majikannya itu. Tapi mereka tidak berani mencela karena pekerjaan mereka taruhannya.
Setelah beberapa kali ganti pakaian, akhirnya Nathan menemukan setelan jas yang menurutnya paling cocok. Yakni setelan jas berwarna merah muda sesuai warna kesukaannya.
Ia memandangi dirinya di cermin dengan rasa puas, meskipun di balik senyum itu, tersirat keterpaksaan telah menyetujui perjodohan ini.
Ketika semua sudah siap, tamu-tamu pun mulai berdatangan. Para undangan itu terdiri dari kerabat dekat, teman-teman keluarga, dan beberapa orang penting di komunitas mereka.
Kini, Vina berdiri di depan pintu besar yang akan membawanya ke altar. Ia merasakan tangan ayahnya menggenggam erat tangannya untuk memberikan kekuatan dan dukungan pada putri semata wayangnya itu. "Kamu akan baik-baik saja, Vina. Kami selalu ada di sini untukmu," bisik Pak Andi.
Dengan langkah yang mantap, Vina berjalan menuju altar, diiringi tatapan kagum para tamu. Gaun pengantinnya yang anggun mengalir di belakangnya, sementara wajahnya memancarkan pesona kecantikannya yang alami.
Namun, seiring dengan semakin dekatnya jarak antara dirinya dan altar, Vina mulai merasakan keraguan yang tiba-tiba membuat langkahnya menjadi berat.
Pandangannya tertuju pada sosok yang berdiri di depan altar, hatinya berdegup kencang dan menerka-nerka. Vina memperhatikan sosok tersebut dari ujung kaki hingga kepala, mencoba mengenali siapa yang sedang menantinya.
"Kenapa MUA-nya berdiri di situ? Di mana laki-laki yang bernama Nathan itu?" pikir Vina seraya memutar kepala, melihat sekelilingnya dengan cemas.
Namun, ketika tatapannya kembali ke arah altar, ia melihat seorang pria berbaju merah muda yang berdiri dengan anggun. Pria itu mengenakan jas berwarna lembut dengan aksesoris yang mencolok, wajahnya pun dipoles bak perempuan dan rambutnya pun tertata sempurna.
Seketika, mata Vina membelalak. "Oh tidak! Jangan-jangan laki-laki berbaju merah muda itu Nathan, calon suamiku!," gumamnya, merasakan ketakutan yang menggelayuti hatinya.
Ekspresi Vina yang seketika berubah muram membuat Widia dan Wiliam, yang duduk di samping, tertawa kecil menertawakannya. Senyum sinis mereka seakan menambah beban di hati Vina sehingga membuatnya semakin menyadari kebenaran yang pahit.
Ia baru mengerti kenapa mereka menertawakannya. Nathan yang dijodohkan dengannya ternyata memang benar-benar banci, seorang laki-laki cantik yang berbeda dari bayangannya.
Vina mencoba menenangkan diri, meski hatinya bergolak. Ia menoleh pelan ke arah ayahnya, dengan matanya yang penuh pertanyaan. "Ayah, apa dia yang bernama Nathan?," tanyanya dengan suara yang nyaris berbisik.
Pak Andi mengangguk pelan, wajahnya pun kini terlihat penuh rasa bersalah. "Iya, Nak, itu Nathan."
Vina mengangkat bibir satunya dan tersenyum kecut. "OMG! Aku nikah sama banci?" pikirnya, merasakan darah yang mendidih di kepalanya.
Namun, saat ini tidak ada waktu untuk mundur. Vina hanya melanjutkan langkahnya, meski kini terasa lebih berat. "Pantas saja orang tuanya mau memberikan uang sebanyak itu, anaknya memang benar-benar bermasalah, Oh Tuhan, bagaimana hidupku selanjutnya hu hu hu...."
Dengan gaya gemulai dan bahasa has seorang banci, Nathan melihat penampilan Vina dari ujung kaki hingga kepala dengan tatapan tidak suka dan menganggapnya remeh karena sirik atas kecantikan Vina.
"Akhirnya, ketemu juga sama cewek matre ini," ucap Nathan dengan nada dan suara has banci .
Bahkan, setelah melakukan janji suci dan sah menjadikan suami istri, Nathan enggan saat di suruh untuk menyambut tangan Vina, namun dengan terpaksa ia melakukannya meski setelahnya Nathan langsung membersihkan tangannya dengan tisu basah dan tisu kering selama beberapa kali seolah jijik.
Vina keheranan melihat sikap Nathan, tapi justru itu membuatnya semakin ilfeel pada Nathan.
Vina mencoba tetap tenang, meski hatinya mulai bergolak. Ia merasa bingung dan tersinggung oleh sikap Nathan. Sebagai istri yang baru saja dinikahinya, ia tidak mengerti mengapa Nathan begitu kasar dan merendahkannya.
Widia dan Wiliam, yang mengamati dari kejauhan, saling pandang dan tertawa kecil, menikmati pemandangan yang menurut mereka menghibur. Mereka senang melihat Vina menderita di tangan Nathan, seolah menjadi sebuah hiburan kejam bagi mereka.
"Hai!," seru Vina mencoba berbicara dengan Nathan. Tapi Nathan hanya menjawab dengan singkat dan tidak ramah. "Apose, jangan sok kenal deh ah! yey pikir, yey bisa mendapatkan semua ini hanya karena yey cantik? Jangan harap," ucap Nathan dengan nada sinis, lalu berbalik meninggalkan Vina yang semakin bingung dan terluka.
Di balik semua senyuman tamu yang hadir, Vina merasa kesepian dan terasing. Ia tahu bahwa pernikahan ini tidak akan mudah, tapi ia tidak pernah membayangkan akan mendapat suami banci yang merendahkannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!