•
•
•• Dia... Aldan Matthew
Sosok pria bermata tajam, rahang tegas serta tingkat ketampanan yang cukup tinggi. Tubuh jangkung serta lengan berotot membuat ketampanan seorang Aldan semakin terlihat nyata. Sikap dingin serta cuek dan ada sedikit semena-mena membuat Aldan cukup disegani disekolah nya.
Ambisi: Membuat Alya menangis disekolah!
•• Dia.. Alya Dexter
Wajah imut serta cantik itu memiliki tubuh mungil serta kulit putih bersih. Alya merupakan anak yang ceria, ramah tamah dan selalu tersenyum. Tapi, akan mendapatkan ekspresi wajah yang berbeda kala Aldan sudah beraksi menganggu ketenangan hidup nya.
Ambisi: Menjauh dari kejahilan Aldan, membuat Aldan tobat dengan jeritan mautnya.
•
•
Alya menarik napas dalam-dalam kala sudah berhadapan dengan loker sekolah. Buku pelajaran ada semua di loker itu, tapi membukanya di pagi hari begini benar-benar akan menguras semua keberanian Alya. Dengan penuh keberanian dan doa yang banyak, Alya membuka loker itu.
Mata Alya terpejam karena takut melihat sesuatu yang menakutkan yang sering terjadi setiap pagi. Tapi, kala Alya membuka mata ia tidak melihat sesuatu apapun. Hanya ada Buku-buku miliknya dan berbagai pena yang sengaja ia simpan.
"Loh.. Kok tumben?" Alya menjadi heran sendiri.
Tidak mau memikirkan semua itu, Alya cepat cepat mengambil buku yang ia perlukan. Kala menutup pintu loker, wajah tampan Aldan berada tepat disamping nya.
"Pagi, Alya.." Sapa Aldan dengan senyuman nakal yang sering Alya lihat setiap pagi.
"Nggak usak sok ramah deh!" Alya menjawab dengan nada ketus. Bersifat ramah kepada Aldan bukanlah tindakan yang pas, anak seperti Aldan tidak pantas mendapatkan keramahannya.
"Yaelah, galak amat si, Bun.." Ucap Aldan disertai tawa kecil membuat Alya hanya bisa menghela napas panjang. Ia melihat penampilan Aldan dari atas sampai bawah, tidak ada yang mencurigakan.
"Gue bisa minta tolong nggak?" Tanya Aldan dengan wajah yang memelas. "Serius, Gue minta tolong beneran sama Lo.." Aldan berusaha merayu.
Alya yang lugu serta polos tidak ada menaruh kecurigaan sedikitpun kepada Aldan.
"Minta tolong apa?" Tanya Alya, ia men seriusi Aldan kali ini.
"Ambilin buku Gue, tangan Gue sakit."
Alya mengangguk mantap, ia membuka pintu loker Aldan tanpa menaruh curiga sedikitpun. Dan.. kala pintu loker terbuka, ada sesuatu yang melompat tepat diatas kepala Alya.
"Arrrrrrrrrrggggggggggghhhhhhhh!!!" Alya menjerit-jerit kencang kala katak mendarat diatas kepalanya. Sementara Aldan malah tertawa kencang sembari memegang perut nya. Karna Alya melompat kesana kemari bermaksud agar katak itu jatuh dari atas kepalanya.
"Aldan, tolong!" Jerit Alya, ia terlihat sangat takut sampai wajahnya terlihat pucat. Katak itupun seperti bekerjasama dengan Aldan, sedari tadi anteng diatas kepala Alya.
"Mager ahh.. Biarin aja, anggap aja deh tuh katak mahkota Lo." Ucap Aldan diselingi tawanya.
Alya menjerit-jerit terus menerus, bahkan Aldan sudah pergi meninggalkan dirinya.
"Hei Aldan!!" Tidak perduli dengan teriakan Alya yang terus berteriak memanggil namanya.
Langkah kaki Aldan berhenti sebentar, "Selamat tinggal ratu katak, Gue tunggu kedatangan Lo di kelas yaaa.." Sempat sempat nya Aldan malah mengejek Alya yang masih kebingungan menyingkirkan katak diatas kepalanya.
"Ihhh... Aldan menyebalkan!!"
•
•
Setelah melewati drama yang cukup panjang akhirnya Alya masuk kelas juga. Ia masuk kelas dengan bibir yang cemberut, apa lagi kala melihat Aldan yang tertawa kala melihat ekspresi wajahnya.
"Kenapa Lo, pagi-pagi begini udah manyun aja?" Tanya Hadzel yang merupakan sahabat baik Alya. "Hem, jangan bilang habis bertengkar sama Aldan deh." Belum Alya menjawab Hadzel sudah tahu jawabannya.
Alya mengangguk pasrah, ia menarik napas dalam-dalam menceritakan semua ulah Aldan pagi ini. Bukannya prihatin, Hadzel malah tertawa kencang. Jujur, ia merasa kasihan dengan Alya hanya saja ini terlalu rugi jika tidak di tertawa.
"Lo aja, sudah tahu kalau Aldan anaknya nakal.. Masih aja percaya dengan segala modus nya, heran banget!" Ucapan Hadzel dibenarkan oleh Alya. Jujur saja Alya heran dengan dirinya sendiri, selalu saja percaya dengan kepuraan dari seorang Aldan Matthew.
Alya langsung melihat kebelakang, disana ia melihat Aldan yang sedang mengobrol dengan dua sahabatnya. Pria itu seperti tidak merasa bersalah dengan ulahnya tadi. Padahal hal itu jelas berbahaya, bisa aja Alya mati karena serangan jantung.
Kala Aldan menatap kearah Alya, disaat itulah Alya langsung mengalihkan pandangannya.
"Menyebalkan!" Alya terus saja mengumpat Aldan berulang kali, bahkan selama pelajaran pertama berlangsung.
Ketepatan Aldan duduk tepat dibelakang nya, pria itu selalu saja mengikuti nya semenjak memasuki kelas 1 SMA hingga sekarang menginjak kelas 3. Padahal Alya sudah mengajukan untuk pindah kelas demi kenyamanan selama masa belajar, tapi semua sirna karna Alya tidak dapat pindah dari kelas ini.
Bahkan saat ini Alya sedang fokus mengerjakan tugas yang diberi Ibu Guru. Kaki Aldan sempat sempat nya menendang bangku yang Alya duduki. Terus saja seperti itu hingga Alya yang sedang menulis tentu saja ter coret.
Alya meletakkan pena itu dengan sedikit kasar, ia berbalik arah melihat Aldan Yang sedang menggigit ujung pena sembari ngobrol dengan Liam teman sebangku nya.
"Aldan.. Kaki Lo ganggu tau!" Alya protes karna memang benar adanya.
Aldan beralih menatap ke arah Alya yang terlihat kesal, ia membuang penanya begitu saja.
"Bodoamat!" Aldan kembali menendang kecil bangku Alya. Sudah pasti Alya tidak akan bisa menulis, ia harus memikirkan cara yang tepat untuk balas dendam kepada Aldan.
ide brilian muncul dibenak nya, Alya sengaja menjatuhkan penanya. Kebetulan Aldan sedang asyik bercerita dengan Liam, hingga tidak menyadari di bawah sana sudah ada Alya yang siap siap melakukan aksinya.
"Awwwwwwwwww!" Aldan menjerit kesakitan membuat semua orang menatap ke arah nya.
"Ada apa, Aldan?" Tanya Ibu Guru, ia menatap tak suka Aldan yang sedang mengelus kakinya yang sakit. Ya, Alya mencabut bulu kaki Aldan sebanyak 3 helai. Tentu saja pria itu kesakitan, sudah pasti setelah ini tidak akan berani menganggu dirinya.
"Sekarang kamu berdiri didepan kelas! Sedari tadi terus mengobrol bukannya mengerjakan tugas yang saya beri." Perintah Ibu Guru membuat Aldan menatap tajam kepada Alya yang diam-diam menjulurkan lidah kepadanya.
"Tapi, Bu.."
"Oh kurang ya, sekarang kamu pergi berjemur di bawah tiang bendera sampai jam istirahat!" Bukannya diperingan malah semakin di perberat oleh Ibu Guru.
Alya tertawa kecil kala Aldan berlalu pergi menjalani hukuman, ia puas sekali balas dendam sedari pagi tadi sudah berhasil.
"Awas Lo, bocah tantrum!" Ancam Aldan kala melewati Alya. Bukannya takut Alya malah menjulurkan lidah nya, ia senang sekali sudah berhasil balas dendam.
Dengan sepeda motornya Aldan melaju dengan kecepatan tinggi untuk menuju Rumah Sakit. Sepeda motor kawasaki ninja termahal itu melaju cepat menyusuri jalan raya, bahkan saat ini Aldan tidak memikirkan nyawanya lagi. Telpon dari Ibunda benar-benar membuat nya menjadi kalang kabut.
Bahkan sesampainya di Rumah Sakit, Aldan langsung berlari dengan meletakkan helm nya sembarangan arah. Ia menyusuri koridor Rumah Sakit dengan sedikit berlari, ingin cepat-cepat melihat keadaan sang ayah.
Kala sampai di pintu ruangan, tangan Aldan mendadak ragu untuk membuka pintu. Ia menarik napas dalam-dalam mengumpulkan keberanian yang cukup banyak. Aldan tidak mau terlihat lemah dihadapan ayah dan bundanya, ia harus kuat untuk mereka.
"Aldan datang, Bunda, Ayah.." Ucap Aldan yang langsung membuat Aslan terbangun dari tidurnya. Pelan-pelan Aldan melangkah menuju sang ayah yang tengah berbaring bed pasien.
"Bagaimana sekolah mu, Nak?" Tanya Aslan sambil memegang wajah tampan Aldan.
"Semua lancar, Ayah.. Ayah harus sehat, masih banyak waktu yang Aldan butuhkan bersama dengan Ayah." Ucap Aldan dengan suara yang melemah.
Claudia yang melihat interaksi antara anak dan suaminya itu langsung menangis. Ia tidak kuasa menahan segala rasa sedih, mengingat usia Aldan yang masih cukup muda harus menanggung beban yang cukup berat.
"Maafkan Ayah, Nak.. Lagi lagi Ayah selalu saja merepotkan dirimu, Ayah merasa tidak berguna sebagai seorang kepala keluarga." Ucap Aslan sambil menangis.
Tangan Aldan menghapus air mata Aslan, ia tidak pernah menyalahkan semua posisinya saat ini kepada kedua orang tuanya. Sebagai anak yang paling besar harus bisa menjadi penampung segala masalah. Aldan tidak pernah keberatan untuk selalu direpotkan, ia memeluk Aslan sangat erat.
Sekuat mungkin Aldan tidak mau menangis, ia tidak mau terlihat rapuh dihadapan ayah dan bundanya serta adik yang setia menunggu di Mansion.
"Ada hal penting yang ingin Ayah bicarakan padamu, Nak.." Perkataan Aslan membuat Aldan langsung melepas pelukan nya.
"Hal penting?" Aldan menjadi penasaran, ntah kenapa kali ini perasaan nya tidak enak. Aldan merasa sesuatu yang tidak diinginkan serta dibayangkan sebelumnya akan terjadi sebentar lagi.
"Berjanjilah untuk menerima permintaan ayah ini, hanya ini yang Ayah inginkan." Ucap Aslan yang langsung membuat Aldan menatap ke arah Claudia.
"Dalam hal apa, Ayah?"
"Mau menerima tidak?" Aslan malah bertanya membuat Aldan mati kata. Ia menatap kearah sang bunda yang tersenyum manis, seperti semua tebak-tebakan ayah nya tidak akan berbahaya. Aldan percaya dengan senyuman sang bunda, ia harus berpikir positif.
"Baiklah, Ayah.. Apapun itu Aldan akan setuju dengan semua permintaan kalian. Aldan tidak akan memberontak, akan menerima semuanya dengan lapang dada." Bahkan Aldan mengatakan itu penuh dengan keyakinan.
"Menikahlah besok dengan wanita pilihan ayah, wanita anak dari sahabat ayah." Sungguh bagaikan petir di siang bolong Aldan mendengar permintaan itu. Bahkan Tas yang ia pegang jatuh ke lantai, ia masih menatap sang ayah dengan tatapan tak percaya.
"Menikah? Besok? Dengan wanita anak dari sahabat ayah?" Aldan menyerang Aslan dengan pertanyaan beruntun.
~
Aslan mengangguk mantap sembari tersenyum manis, ia yakin jika Aldan akan setuju dengan semua permintaannya. Seperti saat ini Aldan masih menatap tak percaya Aslan lalu menatap kearah sang Bunda.
"Aku bahkan masih terlalu muda untuk menjadi seorang kepala keluarga, Ayah.." Aldan mencoba mencari alasan yang tepat. Karna menikah diusia yang masih belasan tahun sungguh membuat Aldan sakit kepala. Ia tidak pernah membayangkan hal seperti ini sebelumnya.
"Ayah dan Bunda juga dulu menikah disaat seusia mu, Hanya saja kami tidak mau memiliki anak lebih cepat. Hingga pernikahan berjalan 3 tahun, barulah Ibu mu hamil kamu." Ucap Aslan yang langsung membuat kaki Aldan lemas seketika.
"Itu jaman Belanda, Ayah.." Aldan protes, ia menatap Aslan yang terbaring. "Ini sudah jaman milenial, menikah cepat juga bukan semboyan hidupku." Lanjutnya.
Claudia melangkah mendekati Aldan, ia mengelus tangan Aldan agar sang putra lebih menahan emosinya.
"Sembarangan! Itu tidak jaman Belanda, kau ini!" Sanggah Aslan, ia menarik napas dalam-dalam lalu menatap intens Aldan yang terlihat kesal.
"Ayah hanya khawatir dengan kehidupan yang kau jalani, Al.. Kau pemimpin geng motor, selalu saja berkelahi dengan siapapun yang menganggu hidupmu." Ucapan Aslan membuat Aldan menjadi terdiam.
"Tidak mudah bagi Aldan meninggalkan semua ini, Ayah.."
"Maka menikahlah, menikah bukan berarti menghalangi setiap tujuan dan Cita-cita mu. Lagian kau juga sebentar lagi lulus SMA, memasuki fase kuliah. Menjalani pernikahan tidak akan menganggu mu, apakah kau mengerti?"
Aldan tidak bisa berkata-kata, ia menatap ke arah Claudia yang sepertinya sama tidak berdaya.
"Yayasan milik kita, untuk mempertahankan sampai kau lulus SMA masih mudah dilakukan." Kata Aslan lagi, membuat Aldan tidak ada kesempatan untuk menolak semua perintah tidak masuk akal itu.
"Baiklah, terserah Ayah saja.." Aldan tersenyum manis kepada Aslan dan juga Claudia. Ia duduk di sofa sembari memijat pelipis nya, Aldan memikirkan kehidupan besok yang mana akan dekat dengan malapetaka.
Aslan lega sekali mendengar sang putra menyetujui semua keinginan nya. Aslan meminta Claudia untuk segera menghubungi Farid, asisten pribadinya. Dari situlah Aldan melihat keceriaan diwajah sang ayah, membuat Aldan tidak sanggup jika melakukan sesuatu hal yang bisa membatalkan pernikahan.
"Kau tidak mau melihat pengantin wanita nya?" Tanya Claudia diselingi tawa kecil, ia masih tidak menyangka jika putra kecilnya sudah akan menikah besok.
Aldan menghela napas panjang, "Tidak perlu, pilihan ayah dan bunda pasti jelek." Aldan menolak.
Aslan dan Claudia saling pandang satu sama lain, mereka ingin tertawa sebenarnya.
"Sembarangan kamu! Jelas cantik dong, Bunda yakin.. Kamu akan terpesona melihat kecantikan dan keimutan nya." Ucap Claudia sembari mengusap gemas rambut Aldan.
Aldan seakan bodoamat, ia pasrah dengan semua yang terjadi besok. Siapapun yang akan ia nikahi besok, ia juga tidak mau perduli dengan itu semua. Semua sudah diluar kendali, Aldan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menuruti semua kemauan sang ayah.
Kala Aldan akan bangkit, "Kau mau kemana lagi?" Tanya Aslan yang sedang dibantu Claudia untuk duduk diatas bed pasien.
"Mau ke markas, kan sudah tidak ada kelas sama Paman Farid." jawab Aldan sembari mengambil tasnya yang tergeletak di lantai.
Aslan menghela napas panjang melihat kelakuan putranya sendiri, yang sempat sempat nya memikirkan markas di saat genting begini.
"Tidak bisa, Al.. Kamu harus tetap berada di ruangan Ayah sampai pernikahan besok!"
Tentu saja Aldan terkejut, "Ayah, pliese.. Aldan juga tidak akan kabur, aku akan tetap menikah besok." Berusaha menyakinkan sang ayah.
"Tidak, Aldan! Tetap diam disini, ayah tidak mau kau melakukan hal yang tidak tidak malam ini." Aslan mempertegas perintahnya, sudah pasti Aldan tidak memiliki kekuatan untuk membantah. Akhirnya Aldan pasrah, ia berbaring di sofa dengan tatapan super tajam kearah langit-langit ruangan.
•
•
Alya tertawa kala menonton acara drama Korea terfavorit nya, ia merasa mood malam ini cukup bagus. Ia terus menonton drama hingga suara ketukan pintu menghentikan aktivitasnya. Alya bangkit untuk membuka pintu sembari mengikat rambut panjang nya.
Kala membuka pintu, Alya langsung tersenyum kala melihat Ayah dan Ibunya yang datang.
"Loh, ada apa ini datang berbarengan begini?" Tanya Alya sembari mempersilahkan kedua orang tuanya untuk masuk.
Reygan dan Dara masuk kedalam kamar putri mereka, terlihat Reygan seperti sedang ingin mengatakan sesuatu.
"Alya sedang sibuk tidak?" Tanya Reygan sembari duduk di pinggir ranjang.
Alya duduk di sofa berhadapan dengan kedua orang tuanya. Ia sebenarnya merasakan sesuatu yang penting yang akan dibahas, ia berharap semoga itu tidak tentang kepergian mereka menuju Perusahaan yang ada di luar negeri.
Ya, Alya selalu di tinggal pergi oleh Reygan dan Dara. Orangtua nya selalu sibuk bekerja hingga tidak memiliki waktu yang banyak untuk Alya. Sering kali Alya menangis kesepian, tapi Alya tidak pernah memperlihatkan hal itu kepada kedua orang tua yang sangat Alya sayangi.
Segala fasilitas mewah disediakan Reygan dan Dara untuk Alya seorang, hanya saja sebenarnya yang paling Alya butuhkan adalah perhatian dan kasih sayang mereka. Bukan meninggalkan setiap bulan kepada Bibi, hingga membuat Alya lupa dengan peran orang tua didalam hidup nya.
"Tidak, Ayah.. Alya senang kalian ada waktu untuk berbicara, sudah lama sekali bukan kita tidak seperti ini?" Alya berusaha bercanda sekalipun sebenarnya ia ingin menangis.
Alya terharu karena keinginan nya selama ini telah terwujud, Alya ingin selalu seperti ini dengan kedua orang tuanya.
"Apa yang ingin kalian bicarakan?" Alya terlihat sangat excited.
"Sebelum ayah mengatakan nya, Ayah dan Ibu ingin Alya berjanji untuk tidak marah akan permintaan kami ini." Perkataan Reygan membuat senyuman Alya memudar seketika.
"Sahabat ayah sakit, jadi dia ingin anak laki-laki nya segera menikah. Jadi, kami merencanakan perjodohan mu dengan anak beliau." Ujar Reygan tanpa beban sama sekali.
Alya terpelongo bahkan seperti bingung harus mengatakan apa, "Semua sudah disiapkan, sebenarnya bukan meminta persetujuan mu.. Hanya memberi tahu saja bahwasannya kau besok akan menikah dengan anak teman ayah." jelas Reygan lagi.
Dara hanya diam menatap Alya yang masih menganga seakan tidak percaya.
"Menikah besok? Yang benar aja, Ayah, Ibu.. Alya masih terlalu muda untuk melakukan pernikahan, kalian bercanda yaa?" Alya masih belum percaya dengan semua perkataan Reygan.
"Tidak, Nak.. usia mu sudah cukup matang untuk menikah. Kau akan menikah dengan keluarga kaya raya, masa depan akan lebih terjamin." Dara menimpali.
Alya terkekeh mendengar nya, tidak dipungkiri selama ini yang dipikirkan oleh kedua orang tuanya hanyalah harta kekayaan saja. Hingga nekad mengambil keputusan untuk menikahkannya dengan seorang yang bahkan Alya tidak tahu siapa pria itu.
Keesokan pagi sesuai yang dikatakan Reygan dan Dara, kini Alya sedang dalam perjalanan menuju kediaman yang mana pernikahan akan berlangsung disana. Jujur Alya sedikit bingung, seharusnya pernikahan dilakukan di pihak wanita. Tapi, kali ini mengapa berbeda?
Mata Alya melirik kearah Dara yang hanya diam menunduk sedari tadi. Bahkan tidak ada bicara sama sekali dengan Reygan yang juga sama-sama diam.
"Ibu, rumah calon ku masih jauh?" Tanya Alya untuk memecahkan keheningan.
"Tidak, sayang.. Sebentar lagi juga sampai." Dara menjawab sambil mengelus rambut panjang Alya. Ia menatap Alya penuh rasa kasih sayang yang teramat dalam, dicampur dengan rasa bersalah yang cukup besar.
Reygan menggenggam erat tangan Alya, ia mencoba menguatkan sang putri dari genggaman tangan itu. Alya tidak dendam atau bahkan benci dengan segala keputusan sepihak kedua orang tuanya. Ia yakin, orang tuanya tau mana yang terbaik untuk kehidupannya.
Mobil berhenti di Mansion mewah, bahkan seharusnya lebih pantas disebut sebagai Istana. Mata Alya membola sempurna kala melihat interior bangunan yang sungguh menawan. Serta suasana Mansion yang sungguh nyaman, ada banyak pelayan yang berlalu lalang.
"Ini rumah calon aku, Ayah?" Tanya Alya kepada Reygan yang tertawa kecil. Reygan mengangguk mantap, Alya langsung tersenyum senang.
"Selamat datang, Tuan Dexter. Silahkan masuk, semua orang sudah menunggu kedatangan kalian." Ucap Farid kepada keluarga Alya yang tersenyum.
Lain dengan Alya yang masih jalan kesana kemari melihat Mansion mewah milik calon suaminya.
"Sebenarnya pria seperti apa yang akan aku nikahi? Apa seperti pangeran william? What?!" Alya histeris sendiri.
"Kalau aku tahu calon ku akan sekaya ini, maka aku tidak perlu menangis seperti orang gila tadi malam. Cukup diam dan tertawa aja, Hihihi.." Alya bermonolog sendiri di dalam hati.
Keluarga Dexter langsung diantar menuju ruang tamu dimana semua orang sudah menunggu kedatangan mereka. Mata Alya mendongak sempurna dan tiada henti mengucapkan kata kagum kala melewati interior yang sangat mewah untuknya.
"Selamat datang besan, silahkan duduk.." Sapa Aslan, Keluarga Dexter duduk bersama. Aslan tersenyum manis kepada Alya yang baru tersenyum kepadanya.
"Sepertinya acara pernikahan sudah bisa dilaksanakan.." Kata Farid yang langsung mendapatkan anggukan mantap dari semua orang. Padahal yang sebenarnya Alya masih terlalu terkejut dan belum siap tentunya untuk segera melaksanakan pernikahan.
Jantung Alya berdegup kencang menantikan jodoh seperti apa yang sudah disiapkan oleh kedua orang tuanya. Hingga suara langkah kaki membuat Alya semakin gugup, ia memberanikan diri untuk berbalik badan. Mata Alya langsung membola sempurna kala melihat pria yang selama ini menjadi musuhnya perlahan berjalan kearahnya.
Sebenarnya bukan hanya Alya yang terkejut, Aldan lebih terkejut juga. Bahkan ia sampai mengucek matanya sendiri untuk memastikan semuanya. Aldan sungguh tidak menyangka jika orang tuanya akan menikahkan dirinya dengan Alya yang ber notabene musuh abadinya.
Aldan dan Alya hanya saling terdiam satu sama lain, apa lagi Aldan yang tidak berani protes lagi.
"Hem, pernikahan sudah siap Aldan laksanakan, Ayah, Bunda.. Paman, Tante, Aldan sudah siap." Ucap Aldan dengan sangat tegas, ia berusaha untuk tersenyum agar lebih berani mengambil keputusan yang cukup berat ini.
Alya ingin protes, tapi tangan Alya digenggam erat oleh Dara. Tatapan mata Dara seperti mengatakan kepada Alya untuk tetap tenang, terima semua yang sudah terjadi. Seperti yang dilakukan Aldan. Maka sudah pasti, mau tidak mau Alya menerima semua itu.
~~
Aldan yang kini sudah duduk berhadapan dengan pak penghulu dan Ayah dari Alya. Aldan berusaha mencubit tangannya sendiri menyadarkan apa ia sedang bermimpi atau tidak. Aldan menatap kearah Aslan yang terlihat bahagia, bahkan langsung terlihat sembuh hanya karna Aldan mau menikah.
"Acara sudah bisa dimulai, apakah kau siap Nak Aldan?" Tanya Pak penghulu kepada Aldan yang sedari tadi hanya diam. Aldan menghela napas panjang, ia yakin dengan semua keadaan ini.
"Siapa, Pak!" Sungguh tegas Aldan mengatakan itu. Bahkan Reygan saja kagum dengan ketegasan yang Aldan miliki. Itu tidak heran karna Aldan juga merupakan sosok ketua genk motor besar di kota Jakarta.
Acara ijab qabul dimulai, dengan lantang serta fasih Aldan mengucapkan kata sakral itu. Hingga suara SAH dari semua orang terdengar. Aldan menghela napas lega, ia sudah menjadi suami dari Alya Dexter. Tidak tahu kehidupan nya besok, Aldan memasrahkan semuanya kepada sang Pencipta.
Aslan menepuk punggung Aldan dengan perasaan bangga, bahkan menangis terharu. Aldan telah melakukan keinginan yang sangat diinginkan oleh Aslan.
"Terimakasih sudah mewujudkan keinginan Ayah, Nak.. Hiduplah bahagia bersama dengan Alya selamanya, Ayah menginginkan itu." Ucapan Aslan membuat semua orang terharu.
Apa lagi Aldan, ia tidak menyangka jika pernikahan tidak diinginkan ini akan menjadi sumber kebahagiaan terbesar ayah nya. Sementara Aldan ragu dengan dirinya sendiri, apa ia bisa menjalani pernikahan ini dengan Alya?
Pandangan mata Aldan langsung tertuju kepada Alya yang kini menuruni tangga bersama dengan Zea. Alya sungguh cantik dengan memakai pakaian panjang berwarna putih itu. Aldan terpesona, tapi itu hanya sebentar. Alam sadarnya membuat Aldan sadar, ia tidak mau terlihat terpesona dengan Alya.
Zea membawa Alya untuk duduk di samping Aldan, tentu saja Alya menjadi bingung sendiri. Tapi, Claudia membantu nya untuk duduk bahkan membuat Aldan dan Alya menjadi lebih dekat. Aldan menjadi tidak suka, ia tidak suka dengan posisi ini.
"Sekarang ambil gambar untuk mereka, kita harus mengabadikannya momen ini dengan sebaik-baiknya." Perintah Aslan kepada Farid, dengan senang hati Farid melakukan keinginan tuan besar nya.
Aldan dan Alya tersenyum secara terpaksa di depan kamera, apa lagi Alya yang harus mencium tangan Aldan.
"Nggak mau, tangan Aldan bau terasi!" Tolak Alya mentah-mentah hingga membuat semua orang tertawa.
Aldan menatap tajam Alya yang seperti tidak merasa bersalah, ia saja benci dan jijik sebenarnya mencium kening Alya tadi. Tapi, bagaimana lagi? Aslan memaksanya, Aldan juga segan dengan Reygan yang selalu saja memerhatikan segala tingkahnya.
"Jangan ngajak ribut deh, Lo!" Aldan nyolot, kemungkinan kesabaran nya sudah habis.
Dara mencubit kecil lengan sang putri, ia melotot kearah Alya hingga membuat Alya menjadi patuh. Ia mencium punggung tangan Aldan, itupun hanya pucuk nya saja. Aldan tidak Terima tentunya, ia sengaja mengarahkan tangannya secara paksa kearah bibir Alya. Barulah semua orang bertepuk tangan, lain dengan Alya yang memaki Aldan didalam hati.
Banyak sekali wejangan yang harus Aldan dan Alya dengar, tentang kewajiban sebagai seorang istri dan suami. Apa lagi Alya yang harus mendapatkan kenyataan bahwa ia tidak akan tinggal bersama orang tuanya lagi.
Saat mengetahui itu, Alya langsung duduk disamping kedua orang tuanya. Alya menangis sambil memeluk Dara, ia belum siap dengan semua kehidupan ini.
"Jangan menangis, sayang.. Ayah dan Ibu kan tidak jauh darimu, Aldan akan mengantarkan mu jika kau rindu dengan Ayah dan Ibu." Ucap Dara sembari mengelus punggung belakang Alya yang terus saja menangis.
Aldan yang duduk disamping Aslan, ntah kenapa menjadi kasihan dengan Alya. Diusia muda harus sudah menjauh dari orang tua karna sudah menikah, Aldan sungguh kasihan dengan Alya.
"Sekarang kamu adalah tanggung jawab Aldan, semuanya akan diurus oleh Aldan. Sebelum melaporkan semua masalah hidupmu dengan Ayah, kau harus sudah melaporkan semua itu kepada Aldan dulu." Nasehat Reygan itu membuat Alya langsung melepas pelukan sang ibu.
"Bagaimana bisa seperti itu, Ayah? Sementara yang selalu saja membuat Alya dalam masalah ya, Aldan! Kecoa itu!" Sungguh tanpa beban Alya mengatakan itu.
Semua orang langsung menatap kearah Aldan yang sedang tertuduh sekarang. Aldan menunjuk dirinya sendiri, bahkan dirinya sedari tadi hanya diam kena getahnya juga.
"Aku tidak akan ganggu Alya lagi.." Ucap Aldan membuat semua orang lega lain dengan Alya yang tidak akan mempercayai semua itu.
"Apapun itu, pernikahan ini sakral. Kalian tidak boleh memainkan nya.. Kedewasaan seseorang tidak dilihat dari umur, melainkan dari sikap. Ayah harap, semoga pernikahan kalian akan langgeng selama-lamanya." Harapan Aslan membuat semua orang terharu.
Alya hanya diam menunduk, jangankan selamanya.. satu minggu Alya saja ragu dengan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!