Mentari pagi menyingsing, menerobos celah-celah gorden kamar Raka. Pemuda berusia 20 tahun itu menggeliat, membuka matanya perlahan. Seperti biasa, hari baru telah menanti dengan segudang aktivitas yang harus diselesaikan. Raka beranjak dari tempat tidur dan bersiap untuk memulai rutinitas hariannya.
Seusai mandi dan berpakaian rapi, Raka turun ke ruang makan. Aroma harum masakan tercium memenuhi udara. Ibunya yang selalu bangun lebih awal tengah menyiapkan sarapan. Di meja, Kirana - adik angkatnya - sudah duduk dengan wajah cerianya seperti biasa.
"Pagi, Kak!" sapa Kirana begitu melihat Raka memasuki ruangan. Senyumnya merekah, memancarkan aura positif khas remaja berusia 17 tahun.
"Pagi juga," balas Raka, mengambil tempat di seberang Kirana.
Sejak kecil, mereka memang tidak diikat oleh hubungan darah. Namun setelah keluarga Raka mengangkat Kirana sebagai anak angkat, kasih sayang seperti saudara kandung terjalin begitu erat. Ikatan mereka demikian kuat hingga tak ada yang menyangka mereka bukan saudara sekandung.
"Raka, kau tidak lupa 'kan hari ini ada acara penting di sekolah Kirana?" tanya Ibu mengingatkan sembari menyajikan sarapan di meja.
Raka mengangguk. Tentu saja dia tak mungkin melupakan acara seperti itu. Meski kini kuliah di universitas berbeda, Raka selalu menyempatkan diri mendukung adiknya.
"Kirana sudah tidak sabar!" Gadis itu berseru antusias. "Kak Raka akan melihat penampilan spesialku di acara itu nanti!"
Raka tersenyum melihat semangat menggebu adiknya. Meski lelah rutinitas kuliah, dia tak keberatan meluangkan waktu untuk Kirana. Ikatan persaudaraan itu begitu istimewa. Dari awal, mereka memang dimulai dengan cara yang sama - sebagai saudara angkat yang tumbuh bersama berbagi suka dan duka.
Setelah menghabiskan sarapan, Raka dan Kirana bergegas berangkat untuk memulai hari mereka. Seperti biasa, Raka akan mengantarkan Kirana ke sekolah terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan ke kampusnya.
Selama di perjalanan, percakapan mengalir ringan layaknya saudara yang begitu akrab. Kirana berceloteh riang, menceritakan persiapan untuk acara pentingnya hari ini. Raka mendengarkan dengan saksama, sesekali menanggapi antusias adiknya itu.
"Aku sudah tidak sabar untuk tampil nanti, Kak. Semoga penampilanku sukses dan Kakak bangga," ucap Kirana penuh harap.
"Tentu saja aku akan bangga, Kirana. Kau sudah berlatih keras untuk ini," balas Raka meyakinkan. "Aku yakin kau akan memukau semua orang seperti biasanya."
Kirana terkekeh senang mendengar pujian Raka. Ikatan batin mereka begitu kuat sehingga dukungan dari Raka amat berharga untuknya.
Setibanya di sekolah, Raka memarkir mobilnya. Dia menurunkan Kirana lalu memeluk adiknya singkat. "Kuharap harimu menyenangkan. Semoga sukses nanti!"
Kirana membalas pelukan kakaknya. "Terima kasih, Kak. Aku menyayangimu."
Melihat Kirana berlari masuk ke gedung sekolah, Raka tersenyum lembut. Sebagai saudara angkat, dia amat mencintai Kirana seperti saudara kandungnya sendiri. Sejak kecil, keduanya memang berawal dengan cara yang sama - diikat oleh tali persaudaraan yang begitu erat.
Raka tak memiliki bayangan sama sekali bahwa hubungan persaudaraan mereka akan mengalami guncangan yang akan merubah segalanya. Ikatan itu suatu hari nanti akan diuji oleh sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
..
Setelah mengantar Kirana, Raka melanjutkan perjalanan menuju kampusnya. Selama di perjalan, pikirannya kembali melayang pada adik angkatnya itu. Dia mengingat kembali betapa erat ikatan mereka sejak diadopsi ke keluarga ini. Saat itu, Raka masih berusia 10 tahun sementara Kirana baru berumur 7 tahun. Meski tidak sedarah, kasih sayang seperti saudara kandung segera tumbuh di antara keduanya.
Raka mengingat bagaimana sang ibu memperlakukan mereka tanpa pandang bulu. Begitu pun ayahnya yang selalu menyayangi Kirana sama seperti dirinya. Memang sulit membedakan mana yang saudara kandung atau angkat di keluarga ini.
Senyum Raka mengembang mengingat betapa akrabnya dia dengan Kirana. Momen-momen manis dari masa kecil hingga dewasa terputar di benaknya. Saat-saat mereka bermain bersama, menangis bersama, bahkan berkelahi kecil seperti saudara pada umumnya. Semuanya terasa sangat spesial dan istimewa.
"Kami benar-benar dimulai dengan cara yang sama," gumam Raka sambil menyetir. "Sebagai saudara angkat yang tumbuh bersama melalui suka dan duka."
Namun di satu sudut hatinya, ada sesuatu yang mulai tumbuh tanpa Raka sadari. Benih perasaan asing yang seharusnya tidak boleh ada dalam hubungan persaudaraan mereka. Untuk saat ini, benih itu masih terpendap. Tapi suatu hari nanti, dia akan berkecambah dan mengguncang segalanya.
Sesampainya di kampus, Raka menepis segala pemikiran aneh itu jauh-jauh. Hubungannya dengan Kirana sederhana - sebagai saudara angkat yang sangat akrab dan saling melengkapi. Itulah pondasi yang membuat mereka berawal dengan cara yang sama sejak awal.
Raka bergegas menuju kelasnya. Pikirannya masih sedikit terbagi mengingat acara penting Kirana hari ini. Dia berharap bisa menyelesaikan kuliahnya lebih awal agar bisa menyaksikan penampilan adiknya nanti.
Jam demi jam berlalu hingga waktu menunjukkan pukul 2 siang. Kelas terakhir Raka hari ini baru saja usai. Pemuda itu segera bergegas meninggalkan kampus menuju sekolah Kirana. Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Sebuah panggilan video dari Kirana.
"Hai, Kak! Kamu sudah dalam perjalan?" sapa Kirana riang begitu Raka menjawab panggilannya.
"Iya, aku baru saja selesai kuliah. Sedang menuju ke sana. Acaranya masih berlangsung?" balas Raka.
"Masih, tapi giliranku tampil sudah lewat," jawab Kirana sedikit kecewa.
"Apa? Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku bisa mencoba untuk tiba lebih cepat," Raka merasa menyesal karena hampir melewatkan penampilan penting adiknya.
"Tidak apa-apa, Kak," Kirana tersenyum lembut. "Aku sudah merekamnya untukmu. Nanti bisa kita tonton bersama di rumah."
Raka menghela napas lega mendengarnya. "Baiklah kalau begitu. Yang penting kau tampil dengan baik tadi."
"Tentu saja! Aku memberikan yang terbaik seperti yang kaulakukan selama ini," Kirana terkekeh. "Cepatlah ke sini, Kak. Aku menunggumu."
Panggilan video pun terputus. Raka yang merasa bersalah karena hampir melewatkan momen penting adiknya, kini mengemudikan mobilnya lebih cepat menuju sekolah Kirana. Dia akan meminta maaf secara langsung dan memuji penampilan Kirana nanti.
Setibanya di sana, Raka segera mencari Kirana. Dia melihat adiknya berdiri di koridor bersama teman-temannya. Senyum sumringah menghiasi wajah Kirana begitu melihat kedatangan Raka.
"Kak Raka!" serunya riang sembari menghampiri Raka dan memeluknya erat.
Raka membalas pelukan Kirana, merengkuhnya hangat. "Maafkan aku tidak bisa menyaksikan penampilanmu secara langsung," ucapnya tulus.
Kirana menggeleng sambil tersenyum. "Tidak masalah, yang penting Kakak nanti melihatnya juga."
Melihat keakraban Raka dan Kirana, beberapa teman Kirana tampak tersipu malu. Ada rasa iri sekaligus kagum pada hubungan persaudaraan erat yang terjalin di antara keduanya. Sejak dulu, memang begitulah keduanya - dimulai dengan cara yang sama sebagai saudara angkat yang terikat begitu kuat.
Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah Kirana, suasana di dalam mobil begitu hangat dan akrab. Raka memutar rekaman penampilan Kirana di layar ponselnya agar bisa menyaksikannya bersama sang adik.
"Kirana, kau benar-benar luar biasa di atas panggung tadi!" puji Raka tulus setelah videonya selesai diputar.
Kirana tersenyum lebar, merasa bangga atas pujian kakaknya. "Terima kasih, Kak. Aku sangat senang akhirnya bisa menampilkan yang terbaik di acara itu."
"Aku yakin teman-temanmu juga pasti terpukau melihat penampilanmu tadi," Raka menepuk pundak Kirana.
"Hmm, beberapa dari mereka memang kelihatan iri saat menatap kita tadi," canda Kirana sambil terkekeh.
Raka ikut tertawa. "Ya, mungkin mereka iri melihat kita sebagai saudara yang begitu akrab."
"Tentu saja! Ikatan persaudaraan kita sangat erat, Kak," sahut Kirana mantap. "Meski bukan saudara kandung, tapi rasa sayang di antara kita sama kuatnya."
Kata-kata Kirana membuat Raka terharu. Dia benar-benar merasa beruntung memiliki adik angkat sebaik Kirana. Ikatan mereka memang luar biasa. Semua kenangan indah dari masa kecil hingga dewasa terlintas di benaknya.
"Kirana, ingat saat kita masih kecil dan sering bertengkar hebat hanya karena memperebutkan mainan?" Raka terkekeh mengingat momen itu.
Kirana ikut tertawa. "Ya, tentu saja aku ingat! Lalu kita akan saling mengunci di kamar sampai ayah yang melerai pertengkaran bodoh itu."
Keduanya lalu saling bertukar cerita masa lalu yang selalu sukses membuat mereka tertawa lepas. Bagi Raka dan Kirana, ikatan persaudaraan mereka merupakan hal paling berharga dalam hidup. Tidak ada yang bisa menggantikannya.
Sesampainya di rumah, keduanya disambut hangat oleh ayah dan ibu tercinta. Melihat kedekatan anak-anaknya, senyum bahagia turut mengembang di wajah kedua orang tua itu. Mereka bahagia bisa mempersatukan Raka dan Kirana melalui tali persaudaraan yang begitu kukuh.
"Seperti ini lah seharusnya hidup," gumam Raka dalam hati. "Dikelilingi orang-orang yang kita cintai dan terikat melalui ikatan persaudaraan yang tak akan pernah putus."
Namun sekali lagi, benih asing itu masih bersemayam dalam sudut terdalam hatinya tanpa Raka sadari...
...
Malam itu, setelah makan malam bersama, Raka dan Kirana memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di kamar Kirana. Seperti biasa, mereka akan bercengkerama hingga larut malam layaknya sahabat akrab.
"Buatkan aku secangkir cokelat panas, Kak," pinta Kirana sambil duduk bersila di atas ranjangnya.
"Baiklah, Tuan Putri," Raka terkekeh sambil beranjak membuatkan minuman untuk adiknya.
Selagi menunggu, Kirana memainkan gitarnya dan mulai memetik sebuah lagu. Suara merdunya mengalun indah, mengisi kesunyian malam dengan melodi yang merdu.
Raka kembali dengan secangkir cokelat panas di tangannya. Dia menyerahkannya pada Kirana sambil menatap adiknya dengan pandangan lembut.
"Terima kasih, Kak," ucap Kirana sembari menyeruput cokelat panasnya perlahan.
"Sama-sama, Adikku," balas Raka seraya mengambil tempat duduk di samping Kirana.
Keheningan sesaat melingkupi, hanya ditemani alunan petikan gitar dari jemari lentik Kirana. Raka menikmati momen-momen seperti ini, di mana dia bisa menghabiskan waktu berkualitas dengan sang adik tercinta.
"Kak, aku sangat menyayangimu," ucap Kirana tiba-tiba, masih memetik gitarnya.
Raka menoleh dan tersenyum lembut, "Aku juga sangat menyayangimu, Kirana. Kau adalah adikku yang paling berharga."
Kirana balas menatap Raka dengan sorot matanya yang jernih. "Kita memang bukan saudara kandung, tapi ikatan kita bahkan lebih kuat dan erat dari saudara sedarah sekalipun."
Perkataan Kirana menyentuh relung hati Raka. Dia merangkul pundak adiknya dengan sayang. "Kau benar. Ikatan persaudaraan kita tidak akan pernah putus, apapun yang terjadi."
Mereka berdua kemudian saling berpelukan erat. Kehangatan melingkupi tubuh masing-masing, menandakan betapa kuatnya tali persaudaraan yang terikat di antara keduanya.
Tanpa disadari, sepintas kilat lewat di mata Raka. Hatinya menghangat melihat wajah Kirana dari jarak sedekat ini. Ada sebersit perasaan asing yang mencoba menggodanya. Namun Raka segera menepisnya jauh-jauh.
"Tidak, dia adalah adikku. Aku tidak boleh berpikiran aneh," gumamnya dalam hati.
Untuk malam itu, Raka kembali mengukuhkan ikatan persaudaraan mereka yang begitu solid. Apapun yang terjadi, hubungan itu takkan pernah tergoyahkan, begitu pikirnya. Namun dia tidak tahu, ujian terberat mungkin akan segera datang untuk mengguncang segalanya.
...
Hari-hari berlalu, kehidupan keluarga Raka dan Kirana terus berjalan harmonis seperti biasa. Ikatan persaudaraan kuat di antara keduanya menjadi pilar penyangga kebahagiaan mereka. Orang Tua mereka pun turut bahagia melihat kedekatan anak-anaknya itu.
Seperti malam-malam sebelumnya, Raka dan Kirana kembali menghabiskan waktu bersama di kamar Kirana. Kali ini Kirana tampak sedikit gundah.
"Ada apa, Kirana? Kau tampak murung malam ini," tanya Raka dengan nada khawatir.
Kirana menghela napas panjang. "Entahlah, Kak. Aku hanya merasa sedikit sedih mengingat waktu tinggal setahun lagi sebelum aku lulus sekolah."
Raka mengerti kegelisahan adiknya. Peristiwa seperti kelulusan memang selalu meninggalkan kenangan mendalam, baik senang maupun sedih.
"Kau pasti akan sangat merindukan momen-momen bersamamu di sekolah nanti," Raka merangkul pundak Kirana dengan hangat.
"Iya, aku pasti akan sangat merindukan itu semua," Kirana menyandarkan kepalanya di bahu Raka. "Tapi yang paling kurindukan adalah kebersamaan kita seperti ini, Kak."
Kata-kata Kirana menyentuh relung hati Raka. Dia memeluk adiknya dengan erat, meyakinkan bahwa ikatan di antara mereka tidak akan pernah pudar meski waktu berlalu.
"Dengarkan aku, Kirana," ucap Raka lembut. "Apapun yang terjadi, ikatan persaudaraan kita tidak akan pernah terputus. Kau bisa mengandalkan ku sepenuhnya, saat ini dan nanti."
Kirana membalas pelukan Raka, menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang kakak tercinta. Air mata mengalir membasahi pipinya.
"Terima kasih, Kak. Aku sangat menyayangimu, lebih dari apapun di dunia ini."
Melihat Kirana begitu rapuh di pelukannya, Raka merasa begitu ingin melindungi sang adik. Rasa sayangnya pada Kirana seakan meluap-luap hingga mencekatkan napasnya sendiri. Dia mengeratkan rengkuhannya, seolah tak ingin kehilangan Kirana barang sejenak.
Sekali lagi, benih asing itu menggodanya jauh di lubuk hatinya terdalam. Namun kali ini, benih itu tumbuh perlahan hingga mulai berkecambah menjadi semacam perasaan aneh yang hinggap di hati Raka...
..
Seminggu berlalu sejak malam di mana Kirana mengungkapkan kegelisahannya pada Raka. Namun sejak saat itu, ada yang berbeda dari cara Raka memandang adik angkatnya. Perasaan asing yang tumbuh perlahan dalam hatinya kian tak terbendung.
Sore itu, seperti biasa Raka menjemput Kirana seusai pulang kuliah. Pemandangan yang menyambutnya di gerbang sekolah membuat jantungnya berdegup kencang tak karuan. Kirana tengah berdiri di sana, dikerumuni oleh beberapa lelaki sebayanya yang sepertinya adalah teman-teman sekelasnya.
Tak disadari, Raka memperhatikan dengan saksama bagaimana gadis itu tersenyum dan tertawa lepas bersama teman-temannya. Caranya bergerak dan berinteraksi terlihat begitu anggun dan memesona di matanya. Tanpa sadar, Raka mengagumi pesona adiknya sendiri.
"Raka? Kau sudah datang?" Suara lembut Kirana membuyarkan lamunannya.
Gadis itu menghampiri Raka dengan senyum lebarnya yang biasa. Tanpa disadari, ada semu merah tipis menghiasi pipi Raka melihat kedatangan Kirana.
"I-iya, ayo kita pulang," sahut Raka sedikit terbata.
Selama di perjalanan pulang, keduanya larut dalam perbincangan ringan seperti biasa. Namun kali ini, tatapan Raka seringkali terpaku pada Kirana lebih lama dari biasanya. Dia mengamati cara adiknya berbicara, tersenyum, bahkan berkedip. Tanpa sadar, pesona alami gadis itu seakan menyihirnya.
"Ada apa kak? Kenapa dari tadi memandangiku seperti itu?" tanya Kirana heran melihat tingkah aneh Raka.
"Eh? Ah tidak, tidak ada apa-apa," Raka tergagap, mengalihkan pandangannya ke jalanan dengan semburat merah menghiasi wajahnya.
Sepanjang sisa perjalanan, Raka terus berusaha menekan perasaan anehnya yang tumbuh subur terhadap Kirana. Suara hatinya berteriak bahwa ini salah, sangat salah. Bagaimana mungkin dia bisa berpikiran tidak senonoh pada adik angkatnya sendiri? Mereka terikat dalam ikatan persaudaraan yang begitu kukuh.
Namun semakin Raka ingin menepisnya, semakin kuat pula perasaan itu menancapkan akarnya di sudut terdalam hatinya. Sebuah perasaan terlarang pada sang adik yang tak seharusnya hinggap dalam benaknya.
Raka mengepalkan tangannya erat-erat, tubuhnya terasa memanas karena pergolakan jiwa yang berkecamuk di dalam dirinya sendiri.
"Aku harus bisa mengendalikan diriku. Kirana adalah adikku, tidak lebih dari itu!" Tekadnya dalam hati, berharap bisa mengusir rasa larangannya jauh-jauh.
...
Sejak merasakan lonjakan perasaan terlarang terhadap Kirana, Raka berusaha menekan dan menjauhkan diri sejauh mungkin dari adik angkatnya itu. Dia merasa jijik dan malu pada dirinya sendiri karena memandang Kirana dengan cara yang tidak selayaknya seorang kakak pada adiknya.
Namun usaha Raka untuk memberikan jarak dengan Kirana semakin sulit dilakukan. Sebagai saudara yang begitu dekat sejak kecil, setiap detik mereka terpisah terasa bagaikan lubang menganga yang senantiasa merindukan kebersamaan.
Alhasil, meski sibuk menghindar, mata Raka selalu terpaut untuk mengamati setiap gerak-gerik Kirana secara diam-diam. Tanpa sadar, dia mengagumi bagaimana sang adik tumbuh menjadi seorang gadis yang begitu memesona dan anggun.
Kebiasaan Kirana yang paling disukai Raka adalah saat gadis itu menyibakkan poninya ke belakang telinga dengan gerakan tangan yang luwes. Raka akan merasakan desiran aneh menjalari dirinya menyaksikan setiap kali Kirana melakukan hal sederhana itu.
Bahkan caranya berbicara dan tertawa lepas seperti remaja pada umumnya, kini terdengar begitu merdu di telinga Raka bagaikan alunan musik yang membuatnya mabuk kepayang.
"Ada apa sebenarnya denganku?" gumamnya penuh kekalutan. "Kenapa semua yang dilakukan Kirana mendadak terlihat begitu berbeda di mataku?"
Raka sama sekali tidak bisa mengendalikan emosi dan perasaan anehnya setiap kali berdekatan dengan Kirana. Dia bahkan harus menghindari kontak mata langsung dengan sang adik karena merasa segala yang ada dalam diri Kirana seakan menghipnotisnya.
Suatu malam, Raka hendak mengambil cemilan di dapur saat melihat Kirana muncul dari arah tangga. Gadis itu baru saja selesai mandi dan berpakaian santai. Rambutnya masih sedikit basah dan beberapa titik air menetes di bahunya yang terbuka.
Pemandangan itu membuat Raka terpaku untuk sesaat. Matanya tanpa sadar mengamati setiap lekuk tubuh Kirana yang terbalut pakaian tipis itu. Wajahnya terasa memanas dan jantungnya seakan berhenti berdetak.
"Astaga, ada apa ini? A-aku harus segera pergi dari sini!" Raka merutuk dalam hati sembari berlalu dengan terburu-buru meninggalkan Kirana yang terbengong bingung.
Sepanjang malam, Raka terjaga di atas ranjang kamarnya. Pikirannya kalut dan tubuhnya dirundung rasa larangannya yang tak tertahankan. Dia mencoba membayangkan hal lain yang lebih baik namun selalu berujung pada sosok Kirana yang membuatnya tergoda dan terobsesi.
"Tidak, ini salah... Dia adikku, Kirana adikku sendiri," racaunya di tengah kesunyian malam. "Tapi kenapa dia terlihat begitu berbeda di mataku sekarang? Aku harus mengakhiri perasaan menjijikkan ini sebelum terlambat..."
Namun makin dia mencoba menolak, rasa terlarang itu malah mengakar semakin kuat tak terbendung di hatinya. Sebuah perasaan aneh nan larangannya justru kian muncul setiap kali Raka berhadapan dengan sosok Kirana yang terasa kian berbeda di matanya sendiri.
...
Hari-hari berlalu dengan penuh pergolakan batin bagi Raka. Perasaan terlarang terhadap Kirana terus menghantui pikirannya, membuatnya silau dan mabuk kepayang setiap kali bertatap muka dengan sang adik.
Hal itu semakin diperparah dengan sikap Kirana yang semakin hari terasa semakin berbeda di mata Raka. Seolah gadis itu memesona tanpa disadari. Caranya bergerak, berbicara, bahkan tertawa terasa begitu menggoda di mata Raka. Tidak ada secuil pun tanda-tanda Kirana mencoba menggodanya, namun itulah yang justru Raka rasakan.
"Hei, Kak Raka! Kau melamun lagi?" Suara Kirana membuyarkan lamunan Raka saat mereka sedang menonton televisi di ruang keluarga.
"Ah, tidak, tidak ada apa-apa," sahut Raka tergagap, berusaha mengalihkan pandangannya dari Kirana.
Namun apa daya, matanya seakan terpaku pada sosok Kirana yang duduk di sampingnya. Gadis itu menggunakan dress santai selutut yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya tergerai indah hingga menyentuh bahunya yang terbuka. Kulit putih mulusnya bak magnet yang menarik tatapan Raka untuk terus memandangnya tanpa berkedip.
"Kakak lihat apa sih? Kok dari tadi memandangiku terus?" tanya Kirana heran dan sedikit risih dengan tingkah aneh Raka.
"Ah! Uhm... i-itu... tolong ambilkan aku minum, Kirana. Aku sangat haus," Raka terbata sambil berusaha mengalihkan pembicaraan.
Kirana mengernyitkan dahinya heran, namun kemudian beranjak menuju dapur untuk mengambilkan minum untuk Raka. Detik-detik kepergiannya itu pun tak luput dari tatapan memuja Raka yang mengamati setiap liukan tubuh Kirana yang gemulai.
"Sial! Ada apa sebenarnya denganku?" rutuk Raka pada diri sendiri setelah Kirana menjauh.
Pemuda itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, berusaha menghalau perasaan memalukan yang terus menggodanya. Dia sangat membenci dirinya sendiri yang merasa demikian tergoda oleh sosok sang adik yang terasa begitu memesona dan berbeda di matanya saat ini.
Kekalutan pun semakin melanda batin Raka. Dia tidak bisa lagi membendung hasrat terlarang yang tumbuh subur dalam dirinya. Sebuah rasa yang tak seharusnya dimiliki seorang kakak pada adiknya sendiri. Namun di sisi lain, Raka pun tak kuasa melawan godaan yang memanjakannya hingga terlena.
"Ya Tuhan... kuatkan lah aku untuk mengatasi godaan keji ini," pintanya dalam hati dengan penuh penyesalan yang mendalam.
...
Hari demi hari berlalu dengan Raka yang terus dibebani pergolakan batin menyakitkan akibat perasaan terlarangnya pada Kirana. Setiap kali berhadapan dengan sang adik, dia harus mengerahkan seluruh kendali diri untuk tidak terjerat dalam pesona memabukkan Kirana yang kian terlihat berbeda di matanya.
Meski begitu, ada kalanya Raka tak kuasa menahan gejolak hasratnya. Seperti suatu sore saat Kirana tengah berlatih menari di kamarnya dengan pintu terbuka sedikit. Tanpa sengaja Raka menyaksikan setiap lengkungan tubuh Kirana yang begitu gemulai mengikuti irama musik. Pemandangan itu membuatnya terpana untuk sesaat, sebelum tersadar dan segera berlalu dengan wajah memerah menahan luapan gairah terlarangnya.
"Aku sudah gila! Bagaimana bisa aku berpikiran kotor seperti itu pada Kirana?" rutuknya sambil berjalan cepat menjauhi kamar sang adik.
Raka berusaha mengalihkan pikirannya dengan mengerjakan tugas kuliahnya. Namun konsentrasinya terganggu ketika pintu kamarnya terbuka dan Kirana masuk dengan wajah cerianya yang biasa.
"Kak, bantu aku mengeringkan rambutku dong," pinta Kirana sambil menyodorkan handuk kecil pada Raka.
Pemuda itu menelan ludahnya dengan susah payah. Bagaimana mungkin Kirana memintanya melakukan hal seperti itu dalam kondisi dirinya yang sedang kalut seperti sekarang?
"Ke-kenapa tidak kaulakukan sendiri saja?" Raka tergagap.
Kirana mengerucutkan bibirnya sebal. "Ayolah, Kak. Kakak 'kan selalu membantuku mengeringkan rambut sejak kecil."
Melihat wajah merajuk Kirana, akhirnya Raka tak kuasa menolak permintaan sang adik. Dengan berat hati, dia menerima handuk itu dan memosisikan diri di belakang Kirana yang duduk di lantai.
Jantung Raka berdegup kencang saat tangannya menyentuh helaian rambut basah Kirana dan mulai mengusap-usapnya perlahan dengan handuk kecil. Dia begitu dekat dengan sang adik hingga dapat mencium aroma sampo yang menguar dari rambut panjangnya.
"Ada apa Kak? Kok gemetar seperti itu?" tanya Kirana polos, menyadari getaran di tangan Raka.
"Ti-tidak, tidak ada apa-apa," Raka terbata, berusaha terdengar sewajar mungkin.
Dia terus melanjutkan aktivitasnya dengan tangan gemetar menahan gairah yang bergolak dalam dirinya. Kepalanya terasa pening melihat leher jenjang Kirana dari jarak sedekat itu. Tanpa sadar, pikirannya mulai melantur kemana-mana dengan ide-ide paling terlarang sekalipun.
"Sial, kenapa aku jadi seperti ini?! Aku harus segera menghentikannya!" teriak batinnya frustasi.
Pada akhirnya, Raka berhasil menyelesaikan tugasnya dan segera mengembalikan handuk itu dengan tangan sedikit bergetar. Dia lalu berpamitan pada Kirana dengan dalih harus menyelesaikan tugas kuliahnya secepat mungkin. Berharap dengan begitu, dia bisa menjauhkan diri darinya untuk sementara guna mengendalikan emosi dan perasaannya sekali lagi.
Sepanjang malam, pikiran Raka kembali berkecamuk mencari solusi atas situasi yang membelitnya. Bagaimana dia bisa mengatasi perasaan menjijikkan ini terhadap Kirana? Dia yakin jika terus dibiarkan, akan ada konsekuensi buruk yang menantinya nanti. Raka harus segera menemukan cara mengakhiri obsesinya sebelum terlambat.
...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!