NovelToon NovelToon

Bellvania

B. 1

(Tandai Typo)

Bellvania Gianna D'angelo namanya. Gadis cilik cantik berusia empat tahun yang harus menjalani kerasnya kehidupan. Dia harus berjuang mati-matian hanya untuk bertahan hidup.

Setelah kematian orangtua angkatnya, Bellvania si kecil diusir dari rumahnya dikarenakan utang orangtuanya yang harus dilunasi. Semenjak itu dirinya yang masih kecil dan masih membutuhkan segala hal harus terpaksa tinggal disebuah gubuk kecil bersama seorang nenek yang dengan baik hati membantu dirinya. Setelah Bellvania berusia tiga tahun, sang nenek pun menjadi sakit-sakitan sehingga yang mencari nafkah menjadi tergantikan oleh Bellvania. Anak sekecil itu mencari nafkah dengan cara menjual gorengan yang nenek itu buat, dia berjalan keliling, berusaha mendapat pembeli.

Hingga tiba dimana dia bertemu dengan sesosok lelaki tampan yang tanpa dia tahu jika lelaki itu adalah ayah kandungnya.

Setelah pertemuan itu, kehidupan Bellvania berubah drastis, namun dia harus kehilangan sang nenek karena sebelum dirinya bertemu dengan lelaki itu, nenek tersebut sudah lebih dulu berpulang.

Setelah kematian nenek itu, Bellvania hanya bisa mencari nafkah dengan cara semir sepatu dan disitulah dia bertemu dengan lelaki yang berstatus sebagai ayahnya itu. Dimana lelaki itu yang menolong Bellvania pada saat Bellvania dimarahi oleh seorang preman.

Berbicara mengenai bulan, Bellvania selalu mencurahkan isi hatinya pada bulan. Semua keluh kesahnya dia curahkan pada sang bulan. Bulan lah yang menjadi saksi dan pendengar bagi kerasnya kehidupannya.

***

|Flashback on.

Dalam sebuah ruang rawat rumah sakit, terdapat seorang wanita cantik yang tengah meraung-raung, menangis, dan berontak. Dia menjadi seperti itu karena mendapatkan kabar jika anaknya diculik, bayi tak berdosa itu hilang begitu saja. Kabar itu membuat seluruh keluarga besar merasa sangat terluka.

Wanita cantik itu merasa sangat terpukul akan apa yang terjadi, dia baru saja kehilangan rahimnya dan ditambah dengan bayinya yang hilang dicuri orang.

"Enggak! Anak aku dimana?! Mana anak aku?! Hiks Mana?! Aku ingin melihatnya! Aku ingin memeluknya! Kembalikan anakku! Kembalikan padaku!" teriaknya meraung-raung.

Wanita itu dengan terpaksa harus diberikan suntik penenang oleh dokter. Lelaki yang berstatus sebagai suaminya hanya bisa diam menangis memeluk tubuh sang istri.

"BRENGSEK! KALIAN SAYA PEKERJAKAN DITEMPAT INI UNTUK APA HAH?! BAGAIMANA BISA KALIAN KEHILANGAN CUCU SAYA?! SIALAN!" salah satu lelaki paruh baya yang ada disana berteriak, membentak para dokter dan perawat yang ada disana.

Yang lain hanya bisa menangis, tak mampu mendengar kabar ini. Apalagi mereka sangat tahu akan kehancuran yang dialami oleh dua orang dari bayi tersebut. Keduanya bahkan baru saja merasakan kebahagiaan karena kehadiran anak yang selama ini mereka tunggu-tunggu, namun bayi itu kini telah hilang. Bayi yang baru saja dibawah keluar oleh sesosok perawat. Sesaat perawat itu keluar, seseorang berpakaian serba hitam langsung merampas bayi itu dan berlari secepat mungkin. Sosok itu langsung masuk ke dalam mobil Van hitam dan segera menghilang dari sana. Jejak mereka hilang bagaikan ditelan bumi hanya dengan hitungan menit.

Bayi itu mereka letakkan didepan sebuah rumah yang terbilang cukup mewah. Disana bayi itu ditemukan oleh wanita cantik yang ternyata adalah pemilik rumah. Wanita cantik baik hati yang dengan rela mengurus dan membesarkan bayi tersebut. Wanita itu dan suaminya merasa beruntung karena bayi itu mereka dapat merasakan rasanya menjadi orangtua yang sesungguhnya. Dimana wanita itu dinyatakan tidak bisa hamil lagi atau bisa disebut mandul. Dia dan suaminya sama-sama mandul.

Mereka sangat memanjakan bayi itu sampai tiba dimana mereka mengalami kecelakaan pada saat ingin menjemput sang anak di taman bermain kanak-kanak. Mobil mereka hancur lebur, keduanya terjepit didalam mobil akibat tabrakan dengan truk tronton.

Lebih parahnya lagi, mereka memiliki hutang besar. Uang yang mereka pinjam adalah uang untuk kebutuhan sang anak, dimana sang suami bangkrut setelah beberapa bulan bayi tersebut ditemukan.

Flashback off|.

"Nenek, Vania atan jualan ladi ya?" pamit anak itu pada sang nenek yang tengah terduduk di kursi roda itu.

Nenek itu tersenyum lembut "Hati-hati, nak".

Anak itu memberikan senyuman hangatnya "Nenek tenan caja, Vania atan cali uan untuk beli obat Nenek dan matan tita".

Gadis cadel itu pamit, meninggalkan sang nenek yang hanya bisa menatapnya dengan sendu.

"Jika saja nenek sehat, nenek tak akan membiarkanmu melakukan hal ini" ucapnya lirih.

Dia tak bisa bayangkan bagaimana jika dirinya dipanggil oleh sang cipta. Bagaimana kehidupan gadis itu? Gadis cilik yang rela membantu dirinya untuk mencari nafkah demi keberlangsungan hidup mereka. Gadis yang masih sangat kecil dengan tegar menjalani pahit dan kerasnya kehidupan yang harus dia lalui.

"Dolenan! Mali dibeli-beli! Mulah! Cuman celibu catu!" teriak anak itu sambil terus berjalan keliling tanpa lelah. Sesekali dia berhenti hanya untuk mengusap keringatnya yang muncul di dahinya.

Panasnya matahari membuatnya semakin merasa lelah, namun demi mendapatkan selembar uang dia harus terus bertahan hanya untuk bisa membeli makanan dan obat untuk sang nenek.

"Dek, saya mau beli" ucap seorang ibu-ibu.

Vania mendekati ibu-ibu itu "Mau beli, Bu?".

"Ya, Satunya berapa?".

"Mulah kok! Haldana cuman celibu" ucapnya senang. Senang karena ada juga pembeli setelah lama dia berjalan.

"Saya beli semua ya" ucap ibu itu dengan tulus. Dia merasa kasihan dengan anak itu. Gorengan yang dibawa oleh anak itu sudah sangat dingin, namun karena rasa kemanusiaannya yang tinggi, dia membantu anak itu, setidaknya anak itu bisa pulang cepat.

"Cebental ya Bu, Vania buntuctan dulu" ucapnya senang sambil memasukan gorengan itu ke dalam tas plastik.

"Orangtua kamu kemana, Dek? Seharusnya anak seusia kamu tak pantas jika harus berjualan seperti ini" ucap ibu itu.

Vania tersenyum manis "Olan tua Vania cudah ada di culda. Vania cuman tindal beldua belcama nenek, nenek cakit dan duduk di tulci loda".

Ibu-ibu itu terdiam seribu bahasa, ingin membantu pun tak bisa karena satu hal.

"Ini Bu. Totalna cuman lima puluh libu" ucapnya sambil menyerahkan beberapa tas plastik.

Ibu-ibu itu menerimanya dan langsung memberikan uang pecahan seratus sebanyak lima lembar. Dia mengira jika anak itu akan langsung menerimanya karena mungkin belum terlalu paham akan jumlah uang, namun nyatanya dia salah besar.

"Ini canat banak. Vania cuman butuh uan lima puluh libu, uan yan walna bilu itu" ucapnya menolak uang itu.

"Sudah, tidak apa-apa. Ambil saja, saya kasih ikhlas. Saya pamit ya, permisi" ibu itu memberikannya pada tangan Vania dengan paksa lalu pergi dari sana.

Vania pun terpaksa memasukkannya ke dalam tas plastik merah berisi uang-uang receh.

"TELIMAKACIH BU! CEMODA LEJETI IBU LANCAL CELALU! AMINN!" teriaknya berterimakasih.

Vania lalu melangkah berjalan pulang dengan hati yang gembira "Telimakacih Tuhan, atilnya Vania dan Nenek bica matan" ucapnya tersenyum senang.

To be continued...

(Hai! Gimana nih pendapat kalian tentang awal cerita ini? Hehe like dan komen ya! Timakacih udah baca! Dadah!).

B. 2

(Tandai Typo)

Vania pulang dengan hati yang gembira. Tangannya yang mungil dan kurus itu menenteng dua tas plastik berisikan nasi bungkus dan obat untuk sang nenek.

Anak itu merasa bahagia karena bisa makan nasi setelah satu hari kemarin hanya bisa makan gorengan sisa yang jelas sudah dingin.

Kemarinnya lagi Vania memungut beras di gudang beras dan hanya mendapatkan satu cup kecil beras yang hanya bisa satu orang makan. Dengan hati yang lapang dia memberikan beras itu pada sang nenek. Setidaknya neneknya sudah makan, masalah dirinya tak masalah, apapun bisa dia makan.

"Nenek! Vania pulan!" teriak anak itu memasuki sebuah gubuk yang sudah hampir roboh.

"Vania, dagangannya habis?" tanya sang nenek.

Dengan antusias Vania mengangguk "Iya Nenek! Tadi ada ibu-ibu baik yan membolon cemua dolenan" ucapnya semangat. Dia lalu mendekati sang nenek "Ini Vania cudah beli matanan cama obat nenek. Tita matan abic itu nenek ninum obat ya? Bial cepat cembuh".

Sang nenek hanya diam. Sembuh? Dirinya hanya tersenyum kecut. Kemungkinan dirinya untuk sembuh sangatlah kecil. Penyakit serius yang dia derita tak akan pernah sembuh dan hilang dari tubuhnya yang ringkih dan kurus itu. Salah satu penyakit yang dia derita adalah Hepatitis.

Nenek itu mengelus puncak kepala anak yang sudah dia anggap sebagai cucunya "Vania, jika nenek sudah tidak ada Vania harus tetap semangat oke? Jangan pernah menyerah! Dan terus berdoa kepada sang pencipta. Nanti, jika Vania sudah bertemu dengan orangtua kandung Vania, Vania jangan membenci mereka oke?" jelasnya.

"Tapi nek, meleta cudah buan Vania. Meleta Ndak cayan cama Vania" ucap anak itu lirih.

"Tidak, nak. Vania lihat ini, lihat kalung yang Vania kenakan. Jika dilihat kalung ini sangatlah mahal, nenek bisa membedakan mana kalung yang murah dan mana kalung yang mahal".

"Vania ingat pertemuan pertama kita?" tanya nenek yang diangguki oleh Vania.

"Saat itu Vania membawa tas kecil yang berisi beberapa baju Vania kan?".

Vania kembali mengangguk.

"Didalam tas itu ada satu baju bayi milik Vania. Apa Vania yang meletakkannya didalam tas itu?" tanya sang nenek yang diangguki lagi oleh Vania.

Nenek mengangguk singkat "Nah, dalam baju bayi Vania disana ada ukiran nama lengkap Vania. Nanti Vania bisa dengan mudah untuk bertemu dengan orangtua Vania hanya dengan kalung dan baju itu. Vania selalu menyimpan baju itu kan?".

Lagi-lagi Vania mengangguk.

"Nenek yakin jika Vania tidaklah dibuang. Percaya sama nenek".

"Baitlah nenek. Vania pelcaya cama nenek dan Vania janji untuk Ndak membenci meleta" ucapnya lirih.

Nenek tersenyum "Yasudah kalau begitu. Ayo kita makan, lihat sebentar lagi akan hujan" ucap sang nenek menunjuk ke arah langit yang sudah mendung.

Mendengar itu tentu membuat Vania panik. Kan gubuk mereka bocor, mereka berdua bisa kebasahan nanti. Otaknya berpikir keras agar bisa mencari tempat berlindung untuk dirinya dan sang nenek.

"Hah? Loh? Nenek, nanti tita bacah. Dimana don?" ucapnya panik.

"Tenang, nak. Nenek sudah ada payung. Tadi nenek membelinya, kita berteduh pakai patung saja ya? Tidak-tidak apa-apa kan?" ucap sang nenek.

***

Benar saja, hujan yang deras membanjiri isi gubuk itu. Didalam gubuk itu Vania dan neneknya saling memeluk di bawah teduhan payung, keduanya makan dalam keadaan hujan deras. Air minum pun harus mereka pegang karena takut terkena air hujan.

Vania memegang payung itu dan sang nenek yang menyuapi dia makan, sesekali dia juga menyuapi dirinya sendiri. Vania dan nenek itu bahkan sudah gemetar kedinginan. Beruntungnya sang nenek menggunakan jaket dan penutup leher juga kepala, tapi tidak dengan Vania. Anak itu hanya menggunakan baju tangan pendek dan celana selutut.

"Vania dingin? Pakai ini saja ya?" ucap sang nenek menunjuk ke arah syalnya.

Vania dengan cepat menggeleng "Ndak nek, nanti nenek tambah cakit. Vania ndak mau nenek cakit. Vania ndak papa kok".

Vania tetap menahan rasa dinginnya demi sang nenek. Dia tak mau neneknya sakit atau terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan. Dia tak bisa membayangkan bagaimana dia hidup jika sang nenek pergi meninggalkannya.

Dunia begitu kejam bagi seorang anak kecil seperti Vania. Dia harus mengurus sang nenek yang sedang sakit-sakitan. Mencari nafkah dan masih banyak lagi.

Lihatlah sekarang, keduanya makan dibawah guyuran hujan deras dengan payung sebagai tempat berlindung keduanya.

Disisi lain, tepatnya disebuah kamar mewah terdapat seorang wanita cantik yang duduk dipinggiran kasur memandang kosong ke arah luar. Setiap hari dia selalu menangis, meraung, dan memberontak. Tepat satu tahun yang lalu, dia dinyatakan sembuh dari gangguan kejiwaan. Namun, setelah dinyatakan sembuh dia tetap saja memberontak, dia dikamar dan tidak pernah keluar. Makan saja harus sang suami yang suapi. Dia hanya diam dan selalu memandang kosong ke arah luar balkon sama seperti sekarang ini.

"Hiks sayang hiks anaknya Mama, kamu dimana sayang? Hiks" ucapan dan perkataan yang sama seperti hari-hari sebelumnya.

Dia terus menanti kepulangan sang anak, walaupun dia sendiri tak tahu apakah anaknya masih hidup? Ataukah tidak? Namun, dia berharap anaknya masih ada sampai keluarganya menemukan anaknya. Anak yang membuat dia gangguan jiwa selama tiga tahun lamanya.

Dia dinyatakan sembuh karena mendapatkan kabar jika sang anak masih hidup dan tinggal dikota yang sama dengannya. Itulah yang menjadikannya penyemangat hidup.

"Sayang" panggil seorang lelaki tampan dari arah belakang. Kedua tangannya membawa nampan berisikan makan siang untuk istrinya.

Sang istri tak menjawab dan lelaki itu hanya tersenyum kecut, sudah empat tahun lebih istrinya tak pernah membuka suara didepannya, kecuali tentang anaknya.

"Hey? Makan yuk, Mas suapi ya?" ucapnya lembut dan duduk disamping wanita cantik itu.

"Sayang, Mas sudah mendapatkan kabar bahwa anak kita kemungkinan berjualan sesuatu, namun Mas belum bisa memastikannya" ucapnya yang langsung membuat sang istri memandangnya.

"Mas serius? Anak aku memang benar masih hidup dan ada di kota ini?" tanya dia penuh harap.

Lelaki itu tersenyum "Ya, sayang. Mas akan terus mencarinya. Ingat bukan jika dia memakai kalung pemberian mu? Pasti akan sedikit mudah untuk menemukannya" ucapnya menjelaskan.

Wanita itu mengangguk "Iya Mas! Aku ingat! Aku mohon sama Mas untuk segera temukan anak aku!" ucapnya sedikit membentak.

Lelaki itu berusaha untuk tegar. Dirinya lemah jika bersangkutan istri dan anaknya yang telah lama hilang itu.

Empat tahun berusaha mencari keberadaan sang anak, namun hanya mendapatkan secuil informasi. Sisanya masih menjadi sebuah tanda tanya besar.

Dirinya tak pernah berhenti berdoa, meminta kepada Tuhan untuk mengembalikan sang anak kembali ke pelukan sang istri. Hanya anaknya yang benar-benar bisa membuat istrinya kembali seperti sedia kala.

To be continued...

(Hai! Jangan lupa like dan komen ya! Timakacih udah baca! Dadah!).

B. 3

(Tandai Typo)

Vania memandang keindahan bulan malam ini dari depan gubuk, dia berdiri tegak dengan pandangan yang lurus ke arah langit malam ini.

"Bulan, hali ini Vania mau celita. Ada ibu-ibu baik yan membolon dolenan Vania, tapi tadi Vania cama nenek matan dalam teadaan hujan delac. Malam ini juda tita ndak tau mau tidul dimana, tan tempat tidulna bacah".

"Bulan, Vania belhalap olantua Vania celalu cehat dan dalam lindunan yan maha tuaca. Vania juda belhalap bica beltemu belcama meleta ladi".

"Vania macuk dulu ya, bulan! Dadah!" tangannya yang mungil melambai ke arah bulan itu.

Ketika dia masuk, dapat dia lihat sang nenek tertidur diatas kursi roda dengan wajah yang sudah sangat pucat. Pakaian keduanya bahkan terlihat sedikit basah akibat kehujanan tadi.

Dia berjalan mendekat dan langsung mengecup pipi sang nenek yang terasa sangat dingin itu "Nenek tedininan ya? Tacian, maap ya nek. Vania ndak bica belitan nenek tehanatan, coalna Vania juda tedininan".

Tanpa dia tahu sang nenek sudah tiada. Nenek itu sudah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Dalam wajah nenek yang pucat itu terukir sebuah senyuman tipis, dia tersenyum dalam tidurnya.

Vania memutuskan naik ke atas pangkuan nenek itu dan tidur beringsut memeluk pinggang sang nenek. Dia menatap wajah neneknya yang menghadap ke arahnya.

"Tenapa nenek lebih pucat?" tanya dia menyentuh wajah sang nenek yang sudah sangat dingin itu.

Dia lalu kembali memeluk pinggang sang nenek "Celamat malam Nenek! Vania cayan cama nenek!" dia pun menutup matanya dan masuk ke dalam mimpinya.

***

Esoknya Vania terbangun dalam keadaan bingung, biasanya sang nenek akan bangun lebih dulu darinya. Bahkan sang nenek akan merubah posisinya, namun kali ini berbeda. Posisi neneknya dari malam selalu seperti itu, tak ada pergerakan dari tubuh kaku nan dingin itu.

"Nenek? Banun, cudah padi. Ayo nenek buat dolenan, tan tita mau jualan ladi" ucapnya mengelus lembut pipi sang nenek.

Namun tetap saja, tak ada pergerakan dari neneknya itu. Vania pun turun dari pangkuan sang nenek, berdiri memandang neneknya yang nampak sudah sangat kaku itu.

"Nek? Nenek macih tidul ya? Nenek cakit? Kalau nenek cakit, Vania caja yan atan mencuci baju-baju bacah" ucapnya.

Karena tak mendapatkan jawaban, Vania memutuskan untuk kebelakang, mengumpulkan baju-baju basah yang terkena air hujan kemarin. Selanjutnya dia mulai merapikan isi gubuk itu, mengeluarkan air yang membanjir didalamnya menggunakan sapu.

Dikarenakan tubuhnya kecil dan kurus, pekerjaannya selesai pada saat siang hari. Dia pun mendekati sang nenek dengan nafas yang ngos-ngosan.

"Xixi ca-phe huh. Nenek macih tidul? Yacudah Vania pamit mau beli matan cama obat nenek ya? Tebetulan uan temalin macih telcica" ucap anak itu.

Cupp!.

"Vania pamit ya nenek! Nanti Vania balit ladi! Vania cuman beli matan cama obat nenek kok" ucap anak itu sambil melangkah keluar dari gubuk.

Seperginya anak itu, masuklah seorang tetangga yang memang berniat memesan gorengan pada sang nenek. Namun, dirinya terkejut ketika mendapati sang nenek sudah tak bernyawa dengan pakaian yang sudah setengah basah.

Dia langsung berlari mencari bantuan. Untungnya banyak warga yang dengan lapang hati membantu mengurus pemakaman sang nenek tanpa mereka tahu jika nenek itu selama ini tinggal dengan satu bocah perempuan berusia 4 Tahun.

***

"Nenek! Vania pulan! Ayo tita matan nek!" teriak Vania memasuki gubuk itu.

Dia celingukan mencari sang nenek, namun tak berhasil. Dia hanya menemukan kursi roda neneknya yang masih berada pada tempat dimana terakhir kali dia tinggalkan sang nenek berada.

"Nenek?! Tenapa tulci lodana ada dicini? Nenekna mana?" ucapnya.

Dia berjalan mencari dan menelusuri isi sang gubuk "Nenek! Nenek dimana cih?! Vania pulan loh! Ini Vania bawa matan cama obat nenek!" teriaknya memanggil-manggil sang nenek.

Hening. Itulah yang dia rasakan. Hingga tak lama setelah itu datanglah seorang anak pengemis yang mendekatinya.

"Vania!".

Vania menoleh ke asal suara "Acep! Tamu liat nenek atu Ndak?" tanya Vania pada anak laki-laki yang bernama Asep itu.

Anak lelaki itu langsung menarik Vania pergi menuju ke tempat pemakaman umum. Disana dia mengantarkan Vania ke salah satu makam yang masih basah.

"Tenapa tita tecini cih? Tan Vania tana nenek dimana?" ucap Vania protes.

Asep memperlihatkan raut wajah sedihnya "Nenek sudah meninggal Vania. Nenek balu saja dimakamkan sekital dua jam yang lalu" ucapnya.

Vania sontak terkejut "Hah? Ndak! Tamu pacti bohon! Nenek macih ada kok! Nenek ndak muntin tindalin Vania!".

Asep menggeleng "Enggak, Vania. Nenek sudah meninggal. Tadi ditemukan warga dalam keadaan tak belnyawa diatas kulsi lodanya. Menulut pala walga, nenek cudah meninggal sejak tadi malam" ucap Asep menjelaskan.

Vania menggeleng cepat dengan kedua pelupuk mata yang mulai berembun "Ndak! Nenek ndak muntin tindalin atu! Ndak!".

Akhirnya dia pun menangis, berjongkok dan memeluk erat papan nama bertuliskan nama sang nenek "Hiks nenek hiks tenapa nenek tindalin Vania cendilian? Hiks Vania cali uan badaimana nenek? Vania nanti haluc hidup badaimana? Hiks nenek tenapa peldi? Hiks nanti becok Vania matan apa? Teluc Vania tidul dimana? Hiks tan tempat tidul dilumah cudah bacah dan becek hiks hiks" tangisnya dengan begitu pilu.

Asep ikut berjongkok, dia mengelus puncak kepala Vania "Vania, kamu bisa menggunakan alat semil sepatu milikku. Kamu bisa mencali uang lewat semil sepatu. Kamu pakai saja alat itu, aku akan dibawa ibuk aku untuk pindah dari sini" ucapnya.

"Loh? Hiks maca Vania ditinda cendili? Hiks nenek! Hiks badaimana ini hiks nenek! Nenek janan hiks tindalin Vania hiks nenek! Huaaa! Ndak! Nenek! Badaimana Vania beltahan hidup tanpa ada nenek?! Cetalan Acep juda mau peldi hiks teluc Vania hiks batal cendilian dicini hiks nenek! Vania tatut hiks" tangisnya meraung-raung.

Asep yang melihat ibunya sudah memanggil dirinya pun pergi dari sana tanpa pamit. Sebelum pergi dia sudah meninggalkan alat semir sepatu ke dalam gubuk Vania.

"Semoga kamu selalu bahagia, Vania. Maaf aku hanya bisa membantumu dengan ini saja" ucapnya dan langsung benar-benar pergi dari sana.

Sedangkan Vania masih saja menangis, meraung-raung memeluk papan nisan sang nenek.

Hancur sudah hidup Vania. Apa yang dia takutkan benar-benar terjadi, neneknya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Sekarang, dia hanya akan tinggal sendiri, cari makan sendiri, dan bertahan hidup sendiri tanpa ada orang yang menemaninya.

Dunia ini benar-benar terlalu kejam untuk anak kecil seumur Vania. Takdir, semesta seakan mempermainkan kehidupan yang Vania jalani. Sudah tak tahu akan keberadaan keluarganya, neneknya meninggal dan selanjutnya dia harus berjuang untuk menghidupi dirinya. Sungguh miris bukan?.

To be continued...

(Kacian ya huhu😢 Semoga Vania segera bertemu dengan keluarganya. Seperti biasa hehe like dan komen! Timakacih udah baca! Dadah!).

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!