Semua part berdasarkan sudut pandang / pov Shelina Aston
.°˙💟˙°.
Masa lalu adalah kenangan tak terlupakan yang tak bisa lagi aku harapkan untuk terulang kembali sekarang ataupun di masa depan.
_Shelina Aston_
~Juli 2015~
Jarum jam berjalan terus tanpa henti. Detik demi detik telah berlalu berganti menit bahkan sudah berganti jam. Jantungku berdebar semakin kencang seiring dengan berjalannya waktu. Tangan bergetar pelan tak bisa menahan gugup yang melanda. Keringat dingin mulai muncul di pelipis. Suhu ruangan privat room ini panas walaupun AC menyala sejak tadi. Oh ya Tuhan, tubuhku sudah dibanjiri keringat. Berbagai pertanyaan mulai hadir.
Bagaimana penampilanku? Apa dia akan menerimaku? Bagaimana ini? Bagaimana jika dia tak datang? Bagaimana jika dia tak setuju? Bagaimana jika dia akan menentangku?
Aku semakin gelisah. Pintu ruangan lebih menyita perhatian dibandingkan makanan lezat di hadapanku. Mengapa sampai saat ini dia belum datang? Apa dia—
Sebuah tangan besar dan hangat menggenggam tanganku, melingkupinya untuk memberikan kehangatan, aku menoleh dan bertatapan langsung dengan mata indah yang menenangkan.
"Tenanglah, dia pasti akan datang." Pria di hadapanku tersenyum lembut untuk menenangkan kekhawatiran dan kegelisahanku. Pria ini selalu bisa menenangkan aku dengan senyumannya. Walaupun usianya sudah mencapai 48 tahun tapi dia masih tampan dan muda di mataku. Wajahnya sangat terawat dan tampak lebih muda dari umurnya. Dia Andrew Cho, tunangan sekaligus calon suamiku.
Terkejut? Bagaimana mungkin gadis muda berumur 24 tahun sepertiku menjadi tunangannya. Seorang duda berumur 48 tahun yang sudah memiliki seorang putra. Bahkan putranya dua tahun lebih tua dibandingkan aku.
Banyak spekulasi negatif yang beredar ketika mengetahui hubungan kami. Andrew adalah seorang presdir sebuah perusahaan besar dan aku hanya gadis dari keluarga miskin. Banyak orang yang menghinaku. Mengatakan aku mendekati Andrew untuk mendapatkan kekayaannya. Menghinaku seorang jalang tak tahu malu yang merayu pria tua kaya. Hatiku selalu sakit tiap kali hal itu terjadi. Aku tak bisa menyangkalnya karena aku memang seorang jalang. Namun mereka tak tahu jika aku memang tulus menyayanginya. Aku sudah tak peduli lagi dengan gosip dan hinaan itu. Selagi aku bahagia bersama Andrew itu sudah cukup. Karena dia pahlawan dalam kehidupan gelapku.
"Putraku akan datang sebentar lagi." Suaranya lembut menenangkan. Dia tersenyum hangat, kedua matanya tenggelam membentuk garis.
Aku mengangguk pelan. Bukannya tenang, aku malah semakin gelisah dan gugup. Andrew sudah menceritakan sedikit mengenai putranya, pria itu jauh lebih pantas menjadi kakak, dibandingkan menjadi anak tiriku. Andrew bilang putranya menjabat direktur utama di perusahaan. Karena kesibukannya itu, dia telat untuk hadir di acara makan malam ini. Acara makan malam yang sengaja Andrew adakan untuk mempertemukanku dengan anaknya. Hal itulah yang membuat aku gelisah dan gugup sejak tadi. Bagaimana reaksi putranya ketika bertemu denganku? Setujukah dia memiliki ibu tiri semuda diriku?
Suara pintu yang terbuka menyadarkanku dari lamunan panjang. Aku mendongakkan kepala. Seorang pria berdiri di depan pintu. Mata kami bertemu. Aku terpaku pada mata hitam gelap nan pekat yang menghanyutkanku pada kenangan masa lalu. Jantung berdetak begitu kencang memompa darah begitu cepat keseluruh organ tubuhku. Aku seperti terserang struk ringan karena tak bisa berkutik sedikitpun untuk bergerak. Seluruh tubuh kaku dan mati rasa.
"Akhirnya kau datang Marcus. Kami menunggumu sejak tadi." Suara Andrew mengalihkan pandanganku dari pria yang masih berdiri mematung di depan pintu. Aku menunduk dalam untuk menghindari tatapan tajamnya. Tanganku saling *** dan bergetar.
Apa ini? Mengapa dia bisa ada di sini? Setelah bertahun-tahun lamanya tak bertemu, kenapa dia muncul dihadapanku saat ini? Disaat aku mencoba meraih kebahagiaanku dengan pria lain.
Langkah kaki yang mendekat membuat jantung semakin berdetak kencang. Suara derit kursi yang bergeser mengusikku. Ada tatapan panas dan menusuk dari hadapanku. Tapi aku hanya menunduk gelisah , gugup dan takut.
"Shelina, perkenalkan dia Marcus Cho, putraku," suara Andrew seperti petir yang menyambar. Sontak mataku terbuka lebar, tubuhku kaku tersentrum oleh listrik ribuan volt.
Putra? Marcus putra Andrew? Tidak mungkin? Itu tidak mungkin? Kepalaku menggeleng pelan. Dengan sangat sulit aku mendongak. Marcus telah duduk di hadapanku. Matanya tajam menusuk dan mengulitiku, seperti leser panas yang melelehkan apapun. Aku ingin berlari secepat mungkin untuk menjauh dari Marcus. Udara menipis membuat paru-paru sesak, ruangan ini seperti mengecil dan menghimpitku. Keringat dingin makin deras mengucur di dahi dan sekujur tubuh. Aku kesulitan menelan salivaku, seperti pisau tajam yang begitu besar menyangkut di tenggorokkan, sangat menyiksa dan begitu sakit.
Bagaimana ini semua bisa terjadi? Aku akan menikah dengan ayah dari mantan kekasihku. Mantan? Aku tak yakin untuk mengatakan hal itu, karena tak ada kata putus dalam hubungan kami lima tahun yang lalu.
Aku semakin gelisah. tanganku begitu kencang. Suatu kebiasaan buruk setiap kali aku gugup dan gelisah. tanganku sangat kencang hingga sakit, hanya untuk mengalihkan kegelisahanku.
Apa yang akan Marcus katakan? Apa dia akan mengatakan pada Andrew mengenai hubungan kami di masa lalu? Apa Marcus akan menentang hubunganku dengan Andrew? Apa dia akan menghinaku wanita jalang mata duitan? Apa dia akan— Oh ya Tuhan, aku bisa gila.
"Apa dia wanita yang ingin ayah kenalkan kepadaku?" Suara Marcus dingin dan mengancam, namun begitu seksi disaat bersamaan.
"Ya, dia Shelina Aston, tunangan sekaligus calon istriku," jawab Andrew mantap. Marcus menyeringai sinis. Menatapku dengan mata tajamnya, sedetik kemudian berubah menjadi pandangan angkuh dan menghina membuat hatiku sakit. Ini sudah lima tahun dan aku sudah melupakannya. Tapi mengapa hatiku sakit karena menerima tatapan menghina darinya? Apa karena dia orang yang kukenal di masa lalu? Apa karena dia pria yang dulu sangat mempercayaiku?
"Kau gila! Kau ingin menikahinya. Wanita itu lebih pantas menjadi putrimu?" Desisnya tajam tak terima menunjuk ke arahku.
"Jaga ucapanmu, Marcus." Suara rendah penuh ancaman keluar dari Andrew memperingatkan Marcus akan ucapannya.
"Jaga ucapanku?" Sebelah alis Marcus naik mengejek Andrew.
"Aku tak peduli jika kau akan menikahi seorang jalang sekalipun. Tapi aku tak sudi memiliki ibu tiri yang lebih muda dariku."
"Dan kau! Serendah apa dirimu hingga mau menikah dengan pria tua yang lebih pantas menjadi ayahmu?!" Suara Marcus pelan penuh duri disetiap kata.
Kini aku tahu, mengapa hati ini teramat perih ketika dia mengucapkan perkataan pedas dan tajam itu? Karena aku tak pernah melupakan Marcus walaupun dia menghilang lima tahun lamanya. Walaupun dia melupakan janjinya, Marcus masih ada di dalam hatiku. Tak pernah hilang, walaupun ada andrew di sisiku. Ini terlalu sakit, teramat nyeri. Marcus menghinaku, aku bisa bertahan ketika semua orang melakukan itu, tapi tidak hinaan darinya.
Tubuhku bergetar semakin hebat. Mataku berkaca-kaca dipenuhi airmata yang siap jatuh kapanpun juga. Marcus menatapku tajam dan benci. Aku seperti musuh paling hina yang pernah dia lihat. Lalu dia beranjak dan pergi begitu saja dari ruangan ini. Tatkala pintu tertutup kencang , saat itulah airmataku jatuh. Dia tak pernah membentak, marah ataupun menghinaku. Ini yang pertama kalinya dan begitu menyakitkan.
Flashback Shelina Aston
Maret 2010
Aku menghembuskan nafas pelan lalu meletakkan novel yang kubaca di atas meja. Tak ada seorang pun selain diriku di dalam perpustakaan ini. Hening dan sepi. Jam tanganku menunjukkan jam lima sore.
Kuhembuskan lagi nafas lelah. Lelah menunggunya yang tak kunjung datang. Dua jam lebih aku berada di perpustakaan kampus menunggu Marcus datang. Bahkan aku sudah selesai membaca novel yang tadi kuambil. Kemana pria itu? Dia bilang kelasnya akan selesai jam empat sore, tapi sampai jam lima tak ada sedikitpun tanda-tanda kehadirannya. Jika Marcus tak bisa pulang bersamaku, seharusnya dia mengatakannya atau sejak awal jangan memintaku untuk menunggu. Dasar menyebalkan! Marcus menyebalkan!
Dua tangan tiba-tiba menutup mataku dari belakang. Pandanganku gelap seketika. Aku terdiam mencoba untuk tenang walau sebenarnya sedikit takut mengingat keadaan perpustakaan yang sepi. Bahkan tak ada seorang mahasiswa di sekitar meja panjang ini. Bagaimana jika orang di belakangku adalah orang jahat? Bagaimana jika dia berniat ingin menculik atau memperkosaku?
Kugenggam erat kedua tangan dan menariknya agar terlepas, namun tak bisa. Tangannya terlalu kuat menutup mataku. Aku terdiam, hembusan napas hangat menerpa belakang telinga, tubuhku bergetar pelan akan rangsangan yang datang begitu cepat. Aroma kayu manis bercampur mint menyadarkanku. Aku tersenyum pelan menyadari siapa orang yang berada di belakangku.
"Marcus!" Teriakku kesal.
"Yaissh bagaimana kau bisa mengetahuinya?" Decak Marcus tak percaya. Tangannya melepaskan kedua mataku.
"Yak! Jangan mencoba mengalihkan situasi. Apa kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu di sini?!" Teriakku marah menoleh ke arah belakang. Marcus memberikanku senyum polos tak berdosa miliknya. Menyebalkan! Aku ingin sekali mencekiknya sampai dia sesak napas namun aku terlalu mencintai Marcus hingga tak pernah melakukan hal yang bisa menyakiti pria itu. Kedua tangannya kini melingkari pundakku. Bahkan dia menumpukan dagunya di sana. Kepalanya sedikit menunduk. Napas hangatnya menerpa kulitku.
"Maaf, membuatmu menunggu lebih lama." Suara lirihnya membuat aku terdiam. Ada apa dengannya? Dia seakan memiliki waktu dan masalah berat hingga aku melupakan amarah dan kekesalanku.
"Ada apa, hmm?" Tanganku terangkat membelai rambut halusnya. Dia terdiam, matanya terpejam lelah. Aku terus menunggu jawaban. Kepalanya mendongak mengamatiku dengan mata sendu. Dan sedetik kemudian binar matanya berubah menjadi cerah.
"Aku merindukanmu," bisik Marcus lembut dengan senyuman lebar yang selalu sukses menular kepadaku. Aku mendengus tak percaya. Kupikir dia sedang berada dalam masalah, ternyata.... Aku tersenyum lebar tak bisa bertahan lama untuk marah padanya. Seakan semua amarah dan kesalku menguap terbawa angin. Aku membalikkan tubuhku menghadapnya dan langsung memeluk Marcus erat.
"Aku juga merindukanmu." Aku mengeratkan lingkaran tanganku di tubuhnya. Pelukan Marcus selalu hangat. Aku terlena dan memejamkan mata menikmatinya. Feromon Marcus begitu memabukkan hingga memenuhi penciuman dan mengisi ulang energiku.
Perlahan Marcus melepaskan pelukannya. Namun dia tak menjauhkan tubuhnya. Mata Marcus menatapku begitu dalam. Aku terhanyut dalam kegelapan mata hitam pekatnya membuat aku tersesat tak tahu lagi arah pulang. Perlahan wajah Marcus mendekat. Dengan mata yang berfokus ke arah bibirku, membuat aku ikut menatap bibir tebalnya. Deru napasnya menerpa wajahku. Semakin hangat seiring wajahnya yang kian mendekat. Mataku langsung terpejam menantikan kelembutan bibir tebalnya.
Benda selembut kapas dan sekenyal jelly mendarat sempurna di bibirku. Menghantarkan ribuan bunga di hati. Hatiku bersorakan girang mendapatkan ciuman darinya. Bibir itu tak diam, ia mulai bergerak pelan mengecap , membasahi dan **** bibirku. Aku terlena dan mengalungkan tangan ke lehernya, menarik Marcus semakin mendekat agar aku bisa membalas.
Aku semakin terhanyut dalam kelembutan yang begitu menakjubkan. Bibir tebalnya membuat aku semakin candu dan terus ****, mencampurkan saliva kami dalam ciuman lembut yang perlahan semakin menuntut hingga menggebu.
Lama kami saling mengecap dan berbagi saliva sampai desakan paru-paru yang membutuhkan oksigen menyadarkanku untuk menghentikan ciuman panas ini. Dia terengah menghirup udara dengan memburu, sama seperti diriku. Membuktikan jika kami berdua sama-sama menggebu dan terhanyut dalam ciuman panjang penuh gelora.
Perlahan tangan Marcus terulur menyentuh daguku. Jempolnya bergerak membersihkan saliva kami di sekitar bibirku. Matanya terus terfokus menatapku. Aku semakin jatuh cinta kepadanya. Dia tersenyum begitu indah dan memukau. Jantungku tak bosan berdetak kencang, tiap kali senyuman indah nan mematikan miliknya muncul. Aku tak pernah bisa melirik pria lain selain dirinya. Hanya dia, hanya Marcus pria yang aku inginkan di dunia ini.
"Ayo pulang. Ini sudah sangat sore." Tangannya membelai kepalaku sayang. Aku mendengus pelan, teringat kekesalanku yang menunggu kedatangannya begitu lama.
"Siapa yang datang terlamat? Menyebalkan," gerutuku pelan sambil membereskan tas dan barang-barangku yang ada di atas meja. Marcus langsung menggenggam erat tanganku ketika aku sudah berdiri tegap. Menarikku untuk berjalan keluar dari perpustakaan kampus.
˙°♡♡♡°˙
Aku berjalan memasuki apartemen Marcus. Membawa plastik besar berisi minuman soda dan makanan ringan. Malam ini kami berencana menonton film. Sudah beberapa kali aku datang kemari. Terkadang datang hanya untuk membersihkan apartemen dan terkadang datang untuk menonton film bersama seperti saat ini.
"Marc, aku akan menyimpan ini di dalam kulkasmu." Aku mengangkat plastik yang berisi makanan instan dan beberapa bahan makanan. Meninggalkan Marcus yang mulai menyusun makanan ringan dan minuman soda di atas meja. Marc adalah panggilan sayangku kepada Marcus.
Setelah selesai menyimpan makanan di dalam kulkas, aku segera berjalan menuju ruang tengah. Dimana Marcus menungguku untuk menonton film bersama. Tv berukuran 42 inch yang terpasang di dinding sudah menampilkan tampilan awal film.
"Apa sudah mulai?" Aku berjalan semakin dekat ke arah Marcus.
"Cepat kemari, Lina," Marcus menatapku, tangannya terulur memintaku meraih dan mengikuti kemauan ptia itu untuk duduk di sampingnya. Dia lebih suka memanggilku Lina.
"Kau lelah ya? Ini minumlah!" Dia menyodorkan sekaleng minuman soda dingin ke arahku. Aku tersenyum menerimanya.
Sebenarnya aku tak lelah tapi cukup haus. Marcus sejak tadi terus menatapku. Dia tersenyum ke arahku. Senyumannya sedikit mencurigakan. Tunggu, dia menyeringai bukan tersenyum, ada yang tidak beres di sini.
Belum kutemukan hal tak beres itu, tanganku sudah membuka tutup kaleng soda. Semprotan air soda langsung menyerang wajahku. Mataku terpejam cepat dengan refleks. Aku mengernyit ketika wajahku sudah basah oleh air soda.
Suara kekehan pelan mengusik telingaku. Kekehan yang semakin lama semakin besar dan berubah menjadi tawa yang menggelegar. Mataku terbuka melirik Marcus yang tertawa keras. Mentertawakanku? Oh ya Tuhan. Decakkan tak percaya keluar begitu saja. Rahangku mengeras, mata mulai menajam mengamati Marcus yang masih saja tertawa bahagia. Kuusap wajah dengan frustasi.
"Yak!" teriakku keras meluapkan amarah. Dengan cepat aku meraih sekaleng soda di atas meja. Kukocok dengan sangat kencang menggunakan kedua tangan. Marcus berhenti tertawa. Wajahnya mulai panik dan waspada. Matanya menatapku awas.
"Apa kau mau membalasku?" Sebelah alisnya naik tak percaya.
"Ya." Sudut bibirku naik sebelah. Aku tak akan melepaskannya. Aku akan membalasnya.
Marcus mulai berdiri. Aku terus mengocok kaleng soda sambil berdiri perlahan. Mataku tajam menatap Marcus, seakan dia adalah kelinci polos yang siap kuterkam saat ini juga. Matanya menatap awas kaleng soda di tanganku. Aku sudah berhenti mengocoknya. Dan siap menyerang Marcus. Dia berjalan mundur menghindariku. Berjalan ke sudut meja tapi aku tak akan melepaskannya begitu saja. Aku berjalan ke arahnya. Dan Marcus mulai berlari menghindariku. Aku mengejarnya.
"Yak! Kemari kau!" Aku mengejar Marcus yang terus berlari untuk menghindar.
"Tidak akan," jawab Marcus dengan memasang wajah bodoh dan menjulurkan lidah mengejekku.
Amarah dan kesalku semakin menggunung. Kami masih kejar-kejaran di dalam apartemen Marcus. Hingga kami berada di dapur. Ketika jarak Marcus cukup dekat denganku. Dengan cepat aku membuka tutup kaleng itu. Sontak semburan air soda keluar begitu deras mengenai tubuh Marcus. Walau jaraknya tak begitu dekat tapi semburan itu sukses membasahi wajah dan kemeja Marcus. Dia sangat mengenaskan. Matanya terpejam rapat dengan kedua tangan yang mencoba menutupi tubuhnya.
"Hahaha," tawaku pecah karena penampilan Marcus. Dia seperti kucing yang baru saja terkena hujan lebat. Rambut dan bajunya basah.
Perlahan tangannya turun. Mata tajam Marcus terbuka. Mata itu membara dipenuhi oleh tekad yang kuat. Membunyikan alarm peringatan untuk menghindarinya secepat mungkin. Marcus melangkah mendekat. Aku berjalan mundur.
"Akhh," teriakku panik dan berlari menghindarinya. Tak ayal kembali terulang aksi kejar-kejaran di antara kami. Bukan ketakutan yang menghampiriku tapi kebahagiaan bisa menghindari kejarannya. Aku tertawa senang hingga tanpa sengaja aku menginjak lantai yang basah. Membuat kakiku terpeleset dan kehilangan keseimbangan. Tubuhku melayang di udara. Mataku terpejam takut akan sakitnya membentur lantai. Namun tiba-tiba ada tarikan kencang di tanganku.
Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa aku cegah. Mataku masih terpejam sangat erat. Hingga kehangatan dari bawah tubuh menyadarkanku. Mataku terbuka perlahan. Dada bidang dan kuat menyambutku. Aku mendongak. Wajah Marcus begitu dekat di depanku. Aku berada di atas tubuhnya. Mata Marcus terus menatap, mengunciku dalam mata hitam pekatnya. Tangannya menyentuh tengkukku mendorong dengan pelan agar wajahku semakin mendekat. Matanya perlahan menutup membuat aku juga menutup mata hingga bibirnya melumatku. Kami saling mengecap dan ****. Tak ada ciuman lembut. Kami berdua seakan hilang kendali dalam ciuman menggebu nan panas yang sangat manis karena air soda yang sebelumnya mengenai wajah kami. Ini sangat nikmat. Bahkan aku tak ingin melepaskannya.
Tapi ciuman panjang ini membuat pasokan oksigenku habis dan mulai melepasnya. Tapi Marcus tak bisa berhenti. Dia mencium rahangku, menjilatinya seakan mencari air soda yang masih tersisa di sana. Lidah basah nan hangatnya membelaiku, menghantarkan geli yang menggelisahkan dan tak menentu. Menimbulkan perasaan mendamba untuk mendapatkan perhatian lebih. Bibirnya terus bergerak di leherku. Sesekali dia berhenti hanya untuk **** kulitku dan berharap meninggalkan bekas di sana.
Kepalaku mendongak ke atas memberikannya akses lebih untuk menyentuhku. Dengan cepat dia membalikkan posisi kami. Kini aku berada dibawah Marcus. Dia semakin bersemangat menyusuri leher dan pundakku dengan bibir dan lidah hangatnya.
"Kau sangat nikmat, rasa soda yang manis," ucap Marcus pelan dengan hembusan nafas hangat menerpa ceruk leherku. Tubuhku semakin meremang membutuhkannya. Aku sudah tak berdaya dan pasrah di bawah Marcus. Tak ingin melawan ataupun menolaknya karena aku memang tak bisa. Sentuhan Marcus bagaikan candu dan aku membutuhkan hal lebih.
"Marc." Suara serak dan pelan keluar dari mulutki. Dia mengerti dan kembali mencium bibirku. Aku tersenyum lembut di sela ciuman panas kami. Tanganku mengalung erat di lehernya. Perlahan tangannya mengusap dan membelai lembut tubuhku. Aku semakin bergairah dan menginginkannya. Tangan Marcus dengan cepat membuka kancing bajuku.
Aku tak tahu bagaimana dia dengan cepat menanggalkan pakaian kami. Yang aku sadari tubuhku dan Marcus sudah polos tanpa sehelai benang pun. Dan kami masih berbaring di lantai dapur.
Oh astaga. Kudorong pelan dadanya. Mencoba menghentikan aktifitas Marcus yang mempermainkan puncak dadaku dengan bibir dan lidah basahnya. Dia mendongak dan menatapku penuh tanya. Sorot matanya waspada dengan kalimatku. Dia seakan takut aku akan menghentikan aktivitas panas ini.
"Kamar," ucapku mencoba menjelaskan. Hanya satu kata itu saja yang bisa kukatakan karena aku masih kesulitan mengontrol deru napas yang memburu. Dia tersenyum mesum menyadari bahwa aku sama sekali tak menolaknya.
"Lingkarkan kakimu." Marcus menuntun pahaku melingkarinya. *** bokongku gemas. Bibir tebalnya yang sudah membengkak dan merah sangat menggiurkan, membuat aku ingin mengulumnya lagi. Marcus mencoba bangkit berdiri dengan aku yang berada dalam gendongannya.
Desahan kecil keluar tanpa bisa kutahan ketika tubuh kerasnya tanpa sengaja menyentuh pusat sensitifku. Aku semakin basah dan tak tahan tiap kali Marcus melangkah, tiap kali juga tubuhnya menyapa dan menggodaku. Aku sangat ingin meraih dan menenggelamkannya dalam tubuhku.
Oh shit, aku sudah kehilangan kesadaran dan kabut gairah membutakanku. Tapi aku tak akan pernah menyesali ini. Dengan perlahan Marcus menghempaskan tubuh polosku ke atas ranjang besar dalam kamarnya. Lalu kembali menindihku. Tangannya begitu aktif membelai kulitku. Dengan sangat lihai bibirnya mulai mengecup. Tak ada satu pun sudut yang terlewatkan dari bibirnya. Memujaku begitu dalam. Melambungkan aku ke langit ketujuh dengan perlakukan lembutnya. Memberikan banyak jejak tanda kepemilikannya di tubuhku. Di tempat-tempat yang tak pernah terpikirkan oleh otak polosku.
Hingga kami bersatu berburu kenikmatan dunia. Saling berlomba mencapai puncak kenikmatan. Malam panjang yang begitu indah dengan erangan dan desahan kami yang menghangatkan. Malam pertama dan tak terlupakan untukku.
Berjam-jam telah berlalu, beronde-ronde percintaan panas sudah dilalui dan berbagai gaya terlah kami lalukan. Hingga tubuhku begitu lemas tak berdaya juga lengket oleh keringat. Bibirku kebas dan membengkak. Deru nafasku mulai kembali stabil. Tangan besar dan hangat menarik pundakku. Membawa aku masuk dalam dekapan hangat tubuh Marcus. Dia memelukku begitu erat.
"Aku sangat mencintaimu, Lina. Tak ada seorang pun wanita yang bisa membuatku gila dan kehilangan kontrol selain dirimu. Hanya kau yang membuat tubuhku begitu panas dan bergairah. Dan hanya dirimu yang aku inginkan di dunia ini, sekarang, nanti dan untuk selamanya. Jangan pernah pergi meninggalkanku."
Pergi meninggalkannya? Tak akan pernah kulakukan. Dia telah merebut sebagian jiwaku. Aku tak bisa pergi dan menjauh ketika dia bagaikan oksigen untukku. Terlalu sesak dan mencekik jika dia tak ada disisiku.
"Aku khawatir jika kaulah yang akan pergi meninggalkanku," lirihku sedih dengan memeluk pinggangnya begitu erat. Khawatir dan takut dia pergi begitu saja jika aku meregangkan pelukanku.
"Tak akan pernah, sayangku." Belaian lembut tangan Marcus di puncak kepala dan panggilan sayangnya untukku memberikan efek yang menakjubkan. Ribuan bunga bertebaran, jutaan kupu-kupu terbang menghantarkan kebahagian yang membuncah. Tak ada hal lain yang aku butuhkan di hidup ini, hanya bersama dengannya maka semua akan baik-baik saja.
Tangannya melepaskan pelukanku. Tubuhnya berbalik dan mengambil sesuatu di laci nakas samping ranjang. Dan kembali menatap mataku intens. Meraih jemariku dan perlahan memakaikan sebuah cincin silver bertahtakan batu shapire.
Mataku membesar ketika cincin itu sudah melekat indah di jari manisku. Lalu mengarahkan jemari itu mendekati mataku. Cincin yang begitu memukau. Batu shapire biru yang indah dan berkilau.
"Maukah kau menikah denganku?" Aku menoleh cepat ke arah Marcus. Tak percaya dengan kalimat yang diucapkannya.
"Lina, aku mencintaimu. Aku ingin kau menjadi wanitaku , menemani aku sepanjang hidupmu. Menjadi istri sekaligus ibu dari anak-anakku. Maukah kau menikah denganku? Menghabiskan seluruh sisa hidupmu bersamaku hingga maut memisahkan kita."
Tangan Marcus terulur, membelai pipiku lembut. Mataku berkaca-kaca. Tak pernah terpikirkan Marcus akan melamarku.
"Aku juga mencintaimu, Marc. Sangat-sangat mencintaimu. Aku mau menghabiskan sisa hidupku hanya bersamamu. Menjadi istri, sandaran dan ibu dari anak-anakmu."
Mata Marcus bersinar penuh kebahagiaan tersenyum begitu lebar menghantarkan aku pada kebahagian terbesar dalam hidupku.
"Aku akan menikahimu sehari setelah acara wisudaku."
Janji Marcus kepadaku dan mengecup kening hangat sebagai pengesahan akan janjinya. Aku sangat bahagia. Acara wisuda Marcus enam bulan lagi. Itu artinya kami akan menikah enam bulan lagi. Aku langsung memeluk Marcus erat, menenggelamkan tubuhku dalam dekapan hangat tubuhnya.
Tak ada hal lain yang aku inginkan lagi. Selama dia selalu disampingku maka aku takkan meminta apapun lagi padaMu Tuhan. Karena hanya dia yang aku butuhkan. Hanya Marcus.
Sebuah guncangan yang cukup keras di pundak menyadarkanku dari lamunan panjang masa lalu. Sontak tubuh berdenyit pelan, terkejut dengan kumpulnya kesadaranku.
"Shelina." Suara seseorang di sampingku. Aku menoleh dan langsung menatap wajah Andrew yang khawatir. Aku mengangguk pelan menjawab panggilannya. Lalu melirik keadaan sekitar dengan cepat. Ah ternyata kami berdua tengah berada di dalam mobil Andrew yang sudah berhenti di depan gedung apartemenku.
"Kau baik-baik saja?" Tanyanya khawatir dan tak puas hanya mendapat anggukkan kepalaku. Dia menuntut jawaban dari mulutku.
"Ya, aku baik-baik saja," sebuah senyuman kecil aku tampilkan mengusir kerisauan dan kekhawatiran yang jelas ada di wajahnya. Andrew memegang pundakku dan memutar tubuhku menghadap kearahnya. Mata kami saling bertatapan.
"Jangan dengarkan perkataan Marcus tadi. Dia hanya kaget karena kau jauh lebih muda dibandingkan aku."
"Ya," jawabku pelan sambil mengangguk. Tentu saja Marcus kaget. Kami sudah lima tahun tak bertemu. Dan pertemuan pertama kami memang sangat tak masuk akal. Dulu hubungan kami sepasang kekasih tapi kini hubungan kami tak lebih dari hubungan antara calon anak tiri dan ibu tirinya.
"Dengar, Marcus memang anak yang dingin dan keras. Tapi sebenarnya dia anak yang baik. Aku sangat menyayanginya. Kuharap kau juga menyayanginya," ucap Andrew lembut mencoba menjelaskan agar aku mengerti sikap dingin dan kejam yang Marcus tampilkan tadi.
"Dia membenciku," ucapku sendu, sedikit terkejut dengan ucapan yang keluar dari mulutku sendiri.
"Ssttt. Dia tidak membencimu. Dia hanya belum menerima kehadiranmu."
"Dia tak setuju aku—"
"Tenanglah, kita akan tetap menikah sebulan lagi. Dengan atau tanpa persetujuan Marcus."
"Sekarang, masuklah. Ini sudah malam. Kau besok harus bangun pagi sekali untuk membereskan barang-barang yang akan kau bawa." Aku mengangguk pelan. Pasrah, tak ingin menentang kata-katanya lagi. Walau kini hatiku meragu, apa keputusanku ini benar? Apa aku yakin akan menikah dengannya sebulan lagi? Andrew adalah pria yang baik, dia sangat menyayangiku dan aku juga menyayanginya. Tapi sampai saat ini aku tidak bisa mencintai Andrew karena hatiku telah hancur oleh pria lain yang merupakan putra tunggalnya, Marcus Cho. Aku teringat kembali pertemuan pertamaku dengan Andrew.
Sebuah tamparan keras menghantam pipi kiriku. Begitu pedas dan panas. Pipiku terbakar. Berdenyut\-denyut sakit membara. Tanganku meraba pelan pipi kiri, nyeri dan panas.
"Dasar jalang rendahan!"
Aku menoleh. Wanita paruh baya dengan barang\-barang mewah di seluruh tubuhnya berdiri di hadapanku. Dengan wajah sangar dan marah menatapku. Matanya membara tajam.
"Berani\-beraninya kau menggoda suamiku? Dasar jalang rendah!" Teriaknya melengking hingga puluhan pasang mata menatap ke arah kami. Dentuman musik Dj terhenti, semua orang terfokus menanti kekacauan yang akan terjadi. Panas di pipi menyadarkanku, bukan saatnya aku berdiam diri. Aku memang pelacur tapi tak pernah menggoda suaminya. Pria itu sendiri yang datang dan menyewaku.
"Jaga mulut anda, nyonya." Aku menegakkan tubuhku. Berdiri berhadapan dengan wanita paruh baya yang angkuh dan penuh kesombongan itu.
"Jaga mulutku?" Alisnya naik sebelah mengejekku.
"Tak ada yang salah dengan ucapanku. Kau memang pelacur, jalang rendah yang menjajakan tubuhnya kepada siapapun. Menggoda pria kaya dengan tubuhmu," ejek nyonya itu menghina pekerjaanku.
"Ya, aku memang jalang. Tapi aku tak pernah menggoda suamimu. Dia yang datang dan merayuku untuk melayaninya. Jangan salahkan aku jika dia tertarik padaku, tapi tanyakan pada dirimu sendiri mengapa dia melirik gadis muda sepertiku? Itu karena kau sudah tak menggairahkan lagi. Wajahmu sudah keriput dan tubuhmu sudah longgar tak sesempit milikku. Jadi, bukan aku yang menggoda suamimu, tapi kau yang tak bisa memuaskannya lagi," aku menyeringai senang karena semua perkataanku memanglah kebenarannya. Pria itu pernah bercerita setelah dia puas dengan pelayananku.
Wajah nyonya sombong itu semakin menggelap. Tanduk dan asap seakan keluar dari kepalanya. Dengan cepat dia menyerangku. Jemarinya menarik rambut panjangku dengan brutal. Keanggunan kalangan atas yang melekat di tubuhnya seakan sirna dengan prilaku bar\-barnya yang mengamuk dan menarik rambutku kasar.
Sakit tak terkira. Rambutku ditarik secara paksa. Helaian rambutku lepas. Pening memburu begitu cepat diiringi sakit yang teramat sangat. Sebelum seluruh rambutku rontok akibat nyonya gila ini, aku harus menghentikannya. Aku menarik tangannya.
Sial, tangannya begitu kencang. Tak bisa melepaskan diri darinya, aku berbalik melawan wanita tua itu.
Aku ingin dia tahu rasa sakitku. Tanganku dengan cepat meraih rambutnya. Lalu menariknya begitu kencang hingga dia memekik keras karena ulahku.
Aku menyeringai. Kehidupan mengajarkan aku untuk tak pernah berdiam diri. Luka dibalas dengan luka. Sakit dibalas dengan sakit. Tak akan ada yang berubah jika aku hanya diam menerima perlakuan jahat orang lain. Selagi diriku benar, jangan pernah berhenti untuk mempertahankannya.
Pertikaian kami berlangsung cukup lama. Tak ada seorang pun dari kerumunan orang di dalam club ini yang memisahkan kami. Mereka bahkan bersemangat menonton. Menyorakkan kata\-kata semangat agar kami semakin menggila. Nyonya gila itu mencakar wajahku. GILA!!
Rahangku mengeras, mata menggelap, dan pipi perih. Kuku wanita itu sudah melukai wajahku. Dengan brutal aku membalas perlakuannya. Mencakar wajahnya. Aku menyeringai bahagia teringat beberapa hari yang lalu aku melakukan perawatan pada kuku tanganku. Pertikaian kami semakin panas. Hingga seorang pria menarik tubuhku dari belakang. Dan seorang pria paruh baya menarik nyonya sombong itu. Pria yang beberapa hari lalu selalu mencariku, suami nyonya sombong itu.
"Bawa pulang istrimu!" ucap seorang pria yang menahan tubuhku. Aku masih ingin menerjang wanita itu. Aku belum cukup puas hanya dengan merobek baju mewah dan mencakar wajahnya. Rambutnya begitu acak\-acakan. Dia sangat mengenaskan.
"Lepaskan aku!" Teriak nyonya itu tak terima ditahan oleh suaminya.
"Diam! Apa kau ingin mempermalukan dirimu? Pulang sekarang juga!" Teriak suaminya marah.
"Mempermalukan diriku? Kau yang membuat aku malu karena berhubungan dengan jalang itu!" Teriaknya tak terima. Namun suaminya menariknya untuk segera pergi dari sini hingga menghilang di balik pintu. Kerumunan orang mulai membubarkan diri, kembali asik menikmati musik Dj dan berjoget ria.
Aku tersadar jika seorang pria masih memeluk perutku erat dari belakang. Dengan cepat melepaskan diri dan berbalik. Seketika terdiam dan membeku. Dihadapanku berdiri seorang pria dewasa yang tampan walau usianya jauh lebih tua dibandingkan diriku. Mata hitam yang begitu gelap, hidung mancung, dan bibirnya cukup tebal, aku terpesona. Dia meneliti penampilanku dari bawah hingga atas. Matanya membesar menatap wajahku.
"Astaga, kau terluka." Dengan panik dia menarik tanganku untuk segera mengikuti langkah besarnya. Aku hanya diam tak bersuara ketika dia membawaku ke salah satu kamar yang disediakan di club malam ini. Entah dari mana dia mendapatkannya. Kini tangannya menggenggam handuk kecil yang sudah di celupkan ke air hangat dan perlahan mengusapkannya ke arah wajahku.
"Ahh," desisku pelan menahan perih. Sejak tadi aku tak tahu kondisi wajahku saat ini. Aku tak tahu separah apa luka yang kuterima dari nyonya gila itu. Tapi satu hal yang pasti, ini sangat perih.
Aku membeku karena hembusan nafas hangatnya menerpa wajahku. Pria ini begitu dekat. Bahkan wajahnya berjarak beberapa centi dariku. Dia seakan tak perduli dengan jarak diantara kami. Dan terus terfokus untuk membersihkan luka di wajahku. Lalu menempelkan plaster di sana. Sejak tadi aku hanya diam tak berbicara sedikitpun karena pria ini juga tak berkata apapun. Dia kembali duduk di hadapanku setelah meletakkan baskom kecil, handuk dan obat luka di atas meja.
Pria itu menarik pundakku untuk berhadapan langsung dengannya. Jantungku berdegup kencang menanti apa yang akan dilakukannya. Kami hanya berdua di dalam kamar ini. Duduk saling berhadapan di atas ranjang yang besar. Entahlah, pikiranku menggambang. Aku yakin pria ini tak akan melepaskanku begitu saja. Kebaikannya hanya perhatian kecil untuk bisa mendekati dan menyentuhku. Dan aku yakin dia pasti menuntutku untuk melayaninya.
Tangannya terulur pelan menyentuh kepalaku. Dia sudah memulai aksinya. Tapi mataku melebar sempurna ketika tangan itu menyusuri rambutku. Menyisiri rambutku dengan jari\-jemarinya. Tangan kirinya pun ikut terulur. Melakukan hal yang sama disisi kanan rambutku.
Apa yang dia coba lakukan? Mencoba merapihkan rambutku yang berantakan. Tidak mungkin, dia pasti sama seperti pria lain yang penuh nafsu birahi. Tapi semakin aku menyangkalnya semakin pria di hadapanku ini menatapku penuh rasa. Tatapan matanya yang terfokus padaku memancarkan kasih dan kepedulian yang begitu besar.
"Siapa namamu?" Suara lembutnya menghanyutkan. Aku terpejam menikmati kasih dari belaian tangannya di kepalaku.
"Shelina, Shelina Aston," suaraku keluar begitu saja. Seakan aku terhipnotis olehnya. Dia tersenyum lebar. Entah mengapa aku sangat menyukai senyumannya. Senyum itu bahkan sudah menular kepadaku.
"Nama yang indah. Namaku Andrew Cho," ucapnya.
"Malam ini temani aku," ucapnya lembut. Sudah kuduga, tak ada orang yang tulus di dunia ini. Semua orang pasti memiliki maksud dibalik tindakan baiknya.
"Tidak, bukan dengan melayaniku. Tapi menemaniku berbagi kisahmu," sangkal Andrew seakan mengerti pemikiranku.
"Apa?" Mataku melotot tak percaya. Mulutku terbuka tak bisa berkata\-kata. Apa maksud pria ini? Berbagi kisah? Apa dia sedang bercanda? Dia berkata seakan kisah hidupku begitu menarik untuk ia dengarkan daripada menuntutku untuk melayaninya di atas ranjang.
"Shelina, bisakah kau menceritakan kisah hidupmu kepadaku?" Tanyanya penuh harap. Takut aku menolak permintaannya. Dia serius? Andrew serius dengan perkataannya. Ini pertama kalinya ada seorang pria yang memintaku untuk menceritakan kisah hidupku. Selama ini tak ada satu pun pria yang perduli. Mereka hanya menginginkan kepuasan dan bermulut manis. Tak ada yang memperlakukanku selembut dan seperhatian pria ini.
Awalnya aku menolak bercerita dan ingin dia mengerti bahwa aku tak bisa berbagi kisah dengan seorang pria asing hingga akhirnya dia sendiri yang mulai menceritakan kisah hidupnya. Kisah tentang dirinya yang sangat mencintai almarhum istrinya. Hingga malam semakin larut. Dan kami tidur bersama tanpa melakukan hubungan suami istri. Bahkan tak ada satu pun kecupan bibir. Benar\-benar hanya tidur di ranjang yang sama dengan dia yang memelukku. Ini pertama kalinya aku tidur bersama seorang pria tanpa melakukan hubungan sex sedikitpun.
˙°♡♡♡°˙
Sebuah benda hangat nan lembut menempel di dahi. Menyadarkanku kembali dari lamunan sesaatku. Andrew mengecup dahiku. Mengantarkan kehangatan yang menenangkan. Aku sadar bahwa dia adalah orang yang begitu berarti di hidupku. Pahlawanku. Dan keputusanku untuk menikah dengannya, tak pantas aku pertanyakan dan ragukan lagi.
"Masuk dan segera tidur, mengerti." Tangannya mengelus pelan puncak kepalaku dengan sayang. Aku mengangguk sambil tersenyum lebar kearahnya. Dan mulai turun dari mobil, melambai sebentar hingga dia pergi menjauh.
Aku melangkahkan kaki menuju apartemenku yang berada di lantai tujuh. Keheningan gedung menyelimutiku. Aku terlena dengan ribuan pemikiran dalam angan.
Marcus.
Sosok yang begitu kurindukan sejak lima tahun lalu. Sosok yang sangat ingin aku temui dan hindari. Sosok yang tak pernah lagi hadir dalam mimpiku. Kini datang lagi. Datang ketika aku sangat ingin memulai hidup baruku. Sosok yang memiliki kata pertama di seluruh hidupku. Cinta pertama, ciuman pertama dan pria pertamaku. Tak mungkin aku bisa melupakan ataupun menghapusnya. Dia terukir begitu dalam di hati, membekas tanpa bisa menghilang sedikitpun.
Dentingan suara lift menyadarkanku. Aku tersadar untuk segera melangkah keluar dan berjalan kembali. Menyusuri lorong yang hening dan sepi hingga berdiri di depan salah satu pintu apartemen.
Kuketikkan beberapa angka kombinasi password di panel pintu apartemen. Dan segera masuk ketika pintu terbuka. Hening, gelap, dan sepi, itulah yang selalu menyambut kehadiranku di apartemen ini. Apartemen luas dan mewah yang Andrew sediakan untukku. Kakiku melangkah pelan di kegelapan. Tak berniat menghidupkan lampu. Melepas highheels lima belas centi yang menyiksaku sejak tadi. Hembusan lega keluar ketika telapak kakiku menyentuh dinginnya kramik. Aku berjalan menyusuri ruang tamu yang samar di kegelapan.
Melepaskan tas tanganku begitu saja hingga jatuh tak berdaya di lantai dengan suara yang cukup nyaring. Aku tak perduli, terlalu lelah hanya untuk meletakkan tas mewah itu di meja.
Kudorong pelan pintu kamarku. Terus berjalan menuju ranjang. Cahaya rembulan cukup menerangi kamar ini, masuk melalui jendela kaca besar yang memisahkan kamar dan balkon. Ketika aku berdiri di sisi ranjang, saat itu pula aku menjatuhkan tubuhku. Merentangkan tanganku lebar, melayang tak berdaya dan mendarat dengan cepat di atas kasur empuk yang menenangkan. Kupejamkan mata, menghirup udara begitu banyak dan menghembuskannya secara pelan. Mataku terbuka kembali, langit kamar yang polos menyambut.
Lagi, pertemuan acara makan malam yang gagal tadi berputar kembali. Seperti kaset kusut yang di putar berulang kali tanpa henti.
Marcus begitu terkejut sama sepertiku. Aku bergetar mengingat tatapan mata tajam dan mengintimidasi miliknya. Bukan karena terpesona atau rindu. Tapi karena sakit menyadari bahwa kini semua telah berubah. Aku... Tak akan mungkin bisa memilikinya lagi. Dia hanyalah masa laluku dan Andrew adalah masa depanku. Tak perduli sesulit apa rintangannya. Tak perduli sekeras apa orang menentang kami. Aku hanya ingin bahagia bersamanya. Pria yang menjadi cahaya dalam kegelapanku. Calon suamiku, Andrew Cho.
Airmata menetes tanpa bisa aku tahan. Tak bisa menutupi kesedihan, luka dan sakit di hatiku. Aku hanya berharap ini adalah airmata terakhirku untuk Marcus. Karena dia hanyalah masa laluku. Masa lalu yang menjadi kenangan tak terlupakan yang tak bisa lagi aku harapkan untuk terulang kembali sekarang ataupun di masa depan.
Tak ada yang tahu ataupun menebak bagaimana takdirmu dituliskan oleh Tuhan. Sama seperti takdir yang kini menimpaku. Lima tahun yang lalu Marcus adalah kekasihku, tapi kini dia adalah calon anak tiriku. Lima tahun yang lalu aku sama sekali tak mengenal Andrew tapi kini dia adalah calon suamiku. Tak ada satu manusia yang bisa menebak dan membaca takdir yang sudah digariskan Tuhan. Semua bisa terjadi jika Dia menghendakinya. Dan aku hanya bisa berharap dan berdoa akan ada kebahagiaan yang menanti di ujung jalan takdir ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!