NovelToon NovelToon

Under The Sky

1

Senin pagi yang cerah. SMA Bina Bangsa sudah dipenuhi ratusan siswa dan siswinya. Tahun ajaran baru, para siswa antusias masuk ke sekolah. Entah karena rindu suasana belajar di sekolah, atau rindu teman dan gebetan mereka.

Kerumunan siswa terlihat di depan papan pengumuman nilai ujian. Seorang siswi perempuan berhenti sejenak. Melirik sekilas ke arah papan pengumuman itu, tanpa keinginan untuk berdesak-desakan mendekat. Ia tahu namanya ada di urutan berapa tanpa harus melihat daftarnya. Desas desus siswa dan siswi sepanjang gerbang masuk sekolah sudah membuatnya mengerti.

"Biasa, si Celsa lagi yang peringkat pertama."

"Gilak! Makannya apa sih tuh cewek. Pinter banget."

"Cewek bar-bar ga punya adab, doyan party, hobi bolos.. Bisa-bisanya dia peringkat satu se-sekolahan. Nilainya sempurna di semua matpel."

"Mustahil banget gak sih.."

"Emang IQ nya tinggi. Lo gak inget kita semua pernah test IQ di tahun pertama SMA. Dan IQ Celsa di atas rata-rata.."

Ya, siswi perempuan yang melenggang santai melewati kerumunan siswa di papan pengumuman nilai itu Celsa. Celsara Arkadinata. Cewe dengan predikat bar-bar, kasar, ga beradap. Tukang bolos, tukang party, penampilan urakan, cewek ga bener. Semua predikat itu melekat di diri Celsa, dan gadis itu tidak keberatan sama sekali.

Celsa mendengar semua pujian dan cibiran tentangnya dengan dagu terangkat. Ia menatap nyalang siapapun yang memusuhinya. Ia tidak akan terlihat lemah di hadapan siapapun. Dan ia tidak mau ambil pusing penilaian orang-orang terhadapnya. Ia tidak akan dan tidak mau jatuh oleh cibiran dan hinaan siapapun itu.

Langkah kakinya terhenti sesaat di depan tangga. Kelompok geng tersohor di SMA Bina Bangsa sedikit menyita perhatiannya. Mereka menamai dirinya Geng Zero (geng 0). Geng berisi 5 siswa cowok paling tampan dan berpengaruh di sekolah ini berkumpul dan bersenda gurau di sana.

Sedetik tatapannya bertemu dengan Anzel. Ketua geng 0. Cowok paling ganteng seantero jagad raya di mata Celsa. Ya, mungkin juga di mata sebagian besar siswi di SMA Bina Bangsa. Tapi bagi Celsa, Anzel lebih dari sekedar ganteng. Lelaki itu baik, perhatian dan sikapnya sangat manis kepadanya. Tapi itu dulu. Dua tahun lalu. Saat mereka sama-sama masih duduk di kelas X.

Hanya hitungan detik, Celsa cepat-cepat memutus kontak mata dengan Anzel begitu seorang siswi berpenampilan rapi dan manis melewati sisi tubuhnya dan menghampiri geng 0 dengan tawa renyah dan ceria.

"Hai semuaa.." sapa siswi perempuan dengan nametag Meyza.

"Waah.. Ibu ketua geng 0 udah dateng.."

"Selamat ya bu ketu.. Lo dapet peringkat 3 taun ini."

"Hihi.. Turun nih padahal taun kemaren gue di peringkat 2."

"Kebanyakan pacaran sama Anzel kali lo, Mey.."

Celsa mempercepat langkah menaiki tangga. Meski samar samar masih mendengar obrolan dan tawa membahana kelima siswa dan 1 siswi di samping tangga tadi, sekeras apapun usahanya menulikan telinga.

Ia tak mau tau lagi tentang mereka. Ya, seharusnya begitu! Celsa harus melupakan Anzel. Hatinya patah dan hancur berkeping-keping saat enam bulan lalu Anzel mengumumkan status pacarannya dengan Meyza.

Bukan hanya patah hati, namun merasa dikhianati. Meyza adalah sahabat sekaligus sepupunya. Tapi perempuan itu tanpa pemberitahuan apapun, tiba-tiba menerima ajakan pacaran dari Anzel. Anj*ing banget kan?

................

Sementara itu di samping tangga lantai dasar, Anzel mengingat raut datar dan jutek Celsa dengan tatapan yang sulit diartikan.

Cewek cantik dan judes itu tak pernah lekang dari otak Anzel. Ia menyukai Celsa dan semua perangainya. Ia mengenal Celsa sejak hari pertamanya di SMA Bina Bangsa. Itu pulalah yang membuatnya tidak terpengaruh pada cibiran dan predikat yang disematkan pada Celsa. Baginya, Celsa adalah cewek manis dan ceria yang mengisi sebagian besar ruang di hatinya.

"Baby, kamu kok bengong sih?" gelayut manja Meyza di lengannya menarik kesadaran Anzel. Ia hampir saja lupa bahwa ada satu nama lagi yang mulai mengisi hatinya. Almeyza Silvina. Gadis cantik, lembut, dan perhatian yang jadi pacarnya selama 6 bulan ini.

Anzel tersenyum seraya mengusap ujung kepala Meyza. "Aku cuma mikir ucapan Galtero ada benarnya, baby.. Peringkat kamu turun gara-gara kita keseringan jalan."

"Engga kok.. Emang kemarin ujiannya susah." elak Meyza. Tak ingin membuat Anzel merasa bersalah. Pun, dia tak ingin kalau sampai Anzel menjauhinya dengan alasan agar nilainya tak turun.

"Omongan Galtero lo peduliin.." seloroh Dion. "lihat noh si Gama. Maen sama kita-kita tiap hari, weekend ikut balapan, di kelas molor terus kerjaannya, tapi taun ini peringkatnya malah naik. Dia peringkat ke 5 satu sekolah. Ajaib gak tuh..?"

Gama yang disebutkan namanya hanya tersenyum miring sarat kesombongan. Ia menyugar rambutnya ke atas dengan sebelah tangan, sedang tangan yang lain mendekatkan rokok ke mulutnya. Lantas menghembuskan asap pekat ke udara.

"Udah waktunya gue serius sekolah. Bentar lagi kita lulus.. Harus dapet universitas bagus dan siap-siap gantiin papi gue." jawab Gama.

"Weeh.. Calon CEO Wijaya group." celetuk Dion.

Gamaliel Angkasa Wijaya. Anggota geng 0 kedua, di bawa tahta Anzelo Alta Minarno sebagai ketua geng. Wajah tampan bak artis blasteran, tubuh tinggi kekar, otak cemerlang, kemampuan bela diri level Nasional, dan kekayaan keluarga yang tak akan surut sampai 7 turunan mendatang membuat spek Gama bahkan lebih unggul dari Anzel. Hanya saja lelaki itu enggan menjabat sebagai ketua.

Di balik wajah tampan Gama, sikapnya yang kasar dan tak berbelas kasihan membuat ia dinobatkan jadi pangeran geng 0 yang sulit dijangkau. Berbeda dengan keempat temannya yang ramah pada siapa saja. Ia sangat membenci cewek-cewek centil yang terus berusaha menarik perhatiannya. Benar-benar bukan selera seorang Gama.

Tipe ideal lelaki itu adalah perempuan lugu, kalem, dan belum terjamah lelaki lain. Aneh? Iya. Banget.

"Di antara kita yang otaknya paling encer kan emang Gama. Buktinya dari kita berlima, cuma Gama yang lolos masuk kelas IPA." Galtero berseloroh.

"Heh! Lo kira yang masuk IPS itu bego? Stereotip lo tuh kolot. Anak IPS lebih bego daripada anak IPA. Kita masuk IPS ya karena kita lebih unggul di pelajaran-pelajaran IPS." Raka Ardianputra memberi opini tanpa mengangkat kepala dari game online yang sedang ia mainkan.

"Heh, Wibu! Realistis aja. Lo masuk peringkat 23. Gue 40, Dion peringkat 45. Anzel masih mending dia peringkat 10. Intinya emang bener kan, kalau Gama yang paling pinter di antara kita."

"Ya iya sih.."

Gama melempar puntung rokok yang sudah padam ke tong sampah. Lantas menyambar ransel hitam miliknya dan beranjak menaiki tangga ke lantai 2. "Gak cuma paling pinter. Tapi juga paling ganteng. Catet itu."

"iyee, suhu.. Dan gak ketinggalan. Yang paling tajir juga." sahut Dion diiringi gelak tawa yang lain.

Keempat anggota geng 0 dan Meyza mengekor di belakang Gama. Mereka berjalan menuju ke kelas masing-masing.

................

"Celsaa..."

"Celsaaa !!"

Celsa sontak menoleh ke sumber suara nyaring yang memanggil namanya. Farra dan Tyas. Dua sahabat dekatnya yang duduk di ujung paling belakang kelasnya.

Celsa mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk membalas sapaan Farra dan Tyas. "Haaii girls.." sapa Celsa setelah mendaratkan pantatnya di bangku tepat di depan Tyas.

"Juara 1 lagi nih? Congrats yaa Cels.." ucap Tyas.

"Iya, Cels.. Gak bosen apa lo rangking 1 mulu." sambar Farra.

Celsa tergelak. "thank you guys.."

"Iri deh gue sama lo. Kerjaannya tiap hari party, hobi bolos sekolah, tapi masih encer aja otak lo.."

"Tauk nih.. Makan apa sih lo Cel.. Kok nilai lo 100 semua. Gilak lo."

"Makan buku, dong.. Jangan lupa bukunya dibakar dulu." ceplos Celsa.

Celsa, Farra, dan Tyas bersenda gurau sembari menunggu bel masuk berbunyi. Tak lama kemudian suasana jadi semakin riuh. Desas desus yang mendengung semakin keras dari cewek-cewek centil se antero sekolah. Apa lagi penyebabnya. Kalau bukan karena geng Zero yang akan melintas di koridor kelas sebentar lagi.

Celsa ikut mendongak. Melihat melalui pintu kelas yang terbuka lebar. la pun rindu gerombolan pawai lima cowok ganteng Bina Bangsa itu berjalan dengan angkuhnya. Sok kegantengan. Dan sok berkuasa.

Ya, gaya songong mereka emang nyebelin. Tapi justru itu yang menarik. Geng 0 punya visual dan kualitas yang mumpuni untuk bersikap angkuh. Mereka berlima punya value yang pantas disombongkan.

But wait.. Celsa tak merindukan kelimanya. Ogah banget. Dia hanya merindukan Anzel seorang. Cowok ganteng yang menjadi pemimpin geng Zero. Baginya, Anzel adalah pangeran dan empat temannya yang lain tak lebih dari dayang-dayang Anzel saja. Dan mereka semua transparan. Hanya Anzel yang bersinar. Wkwkwkk..

Pemandangan kali ini berbeda. Pawai pangeran Bina Bangsa itu tak lagi berlima. Kini ada satu perempuan di samping Anzel. Bak sepasang raja dan ratu yang berjalan diiringi pengawal di samping kiri, kanan, dan belakangnya. Dialah Meyza. Gadis yang sudah enam bulan ini berstatus sebagai kekasih Anzel.

"Dih tuh cewek ngerusak pemandangan aja sih.."

"Tau tuh. Kepedean banget jalan bareng lima pangeran kita."

"Sombong banget, mentang-mentang diterima jadi pacar Anzel. Padahal cantik juga kagak.."

Celetukan random yang terlontar dari siswi-siswi barisan pengagum geng 0 tak jauh berbeda dengan isi hati Farra dan Tyas.

"Gilak tuh si Meyza. Cowok hasil nikung gebetan Celsa aja PD banget ditempelin mulu.." gerutu Farra.

"Takut Anzel keburu nyadar kali.."

Tyaz menyikut lengan Farra agar teman sebangkunya itu tutup mulut. Sebab melihat raut wajah Celsa, Tyas tak mengerti apa yang ada di pikiran sahabatnya itu.

Celsa terbilang tertutup untuk masalah-masalah yang terlalu privat. Meski sudah bersahabat sejak kelas X, Celsa jarang sekali mengutarakan beban dan perasaaannya. Ia ahli menyembunyikan masalah di balik sikap ceria dan bar-barnya.

"Cel, lo gak apa-apa?"

Celsa menoleh ke belakang. Dia mengulas senyum seraya menggeleng.

Tyas kembali melontar tanya, "Anzel masih nemuin lo diem-diem?"

"Udah lama gak pernah lagi."

"Cels, ini saatnya lo move on ga sih?" celetuk Farra .

"Gue setuju, Cel.." sambar Tyas. "Gue ngerasa Anzel redflag banget. Dia gak seistimewa itu untuk dapetin lo dan Meyza sekaligus."

"Setuju!"

"Meyza sahabat pengkhianat. Anzel pun brengsek. Deketin lo, tapi jadian sama Meyza. Dah laah, mereka cocok. Sama-sama brengsek."

Celsa terlihat berpikir. Seulas senyum manis terbit dari bibirnya. Tapi tak sepatah katapun terucap. Hatinya, hanya dirinyalah yang tau.

.

.

💥 Bersambung

2

Jam istirahat telah tiba. Siswa siswi Bina Bangsa berhamburan keluar kelas masing-masing. Begitu pula dengan Celsa, Farra, dan Tyas.

Mereka bertiga menuju ke kantin. Memesan makanan seperti biasa. Celsa tak bisa melewatkan makan siang, karena ia terbilang jarang sarapan pagi.

Setelah memesan makanan, mereka berjalan ke ujung kantin. Bangku dan meja kayu khusus yang terletak paling jauh dari area kantin, sampai mendekati tempat parkir motor. Tempat biasa Celsa, Farra, dan Tyas menghabiskan waktu istirahat. Bangku yang resmi diklaim sebagai milik Celsa. Ada larangan tak tertulis yang diketahui semua siswa Bina Bangsa bahwa bangku itu tidak boleh diduduki siswa-siswi lain.

Namun, hari ini bangku khusus itu telah didiami dua siswi baru kelas X. Membuat Celsa mendengus kesal.

Farra mendekat dengan cepat lantas menggebrak meja dengan intonasi pelan. "Pindah, Cepet!! Ini tempat kita."

Salah satu siswi baru mencoba melawan, "Maaf kak, kita duluan yang duduk disini."

"Lo boleh duduk dimana aja. Asal gak disini. Ini tempat gue!" sambar Celsa. "Pindah!"

Dua siswi baru tersebut saling pandang untuk sesaat, lalu memilih untuk mengalah.

"Bilang sama semua temen lo anak kelas X. Gak ada yang boleh duduk di sini. Ini tempat gue. Ngerti?" lanjut Celsa, yang hanya dihadiahi anggukan kaku dari siswi baru tersebut.

......................

Sementara itu di tengah-tengah area kantin yang luas, geng 0 dan Meyza duduk di satu meja. Menikmati aneka cemilan, gorengan, dan es berbagai rasa. Gama dan Galtero menghisap rokok. Sedangkan Dion menyantap semangkuk soto ayam yang masih panas.

Perhatian seisi kantin tersita pada kumpulan 5 pangeran Bina Bangsa yang amat bersinar siang ini. Seolah mereka dessert paling menyegarkan dan tak boleh disia-siakan begitu saja.

Beberapa dari mereka iri melihat kemesraan Anzelo Alta Minarno dan Almeyza Silvina. Sedangkan beberapa yang lain terpesona pada rupa tampan kelas dewa Gamaliel Angkasa Wijaya. Gaya macho ala badboy-nya Galtero Hanggara. Si paling friendly Dionisius Gunawan. Dan wibu paling cool dan cuek Raka Ardianputra.

Namun dari sekian banyak manusia yang memadati kantin siang ini, Gama justru terfokus menatap satu insiden kecil di ujung kantin. Saat ia melihat geng cewek-cewek tengil yang mengusir siswi kelas X untuk pindah meja.

"Babi! Songong banget sih tuh cewek." gerutu Gama seraya menggerus batang rokok yang masih tersisa setengah.

"Diemin wae bro! Lagian kita gak denger apa yang mereka omongin." sahut Dion santai.

"Keliatan jelas tuh. Mereka lagi ngusir anak baru dan nyuruh mereka pindah meja." tukas Gama.

"Dia itu Celsa. Celsara Arkadinata." sahut Meyza, begitu melihat siapa orang yang diperbincangkan. "Dia klaim bangku itu punya dia. Dan udah terkenal banget gak ada yang boleh duduk di bangku itu selain dia."

Gama melirik sekilas pada Meyza. "Jadi itu yang namanya Celsa? Sombong, tengil, dan gatel.."

"Lo baru tau itu Celsa, Gam? Kemana aja lo.." Galtero tergelak. "Dia cewek nomer 1 di sekolah ini. Nilainya selalu terbaik di setiap matpel. Dia emang galak dan jutek. Tapi dia cantik banget, brooo.... Mukanya tuh manis, imut, gak ngebosenin banget coy. Tipe gue banget lah intinya."

Tanpa ada yang menyadari, Meyza tampak tidak suka mendengar kalimat Galtero yang melabeli Celsa sebagai cewek nomer 1 se Bina Bangsa. 'Please... Gak banget deh..!' batin Meyza.

"Cantik apanya! Cuih, gak doyan gue cewek kayak dia. Dia bukan tipe gue." tukas Gama cepat. "Dia yang terkenal bar-bar kan? Ngomongnya kasar, hobi party, tukang bolos, dan cewe bispak?"

"Kata siapa dia bispak? Jangan sembarangan nyebar fitnah lo Gam!" sergah Dion.

"Adalah.. Sumber terpercaya."

"Lagian cewe doyan party ngapain aja di club? Yakalii cuma joged doang.."

"Sok polos lo ah.."

"Ya tetep aja, bukan jaminan Bro... Siapa tau emang dia beneran hobi joged doang." Raka turut membela Dion.

"Halah.. Muna lo anjir..! Mana ada orang hobi joged, jauh amat ke diskotik. Sekarang kan musim tuh ngedance-ngedance di tiktok. Bisa viral trus dapet cuan pula.." sangkal Galtero lagi.

"Tanya sama Meyza tuh. Meyza kan dulu temenan sama dia."

Netra Meyza membulat ditodong seperti itu oleh Dion. Jujur, ia tidak suka mengungkit Celsa terlebih di depan Anzel. "Heh? Apa?" tanyanya pura-pura cengo.

Gama menyambar cepat, "Syukur deh Mey, lo ga temenan lagi sama cewe toxic itu. Bilang gue kalau dia ganggu lo.."

Meyza tersenyum hangat pada Gama. Ia melirik Anzel dan bersyukur cowok itu sedang fokus dengan ponselnya. Sehingga tidak mendengar apa yang jadi obrolan teman-temannya.

"Kalian ngomongin siapa sih rame amat..?" Anzel, seolah manusia yang baru saja keluar dari gua dan baru melihat peradapan dunia.

"Gatau nih sayang.. Temen-temen kamu lagi ghibah." sambar Meyza. "Dah ah, ke kelas yuk.. Udah mau abis jam istirahat."

Anzel mengiyakan, namun membiarkan Meyza dan teman-temannya masuk kelas lebih dulu karena dia hendak ke toilet sebelum masuk.

......................

Celsa menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di toilet. Setelah menuntaskan hajat setelah menyantap bakso super pedas di kantin tadi, ia kini bersiap masuk ke dalam kelas. Ia sempatkan memoles wajah dengan cushion tipis-tipis dan membubuhkan liptint agar wajah tampak segar.

"Cel!"

Celsa refleks menghentikan langkah. Ia hafal betul suara cowok yang memanggilnya ketika ia baru keluar dari toilet perempuan. Dia ... Anzel.

"Cel, gimana kabar lo?"

"Ehm, baik."

"Gue kangen lo, Cel.. Liburan semester satu bulan dan ga pernah liat lo sama sekali. Gue kangen banget.."

Celsa mendecih. "Merdu amat gombalan lo.. Kalau sendirian gini lupa lo sama cewek lo? Mau gue ingetin?"

"Jangan jutek gitu lah Cel.." Anzel mencoba meraih jemari Celsa, tapi cewek itu menghindar dengan cepat. "Please, tungguin gue di ruang musik pulang sekolah nanti. Ada yg mau gue omongin."

"Ogah banget."

"Please Cel.. Lo harus dengerin penjelasan gue."

Celsa membuka mulut hendak menolak, tapi Anzel sudah lebih dulu berjalan menjauh seraya berkata, "Kita ketemu nanti di ruang musik ya.. Gue tunggu lo Cel.. Bye..!"

Celsa tercenung. Anzel yang ia kenal memang begitu menyenangkan. Saat-saat dekat dengan Anzel juga adalah saat terbaik dan paling membahagiakan semenjak tiga tahun terakhir dalam hidupnya. Itu pulalah alasan patah hati teramat dalam yang ia rasakan ketika Anzel mengumumkan berita datingnya dengan Meyza.

Lalu sekarang harus bagaimana?

Haruskah ia datang ke ruang musik dan mendengar alasan Anzel?

Ataukah haruskah ia abaikan saja ajakan cowok itu?

.

.

🥀 BERSAMBUNG

3

Kalau ada yang bertanya keinginan Celsa, maka jawabannya hanya kasih sayang.

Seorang Celsara Arkadinata yang kehilangan sosok orang tua di usia yang masih belia, dunia seolah terenggut darinya. Ia hanya menjalani hidup. Hanya menerima takdir bahwa ia masih bernafas hingga detik ini. Ia seperti robot tanpa hati.

Ia berharap hidup seperti sekotak macaron. Berderet rapi, indah, warna-warni, aneka rasa, lembut dan renyah di waktu yang sama. Namun itu hanya harapan kosong seorang Celsara. Nyatanya, hidupnya kosong dan getir.

Maka jika saat ini ia memutuskan untuk datang di kelas musik sepulang sekolah untuk menunggu seorang Anzelo Alta Minarno, itu bagaikan wujud pembuktian diri bagi Celsa. Mungkin saja sekotak macaronnya masih tersisa di dunia ini. Meskipun tidak penuh, tapi Celsa masih menginginkan kisah manis yang mampu menerbitkan sedikit saja cahaya di hatinya.

Ruang musik adalah ruangan ekstrakurikuler seni musik yang yang tak pernah dipijak oleh Celsa sejak pertama ia bersekolah disini. Ini pertama kalinya. Demi Anzel.

Dadanya bergemuruh melihat alat musik piano bergaya klasik di tengah ruangan. Memorinya seolah diputar tak beraturan. Hanya menampilkan barisan peristiwa menyakitkan penuh trauma yang terus menghantuinya.

Celsa berpaling. Tak lagi menatap piano itu. Ia memutuskan menunggu Anzel 5 menit saja. Kalau cowok itu tak kunjung datang, Celsa akan pergi.

Dan, triingg!

5 menit berlalu dengan begitu membosankan. Celsa ingin marah dan mengumpati cowok brengsek itu. Tapi dirinya lah yang bodoh. Mau saja ditipu Anzel. Percaya saja dengan janji manis si bajingan itu.

"Brengsek lo Zel... Teganya lo permainin gue kayak gini!" umpatnya seraya menendang pintu sebelum menarik handlenya.

"Hai.."

Betapa terkejutnya Celsa begitu melihat sosok tampan dengan senyum smirk mengerikan, tepat setelah ia membuka pintu ruang musik. Ia tidak mengenal cowok itu, yang Celsa tahu kalau cowok di depan matanya ini salah satu anggota geng 0.

Celsa mencoba mengabaikan. Ia ingin berjalan keluar ruangan, tapi cowok itu menghalangi jalannya.

"Permisi.." ucapnya sopan. Tapi cowok bermata elang itu melempar senyum mesum dan tak membiarkan Celsa melewatinya. Ia malah dengan sengaja menempelkan tubuh kekarnya pada tubuh mungil Celsa dan mendorong gadis itu masuk kembali ke ruang musik.

"Ngapain lo? Jangan berani lo macem-macem ya?! Breng sek!! Minggir lo!" Celsa memberontak. Namun usahanya tak berarti apa-apa. Raganya dihimpit begitu kuat oleh dinding dan cowok berandalan yang tinggi badannya 20cm lebih tinggi darinya. Tenaganya tak berarti apapun.

Suaranya diredam dinding kedap suara ruang musik. Juga didukung oleh penghuni sekolah yang sudah sepi, mengingat jam sekolah sudah usai sejak 15 menit yang lalu. Sempurna. Celsa mulai ketakutan sekarang.

"Jangan macem-macem! Gue laporin lo ke kepsek!"

Lelaki itu tak bergeming. Senyum smirk tersungging lagi di bibirnya. "Dasar jal ang kecil. Berani lo ngancem gue? Lo gak tau gue siapa?"

"Sia lan lo! Gue gak peduli lo siapa! Minggir gak lo anj*ing!!" netra Celsa mulai nanar. Jujur, ia sudah sangat ketakutan saat ini. Tapi dia tak punya pilihan lain selain berkata garang seolah tak merasa takut. Dan menatap nyalang lawannya.

"Gue Gamaliel Angkasa! Catet nama gue di otak ja lang lo ini."

"Terus lo punya masalah sama gue apa?" meski tubuhnya mulai gemetar, Celsa berusaha keras menutupinya.

Gama, lelaki tampan dengan mata elang tajam itu mencengkram pergelangan tangan Celsa dan menahan tubuh mungil gadis itu sekuat tenaga. "Masalah lo karena lo kegatelan nungguin Anzel disini. Mau nge we sama Anzel kan tujuan lo nungguin dia disini? "

Netra Celsa membulat. "A-"

"Karena Anzel ga dateng, gue bisa aja gantiin dia buat nikmatin tubuh lo.. Tapi sayangnya lo bukan tipe gue. Gue gak suka lubang yang udah dipake banyak orang kayak punya lo!"

"Atas dasar apa lo ngomong gitu hah?!"

Perih.

Nyata sekali sayatan yang dihasilkan oleh ucapan Gama untuk seorang Celsa. Tapi Celsa tak ingin menangis di depan cowok ini. Ia tidak akan kalah.

"Yah, semua orang udah tau kali kalau lo cewek binal. Bisa dipake siapa aja.." tawa Gama meledak setelah mengucap kalimat kasar itu.

"Omongan lo kayak orang gak sekolah tau gak? Bajingan!"

Gama mencengkram rahang Celsa, hingga gadis itu memekik kesakitan. "Lo boleh jual diri ke siapa aja. Tapi jangan usik hubungan Anzel dan Meyza. Cewek bis *pak kayak lo ga pantes saingan sama Meyza."

'Meyza?'

"Tikus kecil kayak lo cuma ngotor-ngotorin peradaban. Harusnya cewek murahan kayak lo ditenggelamin ke laut. Ngerti lo?!"

"Jadi lo begini ke gue cuma demi Meyza? Kalau gitu kenapa bukan Anzel aja yang lo larang nemuin gue? Dia temen lo kan? Atau lo ga berani sama Anzel? Jadi nekan gue??" Celsa tau, kalimatnya mengandung provokasi yang bisa memancing amarah Gama. Terbukti, cengkraman tangan Gama di rahang Celsa semakin kuat.

"Itu karena Anzel bisa aja marah sama Meyza kalau tau gue ikut campur urusannya."

Celsa terkekeh. Meski cengkraman Gama tak kunjung terlepas. "Oh iya? Lucu banget. Kenyataannya lo emang ikut campur!"

"Gue gak peduli, ja lang! Gue akan ikut campur apapun yang menyangkut Meyza dan ja lang gak tau malu kayak lo."

"Oh... Oke, oke.. Gue paham sekarang. Jadi lo cinta sama Meyza? Sama PACAR SAHABAT LO??" Celsa berdecih. "Kalau gitu kenapa gak lo rebut aja si Meyza?"

"Tikus kecil yang kerjanya jual diri kayak lo ga akan paham! Gak guna juga gue jelasin." Gama terkekeh. "Mending kita happy-happy aja gimana? Gue bakal gantiin Anzel muasin lo disini?"

Netra Celsa membulat. "Ngomong apa lo anj ing? Gue bukan cewe kayak yang lo bilang. Jangan macem-macem lo?!"

"Masa? Ayo kita buktiin."

Sedetik kemudian Gama meraup bibir Celsa. Melu matnya kasar. Tangan kekarnya menerobos ke dalam baju seragam Celsa dan memijat kuat payu d*ara sekal gadis itu.

Celsa terus memberontak. Tapi kekuatannya sungguh tidak sebanding dengan lelaki jangkung ini. Sehingga pertahanannya kini roboh. Celsa mulai menangis. Meski suaranya tertahan karena Gama yang masih melumat bibirnya dengan kasar. Tangannya terus bergerak menahan satu tangan Gama yang sedang melucuti seragam atasnya.

Tidak. Celsa tidak tera ngsang. Justru ini menyakitkan baginya. Bagi fisik dan hatinya.

Celsa memekik tertahan ketika Gama meremas payu*daranya dari luar tank top dalamannya. Sementara luma*tan bibir Gama terus menyerang Celsa. Celsa merasa sudut bibirnya sudah berdarah karena ciuman kasar Gama.

Gama tersentak saat lidahnya mengecap rasa asin yang berbeda. Ia baru melepas ci uman kasarnya saat menyadari sudut bibir Celsa berdarah. Ia menjauhkan diri dan kini nampak lebih jelas baginya keadaan Celsa yang mengenaskan.

Gadis itu berantakan. Rambut dan baju seragamnya. Juga sudut bibir yang robek. Tak lupa wajah sayu basah oleh air mata.

Menyesal? Sedikit. Gama sadar ia keterlaluan pada gadis ini. Tapi ia pun tak ingin tampak lemah. Ia rela berbuat hal gila ini demi menjaga Meyza dari patah hati akibat orang ketiga.

"Gue harap setelah ini lo tau diri. Jangan berani lo deketin Anzel. Kalau lo butuh dipuasin, cari orang lain. Soalnya gue juga gak selera sama lo!" ucap Gama sebelum ia keluar dari ruang musik.

Meninggalkan Celsa seorang diri menangis meraung di dalam sana.

__BERSAMBUNG 🥀

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!