“Udah sih, ngapain masih lo tangisin. Move on, Raya, move on. Radit memang buaya, gue udah bilang sama lo. Tipe laki-laki itu Cuma dua, kalau nggak brengs*k ya belok.” Penuturan Nia sukses membuat Raya mengerucutkan bibirnya.
Raya Lituhayu. Sudah dua minggu pasca pernikahan Radit – kekasihnya, masih menyisakan kesedihan mendalam. Bagaimana tidak, saat ia masih terbuai janji manis sang pacar yang akan serius dengan hubungan mereka dan siap mengadakan pertemuan keluarga untuk membicarakan ke jenjang berikutnya. Raya mendapat kabar kalau Radit mendadak menikah dengan rekan kerjanya, apalagi kalau bukan karena kecelakaan. Married by accident.
Merasa dunia tidak adil, dia sudah hampir diabetes karena janji manis pria itu dan harus berakhir dengan tekanan darah tinggi bahkan hampir kena stroke. Padahal wajahnya tergolong cantik dan manis, cenderung imut. Hanya posturnya saja tidak terlalu tinggi, kurang lebih 150 cm. Rambutnya agak panjang dan sedikit ikal. Ada tahi lalat di wajahnya, bukan hanya satu, tapi beberapa. Yang paling mencolok, letaknya di ujung bibir (kayak istrinya rapih amat). Raya terlihat lebih muda dari umurnya.
Nia sahabatnya, selalu siap sedia (entah motto produk apa) dan memberikan semangat untuk Raya. Bukan hanya semangat, bahkan mendorong dalam arti yang sesungguhnya. Mendorong agar Raya mau berangkat kerja dan tidak terpuruk seakan dunia mau kiamat. Seperti pagi ini, perempuan itu sudah mengoceh membuat telinga Raya gatal. Apalagi nasihat yang sering disampaikan kadang itu-itu saja, Raya pun sampai hafal.
“Nggak gitu juga Nia. Ayahku orangnya setia, nggak ada tuh masuk kedua tipe pria yang kamu maksud.”
“Mana lo tahu. Bisa jadi kadar brengs*k nya aja yang beda. Ada yang lirik-lirik kalau lihat perempuan rada bening, melotot bahkan sampai kebawa mimpi, pedekate tipis-tipis dan ada juga yang lanjut diprospek sampai dapat terus ditinggal. Yang paling parah, bisa dapat perempuan manapun cuma modal bac0t ngegombal.”
“Sok tahu, jalan yuk.” Raya sudah mengenakan sling bag dan mengantongi kunci mobil.
“Mau kemana?” tanya Nia beranjak dari ranjang, padahal sudah dalam posisi enak. (berbaring bari selonjoran) “Kita ‘kan lagi libur.”
“Kemana kek, ngilangin suntuk. Nonton deh, aku yang traktir.”
“Oke, gass.”
Raya dan Nia dekat sejak mereka putih abu, kuliah dan sampai sekarang. Apalagi sekarang sama-sama berstatus jomlo, membuat mereka terlihat kompak. Kompak kesepian di saat weekend.
Masih dalam masa berduka, Raya memilih film dengan genre horror dibanding film dengan tema cinta-cintaan. Cukup menghibur, bukan karena adegan dalam film, tapi tertawa melihat Nia yang sering berteriak ketika muncul adegan jump scare juga tidak berhenti beristighfar.
“Parah lo, Ray. Patah hati boleh, tapi jangan nyiksa gue juga kali. Kayak nggak ada film lain aja.”
“Katanya yang ratingnya bagus. Paling tinggi ya film tadi, Menjelang M0dar,” sahut Raya kemudian mengajak Nia makan, semoga saja adegan film tadi tidak membuatnya trauma untuk makan di luar
“Makan nih? Ayolah.”
Hari libur, mall cukup ramai. Area foodcourt dan beberapa resto cepat saja pun ramai. Pilihan mereka adalah resto di lantai berbeda. Saat berbelok di koridor ke arah resto, NIa dan Raya masih membicarakan alur cerita film tadi. Tidak menyadari ada orang lain yang entah muncul dari arah mana dan ….
Bugh.
Raya menyenggol seseorang dan ponsel orang itu sampai terjatuh.
“Eh, maaf Mas,” ucap Raya saat pria itu membungkuk mengambil ponsel. Merasa bersalah karena dirinya yang menabrak.
“Kalau jalan tuh pake mata, jangan ngoceh terus. Kalau hp gue rusak gimana?"
Raya dan Nia saling tatap kemudian menatap pria tadi. “Dimana-mana jalan pakai kaki, baru denger jalan pake mata,” gumam Raya. “Lo lihat dia jalan pake mata?” tanya Raya dan dijawab Nia dengan mengedikkan bahu.
“Gimana caranya yak?” tanya Nia lagi meski dengan suara lirih, tapi dapat didengar oleh mereka bertiga.
Pria tadi bersedekap dan menatap Raya, Nia lalu kembali menatap Raya. Sama-sama mengernyitkan dahi seakan tidak asing.
“Kenapa?” tanya Raya. “Nggak usah pasang wajah mesum gitu dong.”
“Wah, parah. Udah salah pake nyolot,” sahut pria itu.
“Wah konyol, udah minta maaf situ malah ngegas,” balas Raya lagi.
“Kayaknya wajah lo nggak asing?” Pria itu tampak berpikir sambil memegang dagu menatap wajah Raya.
Berbeda dengan Raya yang masih mengingat jelas siapa pria di hadapannya. Apalagi memori bersama pria itu cukup tidak ramah dalam ingatan. Kakak kelas di SMA yang cukup populer dan menjadi bahan pembicaraan serta harapan menjadi pacar termasuk dirinya meski hanya dalam hati.
“Masa sih? Perasaan aku nggak pernah jadi model di lembar rupiah,” jawab Raya dan tangannya di senggol oleh Nia.
“Lo kenal dia?” bisik NIa dan Raya hanya bergeming masih saling tatap dengan pria itu.
“Ahh. Gue inget. Lo salah satu fans gue waktu di sekolah, adik kelas yang sering muncul tiba-tiba dan ....” Pria itu terkekeh membuat Raya dan Nia saling tatap menduga pasti ada yang salah dengan orang itu.
“Ganteng-ganteng gil4,” ujar Raya tanpa pikir-pikir.
“Gue inget sama lo. Raya si dada rata,” ucap pria itu lalu kembali tergalak.
“Emang cari mati lo. Agung ganjen sok kecakepan yang demennya sama tante-tante,” hardik Raya bahkan ingin mendekati pria bernama Agung, tapi ditahan oleh Nia.
Lawan Raya masih terkekeh. “Kayaknya udah nggak rata lagi, tapi itu asli apa sumpelan.”Tatapannya sempat melirik ke arah depan tubuh Raya.
“Kurang ajar, kemari lo!”
“Sayang, ada apa sih? Kok lama.”
Raya dan Nia terpaku menatap seorang wanita menghampiri Agung dan memeluk lengan pria itu. Wanita yang penampilannya cetar membahana lebih cetar dari penampilan artis Syahrinol. Bukan hanya itu yang membuat Raya dan Niat terbengong-bengong, karena wanita itu jelas bukan seumuran dengan mereka termasuk juga Agung. Namun, terlihat lebih dewasa.Bisa tergolong tante-tante, entahlah tante girang atau bukan.
“Ternyata bukan hoax,” ucap Raya.
Bayu Agung Gunawan, tidak menduga kalau ia akan bertemu dengan Raya -- adik kelasnya. Bahkan ucapan yang keluar dari mulut gadis itu saat masih satu sekolah sempat membuatnya emosi. Bukan salahnya kalau ia lebih tertarik dengan perempuan yang lebih dewasa dan mandiri, tapi Raya mengatakan kalau seleranya aneh dan tidak normal karena penyuka wanita dewasa.
“Shitt.” Bayu mengumpat pelan, karena ulah Tante Ria memanggil sayang membuat Raya semakin yakin kalau dia memang aneh. Lirikan mata mengejek masih terus diperlihatkan saat gadis itu meninggalkannya.
“Gimana, akting tante meyakinkan tidak?”
“Tante apaan sih, ngapain juga bilang sayang. Mereka jadi mikir yang aneh-aneh. Minggir sana, walaupun aku keponakan, tapi masih normal. Jangan dempet-dempet gini, dah.”
“Loh, tante Cuma bantu kamu. Kelihatan banget mereka tuh perempuan yang lagi caper dan godain kamu gitu.”
“Mana titipan untuk Bunda.” Wanita bernama Ria itu membuka tas dan mengeluarkan amplop titipan untuk Bunda Bayu.
“Awas jangan sampai hilang, dokumen penting tuh. Kamu nggak mau gabung,” ajak Tante Ria menunjuk ke arah dalam di mana ada keluarganya sedang makan siang.
Bayu menolak dengan alasan ada janji dengan orang lain.
“Sama pacar?”
“Jangan kepo,” sahut Bayu.
“Eh, serius kamu sudah punya pacar?” tanya Tante Ria dengan wajah yang juga serius. “Kalau memang punya, baiknya bawa pulang dan kenalkan dengan orang tua kamu. Daripada dijodohkan.”
“Kayak aku nggak laku aja pake dijodohin segala.”
“Ish, tante serius.”
Bayu pamit undur diri dan mengabaikan nasihat adik dari bundanya, lalu meninggalkan mall itu menuju ke suatu tempat. Tujuannya mall juga, tapi dengan alamat yang berbeda. Temu janji dengan seseorang, tentu saja wanita yang sering membuat hatinya jedag jedug dan menyelinap ke alam mimpi.
Yuli, wanita yang akan ditemuinya bernama Yuli. Tetangga beda tiga rumah dari tempat tinggal orangtuanya. Wanita mandiri, berprofesi sebagai pengacara dan tentu saja … dewasa.
“Hai, Mbak,” sapa Bayu. “Sudah lama?”
“Hai. Belum kok.” Bayu duduk bersebrangan dengan Yuli. Cafe yang sedang viral di aplikasi tok-tok dan termasuk tempat elite, dengan tempat dan makanan yang disajikan berstandar premium dan mewah.
Dengan alasan proyek yang sedang dikerjakan oleh Bayu, ia berkonsultasi dengan Yuli terkait legalitas dan kekuatan hukum berkas kerjasamanya. Sudah lebih dari satu tahun, Bayu memiliki hati pada Yuli bahkan sudah dua kali ia ungkapkan. Jawaban wanita itu masih sama, “Maaf, aku tidak bisa.”
“Padahal kamu ada pengacara keluarga, kenapa tidak konsulkan dengan mereka?”
“Ini ‘kan urusan pekerjaan, beda cerita.”
Bukan kali ini saja, Bayu dan Yuli bertemu dan jalan. Meski dengan judul pertemanan. Orangtua, tentu saja tidak setuju. Bahkan Bunda menunjukan ketidaksukaannya kalau bertemu dengan Yuli. Cukup lama kedua insan itu berbincang sambil menikmati makan siang. Bayu mengajak pindah tempat, agar masih bisa berduaan. Namun, Yuli menolak dengan alasan ada acara lain.
“Jadi saya harus transfer kemana biaya konsultasi hari ini?”
“Hm. Tidak perlu, pastikan saja kamu dapat laba yang kamu dapatkan dari proyek itu … besar. Jadi, yang aku dapat juga lumayan.”
“Oke, siap. Lebih dari biaya konsultasi juga nggak masalah. Misal mahar atau seserahan, tinggal sampaikan saja.”
“Aku hanya bercanda,” ucap Yuli.
Bayu hanya bisa tersenyum mengantarkan Yuli ke mobil, penampilan wanita itu selalu sama. Berkelas dan luar biasa. Perawakan yang tinggi dan rambut sebahu, make up dan tatanan rambut yang sangat konsisten menimbulkan kesan tegas dan berwibawa. Yang paling menarik adalah bagian depan dan belakang tubuh Yuli dengan ukuran tidak biasa, membuat Bayu bergidik dan darahnya berdesir membayangkan dia bermain di wilayah tersebut.
Jangan mikir aneh-aneh Bay, kalau Bani bereaksi bisa bahaya, batin Bayu. (Bani \= Bayu Mini)
Pandangannya masih tertuju pada mobil yang perlahan melaju, terasa ponsel di kantong celana bergetar. Panggilan dari … Bunda.
“Iya Bun,” jawab Bayu lalu menggaruk kepalanya. Tante Ria pasti sudah laporan kalau mereka bertemu tadi siang dan itu sudah lebih dari dua jam yang lalu.
“Hm. Ini sudah mau pulang.”
Tidak ingin mendengar ocehan Bunda lebih panjang, Bayu pun hanya mengatakan siap dan segera pulang.
***
“Bun, titipan sudah aku taro di meja Ayah,” ujar Bayu menyampaikan titipan Tante Ria untuk bundanya.
“Kamu ini, kalau disuruh pasti ngaret. Dari dulu tidak berubah.”
Bayu tidak berkomentar, memperhatikan aktivitas di dapur yang agak sibuk. Bunda Erika mengarahkan kedua bibi yang sedang memasak dan menyiapkan makanan.
“Sibuk amat sih Bun, terus ini makanan banyak banget. Ada acara apa sih?” tanya Bayu sambil mencomot salah satu lauk.
“ish, tangannya,” ucap Erika sambil menepuk tangan Bayu. “Kita mengundang keluarga Pak Pras makan malam, putrinya beliau cantik loh Bay. Kamu kenalan ya, siapa tahu cocok.”
“Cantik itu relatif Bun. Bik Ela juga cantik, nggak percaya tanya aja sama Mang Ujang.”
Bik Ela yang sedang mengaduk sup hanya terkekeh mendengar ucapan Bayu. Mang Ujang sudah pasti bilang BIk Ela cantik, karena istrinya. Tidak ada suami yang tidak memuji istrinya.
“Kalau dikasih tahu orangtua, nyaut terus. Cantik versi kamu Cuma si Yuli yang asetnya besar kalau jalan megal megol kayak bebek. Pokoknya bunda nggak setuju dan tidak akan pernah setuju. Jangan alasan apapun nanti malam kamu di rumah, ikut makan malam dan temui putrinya Pak Pras.”
“Ini bau-baunya, Bunda mau jodohkan aku dengan anaknya Om Pras ya.”
“Cerdas, kalau begini kamu memang anak bunda,” sahut Erika lalu mencubit gemas kedua pipi Bayu.
“Bun, hari gini pake acara perjodohan. Apa kata dunia? Jaman sudah canggih, udah melek teknologi. Tenaga manusia aja udah diganti sama AI masa masih pake konsep di zaman Siti Nurbaya. Ogah ah, aku masih available. Ibarat ganteng itu sebuah jaringan, aku servernya Bun. Ganteng pusat,” tutur Bayu dengan bangga dan meyakinkan karena menolak perjodohan.
Entah gadis mana yang akan dikenalkan dengannya. Mungkin dia yang ketiban sial atau gadis itu yang tidak beruntung.
“Kalau malam ini kamu bawa perempuan yang memang serius mau kamu nikahi, kita batalkan perjodohan ini. Kalau belum ada, ya terima aja. Bunda sudah lihat fotonya, cantik dan imut. Kalau kalian punya anak pasti lucu-lucu banget.”
“Maksudnya Bunda ingin aku sama dia bikin anak doang? Boleh, aku gas malam ini juga.”
“Astaga, Bayu!”
Raya memasang wajah cemberut. Bagaimana tidak, dia sudah berdandan dan penampilannya sudah oke dan tidak biasa. Menggunakan dress yang membuatnya terlihat lebih elegan dan agak dewasa. Bahkan memoles make up tipis serta menata rambutnya. Ajakan Papi untuk makan malam yang dia kira di restoran, nyatanya harus gigit jari karena tujuan mereka adalah kediaman sahabat orangtuanya.
Rama sang kakak pun terus menggoda sambil mengemudi setelah Papi mereka mengatakan kalau Raya akan dikenalkan dengan putra sahabatnya.
“Aku ada banyak teman Pih, nggak usahlah pake dikenalin begini.”
“Temen kamu Cuma Nia, emang ada teman lain,” ucap Rama lalu terkekeh.
“Kalau teman kamu sudah banyak, yang ini jadikan calon suami saja,” sahut pria yang duduk di samping Rama.
“Itu sih pemaksaan,” cetus Raya masih dengan wajah cemberut.
“Perjodohan Ray, jadi kamu dijodohkan,” tambah Rama sambil fokus dengan kemudi.
“Abang apaan sih. Pih, aku nggak mau dijodohkan. Kayak nggak laku aja, kalau mau Abang Rama tuh carikan jodohnya.”
“Sudah, jangan ribut. Rama, fokus dengan jalan jangan goda adikmu terus.”
Tadi siang hati Raya sudah dibuat naik turun karena pertemuan dengan kakak kelas songong bin aneh yang menyebutnya gadis berdada rata. Ejekan saat ia masih sekolah dan kali ini ia dengar lagi. Untuk memastikan, Raya mematut dirinya di cermin memandang ukuran bagian depan tubuhnya dan yakin kalau miliknya tidak rata-rata amat.
Belum hilang gundah gulananya, ia dikejutkan dengan rencana Papi dengan sahabatnya. Meskipun judulnya hanya perkenalan, tapi ujung-ujungnya pasti perjodohan. Entah dosa apa yang pernah ia lakukan sampai harus mengalami kejadian tidak menyenangkan bertubi-tubi.
Banyak dugaan di benaknya. Mulai dari penampilan, sifat dan kebiasaan pria yang akan dikenalkan padanya. Bagaimana kalau pria itu usianya jauh lebih tua atau bahkan lebih muda. Duda atau mungkin bocah SMA nakal yang sering tawuran.
Tidak boleh, ini tidak boleh terjadi. aku tidak terima nasibku ini, ya Tuhan, batin Raya menjerit.
“Ayo turun, tunggu apa lagi,” ajak Papi lalu keluar dari mobil.
“Bang, gimana nih? Aku nggak mau jodoh-jodohan begini. Gimana kalau itu laki nggak banget.”
“Kalau oke banget, gimana?”
“Ish Bang Rama, jangan bercanda deh.” Raya memukul pelan bahu abangnya yang malah terkekeh geli melihat dirinya blingsatan.
“Kamu nanti bertingkah aneh aja, keluarga mereka pasti nggak mau punya menantu aneh, tapi kamu emang udah aneh ‘kan?” tanya Rama sambil terkekeh. “Lihat aja rumahnya, bukan kelas kita. Ini sih sultan.”
“Maksudnya aneh gimana?”
“Hm, misalnya ketawa grok-grok atau muncrat-muncrat pas makan.”
“Itu sih bukan aneh, tapi jijik.”
Kaca mobil diketuk dari luar, Papi kakak beradik itu tidak sabar karena mereka masih berada di dalam mobil.
“Ayo, nanti Papi marah,” ajak Rama setelah mematikan mesin mobil.
Raya memeluk lengan Rama, berjalan di belakang Papi mereka saat memasuki kediaman sahabat orangtua mereka. disambut baik oleh pasangan yang terlihat ramah.
“Wah, ini Raya ya? Ternyata aslinya lebih cantik.” Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik tersenyum dan terlihat sangat ramah.
“Malam tante,” sapa Raya lalu mencium tangan pasangan itu.
“Selamat datang di rumah kami, ayo masuk,” ajak wanita itu.
Hanya tersenyum dan menjawab ketika ditanya, Raya baru tahu kalau pasangan itu bernama Mario dan Erika. Sahabat lama Papi dan belum lama ini ada kerjasama urusan bisnis. Berbeda dengan Rama yang bisa berbaur dan ikut dalam obrolan.
Mereka juga dikenalkan dengan anak sulung mereka yang sudah bersuami. Berpindah dari ruang tamu ke ruang makan. Raya masih belum melihat pria yang akan dikenalkan dengannya. Duduk berjejer Papi, Rama dan Raya. Di seberang mereka, Erika, Mirna dan suaminya. Mario duduk di ujung meja sebagai kepala keluarga dan tuan rumah.
“Bayu kemana Bun, kok belum kelihatan?” tanya Mirna karena tokoh utama di acara tersebut belum terlihat.
“Tadi Bunda minta beli buah tangan untuk Nak Raya. Ah, itu dia. Bayu sini sayang, kenalkan ini Raya,” tutur Erika menunjuk ke arah Raya.
Raya pun berdiri untuk berkenalan dengan pria yang dimaksud, meskipun dalam hati ia malah ingin berlari meninggalkan rumah itu sambil teriak. “Sorry yee, gue ogah dah main jodoh-jodohan.” Berbalik dan tatapannya tertuju pada pria yang berjalan mendekat.
Dahi gadis itu mengernyit dan mulutnya terbuka seakan tidak percaya dengan yang ia lihat. Mirip adegan di film mana kala manusia bertemu alien atau makhluk halus. Pria itu, pria yang tadi siang ia temui dan sempat adu mulut dengannya. Agung, pria itu Agung. Namun Tante Erika menyebutnya Bayu.
“Kamu?”
Bayu dan Raya berucap serempak.
“Kalian sudah kenal?” tanya Mario.
“Ternyata dunia memang sempit,” ucap Bayu.
“Ternyata dunia itu kejam,” ujar Raya.
“Wah kebetulan dong kalau kalian sudah saling kenal,” ucap Erika lebih bersemangat.
“Saya kenal nya dia … Agung tante, bukan Bayu,” ungkap Raya menatap bergantian ke arah Bayu dan Erika.
Keluarga Bayu terkekeh mendengar ucapan Raya, membuat gadis itu heran. Merasa tidak ada yang aneh dan tidak merasa bersalah.
“Agung ya Bayu, Bayu ya Agung. Ini anak tante, namanya Bayu Agung Gunawan. Kamu bebas mau panggil dia apa.”
Boleh nggak aku panggil dia pria aneh bin belok, batin Raya yang merasa tidak beruntung.
Setelah ditinggal menikah oleh kekasihnya, malah dihadapkan dengan perjodohan dengan laki-laki yang masuk ke dalam list harus dijauhi. Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. (Bari jeung tikusruk / lalu tersungkur)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!