Sebelum baca Keila, baca kisah abi dan uminya yuk, judulnya Love Meeting, cek instagram @quotebymeforyou untuk info selanjutnya, jangan sungkan buat dm, pasti dibalas kok^^
____________________________
"Kamu enggak usah sok polos, dan kamu enggak usah sok baik, aku enggak suka kamu sok! Aku benci kamu," gentak seorang perempuan berpakaian syar'i.
"Sikapku ini enggak dibuat-buat, Kak, aku seperti ini, mengikuti apa yang udah umi dan abi ajarkan kepadaku, Kakak kenapa membenciku? Apa salahku?" lirih seorang perempuan berpenampilan sama tapi lebih muda dibanding perempuan tadi.
"Alah sok suci!" gentaknya lagi sambil barjalan menjauh.
Anak itu hanya bisa menangis, dia tidak kuat jika terus membalas lawan bicaranya itu. Lagi pula ia tidak suka kekerasan, biarlah diam demi kedamaian, menurutnya.
Mikeila Libasul Khatam
Assalamu'alaikum? Kalian kenal aku, kan? Aku Kei, aku anak dari umi Rain dan abi Reza, kalian ingat, kan?
Saat ini aku sudah berumur lima belas tahun, dan sekarang aku menduduki kelas tiga MTSN. Umi dan abi menyekolahkanku di Madrasah Tsanawiyah Negeri dengan alasan, umi tidak mau aku terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak baik, dan abi, dia tidak mau aku terlalu bebas bergaul dengan orang yang belum tentu baik.
Aku akan selalu setuju dengan apa yang umi dan abiku ucapkan, dan aku akan selalu mengamalkan apa yang ia ajarkan. Ridhollahi fi ridho walidain, jadi aku akan selalu menuruti apa yang orangtuaku titah, selagi itu baik dan tidak melanggar syariat keislaman.
Oh ya, kalian pasti bertanya-tanya tentang siapa perempuan yang aku sebut kakak itu?
Baik aku akan ceritakan siapa dia.
Dia Nadhirana Awaliyah, dia adalah anak angkat dari umi dan abiku. Saat itu di saat abi dan umi sedang bersedih karena penyakit umi yang mengakibatkannya tidak bisa mengandung lagi, tepat di malam hari pukul dua terdengar suara bel rumah, dan tak berselang lama bel itu berbunyi lagi, dan terus-terusan berbunyi.
Sontak umi dan abiku merasa terganggu dan langsung menghampiri sumber suara. Saat abi membuka pintu, abi langsung terkejut, yang pertama ia lihat adalah seorang gadis cilik dengan kuncir dua di rambutnya dan pakaian lusuh yang menempel di badan mungilnya, serta baretan luka di sekitar kakinya. Abi sangat terkejut dan langsung menghampiri umi yang menunggu di sofa ruang tengah, saat itu aku sedang tidur, aku tahu pristiwa ini karena umi menceritakan kepadaku di pagi harinya.
"Sayang? Kamu ikut aku yuk ke depan, lihat siapa yang memencet bel malam-malam kayak gini," ucap Abi dengan wajah yang masih terlihat kaget.
"Siapa, Mas? Suruh masuk aja kasihan dia nunggu di depan," ucap Umi dengan suara lembut khasnya.
"Aku mohon ikutlah sebentar," paksa Abi sambil merangkul Umi.
Saat umi ke pintu anak itu sudah tergelepak di lantai dengan mata tertutup.
"Innalillahi, siapa dia, Mas?" ucap Umi kaget.
"Aku juga enggak tau," ucap Abi.
"Yaudah bawa aja dia ke dalam. Ya Allah ... kasihan banget anak ini, kemana orangtuanya," lirih Umi.
Abi langsung membawa masuk anak itu dan menidurkannya di kamarku.
Di pagi harinya saat pertama kali mata minimku terbuka kembali, aku sangat terkejut melihat ada seorang perempuan yang lebih tua dariku tidur di sampingku, dia juga memakai bajuku. Aku sempat menangis karena dahulu aku masih sangat kecil, umurku masih lima tahun. Aku kira gadis itu adalah makhluk halus yang mengangguku. Namun umi mencegahku untuk menangis.
"Sayang, jangan menangis dia kakakmu sekarang," ucap Umi mencoba untuk menenangkanku.
"Kakak? Kei, kan, enggak punya kakak, Mi?" ucapku polos, masih dengan raut terkejut.
"Tapi sekarang kamu punya kakak," ucap Umi sambil tersenyum ke arahku.
"Jadi Kei punya teman ya, Mi?" Aku sangat senang saat itu.
"Iya, Sayang, kamu bisa memanggilnya dengan sebutan kak Dhira," ucap Umi.
"Kenapa kak Dhira bisa jadi kakakku, Mi?" tanyaku.
Umi pun menceritakan semuanya kepadaku, umi tidak pernah berbohong kepadaku dan tidak mengajarkanku untuk berbohong.
Aku bergidik ngeri mendengarkan cerita umi. Pada intinya aku senang mempunyai teman baru, aku senang bisa tidur berdua, pokoknya aku sangat senang hari itu.
Pertama ia membuka matanyanya, ia terlihat bingung. "Aku dimana?" tanyanya sambil melihat seluruh sudut ruangan.
"Kamu di rumah kami, yang sekarang menjadi rumah kita," ucap Umi lembut sambil tersenyum.
"Aku siapa?" tanyanya lagi dengan ekspresi ketakutan. "Dan kalian semua siapa?"
"Namamu Nadhirana Awaliyah, kami keluargamu, Nak."
Hari-hari pertama, seminggu, sebulan, dia nampak sangat baik denganku, aku selalu bermain bersamanya.
Namun lama-kelamaan dia menjadi kasar, cuek, dia pun pernah memukulku.
Dia seakan ingin mengambil umi dan abiku, dia selalu berbuat baik jika di depan umi dan abiku. Tetapi, giliran di belakang, disangat jahat kepadaku.
Saat itu umurku masih sangat minim, jika dikasarkan sedikit aku akan menangis, tapi di saat umi datang untuk menghampiriku yang menangis, tiba-tiba kak Dhira seolah-olah tersakiti dan menahan tangis.
Umi jadi suka memarahiku jika aku menangis, aku jadi takut menangis saat itu. Saat umi memarahiku kak Dhira tersenyum licik di belakang umi dan menjulurkan lidahnya.
Aku terus bersabar hingga saat ini, aku yakin suatu saat Allah akan memberikannya hidayah agar dia bisa kembali seperti dulu.
Selamat membaca kisahku. Tidak hanya ada kisah kakak tiriku, akan ada banyak kisah setelah ini.
______________________________
Ini novel ke dua yang saya buat, diadaptasi dari tempat lain. Di sini akan tampak berbeda, semua direvisi besar-besaran, akan ada tambahan alur, akan diperhalus pokoknya. Saya buat ini di saat MTs, jadi kalau sedikit kekanak-kanakkan cara penyampaiannya, mohon dimaklumkan. Naskah tua ini, ehehe. Di semua platform sudah tidak ada kecuali di Manga Toon/Novel Toon, jadi jika ada di platform lain, bisa beritahu admin Manga Toon/Novel Toon, atau saya. Jangan lupa like, vote, share dan komen. Terima kasih.
Novel ini udah ada trailernya, ya. Bisa cek dengan format: TRAILER Keila Aidahlia.
Maka, berhentilah membenci ia yang terlanjur menyakitimu, karena membenci hanya akan membuat hidupmu tak tenang. Belajarlah untuk menenangkan hatimu dengan memberinya maaf sekali pun ia tak pernah meminta maaf, sebab, dengan perasaan demikian maka tentu Allah akan memberimu kebaikan-Nya.
__________
Mentari sudah menjulang tinggi di tengah bumi. Angin terus berhembus mengenai pori-pori. Kabut polusi sudah berlarian ke sana ke mari. Di pukul satu siang Keila baru pulang dari sekolahnya.
"Assalamu'alaikum, Umi, Kei pulang," ucap Keila sedikit berteriak sambil memencet bel rumah.
"Waalaikumussalam warrahmatullah, puteri Umi sudah pulang, gimana sekolahnya hari ini?" tanya Umi sambil mengelus puncuk kepala Keila, ia sedang sibuk membuka tali sepatunya.
"Alhamdulillah, Umi, seperti biasa, baik-baik aja," ucap Keila lembut sambil mencium punggung tangan Uminya dengan penuh takzim.
Keila tidak pernah berbicara menggunakan nada lebih tinggi kepada umi dan abinya, karena mengatakan 'ah' saja sudah dilarang oleh Allah, sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka.” (QS. Al-Isra [17]: 23).
"Abi belum pulang ya, Mi?" tanya Keila seraya menaruh tas ransel biru mudanya di sofa.
Umi baru saja keluar dari dapur, dia membawa satu nenampan berbentuk apel yang di atasnya terdapat satu gelas susu putih. "Belum, malam kayaknya abimu pulang."
Keila langsung bangkit dari duduknya, ia tidak mau merepotkan uminya. "Maaf, Umi, sini biar Kei aja yang bawa, terima kasih ya, Umi."
Umi tersenyum di balik niqobnya. "Sama-sama, Sayang."
"Assalamu'alaikum, Umi, Dhira pulang," teriak seseorang di luar rumah sambil memencet bel rumah sama persis seperti yang Keila lakukan tadi.
"Wa'alaikumussalam warrahmatullah."
"Sebentar ya, Sayang."
Keila hanya mengangguk dan tersenyum sebagai jawabannya.
"Tumben udah pulang, Kak? Biasanya kamu ada ekskul di sekolah?"
"Hari ini ekskul di sekolah diliburkan, Umi, kan sebentar lagi mau ujian anak kelas tiga SMA-nya," jawab Dhira sambil mencium punggung tangan Umi.
Umi langsung mengangguk paham, "Yaudah, kalian ganti baju dulu gih sambil nunggu Umi siapin makanan," titah Umi ketika Dhira dan Keila sudah berada di ruang tamu.
Keila dan Dhira mengangguk dan langsung menuruti apa yang Uminya ucapkan.
"Awas biar aku dulu yang naik tangga, aku buru-buru," gentak Dhira sambil menggeser lengan Keila kasar.
"Astaghfirullah," desis Keila sambil mengelus-ngelus lengannya yang didorong oleh Dhira.
"Kuatkan batin hamba, ya Allah," bisik Keila sambil mengelus-ngelus dadanya.
"Kamu kenapa, Nak? Kok malah berdiri di sini? Enggak ganti baju?" tanya Umi yang tiba-tiba datang.
"Oh i ... ya, Umi, maaf, yaudah kalau gitu Kei izin ke kamar ya, Umi, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warrahmatullah," jawab Umi sambil mengeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum.
***
Selesai mengganti pakaiannya Keila bergegas ke bawah. Sesuai titahan uminya, sehabis mengganti pakaian ke bawah untuk makan siang. Keila akan ikuti segala ucapan uminya, selagi ucapan umi tidak melanggar syari'at Islam.
Saat Keila ke bawah, sudah ada yang lebih dahulu duduk di tempat duduk yang seharusnya menjadi tempat khusus untuk dirinya. Dahulu setiap makan Keila akan duduk di tengah-tengah antara abi dan uminya, bahkan sampai sekarang. Namun, ketika abi tidak ada di rumah, akan diambil alih oleh Dhira, kakak angkatnya. Keila selalu mengalah, menurutnya, jikalau kita terus-terusan egois, dan ditambah dengan yang egois, tidak akan ada habisnya, mungkin dengan cara ini Dhira bisa berubah. Ini masih menjadi perspektifnya saat ini.
"Assalamu'alaikum, Mi, Kak?" sapa Keila saat sampai di meja makan.
"Wa'alaikumussalam warrahmatullah," jawab Umi dan Dhira bersamaan.
"Lama banget, Dek, abis ngapain kamu di kamar?" tanya Dhira dengan nada lembut namun seolah memojoki.
"Maaf, Kak, tadi aku nyapu kamar sebentar," ucap Keila lembut.
"Yaudah ayo makan anak-anak, jangan lupa baca doa ya, nanti kalau kalian enggak baca doa setan ikut makan."
"Siap, Mi."
Selesai makan Dhira langsung bergegas mengambil alih pekerjaan Keila, yang biasanya setelah makan ia akan membereskan piring-piring kotor, kini Dhira sudah lebih dulu membereskannya.
"Umi, Kei izin ke kamar, ya? Kei ada banyak PR," izin Keila.
"Iya silahkan, nanti kalau kamu udah ngerjain PR-nya jangan lupa istirahat, ya!"
"Iya, Umi, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warrahmatullah."
Saat Keila berjalan menuju tangga tiba-tiba Dhira menyelengkat kaki Keila dengan sapu yang ia pegang. Alhasil Keila tersungkur di lantai.
"Astaghfirullah, Kak," lirih Keila.
Dhira hanya tertawa kecil melihat Keila terjatuh. Ia merasa bahagia jika Keila menderita.
"Ada apa, Kei?" teriak Umi yang sepertinya sedang menghampiri ke arah mereka.
Dhira bergegas mendekat ke arah Keila dan berpura-pura mengelus-ngelus kaki Keila yang terkilir.
"Ada apa, Kei?" tanya Umi lagi saat sudah ada di antara mereka.
"Enggak apa-apa, Umi," lirih Keila. Ia takut, jika ia jujur nanti Umi akan memarahi Dhira dan Dhira akan semakin benci padanya. Sudah cukup baginya semua perlakuan Dhira selama ini, ia tidak mau menambahkan api permusuhan ini.
"Enggak, Umi, tadi Keila nubruk Dhira, mungkin dia enggak lihat aku lagi nyapu, kamu enggak apa-apa kan, Dek?"
Fitnah apa lagi ini, Kak?
Keila hanya terdiam, ia menahan tumpukan airmatanya yang saat ini sudah menumpuk di kelopak mata.
"Astagfirullah, Keila, kamu kalau jalan lihat-lihat, Nak, jangan terlalu ceroboh, di mana yang sakit?" ucap Umi seraya mengusap kaki Keila, mencari apakah ada luka atau tidak.
"Maaf, Umi," lirih Keila.
"Yaudah enggak apa-apa, lain kali jangan diulangi," ucap Umi tegas tapi penuh kasih sayang.
"Iya, Umi," lirih Keila.
Di belakang Umi, Dhira terlihat sedang tertawa kecil dan tersenyum licik ke arah Keila.
Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar, Keila hanya bisa menguatkan dirinya sendiri.
"Mari Umi bantu ke kamar," ucap Umi sambil membantu Keila berdiri.
***
Selesai mengerjakan PR, Keila memilih untuk membaca buku yang ada di rak bukunya, Keila sangat hobby membaca, sampai-sampai abinya setiap minggu membelikan ia buku dan menaruh di rak bukunya tanpa sepengetahuan.
"Kemarin aku udah baca buku yang ini, sekarang aku baca apa ya ...." gumam Keila sambil memilih-milih buku koleksiannya.
"Hindari Dendam," ucap Keila seraya menatap cover buku berhalaman 250 lembar yang ia ambil dari rak bukunya.
"Menarik."
Keila langsung menarik bangku ke belakang, setelah itu ia duduki. Buku yang sebelumnya ia genggam kini ia taruh di atas meja. Keila membuka lembaran awal buku itu.
Dendam dalam bahasa Arab disebut hiqid, yaitu:
Mengandung permusuhan di dalam batin dan menanti-nanti waktu yang terbaik untuk melepaskan dendamnya, menunggu kesempatan yang tepat untuk membalas sakit hati dengan mencelakakan orang yang didendami.
Berbahagialah orang yang berlapang dada, berjiwa besar dan pema'af.
Tidak ada sesuatu yang menyenangkan dan menyegarkan pandangan mata seseorang, kecuali hidup dengan hati yang bersih dan jiwa yang sehat, bebas dari rasa kebingungan dan bebas dari rasa dendam yang senantiasa menggoda manusia.
Seseorang yang hatinya bersih dan jiwanya sehat, ialah mereka yang apabila melihat sesuatu nikmat yang diperoleh orang lain, ia merasa senang dan merasakan karunia itu ada pula pada dirinya.
Dan apabila ia melihat musibah yang menimpa seseorang hamba Allah, ia merasakan sedihnya dan mengharapkan kepada Allah untuk meringankan penderitaan dan mengampuni dosanya.
Demikianlah seorang muslim, hendaknya selalu hidup dengan hati yang bersih dan jiwa yang sehat, rela terhadap ketentuan Allah dan terhadap kehidupan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kamu putus hubungan, belakang-membelakangi, benci-membenci, hasut-menghasut. Hendaknya kamu menjadi hamba Allah yang bersaudara satu sama yang lain (yang muslim) dan tidaklah halal bagi (setiap) muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Perlakukan setiap orang dengan kebaikan hati dan rasa hormat, meski mereka berlaku buruk, mencaci pada Anda, atau pun berburuk sangka. Ingatlah, bahwa Anda menunjukan penghargaan pada orang lain BUKAN karena SIAPA MEREKA, tetapi karena SIAPA DIRI Anda.
Orang yang gemar mengkritik dan merendahkan orang lain, sering tidak menyadari bahwa dia MENGKRITIK DARI TEMPAT YANG LEBIH RENDAH.
“Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya. Karena jika orang tersebut memiliki amal saleh, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal saleh, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zalimi.” (HR. Bukhari no.2449).
“Janganlah kamu semua meneliti kejelekan orang, jangan pula mengamat-amatinya, juga janganlah putus-memutuskan ikatan, seteru-menyeteru dan jadilah kamu semua hamba-hamba Allah sebagai saudara.” (HR. Bukhari-Muslim).
Keila membuka kembali lembaran ke dua buku itu, namun terurungkan saat suara ketukan pintu lebih mendominasi. Ia langsung melepas lembar buku itu dan bangkit.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam warrahmatullah," jawab Keila sambil bangkit menuju pintu.
Pemandangan pertama yang Keila lihat setelah membuka pintu adalah baju kemeja berwarna hitam dengan lipatan di area tangan yang kekar. Ia kenal siapa ini.
"Abi udah pulang?" tanya Keila sambil mencium punggung tangan Abinya yang berukuran jauh lebih besar dari tangannya yang mungil.
"Kalau belum mana mungkin Abi ada di sini?" ucap Abi seraya mengelus puncuk kepala Keila yang berbalut khimar berwarna baby blue.
Keila mengambrukkan tubuhnya ke pelukan Abi. Dia rindu dengan Abi. Sudah beberapa hari ini ia tidak bertemu Abi. Abi selalu berangkat sebelum Keila bangun dan pulang saat Keila tertidur.
Abi ini laki-laki pertama yang Keila cintai. Dialah laki-laki yang selalu menemani masa kecilnya saat umi tidak bisa menemani. Dialah laki-laki yang selalu menggendongnya saat wisata. Dan dialah Abi yang selalu menyangi dirinya seperti menyayangi dirinya sendiri.
Abi lebih sayang dengan Keila dibanding Dhira, entah kenapa Abi selalu membeda-bedakan antara mereka. Bahkan Abi sering menampakkannya secara terang-terangan di hadapan keluarga besar mereka. Abi memang sejak dulu terkenal dingin dengan orang yang belum ia kenal dekat, dan Dhira, masih masuk ke dalam barisan orang-orang itu di kehidupan Abi.
"Oh ya, Sayang, Abi bawa sesuatu nih buat kamu," ucap Abi sambil mengambil bingkisan yang sebelumnya ia gantungkan di kenop pintu kamar Keila.
"Apa ini, Bi?" tanya Keila dengan mata berbinar.
"Buka dong, Sayang."
Keila mengangguk setuju, ia langsung membuka bingkisan bertuliskan Gramedia Central. Ia sudah menduga-duga isinya, sudah jelas dari tulisan Gramedia.
Keila tersenyum lebar, ia langsung memeluk boneka berukuran sedang dengan pita mungil di area kepalanya. Bingkisan itu tidak hanya berisi boneka, ada dua buku dan satu pin bertuliskan Gramedia Central.
"Kiss me dong," ucap Abi sambil menampakkan deretan giginya yang rata dengan dua gigi kelinci di bagian depannya.
Keila langsung mengecup pipi kanan dan kiri Abinya. Ia selalu merasa beruntung memiliki Abi seperti Abinya ini, begitu juga dengan umi.
Di lain tempat Dhira menampakkan raut masam, ia menempelkan telinga di pintu kamarnya. "Aku benci kamu Keila," ucap Dhira di balik pintunya itu.
Kamar Keila dengan Dhira memang bersebelahan, jadi sangat mudah Dhira menguping apa yang sedang Keila bicarakan dengan siapa pun.
"Kenapa Kei doang, Bi? Dhira ini juga 'kan anak Abi?" gerutu Dhira seraya memejamkan matanya.
"Yaudah ya, Sayang, Abi mau ke kamar dulu, capek nih Abi abis rapat negara." Terkadang Keila bingung, Abinya ini kalau sedang bercanda tidak menampakkan raut bercanda, datar-datar saja.
Keila menarik simpul. "Terima kasih ya, Abiku."
Abi ikut tersenyum. "Sama-sama, puteriku."
Orang sabar adalah mereka yang mampu bertahan dalam proses dan mampu melawan sifat alami ketidaksabaran yang ada dalam diri mereka. Mereka juga mampu menahan "sengsara" dari proses.
__________
Mentari nampak malu menampakkan sinarnya, genangan embun murindu sinar mentari agar segera mengeringkannya. Pagi ini Keila bisa sarapan bersama abi, umi, dan Dhira sekaligus. Biasanya abilah yang jarang sarapan bersama. Hari ini begitu menyenangkan bagi Keila.
"Keila, Abi mau bicara sebentar, Nak," panggil Abi saat Keila dan Dhira berjalan bersamaan menuruni satu persatu anak tangga.
Keila tersenyum ke arah Abinya, sebelum melangkah maju dia melirik Dhira di sampingnya seraya tersenyum walaupun senyumannya itu tidak mendapat balasan.
"Kenapa, Bi?" tanya Keila saat ia sudah duduk di samping Abinya.
"Nanti sekolah Abi antar," ucap Abi sambil mengambil bulu mata Keila yang terputus di area wajah.
Keila tersenyum, sekilas ia melirik ke arah Dhira, dia terlihat kesal, nampak dari raut wajahnya yang memasam dan pergi berlalu begitu saja ke ruang makan.
"Tapi Kak Dhira, Bi?"
"Abi lagi mau anter kamu masak enggak mau, Abi kangen tau sama kamu," ucapnya sambil menyenderkan tubuh di sofa.
Keila tersenyum serba salah. "Yaudah, nanti Kei Abi yang antar."
Abi tersenyum. "Gitu dong," ucapnya seraya menjawil hidung mungil Keila. "Yaudah kita ke ruang makan yuk, pasti umi udah masakin sarapan enak nih."
Abi merangkul Keila sampai ke ruang makan.
"Dari wanginya enak nih," ucap Abi menggoda Umi yang sedang sibuk menata piring-piring di meja makan.
"Iya dong, Bi, kan Umi masaknya pake hati," balas Umi sambil menuangkan gelas yang berada di depan Abi dengan air putih.
"Oh Umi masak hati," ucap Abi polos.
Umi hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul di balik niqob.
"Lho kok Kei duduk di pojok, kan Kei biasanya duduk di bangku biru, kesukaan, Kei?" ucap Abi sambil memicingkan matanya ke arah Dhira yang sedang memindahkan satu centong nasi ke atas piring.
Wajah Dhira sudah merah padam, dia sangat benci jika Abi di rumah, Abi tidak pernah menganggap Dhira sebagai anaknya, bahkan dia pun tidak pernah menganggap Dhira ada.
"Enggak apa-apa, Bi, Kak Dhira juga sepertinya suka warna biru."
"Tapi 'kan Abi belikan bangku itu khusus untuk kamu, Sayang."
Umi bingung ingin berkata apa, jika ia membela Dhira, Abi pasti akan marah, Abi itu sangat menyayangi Keila. Jika Umi membela Keila, Dhira pasti merasa terpojoki, jadi Umi lebih memilih diam. Hanya diam pilihan terakhir.
"Udah enggak papa, Dek, biar Kakak pindah ke sana," ucap Dhira dengan nada lembut.
"Beneran, Kak?" ucap Keila memastikan, ia tidak mau sampai Dhira marah kepadanya hanya karena bangku.
Dhira hanya tersenyum dan mengangguk walau di dalam hatinya saat ini sedang ada api yang berkobar membakar hatinya.
Selesai menghabiskan sarapan pagi Keila dan Dhira bersiap untuk berangkat ke sekolah.
***
Keila dan Dhira sedang memakai sepatunya, sementara abi dan umi setia menunggu mereka di ambang pintu.
Keila bangkit lebih dulu. "Umi, Kei berangkat ya," ucap Keila sambil mencium punggung tangan Uminya. Abi langsung bersiap, dia akan mengantarkan Keila ke sekolah.
"Lho, Abi rapih sekali, mau kemana?" tanya Umi.
"Mau anter puteri Abi," jawab Abi sambil menampakkan deretan giginya.
"Dhira pamit ya, Mi, Bi," potong Dhira dan langsung menyalimi tangan Umi dan Abi.
Namun saat Dhira hendak menyalimi tangan Abi, Abi malah menangkupkan tangannya di dada seraya menampakkan senyuman.
"Maaf, Dhira, Abi sedang menjaga wudu, kamu tidak sedarah dengan Abi, jadi nanti batal wudunya," lembut Abi sambil tersenyum.
"Bi ...," ucap Umi sambil menyenggol lengan Abi.
"Enggak papa, Umi, Dhira berangkat ya, Assalamu'alaikum," ucap Dhira lalu pergi meninggalkan pekarangan rumah.
Dhira berangkat ke sekolah menggunakan bus sekolah yang sering lewat di halte dekat rumah.
"Yaudah, Mi, Kei sama Abi berangkat, ya. Assalamu'alaikum," ucap Keila memotong keheningan yang sempat tercipta.
"Waalaikumussalam warrahmatullah."
***
"Di sekolah Kei berteman sama siapa aja?" tanya Abi saat mereka sudah berada di dalam mobil.
"Kei punya dua sahabat dekat, Bi, kalau teman Kei punya banyak," jawab Keila jujur. Makna sahabat dan teman yang Keila ucapkan maksudnya, kalau sahabat itu lebih dekat dan terbuka, kalau teman hanya sekedar saling mengenal, melempar senyum, dan bertegur sapa saja.
"Sahabatmu siapa aja namanya?"
"Si Seira sama Gita, Bi, yang pernah ke rumah itu lho."
Abi menganggukkan kepalanya. "Berarti akhwat semua, ya?"
"Kan Abi yang ajari aku jangan terlalu berlebihan bergaul dengan ikhwan yang bukan mahram kita, jadi aku jauh lebih banyak teman perempuan daripada laki-laki."
Abi tersenyum simpul. "Saleha."
Abi mengantarkan Keila sampai depan halte sekolah, gerbang sangat ramai tukang jajanan dan siswa-siswi yang sedang beralalu lalang, jadi mana mungkin Abi mengantar sampai gerbang, nanti yang ada Abi terjebak di sana tidak bisa memarkirkan mobil.
Keila menarik simpulnya saat matanya menangkap seorang perempuan dengan jilbab syar'inya menatap Keila dengan tatapan sebal.
"Hei tembem, Assalamu'aikum."
Perempuan yang Keila panggil tembem mengerucutkan bibirnya setelah membalas salam Keila. "Kamu kemarin minta aku tungguin di gerbang pagi-pagi karena takut digangguin cowok-cowok di lorong, tapi kamu datengnya lama banget, muterin samudra dulu ya, Kei?"
Keila tertawa pelan. "Ngawur, masak iya aku muterin samudra."
"Lagian lama banget."
"Maaf deh, tadi itu macet parah tau."
Perempuan yang Keila panggil tembem itu namanya Seira Nur Alifiyah, sahabat Keila sejak kelas tujuh MTs.
"Udah dong jangan manyun, nanti kalo pipinya copot gimana?" Padahal Keila asal bicara Seira malah tertawa.
"Enggak kebayang kalau pipi aku copot, kayak gimana ya muka aku kalo tirus."
Tawa Seira terhenti saat lambaian tangan dari arah belakang Keila ia tangkap di indera penglihatannya.
"Assalamu'alaikum, Ukhti?"
Keila langsung membalikkan badan. "Eh Bunda Gita," ucap Keila dan Seira berbarengan.
"Kalian tuh ya kebiasaan deh panggil aku bunda terus, aku 'kan masih muda tau, masih imut-imut masak dipanggil Bunda."
"Uluh ... ayo kita ke kelas sebentar lagi bel masuk berkumandang, eh berbunyi," ucap Seira mulai berlelucon.
"Uh tembem, ada-ada aja deh," kekeh Gita.
Tak lama setelah mereka memasuki kelasnya, bel pertanda masuk pun berbunyi. Pas sekali.
Keila duduk sebangku dengan Gita dan Seira duduk sebangku dengan Fatimah, walaupun satu bangku Seira masih kurang dekat dengan Fatimah, Fatimah sulit untuk didekati, dia hanya bergaul dengan sekawanan yang sama sepertinya, yang memakai pakaian tidak sesyar'i Keila dan sahabatnya.
"Sei, kamu bawa pulpen dua enggak? Tempat pensil aku ketinggalan di meja belajar lagi," ucap Gita sambil menggaruk telungkuknya dengan wajah memelas.
"Duh kamu ini, Git, nih aku bawa tapi kalau tiba-tiba macet maklum ya soalnya itu pulpen sepuh," kekeh Seira.
Gita nyengir kuda. "Dasar, yaudah enggak apa-apa, terima kasih, ya."
Tak lama kemudian guru yang mengajar di kelas mereka datang dan melanjutkan pelajaran dengan aktif dan tenang.
Keila belajar di kelas IX A, yang dikenal dengan kelas unggulan. Keila ahli di pelajaran Matematika dan bahasa-bahasa seperti Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia.
Setiap ada perlombaan Keila pun sering sekali menang mendapatkan piala, medali, dan lain sebagainya. Semua itu tidak membuat Keila ujub sedikit pun, dia senantiasa rendah hati dan mengamal 'kan Ilmu Padi yang semakin meninggi akan semakin menunduk.
"Baiklah anak-anak, kita selesaikan pelajaran kita di pagi hari ini dengan mengucapkan lafaz hamdalah, Alhamdulillah hirabbil 'alamin."
Tak lama berselang kepergian guru tadi, bel istirahat pun berbunyi, seluruh siswa-siswi bergegas melakukan kegiatannya, ada yang memilih ke kantin untuk makan, ada yang memilih ke perpustakaan untuk membaca, ada yang memilih ke musala untuk mengerjakan salat Dhuha, dan ada pula yang memilih menetap di kelas untuk sekedar mengobrol atau yang sedang melaksanakam puasa sunnah.
Keila dan sekawanannya memilih untuk ke musala dahulu untuk mengerjakan salat Dhuha setelah itu mereka ke kantin untuk mengisi perut mereka.
"Ayo kita ke kantin," ajak Gita ketika mereka sudah menyelesaikan salat Dhuha di musala sekolah.
"Ayo, aku udah enggak sabar nih mau mamam." Seira langsung memelas menampakkan bahwa ia ingin segera makan.
"Gimana pipi enggak mau gede coba," ucap Gita yang berhasil membuat tawa di antara mereka bertiga.
Mereka pun menuju ke kantin dan langsung memesan makanan kesukaan mereka masing-masing. Lalu melahapnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!