NovelToon NovelToon

Rahasia Si Janda Secantik Gadis Perawan

Rahasia Siti

Mohon like dan komen.

"Mas, ini kopinya." Aku meletakkan kopi yang baru kuseduh di atas meja.

"Makasih ya, Sit." Pria itu tersenyum padaku menyambut kopi yang tadi kuletakkan di hadapannya, lalu mulai menyesapnya.

Mas Joko memang sudah menjadi langganan tetap di warung kopi milikku, ia tak pernah absen seharipun untuk sekadar mampir menyuruput kopi buatanku.

"Kopi loe memang paling top, Ti. Apalagi sambil mandangin wajah loe yang ayu, bikin rasa yang pahit jadi manis." Rayunya padaku. "Coba istri gue secantik lu." Ujarnya. Nayris membuatku tersipu.

"Emang istrinya kenapa, Mas?" tanyaku sedikit manja.

"Dia itu ya, hari-hari selalu aja bau asem, pake baju selalu dasteran, kucel. Gak bisa dandan. Padahal bedak sama liptsik selalu beli tiap ke pasar. Pokoknya, gak kayak lu deh, Ti. Cantik, wangi lagi." Tambahnya.

"Ah, masa sih, Mas?"

"Iya, gak bohong deh."

"Siti memang paling top. Kalau aja bini gue kayak lu, Ti. Beuuhhh! Hari-hari bakal gue turuti kemauannya." Saipul datang dan langsung duduk di kursi panjang di samping Joko. "Kopi satu, Ti. Gak usah terlalu manis. Kan sudah ada eneng Siti yang bikin manis," gombalnya.

"Ah, mas Saipul bisa aja!" Aku makin tersipu mendengar ucapan mereka. 'Dasar lelaki jelalatan' turukku dalam hati.

"Ah, ganggu aja lu, Pul," rutuk Joko.

"Mas Joko, mau tambah gorengannya?" tawarku padanya.

"enggak deh, Ti. gorengan banyak kolesterolnya!" kilahnya.

"Ah, Mas Joko, pake ngomong kolesterol segala, bilang aja kalo gak ada uang!" ledekku dengan senyum manja!"

"hahaha, betul tuh, Ti!" sambung Saiful.

"yee, Si Eneng. kalo soal uang, Abang gak pernah kurang!" ungkap Joko yang langsung mengeluarkan puluhan lembaran berwarna biru ke atas meja.

"Widiiih, banyak uang nih!" tukas Saiful. "Boleh dong gue pinjam buat beliin bini daster baru!"

"Ogah, gue mah cuma mau minjamin ke Siti!"

"Ape, Bang? cuma pinjem?" tanyaku tak percaya dengan apa yang baru diucap Mas Joko.

Masa iya, sama gue cuma mau minjemin! batinku kesal.

"Ehehe, iya, Neng. Soalnya, ini duit gaji Abang selama sebulan buat kebutuhan anak bini!"

Ya, elah, ternyata gajinya sebulan.

mendengar ungkapannya, seketika bibirku memonyong sepanjang dua senti. "Yee, kirain buat Siti!" tukasku.

"Ehehe, bukan, Ti!"

"Huuuuu! kirain emang banyak duit. Taunya gaji sebulan buat nafkahi anak bini." Saiful meledek.

"Apaan sih loe, Pul. berisik!" Joko kembali memasukkan uang itu ke dalam tasnya sambil menahan malu.

*****

Aki, Siti. Pekerjaanku sehari-hari hanyalah menjaga warung kopi yang terletak di pinggir jalan di desa, setiap pagi aku membuka warung, menyusun gelas-gelas bersih di atas meja. Meletakkan beberapa kue basah dan gorengan yang siap dilahap dalam satu wadah sedang, mencari uang hingga menjelang siang, dan menutup warungku saat terik mulai berada tepat di atas kepala, aku tak pernah berdagang sampai sore. Kalau dihitung dari pendapatan, tentulah pendapatanku perhari tak banyak, tapi setidaknya itulah yang diketahui warga.

Hal itu kadang membuat sebagian ibu-ibu di desa ini heran dengan penampilanku. Bagaimana bisa, aku selalu tampil cantik memesona, bagai artis yang sering perawatan ke salon-salon mahal. Aneh bukan?

"Cih, paling juga kerjanya menjajakan diri kalau sudah malam." Beberapa kumpulan wanita penggosip selalu mencibirku kala aku melintas di hadapan mereka. Dengan tatapan sinis mereka memandang, tapi aku hanya membalasnya dengan senyuman ramah. Walau dalam hati selalu bergumam. 'Tunggu saja pembalasanku.' Begitulah rutukku, setiap kali mendapat cibiran dari mereka.

Namun, pekerjaanku yang sebenarnya bukanlah itu. Ketika menjelang sore, aku selalu pergi ke rumah kosong dipinggir desa dekat hutan. Rumah yang sudah reot tak berpenghuni yang mungkin sudah belasan tahun itu menjadi tempat bersemayamku setiap sore. Rumah tempat aku memyembunyikan tubuh yang kubaringkan sebelum akhirnya melepas kepala dan mengeluarkan sebagian organ.

Aku selalu keluar petang dan keliaran hingga malam, mendatangi rumah-rumah wanita yang wangi, wangi akan aroma darah janin, juga aroma darah kotor. Bagiku, aroma itu bagaikan buah yang masak, segar dan nikmat.

dikeroyok emak emak

"Kalau kangkungnya, seikat berapa, Bu?" tanyaku pada si bule sayur.

"Lima ribu aja, Neng."

"Jadi, berapa total semua belanjaan saya?"

"Semuanya, jadi ... delapan puluh lima ribu, Neng!"

kurogoh uang yang terselip di kantong celana jeans. "Ini." kuberi uang berwarna merah itu padanya, seratus ribu rupiah. "Ambil saja kembaliannya, Bu." ucapku ramah.

"Makasih banyak, Neng."

"Sama-sama."

"Cih! Sok kaya!" Terdengar sinis suara Mak Ijah yang juga tengah memilih sayur di hadapan. Membuat netraku tergugah menoleh, tampak ia masih menggerutu, memonyong-monyongkan bibir, mencibir sambil tak luput menawar-nawar harga sayur yang sudah murah. Arrggh geram sekali aku melihatnya. kualihkan pandangan. Eneg. Tak ingin berlama-lama melihat wajah busuknya. Ya aku mengatakannya busuk. Seperti hatinya yang tak pernah memandang sisi baikku. Biarlah ia mencibir, toh sudah biasa aku menelan cibiran seperti itu.

Santai aku melangkah, menjenteng sayuran dan beberapa bahan keperluan untuk berjualan di warung kopi.

Seperti biasa, pagi ini kudengar para ibu muda asik menggosip sambil berkumpul di teras depan salah satu warung terlaris. Kali ini mereka brrgosip perihal kematian anak dalam kandungan bu Desi.

"Eh, Jeng! kalian udah dengar kabarnya belum?"

"Kabar apaan?" Tampak mereka membelalak memasang mata dan telinga.

"Itu loh, Bu Desi!"

"Iyee, emang kenapa dengan bu Desi?"

"Denger-denger nih yee, anak dalam perutnya meninggal."

"Ah masa iya!"

"Iya, gue serius, masa iya sih gue bohong sih."

"Wah, jangan-jangan ulah si kuyang ntuh lagi!"

"Ya, iya. Udah pasti ulah dia. Emang siapa lagi coba."

Aku tertawa sinis mendengar percakapan mereka. Kulangkahkan kaki menghampiri. "Eh Buibu, mana ada sih orang mati karena kuyang. Mati itu di tangan Tuhan. Bukan di tangan kuyang." celetukku saat berdiri di hadapan mereka.

"Eh ... Siti!" Ia terkejut melihat aku yang ikut nimbrung. "Nyahut aja loe. Emang lu pernah hamil? Gak usah sok bijak deh!"

"Iyaa, janda aja belagu," sambung ibu yang lain di sebelahnya.

'Brengs*k,' batinku mendumal.

"Oh iyee, lupa. lue kan gak punya suami. Mana mungkin bisa ngerti perasaan wanita sejati seperti kite. ha ha ha!" ledeknya.

"Iya! Mangkanya, kalau punya suami tuh di jaga, di sayang. Biar kagak minggat!"

Asik mereka menertawaiku.

"Eh, Buibu. Yang perlu jaga suami itu kalian, bukan saya. Kalian tahu gak? Tiap pagi suami kalian itu selalu mampir di warung saya! Mangkanya, muka sama hati itu perlu di jaga dan di rawat. Biar cantiknya merata." Aku membalas cibiran mereka. Entah kenapa, hari ini aku lelah jika harus selalu mengalah.

"Ih ... sombong bener lu ya!" ucapnya geram. Wajahnya terlihat murka, seperti hendak menerkamku.

"Bukan sombong, tapi kenyataan!" ungkapku.

"Kurang ajar! Mulai berani lu sekarang yah!" hardiknya. Tampaknya pagi ini aku telah salah mengambil tindakan. Mereka mulai garang, berdiri hendak menyerangku. Gawat, aku baru saja membangunkan para buaya betina. Berat aku menelan saliva sambil berjalan mundur. Tampak semua wajah mereka merah padam menatapku. aku pun memutar badan, berlari sekuat yang kumampu. Namun, sepertinya usahaku kurang keras.

Sedetik kemudian mereka berhasil mengerubuniku. Aku berteriak sekuat yang aku bisa. Meronta, berusaha melepaskan diri dari cakaran dan jambakan mereka. Sial, mereka berhasil menganiayaku. Aku terus mengerang hingga beberapa saat terdengar langkah beberapa pria yang berlari ke arah kami, melerai dan menarik para ibu-ibu yang kesetanan itu.

Beruntung aku masih selamat. Beberapa luka memar menodai wajah mulusku. Kuurungkan niat untuk membalas mereka hari ini. Tunggu saja bila saatnya tiba, aku akan membalas mereka satu persatu.

Para bapak-bapak itu terlihat sibuk menyeret pulang paksa istri-istri mereka yang masih terus meronta, terlihat jelas mereka belum puas melampiaskan emosinya padaku.

"Mbak gakpapa?" Seorang pria muda tiba-tiba saja menghampiri. Setelan jaz dan sepatu pantofel melekat di tubuhnya. Ah paling juga sales? batinku.

"Ah, iya, gakpapa, Mas," sahutku.

Ia membantuku memungut barang-barang belanjaan yang berserakan, terhambur akibat serangan para ibu-ibu judes. Lalu menyerahkannya padaku.

"Mau ke mana, Mbak?" tanyanya.

"Ke warung, Mas?" sahutku.

"Mau saya antar?"

"Ah gak usah mas. Udah dekat juga." Aku menolak tawarannya. Paling juga pengen kenalan, alias PDKT.

"Oh, ya sudah kalau begitu. Saya duluan ya." Ia melangkah pergi meninggalkanku. Terlihat tangannya mengarahkan kunci ke sebuah mobil yang terparkir. Kemudian menekan tombol alarm.

Bip bip!

Sebuah alarm mobil berbunyi. Ia mendekat kemudian membuka pintu mobil, masuk. "Wah sial. Ternyata bawaannya mobil. Aku udah nolak orang yang salah. Aisshh!" Sejenak aku mematung. "Apes apes." Kemudian berlalu dengan sedikit menyesal.

Aku melanjutkan tujuan ke warung. Melangkahkan kaki, Gontai. Menyesal karena menolak tawaran pria tadi. "Andai tadi gie gak menolak, mana gue tahu kalo dia anak orang kaya" gumamku.

Sesampainya, kulihat dua pria sudah menungguku di sana.

"Loh, kok tumben buka warungnya telat, Ti?" tanya Joko yang sepertinya sudah lama menunggu.

"Iya, Mas. Tadi ada sedikit masalah." jawabku lesu.

"Loh, itu mukanya kenapa?" Saipul menambahi.

"Gakpapa, Mas!"

"Aduuh, kasiahannya belahan hatiku!"

'Cuih. Belahan hati' aku menggerutu dalam hati. Kuabaikan mereka sesaat. Segera kubereskan barang-barang untuk bersiap membuka warung. 'Semoga aja, masih berjodoh ketemu sama cowok tadi.' Aku membatin.

mengincar Mak Ijah

Rahasia

#Janda_Bohay

Ke 3

mohon untuk like dan komen.

Hari ini aku pulang dengan rasa lelah atas pekerjaan rutininas. Kurebahkan tubuh diatas ranjang yang terbuat dari bambu. Keras, cukup membuat tulangku terasa ngilu saat tubuh berhasil menempel pada tikar bambu. Kulipat kedua tangan di bawah kepala, menjadikannya alas bantal.

Warna kuning dari lampu pelita menjadi penerang ruang yang berdebu dengan beberapa sarang laba-laba sebagai hiasan dinding dan langit-langit.

Kutatap lekap langit-langit rumah reot tak berpenghuni ini. Pikiranku kembali melayang, sejenak terlintas wajah seorang pria muda dengan mobil mewahnya yang tadi siang menegurku, seakan melambai-lambai. "Ahh andai saja aku tak bertindak bodoh, pastilah pria itu sudah menjadi teman kencanku," gumamku.

Lalu rasa haus dari tenggorokan mulai mengusik lamunan. Ahh kurasa tubuh ini mulai lemah, aku perlu asupan beberapa darah segar malam ini. Sepertinya rumah mak Ijah cocok untuk aku kunjungi.

Kuintip salah satu lubang dinding yang mengarah ke pedesaan. Tampaknya malam ini warga tak meronda, aman bagiku keluar untuk mencari darah segar, dapat sedikitpun tak apa. Paling tidak bisa mengurangi rasa lemas ditubuh.

Kembali kubaringkan tubuh. Kali ini tak lagi di atas ranjang kayu, melainkan di kolong ranjang untuk melepas kepala dari tubuh. Sengaja aku menyembunyikannya di bawah sana, untuk antisipasi kalau saja warga sampai menemukanku dan mengetahui identitasku, bisa-bisa brabe jadinya.

Lolongan anjing mulai terdengar di beberapa titik rumah warga. Aku mengerang saat kedua tangan melepas paksa bagian kepala hingga organ tubuhku ikut keluar. Kini kepalaku sudah terpisah dari tubuh ini.

Kugeleng-gelengkan. Ya sudah terasa ringan. Kutatap cermin retak yang tergantung di dinding. Wajah seram dengan mata berwarna merah dan rambut yang langsung terlihat acak-acakan. Inilah wajahku saat malam, tak secantik pandangan mereka di siang hari.

Aku akhirnya keluar setelah memastikan keadaan di luar benar-benar aman. Melayang dari pohon ke pohon. Bersembunyi di antara rerimbunan. Macam-macam bau mulai tercium. Hidungku terus mendengkus, mencari aroma segar yang dapat menyegarkan tubuh ini. Kini aroma itu makin dekat. Benar saja, aku telah berada di atap rumah mak Ijah.

Kudengar jelas percakapan mereka. Memperbincangkan masalah masa depan calon bayi yang ada dalam janin mak Ijah. Hmm ... semoga saja bayinya lahir seperti harapan mereka. Beginilah aku, tak selalunya aku berdoa buruk untuk mereka.

Namun, tiba-tiba salah seorang seperti telah mengetahui keberadaanku. Sedetik kemudian suara percakapan itu menghilang.

Tampaknya seisi rumah mulai curiga dengan keberadaanku.

Aku mencoba bergeser, berpindah posisi. Sayangnya suara geseranku terdengar jelas dari dalam rumah mereka.

Lalu tiba-tiba ....

"Ada kuyaaang! Ada kuyaaang!" Kudengar salah seorang berteriak-teriak di bawah sana. Oh tidak! Jangan sampai mereka menemukanku.

Beberapa warga mulai membuka pintu, lalu berhamburan keluar rumah.

Heboh karena teriakan dari seseorang yang melihatku tadi. Sambil membawa sebuah bambu, mereka memukul-mukulnya untuk memberi isyarat pada warga lain bahwa sekarang sedang dalam keadaan genting.

"Itu di sana!" Salah seorang warga menunjuk ke arahku. Gawat!

"Kejaaar! Jangan sampai lepas!" Suara mereka terdengar jelas, memekik di telingaku. Aku berusaha kabur sebisa mungkin. Namun banyaknya jumlah warga membuatku kesulitan bergerak. Kemana aku pergi, selalu ada warga yang siaga berjaga menungguku. Sepertinya malam ini aku akan tertangkap basah.

Oh tidak! bagaimana ini?

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!