Seorang gadis muda berjalan dengan langkah pasti. Dengan menggenggam surat lamaran kerja di tangannya. Ia terus berjalan untuk mencari pekerjaan. Dia gadis yang ceria, tangguh, dan penuh semangat. Meskipun sering ditolak, tapi ia tak menyerah. Langkah demi langkah, perusahaan demi perusahaan ia masuki. Namun, tidak satupun perusahaan menerima dia dengan alasan tidak ada lowongan pekerjaan.
Tangan kecilnya mengusap keringat yang ada di dahinya. "Hah, aku harus semangat. Kota ini kecil, tidak banyak perusahaan, aku harus terus cari kerja.." gumamnya penuh semangat.
Aiko Cahaya Maheswari. Seorang gadis muda yang pintar. Tapi, karena fitnah dari teman kerja yang iri padanya. Membuat Aiko harus meninggalkan pekerjaan lamanya. Dia tidak mau bekerja di perusahaan yang akan mematikan karirnya. Maka dari itu, Aiko yang telah bekerja selama dua tahun harus rela keluar. Kini, ia kembali dari awal. Mencari pekerjaan dan berusaha mengembangkan karirnya. Atau setidaknya demi sesuap nasi dan biaya hidup sehari-hari.
Tinggal jauh dari orang tua, membuatnya harus bisa mandiri. Namun, Aiko tetap semangat menjalani hidupnya.
Hari semakin gelap, namun belum satu pun perusahaan yang menerimanya. Terpaksa ia harus pulang dengan tangan hampa. Tetapi, Aiko harus tetap menegakkan kepalanya.
Klik.
Setelah menekan sandi rumah dengan benar. Pintu itu terbuka. Aiko melepas sepatu hitamnya. Ia kembali mengusap keringat di dahinya. "Hah.." ia nampak lelah.
"Auw.." tanpa sengaja ia menyentuh kakinya yang lecet karena seharian pakai heels.
Ia kembali menghela nafasnya. Kemudian mengobati kakinya agar tidak semakin parah. "Ternyata cari pekerjaan nggak gampang.." gumamnya seorang diri.
"Tapi aku nggak boleh nyerah. Aku harus terus berusaha. Semangat Aiko." ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
Aiko kemudian mandi lalu memasak mie untuk mengisi perutnya. Seharian ia belum makan dan hanya minum air mineral. "Huff.. Huff.." asap mengepul setelah Aiko meniup mie-nya beberapa kali.
"Ahh laper banget.." gumamnya.
****
Hotel Moonlight.
Semua karyawan sibuk berbenah karena anak pemilik hotel datang untuk membuat keonaran. Putra kedua dari pemilik hotel datang tiba-tiba dan membuat beberapa kegaduhan. Ia ingin mengetes kinerja dari para karyawan hotel tersebut. Mencari penyebab apa yang membuat hotel itu akan bangkrut.
Arshaka Putra Aditama, anak kedua dari seorang pengusaha kaya raya di kota S, Rino Aditama. Ia lahir sebagai anak tidak sah. Itu mungkin yang membuat kakaknya sangat tidak menyukainya. Rino memiliki beberapa perusahaan, termasuk hotel yang hampir bangkrut itu.
Anak pertamanya, Fahreza Aditama Pratama, selalu membenci adik tirinya tersebut. Ia selalu menuduh Shaka-lah penyebab kematian ibu kandungnya. Dia juga takut harta kekayaan papanya akan jatuh ke tangan Shaka. Sehingga dia harus mengasingkan adiknya ke luar negeri selama beberapa tahun.
Shaka diberi tugas untuk mengembangkan hotel yang hampir bangkrut di kota kecil ini. "Siapa yang bertanggung jawab atas hotel ini?" tanya Shaka.
"Saya pak." Fahri, wakil direktur hotel tersebut maju ke depan. Kakinya gemetar karena ketakutan.
"Pecat koki hotel ini! Ganti semua menu makanan di hotel ini!" perintahnya. Tentu saja itu membuat koki di hotel tersebut merasa tak terima karena merasa sudah lama bekerja di hotel tersebut. Koki itu bahkan sempat mengumpati Shaka atas perilaku semena-menanya.
Namun, Shaka sama sekali tidak peduli. Dia ingin merombak dan memperbaiki semua yang ada di hotel itu. Menemukan masalah yang membuat hotel tersebut sepi.
"Cari beberapa karyawan baru! Buka lowongan kerja! Dan pecat semua karyawan yang tidak kompeten!" perintah Shaka lagi.
"Ba.. Baik pak!" Fahri sama sekali tidak berani membantah perintah dari atasannya.
"Jangan lupa cari koki baru!"
"Baik pak."
Shaka kembali mengelilingi hotel milik papanya tersebut. Dia hanya tersenyum sinis. Ia merasa jika kakaknya sengaja memberinya tugas untuk kembali mengembangkan hotel tersebut. "Kalian pikir aku nggak bisa bikin hotel ini kembali ramai? Kalian terlalu ngeremehin aku.." gumamnya lagi.
Senyuman itu terlihat begitu menyayat hati. Mungkin senyuman itu tanda dari rasa sakit yang ia rasakan selama ini.
*Disisi lain.*
Rino merenungi perbuatan yang dirasa terlalu kejam kepada anak keduanya. Biar bagaimana pun, Shaka tetaplah anak kandungnya. Shaka baru sehari pulang dari luar negeri. Tapi dia harus pergi lagi untuk mengurus hotel di kota kecil. Hotel yang hampir tutup. Hal itu tentu saja untuk kembali mengasingkan Shaka.
"Papa masih kangen sama kamu, Ka.." gumam Rino sembari memandangi foto Shaka yang terlihat begitu tampan dengan menggunakan jas hitam.
Tok. Tok. Tok.
Pintu ruangannya diketuk oleh seseorang. Fahreza atau yang sering di sapa Reza masuk ke ruangan itu.
"Ini laporan keuangan kita, pa.." kata Reza memasuki ruangan kerja papanya. Dia adalah anak pertamanya yang bekerja di perusahaan itu juga.
"Ya.." jawab Rino dengan lemas.
"Papa kenapa? Papa sakit?" tanya Reza agak khawatir.
"Za, sampai kapan kamu akan memusuhi adik kamu?" tanya Rino yang membuat Reza kaget. Ia tak menyangka jika ternyata papanya memikirkan Shaka.
"Oh, papa kasihan sama Shaka? Papa lebih sayang dia daripada aku, anak papa?" tanya Reza dengan kejam. Tentu saja pertanyaan seperti itu sangatlah kejam bagi Rino sebagai orang tua.
"Papa sayang kalian berdua. Kalian sama-sama anak papa. Tapi apa belum cukup Shaka diasingkan selama beberapa tahun ini?" Rino benar-benar merasa sangat bersalah terhadap anak-anaknya.
"Kasihan? Papa bilang kasihan? Gara-gara dia dan ibunya, mama aku sakit dan akhirnya meninggal. Papa nggak kasihan sama aku?" seru Reza. Ia marah, ia merasa papanya sangat tidak adil terhadapnya.
"Kamu salah paham, nak.."
"Udahlah pa. Kalau papa mau Shaka pulang ke rumah. Itu artinya aku yang harus keluar dari rumah." ucap Reza kemudian dia keluar dari ruangan papanya dengan hati penuh kekecewaan.
Sementara Rino masih bingung apa yang harus ia lakukan. Dia menyayangi kedua anaknya dengan kasih sayang yang sama. Dia juga paham sakit hati anak pertamanya selama ini. Tapi dia juga tidak tega dengan anak keduanya. Itu tidak adil bagi Shaka.
*Di ruangan Reza.*
Setelah kembali ke ruangannya. Reza merasa sangat kesal. Bahkan sampai saat ini papanya masih saja menyayangi Shaka. "Si*l, apa sih hebatnya anak itu?" gumamnya dengan kesal.
"Dia tak lebih dari seorang perusak kebahagiaan orang lain, seperti ibunya."
Reza kembali teringat akan masa kecilnya sebelum kehadiran Shaka. Ia memiliki keluarga yang utuh dan bahagia. Dia bisa melihat betapa papanya sangat menyayangi mamanya. Dan dia benar-benar merasakan kebahagiaan yang tiada tara.
Sampai suatu hari, papanya membawa Shaka yang masih berumur setahun ke rumah. Dan mengatakan jika Shaka adalah adik tirinya. Tentu saja itu merupakan pukulan keras untuk Reza. Dia yang berumur 11 tahun saat itu sudah tahu apa itu adik tiri. Tak lama dari itu, mamanya jatuh sakit dan sebulan kemudian meninggal.
Reza benar-benar marah. Dan ia selalu menyalahkan Shaka atas kematian mamanya. Sampai sekarang dia sangat membenci Shaka.
Klik.
Pintu rumah Aiko terbuka. Masuk seorang gadis yang merupakan teman serumah Aiko. Dengan wajah kusut ia masuk dan langsung melempar tubuhnya ke sofa. "Hari ini capek banget.." keluhnya. Hari ini ia harus kerja lembur karena harus menyelesaikan pekerjaannya.
"Udah pulang? Nih aku bikinin teh!" Aiko menyodorkan gelas yang ia bawa kepada Nayla, teman serumahnya.
"Thank you.." Nayla segera menyeruput minuman hangat tersebut. Dia benar-benar merasa haus dan capek.
"Aku capek banget. Ish, kurang ajar emang tuh si bos baru.
"Bos baru?"
"Em.." Nayla dengan cepat menganggukan kepalanya.
"Di hotel ada bos baru, katanya anak pemilik hotel. Dia tuh rese banget. Kita semua dimarahi dan bahkan dia memecat koki baru dan beberapa karyawan hotel. Memaksa kita untuk lembur. Ih nyebelin banget.." Nayla merasa sangat kesal dengan bos barunya tersebut. Selama ini, dia memang tidak pernah lembur. Jadi dia merasa kesal karena ulah bos barunya tersebut.
"Lagian kenapa sih harus di rombak? Orang hotel itu udah hampir bangkrut.." kata Nayla lagi.
"Huss jangan gitu. Kalau bangkrut, kamu mau kerja dimana? Cari pekerjaan sekarang susah tahu." sahut Aiko. Ia sudah merasakan betapa sulitnya mencari pekerjaan.
"Iya sih.. Oh ya, gimana? Kamu udah dapat pekerjaan?" Aiko menggelengkan kepalanya sembari tersenyum pahit.
"Ah yang sabar.." Nayla memeluk sahabatnya itu.
"Oh ya, kamu coba lamar di hotel tempatku kerja aja!" Nayla baru ingat kalau hotel tempatnya kerja ada lowongan. Dan kebetulan bos barunya juga mencari karyawan baru.
"Tempat kamu ada lowongan?" Nayla mengangggukan kepalanya dengan cepat.
"Tapi nggak tahu di tempatkan di bagian apa.."
"Nggak masalah, yang penting aku dapat pekerjaan dulu." Aiko mulai bersemangat. Akhirnya ia akan mendapat pekerjaan. Ia pun merasa lega.
"Oke, besok bawa lamaran kamu! Ikut aku ke hotel!" dengan semangat Aiko mengganggukan kepalanya.
****
Keesokan harinya.
Pagi-pagi sekali Aiko sudah bangun dan bersiap. Saking senangnya ia akan mendapat pekerjaan baru. Pasalnya sudah seminggu ia menganggur. Aiko berdiri di depan cermin dengan tersenyum bahagia. Senyuman manis terlihat begitu jelas. "Aku yakin aku akan dapat pekerjaan. Setidaknya agar tidak membebani Nayla terus-terusan." gumam Aiko.
"Nay, ayo bangun!" Aiko membangunkan Nayla yang masih tidur.
"Masih jam segini kenapa udah ribut sih, Ai.." gerutu Nayla yang masih mengantuk. Ia masih menguap berkali-kali.
Klik.
Pintu rumah itu terbuka. Masuk seorang wanita berpakaian rapi. Dia menatap Aiko yang berdandan rapi. Ia bahkan memutari Aiko berkali-kali. Seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. "Rapi amat neng? Mau kemana?" tanya Lala, salah satu sahabat Aiko selain Nayla.
Dulunya rumah itu tempat tinggal mereka bertiga. Namun Lala sekarang tinggal bersama suaminya. Namun, meskipun sudah berkeluarga, Lala masih sering main ke rumah tersebut.
"Cari kerja dong. Doain aku ke terima yak!" jawab Aiko penuh semangat.
Lala melihat jam tangannya. Masih pagi. "Jam segini?" Lala terheran, karena bahkan Nayla masih tidur.
"Bukannya kemarin kamu bilang mau istirahat karena capek nggak dapet-dapet pekerjaan?"
Kemarin Aiko memang mengirim pesan seperti itu ke Lala. Karena mungkin saking frustasinya Aiko kemarin sebelum Nayla mengajaknya bekerja di tempat yang sama dengannya bekerja.
"Iya sih. Tapi kata Nayla ada lowongan di hotel tempat Nayla kerja. Makanya doain supaya aku ke terima!" kata Aiko.
"Kamu dari mana? Anterin Chika ke sekolah?" tanya Aiko.
"Hmm.. Sekalian anter sarapan buat kamu dan Nayla." Lala mengangkat bungkusan yang ia bawa.
"Ahh maacih.. Tahu aja kalau aku lagi bokek.." Aiko menerima bungkusan itu dengan senang.
Tak lama, Nayla pun bangun. Ia melihat Aiko dan Lala sedang mengobrol sembari makan. Ia pun segera beranjak dan ikut makan bersama kedua sahabatnya. "Tau aja kalau tanggal tua.." ucap Nayla sembari memasukan makanan ke dalam mulutnya.
"Tadi masak banyak tapi nggak habis, terus aku keinget kalian berdua, ya udah aku bawa sekalian anter Chika sekolah." Lala menjelaskan. Padahal sebenarnya ia memang sengaja masak banyak untuk kedua sahabatnya.
"Emang di hotel Moonlight ada lowongan? Bukannya hotel itu udah mau bangkrut?" Lala masih penasaran.
"Hmm... Bos baru mau buat Moonlight ramai lagi katanya."
Selesai sarapan, Nayla segera mandi dan bersiap berangkat kerja. Ketiga wanita tersebut berangkat bersama, meskipun mereka tidak sama tempat kerjanya. Lala bekerja di sebuah toko tas, sementara Nayla menjadi resepsionis di hotel Moonlight. Tapi jarak antara toko tempat Lala bekerja dengan Hotel Moonlight tidak terlalu jauh dan searah juga.
"Tunggu disini dulu!" Nayla meminta Aiko untuk menunggu dirinya. Ia kemudian pergi menemui wakil direktur untuk menyerahkan lamaran Aiko.
"Dia mau kerja jadi apa aja." kata Nayla kepada wakil direktur. Wakil direktur tersebut sudah lama bekerja di hotel tersebut. Begitu juga Nayla, jadi mereka cukup dekat dan Nayla tidak sungkan.
Wakil direktur bernama Fahri tersebut menganggukan kepalanya sembari menerima lamaran milik Aiko. "Aku serahin ke bos dulu.." katanya.
"Kalau langsung interview, orangnya ada kok, nunggu di depan." kata Nayla dengan senang.
Fahri kembali hanya menganggukan kepalanya. Kemudian ia masuk ke dalam ruangan Shaka. Meletakan lamaran Aiko di mejanya.
Setengah jam kemudian. Seorang pemuda masuk ke dalam hotel dengan langkah yang gagah. Sayangnya, Aiko hanya melihat punggungnya saja. Karena dia sedang mainan handphone. "Dia siapa?" tanyanya hanya dengan gerakan mulut.
"Bos.." jawab Nayla juga dengan gerakan mulut.
Aiko pun melongo. Dari perawakannya, bos itu terlihat tampan dan sepertinya masih muda. "Oh..." Aiko menganggukan kepalanya.
Tak lama kemudian, Fahri menemui Nayla dan mengatakan jika bos mereka ingin menemui Aiko, si pelamar pekerjaan. Nayla yang merasa senang langsung menarik Aiko yang menunggu di lobbi. "Ini Aiko temen aku. Tolong ya pak Fahri?!" kata Nayla dengan maksud yang jelas.
Fahri lalu membawa Aiko ke ruangan Shaka. Langkah kecil itu penuh semangat, senyuman terus mengembang di wajah manisnya. Hembusan nafasnya mulai tenang dan tentu saja ia merasa senang karena pada akhirnya dia akan mendapat pekerjaan. Sehingga ia tak perlu merepotkan teman-temannya.
Tok. Tok. Tok.
Setelah mengetuk pintu tiga kali. Fahri langsung masuk ke dalam ruangan tersebut. "Ini yang ingin bekerja di hotel kita pak." kata Fahri.
"Apa niat kamu bekerja di hotel ini?" tanya Shaka. Namun anehnya, Shaka tidak menampakan wajahnya, dia membelakangi Aiko dan juga Fahri.
"Tidak ada niat lain pak, hanya ingin bekerja mencari uang." jawaban yang realitis dari Aiko. Tujuan bekerja kan memang untuk mencari uang.
"Kamu pernah menjadi assisten pribadi?"
"Iya.." awalnya Aiko sangat antusias, namun melihat kelakuan Shaka yang terus bicara tapi membelakangi dirinya. Membuat Aiko menjadi kesal. Dia menganggap Shaka tidak sopan.
"Berapa lama?"
"Sekitar satu setengah tahun."
"Kalau gitu, kamu jadi assisten pribadi aku mulai sekarang. Silahkan ikut Fahri untuk menanda tangani kontrak!" mata Aiko terbelalak. Ia malah bengong karena diterima kerja dengan begitu mudah. Padahal selama seminggu kemarin, ia sangat kesulitan mencari pekerjaan.
"Bapak serius?"
"Ya. Apa aku batalkan aja?"
" Jangan pak!!" spontan Aiko berseru.
"Terima kasih pak. Jadi kapan saya mulai kerja?"
"Besok."
Aiko benar-benar merasa bahagia. Ia kemudian mengikuti Fahri untuk menanda tangani surat kontrak kerja. Ia bahkan melupakan sikap tak sopan Shaka begitu saja. Yang paling penting ia keterima kerja.
Begitu Aiko keluar dari ruangannya. Shaka mulai memutar kursinya. Wajahnya nampak ceria dan berseri. Entah apa yang membuatnya begitu bahagia.
Aiko yang merasa senang karena diterima kerja mengajak teman-temannya untuk merayakannya. Ia mengajak Nayla dan Lala makan-makan di sebuah restoran biasa, tempat mereka sering makan dulu. "Maaf ya, aku cuma bisa traktir kalian di tempat ini.." kata Aiko.
"Nggak apa-apa. Sebenarnya kamu nggak perlu repot-repot traktir kita segala." ucap Nayla.
"Nggak apa. Anggap aja ucapan terima kasihku karena kamu udah bantu cariin kerja buat aku."
"Walau sebenarnya aku agak kesal dengan bos kamu itu. Nggak sopan banget, masa dia sama sekali nggak mau menghadap aku.." ucap Aiko dengan kesal.
"Emang nyebelin, tapi ganteng.." Aiko memutar bola matanya mendengar perkataan Nayla.
"Selamat ya Ai, tapi kamu hebat, bisa langsung jadi assisten pribadi bos.." sahut Lala.
"Hah.. Semoga aku kuat ngadepi bos yang kayaknya nyebelin itu.." Aiko menghela nafas. Namun, meskipun begitu, ia tetap merasa sangat senang karena bisa bekerja kembali.
"Bilangin ke Chika, kalau aku udah gajian, aku ajak dia main ke Mall!" kata Aiko kepada Lala.
Lala hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya. Ia tahu seperti apa rasa sayang Aiko dan Nayla terhadap anak perempuannya. Namun, Lala juga tidak mau membebani kedua sahabatnya. Yang paling penting, Aiko dan Nayla dapat pekerjaan yang layak.
"Suami kamu masih pulang malam terus?" tanya Nayla.
Seketika Lala terdiam. Tatapannya menjadi kosong dan bibirnya mengatup. Hanya anggukan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Nayla. Ia teringat beberapa hari yang lalu. Dimana dia dan suaminya harus bersitegang karena suami Lala yang sering pulang malam.
*Flashback*
Pukul 23.00 Lala masih belum bisa tidur dengan nyenyak. Ia melihat jam dan suaminya belum juga pulang. Lala merasa haus, ia pergi ke dapur untuk mengambil minum. Saat ia hendak kembali ke kamar. Ia mendengar seseorang menekan kata sandi di pintu rumahnya.
Klik.
Pintu terbuka dan suaminya masuk dengan keadaan berantakan. Tentu saja penampilan tersebut membuat Lala terkejut. Ia mendekati suaminya bermaksud untuk bertanya. "Kamu darimana, mas? Kenapa penampilan kamu kayak gini?" tanya Lala penasaran.
"Dari kantor lah, emang dari mana lagi?" jawab suami Lala dengan sewot.
Lala tak tahu apa yang membuat suaminya marah. Bukankah pertanyaan seperti itu wajar di tanyakan kepada suami yang pulang terlambat. Namun, Lala masih menahan amarahnya. "Aku siapin air hangat dulu buat mandi.." kata Lala dengan lembut.
"Tunggu!" suaminya menahan tangan Lala.
"Tadi kamu marahin Sinta? Kenapa kamu kejam ke adik aku?" Lala yang awalnya tidak mau ribut tapi situasi menjadi panas karena omelan suami Lala.
"Iya aku marahin Sinta karena dia udah keterlaluan. Dia seenaknya pakai barang-barang aku, berantakin barang-barang aku, aku ini kakak iparnya-"
"Harusnya kamu maklum, Sinta masih muda, dia ingin berpenampilan modis sama kayak kamu." suami Lala justru membentak Lala. Dia tidak terima adiknya dimarahi oleh Lala karena telah berantakin barang-barang milik Lala.
"Kalau gitu suruh calon suaminya beliin! Katanya calon suaminya anak orang kaya.." Lala semakin murka karena bentakan suaminya.
"Kamu..." suami Lala mengangkat tangannya hendak memukul Lala. Namun, Lala sama sekali tidak takut. Dia bahkan maju untuk menantang suaminya. Apakah suaminya akan berani memukulnya.
Semenjak saat itu, suami Lala sering pulang malam. Dan Lala sering mendapat tatapan sinis dari adik ipar dan juga ibu mertuanya.
*ON*
Aiko meraih tangan Lala. Ia dapat melihat kesedihan dari raut wajah Lala. "Jangan terlalu dipikirin! Yang penting Chika sehat dan baik-baik saja." ucap Aiko.
Dulu, sebelum Lala menikah dengan suaminya. Nayla sudah memperingati jika suami Lala itu bukanlah lelaki yang baik. Karena Nayla yang lebih dulu mengenal Lala dibanding Aiko. Tapi pada saat itu Lala berkeyakinan jika ia bisa merubah suaminya.
Lala tersenyum kecil sembari menganggukan kepalanya. Ia berterima kasih untuk support yang Aiko dan Nayla berikan.
*Di Apartemen kecil.*
Lala pulang dengan perasaan senang. Ia melihat anaknya sedang belajar. Namun, rumah nampak berantakan. Mertua dan adik iparnya sedang asyik nonton tivi dan makan camilan. Sementara bungkus camilan mereka buang sembarangan.
Seketika mood Lala berubah. Dengan wajah kesal ia memunguti sampah tersebut. "Ma, Sin, kalau makan bisa nggak dikumpulin dulu kotorannya?" tanya Lala menekan amarah di dadanya.
"Apaan sih kak, apa-apa aku terus yang dimarahin." Sinta bukannya sadar malah marah ke Lala.
"Iya apaan sih? Tinggal disapu aja udah beres." sahut mama mertuanya. Ia juga memarahi Lala.
"Kalau gitu silahkan lakukan sendiri!" Lala menyerahkan sapu yang ia pegang ke adik ipar dan juga mama mertuanya.
"Sekalian piring kotor di dapur kalian bersihkan!" imbuh Lala yang mulai tak bisa menahan amarahnya.
"Kamu.." mama mertuanya mulai marah. Bahkan ia hendak memukul Lala.
"Nenek nggak boleh sakiti mama!" namun Chika berdiri di depan mamanya untuk melindunginya. Ia tidak membiarkan siapapun menyakiti mamanya.
"Nenek dan tante kan udah makan, seharusnya kalian bersihkan piring kalian!" seru Chika. Meskipun ia baru berusia 6 tahun. Tapi sepertinya dia muak dengan perilaku nenek dan tantenya yang memperlakukan mamanya seenaknya sendiri.
"Kalau udah selesai, nenek dan tante pulang saja ke rumah!" Chika kemudian menarik tangan mamanya masuk ke dalam kamar. Ia memeluk mamanya cukup lama.
"Nak, kamu nggak boleh gitu ya sama nenek dan tante!" Lala memperingati anaknya dengan kata-kata yang lembut dan halus.
"Nenek itu kan mamanya papa, tante Sinta adiknya papa, seharusnya kamu lebih hormat ke mereka.." Lala mengelus rambut anaknya dengan lembut. Sesekali ia mengecup puncak kepala anaknya.
"Tapi makasih ya, karena kamu udah belain mama. Anak mama emang paling the best.." tak lupa Lala memberi sanjungan untuk anaknya. Supaya anaknya tidak merasa disalahkan.
Chika menatap mamanya sembari tersenyum kecil. Ia kemudian semakin erat memeluk mamanya. Lalu Lala meminta Chika untuk meminta maaf kepada nenek dan tantenya.
Chika keluar dari kamar. Ia melihat nenek dan tantenya baru selesai mencuci piring. Ia kemudian mendekat dengan langkah berani. "Maafin aku ya nek, tante.." katanya pelan.
Seketika nenek dan tantenya menatap Chika dengan penuh haru. "Nggak apa sayang. Nenek tahu pasti mama kamu kan yang ajarin kamu supaya berani sama nenek dan tante? Mama kamu bener-bener.." ucap neneknya Chika.
"Stop nenek! Mama nggak pernah ajarin aku buat berani sama nenek dan tante. Mama itu baik.." Chika merasa terluka dengan perkataan neneknya. Ia kembali berlari ke kamar dengan hati yang kecewa.
"Chika..." seru neneknya. Namun Chika terus berlari.
"Puas kamu udah bikin Chika kecewa ke mama?" justru Lala yang kena omel ibu mertuanya.
"Harusnya mama mikir, kenapa Chika bisa marah. Jangan bisanya salahin aku aja.." jawab Lala mulai berani. Selama bertahun-tahun ia diam. Kini, Lala mulai berani melawan.
"Mending mama dan Sinta pulang aja! Aku capek mau istirahat." kata Lala membuat adik ipar dan mama mertuanya tak percaya jika Lala berani melawan.
Bukan tidak berani. Hanya saja lebih menahan diri untuk bersabar. Tapi, jika kesabaran tak dihargai. Satu kata, yaitu lawan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!