“Kamu tahu, nduk… mereka menyita semuanya! Ruko, rumah ibumu, rumah bapakmu, tanah yang di Sukabumi, mobil tiga-tiganya diambil! Semua disita Bank! Semua dijaminkan untuk pinjaman hutang bapakmu!” Seru Bude Mini.
“Memangnya bapak-ibu tidak membawa kasusnya ke pengadilan Bude? Kan bisa mengajukan pailit!”
“Mereka kalah di pengadilan, padahal pinjamannya untuk proyek perumahan di Bekasi itu!”
“Ini masalahnya dimana Bude? Memang rumahnya nggak ada yang laku?!”
“Karena katanya dibangun di tanah sengketa, jadi semua customer membatalkan transaksinya!”
“Itu kan tanah sudah dibeli bapak, Bude!”
“Nduk…” Pakde Hendro menarik lengan Adeline agar menjauh dari semua saudara yang sedang dirundung duka. Bapak dan ibu Adeline bunuh diri meminum racun hama. Adeline langsung pulang dari fashion show nya di Hong Kong saat dikabari. Adik-adik Adeline, semua ada 3 orang, masih usia sekolah, hanya bisa terisak kebingungan setelah orang tua mereka tiada.
“Bagaimana ini Pakde? Apa duduk masalah sebenarnya?!” Adeline kebingungan mendesak Pakde Hendro agar menceritakan semuanya tanpa ada yang disembunyikan. Pakdenya itu berpangkat AKP, ia menjadi personel di Polisi Resor yang berjarak sekitar 40km dari rumah Adeline. Sudah pasti Pakde Hendro mengetahui masalah yang sebenarnya lewat penyidik.
“Bapak dan ibumu itu… cari masalah dengan Atmorajasa.”
Adeline mengernyit, merasa sangat kebingungan. “Apa hubungan Atmorajasa dengan bapak ibuku?!”
“Tanah itu… yang di bangun perumahan kavling di Bekasi, itu sebenarnya milik Atmorajasa. BPN sudah membuktikan dokumen aslinya. Ada sekitar 150 hektar, dibeli tahun 1980 oleh Atmorajasa. Tapi memang tidak diutak-atik, dibiarkan kosong begitu saja sampai di atasnya dibangun pasar tradisional oleh warga kampung. Dan ada oknum nakal menjual tanah itu ke bapak ibumu. Bapak ibumu akhirnya ingin membangun proyek perumahan kavling di atasnya. Biaya untuk pembangunan perumahan sekitar 120 miliar dan itu lokasi strategis. Makanya mereka berani pinjam bank untuk membangun proyek itu. Masalahnya, bapak ibumu tidak sepenuhnya jujur ke bank.”
“Bagaimana seharusnya?!”
“Seharusnya Nduk, ini setahu Pakde ya, proses yang direkomendasikan itu, jaminkanlah tanah Bekasi itu ke Bank. Lalu setelah jaminan selesai diacc Bank, bangunlah rumah kavling untuk dijual di atasnya. Dan dari setiap rumah yang terjual, kurangilah hutangnya. Positifnya, Bank akan membantu proses legalisasinya beserta pemeriksaannya ke BPN apakah tanah itu sah atau tidak. Dan kalian tidak kehilangan harta pribadi seandainya ada kekhilafan.”
“Tapi? Apa yang terjadi?”
Pakde Hendro pun menggelengkan kepalanya. “Bapak ibumu sepertinya ingin pinjaman yang lebih besar. Jadi mereka nekat mengagunkan semua aset pribadi ke bank. Sementara semua tabungan bapakmu, ibumu, habis buat beli tanah Bekasi itu, tampaknya mafia tanah yang jual kerjasama dengan notaris dagelan. Barulah untuk pembangunan per kavlingnya, mereka pinjam bank pakai jaminan aset pribadi. Lah… tiba-tiba saat pembangunan rumah contoh, brosur sudah disebar, datang perwakilan dari Atmorajasa mengklaim kalau itu tanah mereka.”
“Ya Tuhan…” lutut Adeline langsung lemas saat itu juga.
“Orang BPN juga datang, pengacara mereka datang, aparat diturunkan, bahkan sampai Kejaksaan dan wakil dari Komisi Yudisial juga datang.” Kata Pakde Hendro. “Ada oknum PPAT dan BPN yang berkongsi sebagai mafia tanah saat bapakmu membelinya. Tapi bapak ibumu membeli tanah itu tanpa sepengetahuan kami, Nduk. Kami bisa apa. Semua sudah habis…”
**
Kejadian itu 5 tahun yang lalu.
5 tahun yang dilalui Adeline dengan pahit. Sampai ia begitu dendamnya ke nama itu. Atmorajasa.
Adeline saat kematian Bapak Ibunya berusia 19 tahun. Kini ia sebagai tulang punggung harus membiayai adik-adiknya.
Ia tidak meneruskan pekerjaannya sebagai model internasional, karena semua itu butuh biaya. Tes masuknya tidak gratis, masuk ke agency harus bayar iuran atau dipotong dari honor. Saingannya gila, ribuan dan dari berbagai negara dengan kualitas high level. Adeline sudah pasti tidak bisa menggaet sponsor kecuali ia dapat dukungan financial dari bapaknya seperti dulu. Ia harus mengubur semua mimpinya berlenggak-lenggok di atas catwalk seperti Gigi Hadid. Waktu untuk berada dipuncak terlalu lama, Adeline butuh uang instan.
Mau jadi influencer, yang ia tahu hanya berdandan dan berpakaian bagus. Tapi make up butuh biaya, apalagi pakaian dan tas branded. Dan yang lebih parah, ia hanya tamatan SMA. Mau kerja kantoran harus kuliah dulu. Saat ia bekerja, ia kerap mendapatkan pelecehan karena kecantikannya. Jadi pikirnya ya sekalian saja kecemplung di dunia hitam.
Jadi yah… akhirnya ia berkutat di dunia ini. Dunia… Ani-ani. Atau Sugar Baby, atau escort, atau bahasa halusnya, pendamping bayaran.
Sekali sewa ia bisa dapat 5-6 juta. Karena memang Adeline sangat cantik dan kualitas hotel bintang 5 katanya.
Masalahnya, adiknya semua butuh uang, Adeline mau melanjutkan kuliah tapi tidak ada waktu. Semua dana ia habiskan untuk adik-adiknya. Biaya kebutuhan rumah, biaya sekolah, biaya kuliah adiknya, segala pengeluaran mereka sehari-hari, apalagi Adeline berusaha keras menjaga gengsi keluarga. Agar adik-adiknya tidak dibully di sekolah, ia berusaha sekuat tenaga agar semua dapat barang seperti teman-teman mereka.
Adeline mengaku ke keluarganya kalau ia meneruskan kegiatan modellingnya.
“Hey, denger nih,” Sang Mami membacakan berita dari ponselnya. “berita yang gue dapet dari grup, katanya Atmorajasa buka lowongan jadi ART. Sebulan sekitar 10 juta tergantung jobdesk.”
“Heh gilak!” Seru Adeline kaget. “10 jeti kerjanya ngapain aja? Gue sehari 3 orang aja nggak sampe segitu!”
“Ya mungkin sekalian jadi agen rahasia?”
“Agen rahasia macam apa mih?!”
“Ya diatas ranjang hahahaha!!”
“Ck ah!” Desis Adeline emosi. Ia mual mendengar nama itu. Atmorajasa.
Lebih ke sedih, sebenarnya.
Ia benci kenapa akhir-akhir ini nama keluarga itu begitu disorot seakan-akan meledeknya.
Berbagai proyek yang ditangani Atmorajasa berakhir sukses setelah si anak sulung menggantikan posisi sang bapak.
Tidak seharusnya mereka menari diatas penderitaanku, di atas jenazah bapak ibuku. Tidak seharusnya! Geram Adeline dalam hati.
“Mih, lo tuh harus nyariin gue klien yang pejabat dong! Masa pemasukan gue setara UMR sih sekali sewa? Itu banyak yang jadi simpenan 20 juta juga dapet tuh!” Omel Adeline.
“Lu tuh kalo ngomong dipikir dulu dong Neng! Kualitas kayak lo 50 juta juga dapet, tapi lo nggak bisa dapet klien lain, dan biasanya lo dipantek tahunan sama orang yang sama! Mereka mana mau pake ganti-ganti. Itu proses pendekatannya harus sabar. Lah lo kan gue transfer bayaran telat semenit aja udah mencak-mencak! Lo pikir cuma lo yang butuh duit?!” Si Mamih menoyor dahi Adeline.
Tapi Adeline nyatanya begitu terpaku dengan berita di ponsel Mamih.
Atmorajasa…
Butuh ART baru.
Spesifikasi… minimal D3 perhotelan, penampilan menarik, bisa bekerjasama dalam tim, cekatan, bisa bekerja di bawah tekanan, memiliki sertifikat bla bla bla banyak daftarnya. Ada toefl juga minimal 450.
Bukankah…
Itu peluang yang menarik agar Adeline bisa masuk ke sana.
Dan…
Membunuh Kepala Keluarga Atmorajasa?
“Hm…” Adeline pun tersenyum licik.
**
Sudah hampir 1 bulan, Adeline mengamati rumah besar tempat keluarga Atmorajasa tinggal.
Setiap selesai ‘bekerja’ ia menyempatkan diri mengintai.
Ada beberapa wanita berpakaian rapi yang mondar-mandir masuk ke dalam gerbang besar itu. Tapi mereka selalu keluar dari sana dengan wajah muram.
Bisa jadi mereka semua adalah para pelamar yang tidak lulus tes.
Menjelang malam biasanya ada orang dari dalam rumah itu yang membuang banyak map ke tempat sampah.
Adeline mengambil dan mempelajari dokumen-dokumen itu.
Ah, jadi harus bikin linkedin, begini rupanya yang namanya sertifikat dari sekolah kepribadian, ini toh yang namanya ijazah, ini toh yang namanya transkip nilai. Oh, di sekolah perhotelan tuh kegiatannya begini.
Adeline belajar banyak dari dokumen-dokumen itu.
Dan yang penting…
Adeline jadi tahu bagaimana cara memalsukan dokumen.
Tapi biasanya, kalau dari sekian banyak orang tidak ada yang diterima padahal CV mereka fantastis, jadi ada penilai khusus tersendiri, atau si HRD menerima banyak berita yang tidak berkenan dari si pelamar.
Jadi Adeline membuat semacam akun fake, berisi kegiatan palsunya yang ‘lurus-lurus saja’, seakan dia mahasiswa. Dan kini tinggal mencari seorang pelamar yang kira-kira posturnya mirip dengannya, tapi si pelamar jangan dulu sampai masuk ke gerbang.
Kenapa?
Karena…
Hehe.
**
Di hari ke 43, datanglah seorang pelamar dengan postur tinggi, rambut panjang, Tampang rada bule, yang turun dari ojek online.
Adeline merasa ini kesempatannya.
Ia dikasih peluang satu banding sejuta. Belum tentu ada kesempatan kedua!
Adeline langsung mendekatinya.
“Mbak! Mbak! Ssstt!!” Desis Adeline sambil melambaikan tangannya. Ia berada di samping starling.
Si wanita jelas menengok, dan mengernyit saat melihat Adeline melambaikan tangan padanya.
Melihat Adeline yang cantik dan berpakaian rapi, siapa pun tak berpikir kalau Adeline adalah penipu.
Disangka si perempuan, Adeline juga salah satu pelamar.
“Ya Mbak?!” tanya si wanita.
“Mau ngelamar jadi ART di sana ya?”
“Iya Mbak.”
“Wawancara yang shift siang? Aku yang shift pagi.” Adeline sengaja memancing si pelamar dengan mengatakan kalau ia shift pagi agar si pelamar percaya padanya.
“Iya Mbak, wawancaranya susah nggak?” Tanya si pelamar
“Aku baru dari sana, tapi langsung kabur!” sahut Adeline.
“Hah? Kenapa Mbak?!” Seru si wanita.
“Duh, saran saya jangan deh Mbak. Sayang masa depanmu Mbak!” Sahut Adeline.
“Ih… kenapa Mbaaak?”
“Pulang aja sana, masih banyak pekerjaan halal.”
“Hah?”
Si wanita pun tertarik dan menggoyang-goyangkan lengan Adeline. “Memang kenapa Mbak? Aku lulus tes administrasi, ini baru mau wawancara sama ownernya…”
Adeline nyinyir, “Ya sama. Aku aja kapok. Gila ya mereka dipikir semua wanita itu mau dibodohi dengan uang? Gaji nggak seberapa kok kerjaan kayak budak!”
“Hah?!” Si wanita pun berbisik, “Memang jobdesknya apa mbak?”
“Kita itu…” Adeline berbisik sok rahasia, “... mau dijadikan penghibur buat para bodyguardnya. Tes aku tuh disuruh poledance pakai tinyswimsuit. Kerja senin sampai sabtu, 24 jam harus tinggal di mess, kalau ada bodyguard yang butuh kita harus siap. Tapi paginya kita juga harus be-beres seisi rumah. Mending jadi selirnya si Boss masih ketiban peluang jadi sosialita, lah ini nggak!”
“Haaaahhhh??!” Jerit si pelamar.
“Jadi akhir-akhir ini tuh kerjaan si bodyguard buat ngawal si Boss Baru tuh banyak, katanya lagi banyak proyek yang harus diawasi Boss nya langsung. Jadi mereka akhir-akhir ini 24 jam mendampingi si Boss. Nah, banyak yang akhirnya jadi nggak fokus karena mereka kan juga butuh hiburan. Itulah kerjaan kita.”
“Ih!! Aku pulang aja!!” Seru si wanita calon pelamar.
Saat orang sudah dalam keadaan panik seperti itu, Adeline pun mencuri dokumen biodata dari si mbak-mbak polos. Si Mbak Pelamar langsung kabur saat ojek online yang dipesannya datang, tanpa pikir panjang tak sadar kalau data dirinya sudah berpindah tangan.
Adeline pun mempelajarinya sesaat, mengganti semua foto dengan foto dirinya, mengubah semua email menjadi miliknya, dan berencana masuk ke rumah itu menggunakan identitas palsu.
Tapi,
Adeline tidak langsung masuk.
Ia menunggu agak sore.
Karena biasanya, Kalau sudah sore, si pewawancara sudah capek duluan dan tidak terlalu teliti membaca CV.
**
Si Pewawancara... tampan luar biasa.
Adeline saja yang profesinya sebagai model pernah berlenggak lenggok di Paris, walau pun hanya fashion show dari desainer kecil lokal di Paris, merasa kalau pria di depannya ini tidak biasa. Padahal sudah ribuan model laki-laki yang dihadapinya. Manusia di depannya ini... berbeda.
Pria itu hanya mengenakan kemeja polo hitam dan celana cargo. Sepatunya juga sepatu kets biasa. Tapi Adeline bisa meihat otot lengannya tampak terlatih baik.
“Mbak Ade Putri,”
Adeline masih bengong mengamati si pria.
“Mbak,”
“Hah?!” Adeline langsung tersentak. “Mbak Ade Putri. Benar?” tanya pria itu lagi.
Siapa Ade Putri? Pikir Adeline. Lalu ia segera ingat kalau Ade Putri adalah nama wanita yang CVnya ia curi barusan. “Ah! Iya Pak!” sahut Adeline.
“Benar namanya itu? Atau saya salah sebut?”
Adeline segera mengibaskan tangannya. “Waaaah, maaf Pak saya lagi memperhatikan hal lain yang lebih menarik dari nama saya.”
“Apa itu?”
“Bapak dulunya model ya Pak? Sebagai orang yang sering magang keluar masuk hotel, saya juga pernah magang di kapal pesiar, saya belum pernah menemukan orang seganteng bapak ini loh. Padahal banyak turis berseliweran di sekitar saya.” Adeline berusaha mengalihkan perhatian dengan mengaitkan ke isi CV. Yang ia pelajari di CV curian itu memang yang namanya Ade Putri ini orangnya cukup aktif magang untuk berburu pengalaman kerja.
Kebetulan sekali namanya sama-sama ada Ade-nya.
“Mbak Ade bisa saja, saya bukan model kok. Saya dulu kerja jadi Tentara...” kata si bapak-bapak ganteng sambil menyeringai.
“TNI Pak?”
“Resign karena kaki saya tertembak waktu ditugaskan di Papua. Jadi sampai sekarang agak pincang, dan saya pikir saya akan kesulitan bekerja kalau tetap jadi tentara.”
“Terima kasih atas jerih payahnya ya Pak,” Adeline menunduk sedikit untuk memberi penghormatan. Ia memang paling jago kalau untuk urusan mengambil hati orang. “Semoga konflik di daerah saudara kita segera berakhir dengan baik. Kasihan saudara-saudara Papua kita setiap harinya selalu was-was.”
Pak Ganteng melipat kedua lengannya di depan dadanya sambil bersandar dan bilang “Aamiin.” Tapi wajahnya berubah muram. Tampaknya ia teringat bagaimana keadaan di Papua saat ia ditugaskan. Dan melihat dari raut wajahnya, jelas bukan pengalaman menyenangkan.
“Saya percaya orang-orang patriotis seperti bapak jumlahnya masih banyak. Pasti berat meninggalkan kesatuan ya Pak, tapi bagaimana pun hidup kita harus tetap berjalan. Kita harus semangat!” sahut Adeline dengan penuh kesungguhan. Tapi ia memang mengucapkan hal ini dari lubuk hati yang paling dalam.
Si Pak Ganteng pun tersenyum. “Terima kasih.” Lalu ia pun kembali mencondongkan tubuhnya dan membaca CV Adeline. “Kamu anak tunggal ya, bapak kamu kerja apa setelah pensiun?”
Adeline agak berpikir, lalu ia segera ingat kalau bapaknya Ade Putri ini pensiunan sebuah BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur. Apa yang biasanya dikerjakan seorang pensiunan ya? Ia harus segera mengarang indah. “Eh, sibuk sama organisasi pensiunnya, tiap hari nongkrong di kantor bareng sesama pensiunan dari kantornya. Saya lupa nama perhimpunannya, kayaknya terakhir dia ngurusin pergantian jabatan.”
Pak Ganteng melirik Adeline sambil tersenyum kecil lalu kembali membaca biodata.
Adeline langsung salting, merasa ada yang salah dengan kalimatnya. Sepertinya pria di depannya ini tahu banyak hal dan bukan sekedar pewawancara biasa. Dan yang pasti, dia bukan ART di sini. Bisa jadi ia adalah si pemilik rumah kalau melihat dari ketegasan suaranya dan postur tubuhnya yang penuh kharisma.
“Bapak ini, posisinya di sini apa ya? Kalau saya boleh tahu, Kalau nggak boleh ya nggak apa tak dijawab.” Adeline berusaha mengalihkan perhatian.
“Oh kita belum berkenalan ya. Nama saya Dewa. Saya Kepala Bodyguard di sini. Saya menggantikan Bu Siti, Kepala ART, karena kamu datang agak sore sementara dia ada urusan keluarga.”
Adeline tertegun.
Pantas kok sepertinya dari tadi ada perasaan diintimidasi. Ternyata dia kepala Bodyguard di sini. Membaca mimik muka dan sikap seseorang pasti sudah merupakan bagian dari kegiatan si Dewa ini.
Pupus sudah harapan Adeline untuk bisa mengelabui si Kepala Bodyguard. Dipikirnya pewawancara akan lelah saat ia datang mepet agak sore, nyatanya malah segar bugar ganteng dengan stamina berapi-api.
“Saya merasa bangga bisa diwawancara oleh orang dengan jabatan seperti Pak Dewa, karena pasti tidak ada kandidat ART lain yang bertemu dengan bapak kan?” Adeline berusaha memanipulasi keadaan.
Dewa mengangguk. “Biasanya wawancara dengan Bu Siti.” Pria itu meletakkan kedua tangannya yang disatukan di bawah dagunya sambil memperhatikan Adeline. “Yang ini saya ambil alih karena saya merasa ada keanehan.”
Deg!
Adeline langsung berhenti bernafas.
Ia tegang.
Dewa Kepala Bodyguard. Bisa saja dia melihat dari CCTV mengenai kelakuan Adeline yang nyeleneh.
CCTV di rumah ini tak terhitung, dan mungkin saja ada beberapa yang mengarah ke starling di seberang sana.
Kenapa Adeline tidak perkirakan hal ini sebelumnya?!
“Kenapa kamu tertarik jadi seorang ART dengan sertifikat kamu yang menggunung? Kamu itu bisa saja jadi manajer di sebuah perhotelan.” Tanya Dewa.
Rasanya jantung Adeline hampir mencelos. Ia pun bisa bernafas lega kembali.
“Ya, inilah langkah saya. Kalau dapat rekomendasi dari sini, saya bisa mudah masuk ke hotel bintang 5 manapun,” Adeline menyeringai. “Lagipula usia saya masih muda, pengalaman adalah guru terbaik. Lebih baik memulai dari bawah agar kita bisa jadi pemimpin yang bijak.”
“Hm... kadang, pemimpin yang bijak saja tidak cukup untuk memajukan perusahaan.”
“Itu sama dengan istilah ‘kebenaran tidak selalu menang tapi akan selalu benar’.”
Dewa pun terdiam sesaat mendengar Adeline.
“Wah... mbak-nya ini pemikirannya tidak cocok dengan usia ya.” Dewa menatap biodata Adeline, di sana kalau dihitung untuk tahun ini, usia Ade Putri ini sekitar 22 tahun. Lulus dari SMK Pariwisata Jurusan Perhotelan, D3 Perhotelan di Akademi Pariwisata, dia sudah magang di berbagai tempat, bahkan ikut kursus memasak segala.
“Mbak Ade, menurut kamu, kekurangan diri kamu apa?”
Pertanyaan menjebak. Pikir Adeline. Tapi ia sudah belajar mengenai hal ini.
“Saya pekerja keras.”
“Itu kekurangan diri kamu?”
“Iya, saya sering kelelahan sendiri gara-gara sifat saya yang itu. Kalau sudah ingin satu hal tercapai, saya akan menempuh apa pun rintangannya.”
“Hm...”
Lalu mereka terdiam beberapa saat.
Dewa menatap Adeline. Adeline hanya diam sambil menatap Dewa. Namun pria itu merasa Adeline tidak menatap dirinya. Tetapi sesuatu di awang-awang. Wanita di depannya ini memiliki satu tujuan terencana, dan sangat terobsesi dengan keberhasilan.
“Satu lagi pertanyaan, boleh?”
“Ya Pak?”
“Menurut kamu... kalau ada satu istri mendengar suaminya menyewa wanita di club untuk kebutuhan hasratnya, dan mereka terlibat transaksi namun tidak ada hati yang terlibat, si istri perlu marah atau tidak?”
“Apa hubungannya pertanyaan itu dengan pekerjaan saya?”
“Itu berhubungan dengan kondisi terdesak yang sering kali terjadi di sini. Saya ingin tahu bagaimana jawaban Mbak Ade... 3 detik dari sekarang.”
“3 detik?”
“Satu...” hitung Dewa.
“Lah!” seru Adeline.
“Dua...”
“Si istri tidak perlu marah, anggap saja wanita itu mesin pemuas nafsu.” Jawab Adeline cepat.
“Alasannya?” tanya Dewa.
”Dihitung satu jam juga kalau ditanya, si suami sudah lupa bagaimana tampang ani-ani yang berhubungan dengannya. Yang perlu diomeli oleh si istri itu malah kelakuan si suami yang nafsuan, nggak bisa nahan birahi kayak kucing. Tawarin Steril aja gimana? Biar agak kalem nggak crit di mana-mana.”
“Kamu itu ternyata feminis ya?”
“Ya bukan sih Pak, saya juga butuh cowok. Tapi ya saya sudah pernah berada di...” Adeline terdiam karena hampir keceplosan.
“Berada di...?” tanya Dewa penasaran.
“...Diiii... hotel, di sana banyak Ani-ani seliweran. Nggak jarang ada pertengkaran. Saya bisa ambil dari sana pelajaran hidupnya.” Dan Adeline pun menyeringai merasa menang. Padahal dia yang waktu itu jadi ani-aninya. Sampai sekarang tampang si Om saja dia tak ingat seperti apa. Yang ia ingat malah tampang bininya yang menjambaknya sekencang mungkin, sampai rambutnya rontok dan minta si Mamih mengeluarkan uang lebih untuk perawatan lanjutan.
“Hm...” gumam Dewa masih dengan wajah kalemnya yang memesona itu. Kenapa hidungnya bisa mancung sempurna sih? Terlalu cetar kalau untuk ukuran Tentara yang pekerjaannya di lapangan. Begitu pikir Adeline.
“Hehe.”
“Pengalaman kamu lumayan banyak juga.”
“Hehe.”
“Oke Mbak... Terima kasih atas waktunya ya, ditunggu saja kabar dari kami.” Kata Dewa selanjutnya sambil berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Adeline.
**
Dewa berjalan menelusuri lorong rumah mewah itu sambil menenteng map milik Adeline. Sesekali ia menatap ke arah keluar jendela untuk memeriksa beberapa hal .
Bu Siti, Kepala ART datang menuju ke arahnya sambil tergopoh-gopoh. “Pak Dewa,” sapanya. Ia belum mengerti kenapa Dewa memintanya untuk menyerahkan wawancara Ade Putri kepadanya. Padahal yang harusnya mewawancarai ART ya Bu Siti sebagai Kepala ART di sini.
“Besok, hubungi si Ade Putri ini, dia saya terima sebagai ART di sini.”
“Diterima Pak?!”
“Ya.”
Walau pun banyak pertanyaan, tapi Bu Siti merasa kalau ia tidak ingin bertanya ke Dewa. Wajah pria itu tegas dan ada suatu aura ‘tidak ingin diganggu’ yang menyelimuti dirinya. Kalau bisa, Bu Siti bahkan ingin tidak sering berurusan dengan si Dewa ini.
“Baik.” Hanya itu saja jawaban Bu Siti.
“Jadikan dia ART Pribadi untuk Pak Argan ya. Dia juga akan menangani Bu Rinjani.”
“Hah? Maksud Bapak, ART yang sekarang ditugaskan akan diganti dengan Ade Putri ini?”
“Ya.”
“Eh... hum...” Bu Siti mengernyit karena merasa aneh. Pak Argan adalah Boss Pak Dewa, sebagai putra sulung sekaligus pemilik rumah yang super sibuk, dia saat ini ditangani oleh 4 orang ART. Ditambah Bu Rinjani, adik Pak Argan, adalah wanita pendiam yang terserang anemia, jadi lebih sering di rumah. Kebutuhannya banyak dan harus selalu didampingi karena bisa tiba-tiba pingsan. Jadi beberapa ART ditugaskan untuk mengawasinya. Si Ade Putri akan menangani tugas 8 orang sekaligus.
“Jangan khawatir, saya akan mengawasinya secara khusus. Dia akan bekerja di bawah bimbingan saya. Kamu lakukan saja perintah saya.” Kata Dewa sambil masuk ke dalam ruangan Bodyguard.
Di sana, sedang ada pergantian shift dan istirahat, jadi ruangan itu sepi. Dewa memasuki ruangan pribadinya, lalu memeriksa layar CCTV yang terhubung ke komputer pribadinya.
Bibirnya tersungging senyum licik.
“Ade Putri?” desisnya pelan.
Di layar CCTV yang sedang dalam proses perekaman ke ponsel pribadi, terpampang adegan saat Adeline mencuri biodata Ade Putri di starling seberang.
“Atau... Adeline?” desis Dewa lagi.
Di ingatannya masih terbayang adegan saat ia bercinta dengan wanita itu. Sekitar 5 tahun lalu, saat ia dalam keadaan depresi karena tekanan dalam hidupnya. Ia memesan jasa wanita bayaran agar menemaninya menghabiskan malam. Saat itu yang diutus oleh Sang mamih adalah wanita yang sangat cantik, dan tentu saja mahal, bernama Adeline.
Saat Dewa mencoba menghubunginya kembali setelah itu, tapi katanya 'Sang Dewi' ini sudah keluar dari club, dan bisa saja bergabung ke ‘agency’ lain.
“Dewa...” seorang pria dengan setelan jas rapi masuk ke dalam ruangan Dewa tanpa mengetuk. Argan mendekati di saat video itu sudah sepenuhnya terekam dan Dewa telah menghapus adegan itu dari storage CCTV.
“Sudah siap?” tanya Dewa.
“Apa yang harus kukatakan ke klien kali ini?” tanya Argan sambil berusaha membetulkan dasinya.
“Katakan saja kalau kami akan mempertimbangkannya.” Kata Dewa sambil merangkai dasi Argan dan membersihkan debu di bahu pria itu. “Ingat, jangan ambil keputusan apa pun, walau pun tawarannya sangat menggiurkan. Aku akan menyelidikinya dulu.”
“Terserah kau saja.”
“Setidaknya kamu belajar merangkai dasi dong.”
“Di kesatuan tidak pernah diajarkan merangkai dasi.” Desis Argan meledek Dewa.
“Rasanya sama saja dengan merangkai tali-temali deh.” Balas Dewa.
“Itu Pramuka.”
“Hehe.” Kekeh Dewa. “Seorang Atmorajasa tidak bisa merangkai dasi, bagaimana bisa merangkai kata-kata mutiara?”
“Yang jelas, aku tidak biasa berbohong.” Sahut Argan.
Disclaimer untuk pembaca : cerita ini adalah kisah cinta kehidupan malam orang metropolitan. Dibutuhkan pikiran terbuka untuk memahami isi cerita. Dan mohon kebijakannya dalam membaca. Seluruh adegan ditujukan untuk hiburan semata dan tidak bermaksud merendahkan pihak manapun. Aku sebagai penulis tidak mencampur adukan kisah kali ini dengan religi, kutambahkan banyak adegan dewasa, dan ku usahakan sesedikit mungkin permasalahan bisnis, tidak seperti novelku yang lain.
Mohon pengertiannya, kalau tidak berkenan dipersilakan ke novel lain, soalnya banyak sekali novel bagus yang bisa dieksplor di platform ini malah sering nggak keangkat.
Terima kasih ya Sedulur.
Mari kita lanjuuuutttt…!
**
Malam itu Adeline berjalan dengan langkah gontai menuju club malam yang terletak di pinggir jalan utama kawasan Jakarta Selatan. Beberapa pria dengan dandanan rapi tersenyum padanya, Adeline tersenyum basa-basi tapi tetap menunjukkan aura ‘kalau mau dekat-dekat, bayar!’.
Adeline masuk lewat barisan VIP sambil merogoh tasnya, lalu mengeluarkan kartu club dan men-tab ke pagar besi mengkilat.
“Mbak Elin,” sapa security yang berjaga di sana.
“Mamih udah dateng?” Tanya Adeline.
“Belum Mbak, tapi dirimu kayaknya ada waiting list.”
“Duh, lagi capek banget nih. Maunya minum aja deh kali ini.” keluh Adeline.
“Yah, tahu gitu saya rekomen ke yang lain. Yang ini udah dititipin Mamih untuk ditangani oleh mbak Elin, soalnya.”
“Ya udah demi dirimu, gue terima yang rekomendasi lo aja ya Pak. Yang lain gue cancel.” Tujuan Adeline agar si sekuriti juga kebagian fee.
“Terbaik lah mbak Elin nih…!” Si sekuriti menyeringai.
Klien yang kali ini ditemuinya, katanya hanya ingin 'ditemani' sampai pagi. Seorang pria setengah etnis China, setengah etnis Eropa. Wajahnya biasa saja karena Adeline sudah terlanjur melihat Si Dewa, Kepala Bodyguard yang luar biasa tampan. Tapi si pria kliennya ini memiliki tubuh proporsional yang menawan. Gerakannya juga santai dan khas kalangan kelas atas, yang berwibawa, sopan, tapi terencana. Ia hanya sendirian malam ini, tanpa escort lain. Dan ia menyewa ruangan VIP yang cukup untuk 10 orang.
Tipe tamu yang seperti ini biasanya menginginkan privasi maksimal, seseorang yang penting, sangat menjaga nama baik. Di kehidupan nyata ia tipe setia, tapi kalau di atas ranjang bisa sangat nakal.
“Halo, selamat malam, maaf kalau menunggu lama ya.” Sapa Adeline sambil duduk di sebelah si pria.
Tampak pria itu tertegun menatap Adeline, lalu men-scanning penampilan wanita itu, dan akhirnya tidak berapa lama, senyum tipis pun tersungging. Matanya langsung berbinar senang.
“Nama saya Adeline, usia saya hampir 25 tahun. Bukan wanita karier dan bukan mahasiswa. Single bukan janda.”
Ini perkenalan standar, karena memang ada klien yang pilih-pilih. Ada yang seleranya suka cewek yang tampangnya ala-ala anak SMA tapi body selayaknya wanita dewasa, ada juga yang milih spesialisasi janda, ada yang merasa tertantang kalau dengan wanita karier, ada juga yang terobsesi dengan mahasiswa. Jadi salam pembuka seperti ini ada baiknya dilakukan sebelum klien merasa buang-buang uang. Karena kalau urusan tamu VIP di club ini, satu sesi-nya dihargai 5 juta’an kalau sekedar mengobrol. Kalau klien tak berkenan dengan profil si escort, bisa segera ganti orang. Daripada sudah mengobrol lama, tahu-tahu mood jadi down dan uang terbuang tanpa rasa puas.
Karena, ganti orang setelah setengah jam dianggap penambahan personel, jadi sama saja bayar 2 orang escort.
“Saya Ryan.” Sahut si Pria sambil menjabat tangan Adeline.
“Bukan dari Jombang kan?” tanya Adeline.
Si pria tertegun sambil mengernyit sesaat, lalu ia segera teringat kasus yang berhubungan dengan namanya dan asal tempatnya. “Amit-amiiit!” Serunya sambil tertawa.
Adeline berhasil mencairkan suasana di menit awal, suatu hal yang bagus, karena bisa berpengaruh sampai akhir pertemuan.
“Nama Ryan keren kok, biasanya dipakai oleh cowok Redflag sih. Tapi di club ini, kita semua suka cowok Red Flag, hihihi.”
“Bisa aja Mbak, nama kamu juga cantik sesuai denganmu, saya kaget loh melihat yang indo seperti kamu. Blasteran apa?”
“Entahlah, saya campur-campur sih, nggak pernah nanya juga, Mas. Atau saya panggil kokoh aja?”
“Panggil nama aja ya. Nama panggilan kamu apa?”
“Elin.” Adeline membuka botol kaca berisi air mineral dan menuangkannya ke gelas kristal. “Apa yang bisa aku bantu nih malam ini? Kamu baru ya ke club ini?”
“Aku direkomendasikan sama Bu Donita, katanya dia punya Kartu As di sini.”
“Oh, kalau gitu yang harusnya yang masuk ke sini bukan aku. Soalnya aku Kartu Queen. Tapi untungnya aku Queen Keriting sesuai bentuk body.”
“Merendah tapi meninggi. Kurasa kamu joker yang nyamar jadi Queen.” Desis Ryan.
“Dunia ini kacau, kalau orang tidak seperti Joker, akan ditindas.” Bisik Adeline sambil mengerling.
Ryan langsung menyukai Adeline. Menurutnya, wanita ini cerdas tidak seperti escort yang modal senyum dan nempel-nempel dada doang.
“Jadi, Ryan,” Adeline menyerahkan gelas air mineral ke depan Ryan. Sesi pertama, jangan mabuk dulu. Adeline ingin membuat Ryan santai, lebih terbuka, lalu melihat apakah cowok ini polos, bisa diporoti, atau pelit tapi menarik. “Apa yang membuat kamu mencari Kartu AS?”
“Butuh teman ngobrol aja, lagi banyak tekanan di pekerjaan.” kata Ryan. Ia menegak setengah gelas. Sepertinya ia memang kehausan.
“Posisi kamu di kantor?”
“Aku baru saja diangkat jadi Vice President.”
“Setara dengan wakil direktur utama dong ya? Pekerjaan sebanyak direktur utama, tapi saran jarang didengar. Lebih banyak dilangkahi, kecuali sudah pembagian porsi kerjaan dengan Dirut.”
“Aaah… kamu mengerti rupanya.”
Adeline menaikkan bahunya, “Tapi aku nggak begitu ngerti kenapa jabatan Vice itu ada. Kesannya seperti ingin memberi jabatan tapi si empunya sebenarnya dianggap belum siap. Dilimpahi karena dia anak dari orang yang berpengaruh di perusahaan.”
“Hm… begitu ya…” Ryan tertunduk.
Adeline men-skakmat dirinya. Sepertinya Ryan memang berada di posisi yang seperti diceritakan Adeline.
“Ryan…” Adeline membelai lengan pria itu. “Ini kesempatan kamu untuk menjegal lawan. Semua orang benci padamu, jadi bertindaklah seperti Joker. Kamu tidak perlu terlihat baik. Semakin jahat kamu, semakin kamu diakui.”
Ryan mengernyit sambil menatap Adeline. “Gitu?”
“Galak aja dulu, banyakin ngeles. Tapi tentu harus sesuai aturan perusahaan ya. No korup-korup, nanti kamu rugi sendiri. Tunjukkan siapa yang memegang kendali.” Adeline mulai melancarkan jurus 'ular'. Ini biasa digunakannya untuk membuat klien berpikiran kalau ia cerdas dan memahami dunia bisnis, jadi bisa diajak ngobrol lebih dalam.
“CEO-nya kakak-ku.” tambah Ryan.
“Biar saja dia urus perusahaan lain. Buat dia kerepotan dengan tingkahmu. Buat aturan-aturan baru yang bikin dia pusing. Saat dia lagi pusing, kamu atur strategi untuk bisa cuan melebihi kakakmu.”
“Maksudmu… aturan-aturan baru itu untuk mengalihkan perhatian kakakku?”
Adeline pun mengangguk, “Karena kalau tidak dialihkan, dia akan mengawasimu sepanjang hari untuk mencari kesalahanmu.”
“Kamu serius menyarankan ini padaku?”
“Itu kan yang biasa dilakukan Pemerintah pada kita, Rakyatnya? Dialihkannya perhatian kita, dibuatnya isu-isu baru, kita ribut sana-sini, dan kita malah nggak aware sama rencana utama mereka, yang malah makin merugikan kita.”
Ryan ternganga.
“Waaah…” ia pun mengusap wajahnya. “Kamu bukan Baby sih ini. Bukaaaaan, kamu lagi nyamar jadi Baby kaaan!?”
Kalimat ini sebagai tanda kalau Ryan terpukau.
“Klienku banyak, Darling. Kebanyakan pejabat. Alur di perusahaan ya gitu-gitu aja kayak lingkaran setan.” Adeline kini menuangkan Vodka ke gelas lain, lalu meletakkan di depan Ryan. Saatnya sesi Kedua, Sesi obrolan hangat dan akrab.
“Mereka menjabarkan semua strategi padaku kalau sedang depresi. Mungkin saja salah satu klienku adalah Kakakmu, atau Ayahmu, atau Rivalmu di perusahaan. Jadi sebagai seorang Baby, kuharap obrolan kita setara dengan bayaranmu.”
“Otakku jadi terbuka.” Ryan menggelengkan kepalanya, “Tadinya sumpek banget. Aku nggak berharap dibenci banyak orang, you know? As a younger, i just want to help my bro. Toh hasilnya juga untuk keluarga, kan?”
“Kesalahan terbesar Bapakmu adalah, dia menganggap kalian bersaudara, jadi kalian bisa akur. Padahal bisnis itu malah penyebab terbesar putusnya hubungan saudara.” Kata Adeline. “Nggak usah kau tanyakan lagi ke bapakmu dia sayang kamu atau tidak.”
“Kok… kamu tahu semua sih? Kita pernah saling kenal kah?”
“Kita tidak saling kenal, dan percaya deh, masalah kamu itu adalah masalah kebanyakan CEO Muda di seluruh dunia. Awalnya polos, berusaha membangun nama baik, akhirnya ditipu sana-sini, depresi, yang tidak bisa bertahan akhirnya bunuh diri, atau jadi hikikomori, yang bisa bertahan akhirnya balas dendam, jadi CEO besar, main libas semuanya, malah berakhir di penjara karena korupsi.”
“Waduh… obrolannya berat banget.” Desis Ryan.
“Obrolan ini berat? Tidak Ryan Sayang, kamu yang belum siap diserahi tugas negara.” Adeline mengelus rahang Ryan. Lalu wanita itu berbisik manja, “Kamu harus lebih rileks, lebih santai menjalani hidup. Malam ini kutemani, besok-besok kamu harus bisa sendiri.”
Malam itu, setelah obrolan berat, diawali dengan saling sentuh bagian privat, saling cumbu, saling mencium.
Adeline berusaha membuat seluruh tubuh Ryan nyaman, kecuali yang satu itu yang harus tegang sigap berdiri, kalau bisa malah membatu.
Karena besok, Ryan akan maju ke medan pertempuran.
Dunia bisnis.
Bahkan lebih parah, Bisnis Keluarga.
**
“Gue mau Resign.” Desis Adeline.
Si Mamih, Donita, melongo mendengar Adeline siang itu.
Adeline baru saja menyelesaikan ‘shift malamnya’ lalu sedikit bantu-bantu beres-beres club di pagi harinya. Si Mamih baru datang jam 10 pagi dan mentransfer bagian Adeline bulan lalu. Lumayan hasilnya setara sama harga 2 hape ipon seri terbaru. Adeline bisa bayar UKT sekaligus biaya praktek adiknya, juga bisa membayar darmawisata adiknya yang lain, kemarin si bungsu juga minta tumbler Stanley yang harganya lebih dari sejuta. Walau pun bentuknya aneh kayak galon dikasih gagang, tapi namanya juga remaja jaman sekarang. Nggak branded nggak gahol. Pulang-pulang ia akan menuntut ‘sungkem’ dari adik-adiknya.
Tapi, pagi ini Adeline terbangun karena berita mendadak yang membuatnya bersemangat. Ia tidur di ruang VIP karena menghabiskan beberapa ronde dengan si Ryan-Ryan itu. Mereka mabok berat sudah pasti.
Berita dari Rumah Atmorajasa. Ia diterima jadi ART di sana. Kedatangannya diharapkan siang ini jam 12, untuk bisa segera menegosiasikan gaji, perkenalan penghuni, mengenal seluk beluk rumah dan aturan-aturannya, agar besok ia bisa segera bekerja.
Jadi…
Adeline tentu harus keluar jadi Escort. Paling tidak…
“Apakah?!” Desis Donita kaget.
“Ya, secara.” Jawab Adeline pendek.
Donita meringis mengejek. “Secara apa?! Secara gaji lo nggak naik-naik? Emang berapa sih harga bedak jaman sekarang?! Bentar gue search di toko orange, lo mau etalase berapa? Gue langsung beliin nih!”
“Bukan itu mamiiii, gue diterima kerja, nih.”
“Berapa gajinya?!”
“Belum tahu sih, yang jelas Gajinya tetap, nggak turun-naik kayak di sini. Dan nggak harus buka paha.” Sambil bicara begini, Adeline berpikir dimana ia bisa membeli sianida untuk membunuh Kepala Keluarga Atmorajasa.
Apa sebaiknya Adeline membeli Pestisida saja, dicampur kopi kasihnya dosis sedikit-sedikit, atau bagusnya racun ikan buntal saja? Enaknya Arsenik aja sih, tidak berbau, tidak berasa, bisa beli online dan saat diotopsi tidak terdeteksi karena mudah larut. Adeline pun berpikir keras.
“Ya lo nego dulu lah sana! Kan kerjaan di club bisa dibagi-bagi. Atur lah manajemen waktu loooo!”
Ini juga jadi bahan pertimbangan Adeline. Kalau ia ketahuan membunuh dan tertangkap, adiknya harus sudah lulus kuliah jadi bisa menggantikannya mengurus adik-adik mereka yang lain. Adeline juga harus menyiapkan tabungan yang cukup.
Dana itu bisa di dapat dari gajinya sebagai ART, ditambah penghasilannya di club, dan dari curi-curi barang di rumah itu. Paling tidak, deposito dua milyar, bunganya bisa digunakan untuk bayar listrik sebulan.
Oke, target Adeline dalam setahun ia harus bisa mengumpulkan dua miliar!
Berapa Om yang harus ditidurinya biar terkumpul dana segitu?
“Ya Udah Mih, gue tetap di sini tapi nggak full time kayak biasa. Paling nggak, weekend dah gue bisa usahain. Tapi kerjaan di club ini udah bukan prioritas gue lagi, ya. Kalau ada klien, lo bisa hubungin gue dulu, gue ada waktu kosong apa kagak.”
“Sombong banget sih lo! Gue doain dipecat biar bisa balik lagi ke sini!” seru si mamih sambil mengomel.
Adeline pun segera ambil langkah seribu sebelum Mamih semakin badmood dan bertanya-tanya mengenai pekerjaannya.
**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!