NovelToon NovelToon

Aku Dan Lelaki Yang Merenggut Kesucianku

Bab 1 Malam Petaka

  Hujan membasahi bumi diiringi gelegar petir saling menyambar. Latifa berjalan terseok menuju rumah kedua orang tuanya, dengan baju yang sudah tidak berbentuk.

  Kejadian tragis yang menimpanya satu jam lalu, masih terngiang dan membekas. Di mana sosok tubuh kekar dan tangan yang kuat telah mencampakkannya ke dalam lembah nestapa.

  Latifa dipaksa dan digagahi oleh seorang teman laki-laki sekelasnya yang sudah lama menyukainya. Naasnya, malam perpisahan tadi, merupakan malam petaka bagi Latifa.

 "Akhhhh."

  Jeritan itu berkali-kali dilepaskan dari bibir Latifa. Akan tetapi lelaki yang menghujamnya berkali-kali itu, tidak peduli sama sekali. Dia menyeringai dan bangkit, setelah melesakkan sebuah hasrat bejat yang membuatnya bagaikan melayang di awang-awang.

  Tangisan itu turun seiring air hujan yang semakin deras menimpa tubuhnya. Tiba di depan sebuah rumah sederhana, tubuh Latifa yang ringkih dan perih jatuh pingsan tidak sadarkan diri.

  "Ke mana anak itu, jam segini belum pulang. Bukankah teman-temannya sudah kembali ke rumah dari acara perpisahan itu?" Seorang lelaki paruh baya dari dalam rumah terlihat gelisah dan berbicara di depan anak perempuan dan istrinya, sepertinya dia tengah mengkhawatirkan keadaan salah satu anggota keluarganya yang belum kembali ke rumah.

  Lelaki paruh baya yang ngomel tadi, bergegas menuju pintu depan rumah dan perlahan membukanya. Baru saja beberapa senti pintu itu bercelah, hembusan angin langsung masuk.

  Hujan yang semakin deras di luar, membuat beberapa penghuni rumah enggan untuk membuka pintu, termasuk Pak Yudi. Yang kini tengah gelisah menantikan kepulangan anak perempuan pertamanya dari acara perpisahan sekolah. Namun ia terpaksa membuka pintu rumahnya dengan kasar, untuk menantikan kepulangan sang anak, meski hembusan angin semakin kencang masuk ke dalam rumah.

 Sementara di belakangnya, Bu Dina dan Rayana anak kedua dari pasangan suami istri itu, mengekori Pak Yudi. Mereka berdua berdiri di belakang Pak Yudi menatap derasnya hujan yang disertai kilat menyambar melalui celah tubuh Pak Yudi.

  Saat bersamaan, ketika kilat itu kembali menyambar, Pak Yudi terkesiap melihat sebuah bayangan terbujur di bawah tangga rumahnya.

  "Apa itu, seperti bayangan Latifa?" pekiknya heran seraya melangkahkan kakinya ke teras dan menuruni tangga rumah panggungnya itu. Matanya tertuju pada bayangan yang tadi sempat terlihat dengan jelas saat kilat menyambar.

  "Blug, blug, blug."

  Hentakan kaki telanjang menyentuh tangga kayu menimbulkan suara yang gaduh. Bu Dina dan Rayana kompak melangkahkan kakinya menapaki teras dan menurunkan sedikit tubuhnya diikuti kedua matanya ikut bergulir ke bawah tangga.

  "Latifa. Kenapa dengan Latifa?" kejutnya sembari menuruni tangga dan menghampiri suaminya yang kini sedang berusaha mengangkat tubuh Latifa, lalu dibawanya ke atas. Terpaan air hujan yang deras mengenai tubuh Pak Yudi yang kini basah kuyup. Bu Dina mengikuti suaminya dari belakang dengan tanya di dada yang belum ada jawaban.

  "Mbak Tifa, kenapa dengan Mbak Tifa?" Pertanyaan heran itu keluar dari bibir Rayana seraya mengikuti kedua orang tuanya yang kini memasuki rumah, dengan sudut mata mulai berembun.

  Bu Dina menutup kembali pintu rumah, lalu menguncinya rapat-rapat. Pak Yudi kini membaringkan tubuh Latifa di atas tikar yang selalu terbentang di ruang tengah.

  "Kenapa dengan Latifa, Pak? Pulang-pulang seperti ini?" Bu Dina terlihat panik dan gelisah.

  "Ambilkan air kompres, air teh hangat serta minyak kayu bodas untuk merangsang penciumannya," suruh Pak Yudi gusar, tanpa memberi jawaban.

  "Raya, ambilkan anduk untuk menutupi tubuh kakakmu," titah Pak Yudi pada Rayana yang panik dan bengong. Rayana tidak paham dengan keadaan kakaknya yang sudah dalam keadaan menyedihkan.

  Tanpa menyahut, Rayana bergegas mengambil handuk di kamar Rayana dan memberikannya pada Pak Yudi.

  "Ini Pak, kompresnya." Bu Dina memberikan kompres beserta benda lain yang diminta Pak Yudi tadi, disusul Rayana menyodorkan handuk.

  "Kompres seluruh permukaan tubuhnya yang terbuka, lalu keringkan dengan handuk dan tutupi," titahnya lagi seraya meraih minyak kayu wangi lalu diletakkan di dekat hidung Latifa, berharap bisa terendus dan Latifa bangun.

  Bu Dina sigap, sementara Rayana masih berdiri panik menatap sang kakak setelah memberikan handuk tadi. Bagaimana tidak, Latifa yang sejak tadi pagi pergi dan pamit untuk menghadiri acara perpisahan sekolahnya, kini pulang dengan tubuh berubah bentuk.

  Bajunya kotor berlumpur dan sebagian ada yang sobek, memancing tanya dalam benak masing-masing ketiga manusia di dalam rumah panggung itu.

  Satu jam kemudian, Latifa sadar dari pingsan. Di sinilah dimulai perubahan hidupnya yang baru.

***

  Sebulan berlalu setelah kejadian di malam petaka yang masih misteri bagi keluarga Latifa itu, kini Latifa sering mengurung diri di kamar. Setiap kali ditanya tentang apa yang terjadi di malam itu, Latifa sama sekali tidak menjawab, dia justru terlihat takut dan berteriak.

  Pak Yudi dan Bu Dina berputus asa, lalu membiarkan Latifa tenang dengan tidak menginterogasinya lagi. Pak Yudi, menunggu waktu yang tepat di mana Latifa bisa tenang dan mampu menjawab saat ditanya.

  Keadaan Latifa seperti itu, mengundang rasa khawatir kedua orang tua dan adik Latifa, terlebih saat ini tubuh Latifa demam, wajahnya pias dan muntah-muntah.

  Pak Yudi dan Bu Dina menduga, Latifa masuk angin. Lalu mereka berinisiatif membawa Latifa ke puskesmas.

  Tiba di puskesmas dan mendapat giliran diperiksa. Latifa yang diperiksa dan ditanyai apa keluhannya oleh Dokter Hani, hanya diam saja tanpa menjawab.

  Tatapan Latifa yang kosong, membuat Dokter Hani yang memeriksa, memutuskan memeriksa Latifa tanpa bertanya, dengan feeling dan keahliannya sebagai Dokter, akhirnya Dokter Hani menemukan biang masalah dalam diri Latifa.

  "Sepertinya anak ibu mengalami gangguan secara psikis. Apakah anak Ibu pernah mengalami sesuatu hal yang mengakibatkan trauma?" Bu Dina menggeleng mendapat pertanyaan seperti itu.

  "Saya hanya bisa menyimpulkan berdasarkan hasil pemeriksaan saya barusan. Ibu usahakan bawa anak ibu ke psikiater atau bisa juga dibawa ke tempat yang membuat pikirannya tenang. Sepertinya trauma yang dirasakan anak ibu trauma ringan, jadi masih bisa disembuhkan dengan keadaan lingkungan yang tenang dan damai," terang Dokter Hani menatap Bu Dian yang risau.

  "Baik, Dok." Bu Dina menyahut.

  "Terlebih kondisi anak Ibu saat ini sedang hamil, jadi cara yang tepat dan bagus untuk kondisi psikisnya supaya lebih baik, adalah, seperti yang saya anjurkan tadi," lanjut Dokter Hani membuat Bu Dina terkesima tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

  Bu Dina keluar dari ruang pemeriksaan, lalu menghampiri Pak Yudi dengan lunglai seraya menuntun lengan Latifa.

  Tiba di rumah, Bu Dina bercerita pada suaminya tentang semua yang disampaikan Dokter Hani tadi di ruang pemeriksaan.

  "Hamil? Anak kita hamil?" kejutnya sampai terdengar oleh Rayana yang tanpa sengaja mendengar pembicaraan kedua orang tuanya saat dia melewati kamarnya menuju dapur.

Bagaimana kisah Latifa setelah mengetahui dirinya hamil?

Bab 2 Diungsikan

  Perasaan kaget dan shock kini menyelimuti wajah Pak Yudi dan Bu Dian. Berita kehamilan Latifa yang didapat dari Dokter Hana tadi, membuat mereka berdua untuk sejenak diam mematung.

  "Apa, kenapa dia bisa hamil? Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak kita?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Pak Yudi beberapa saat kemudian, diliputi wajah yang marah sekaligus tidak percaya.

  Bu Dina yang ingat akan kata-kata Dokter Hana tadi di dalam ruang pemeriksaan, segera menghampiri suaminya dan meraih tangannya dengan lembut, lalu mengusapnya berusaha menyalurkan energi positif supaya suaminya bisa mengontrol emosi dan tenang.

  Bu Dina yang melihat Rayana, segera memberi isyarat untuk segera membawa Latifa ke dalam kamarnya. Rayana patuh, lalu meraih lengan Latifa dan membawanya ke kamar Latifa.

  "Apa yang dibicarakan Dokter tadi di dalam ruang pemeriksaan, Bu? Katakan semua pada bapak. Dan kenapa Latifa bisa hamil?" Pak Yudi kembali melontarkan tanya yang sejak tadi belum terjawab.

  "Bapak tenang dulu. Sekarang kita masuk kamar, biar ibu ceritakan semua yang dikatakan Dokter Hana." Bu Dina berdiri lalu membawa Pak Yudi masuk ke dalam kamar.

  Di dalam kamar, Bu Dina yang sudah mendudukkan suaminya di kursi dalam kamar itu, ikut duduk di sampingnya sembari tidak lepas mengusap lengan suaminya.

  "Kata Dokter Hana, setelah diperiksa secara detil, feeling-nya mengatakan bahwa anak kita pernah mengalami suatu hal yang mengguncang jiwanya, sehingga berakibat buruk kepada kesehatan psikisnya. Latifa mengalami trauma, ...."

  "Trauma? Trauma kenapa? Lalu hal apa yang mengguncang jiwanya itu? Apakah keadaan Latifa seperti ini ada kaitannya dengan kejadian sebulan yang lalu, ketika dia ditemukan tidak sadarkan diri di bawah rumah panggung kita?" duga Pak Yudi dengan muka kembali memerah menahan emosi yang kembali memuncak.

  "Tenangkan emosi Bapak. Percuma kita emosi, buktinya dengan emosi sampai saat ini kita belum juga menemukan penyebab anak pertama kita berubah menjadi murung seperti sekarang ini. Setiap kita mencoba bertanya dan mengorek keterangan darinya, reaksinya justru di luar dugaan, Latifa menjerit-jerit."

  "Lalu dengan cara apa kita harus mencari tahu, apa yang sebenarnya telah dialami anak kita malam itu?" Pak Yudi menatap wajah istrinya dalam meminta sebuah penjelasan.

  "Trauma yang dialami anak kita termasuk trauma ringan, yang bisa disembuhkan dengan mendatangi psikiater atau yang lebih mudah, yaitu dengan dibiarkan pikirannya tenang. Latifa harus kita ungsikan ke tempat yang lebih nyaman dan damai, supaya pikirannya kembali tenang dan stabil," jelas Bu Dina, tapi tidak cukup menenangkan Pak Yudi.

  "Lantas, kenapa dia bisa hamil? Itu yang ingin bapak dapatkan jawabannya, apakah anak kita telah menjadi korban pemerkosaan, atau justru dia terjerumus ke dalam kenakalan remaja?" duga Pak Yudi risau dan tidak sabar.

  "Tenang, Pak. Nanti kita tanyakan secara perlahan pada anak kita saat dia tenang. Kita coba suruh Rayana saja yang bertanya. Siapa tahu, melalui adiknya, Latifa mau berterus terang," bujuk Bu Dina tidak berputus asa agar Pak Yudi bisa tenang menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

  Sejenak keduanya diam mematung, larut dalam pikirannya masing-masing.

  Sementara di dalam kamar Latifa, Rayana yang sudah mengetahui keadaan sang kakak, berusaha memberikan kenyamanan untuk sang kakak. Karena Rayana tahu, dia yang akan ditugasi mengorek keterangan dari Latifa terkait perubahan sikapnya.

  "Ya ampun, ada apa dengan kakakku ini? Benarkah Mbak Tifa diperkosa? Lalu dengan cara apa aku bisa mengorek keterangan dari Mbak Tifa, sementara selama ini saja Mbak Tifa selalu berteriak jika ditanyakan kejadian apa setelah malam perpisahan itu."

***

  "Mbak diperkosa, Ra. Mbak diperkosa teman sekelas Mbak yang menyukai Mbak. Dia lari entah ke mana setelah berhasil memperkosa Mbak," cerita Latifa setelah berhasil ditanyai Rayana beberapa hari kemudian, tentu saja pertanyaan Rayana yang berhasil dijawab Latifa ini, benar-benar menunggu suasana hening dan tenang.

  Pengakuan Latifa yang membuat Rayana shock, berhasil direkam di Hp Rayana, atas perintah kedua orang tuanya.

  "Mbak bisa ceritakan, siapa yang sudah memperkosa Mbak?" tanya Rayana lagi hati-hati.

  Latifa diam, raut wajahnya seakan sedang mengingat rekaman kejadian yang pernah menimpanya. Lalu air muka wajah itu berubah menjadi sedih. Latifa bukan menjawab, akan tetapi menjerit-jerit sehingga membuat Rayana panik.

  "Sudah, Mbak. Aku ti~tidak akan tanyakan itu lagi." Rayana menghentikan penyelidikannya yang justru lagi-lagi membuat Latifa histeris dan menjerit, sehingga sampai kini siapa yang telah menodai sang kakak belum terungkap dengan jelas.

  "Siapa sebenarnya yang telah memperkosa kakak aku? Tega banget laki-laki itu," kesal Rayana sembari mengusap bahu Latifa yang sudah mulai tenang.

  Melihat sang kakak tertidur, Rayana keluar dari kamar Latifa, lalu menyerahkan hasil rekaman di Hpnya pada Pak Yudi.

  Pak Yudi dan Bu Dina cukup terkejut dengan pengakuan Latifa yang didengar dari rekaman Hp Rayana. Sayangnya pelaku pemerkosa itu belum juga terungkap dari bibir Latifa. Kalau diamati Latifa memang mengalami goncangan jiwa, sehingga percuma ditanya lebih lanjut pun. Sehingga Pak Yudi dan Bu Dina sepakat akan mengajak Latifa berobat ke psikiater.

  Latifa beberapa kali dibawa ke psikiater. Namun setelah kurang lebih tiga kali dibawa ke sana, belum juga terlihat hasil yang baik, setiap ditanya Latifa akan bungkam dan menjerit jika pertanyaannya menyangkut kejadian di malam setelah acara perpisahan sekolah itu.

  Karena perut Latifa semakin lama semakin kelihatan membesar, Pak Yudi dan Bu Dina akhirnya sepakat membawa Latifa mengungsi atau diasingkan dulu di kediaman kedua orang tua Pak Yudi. Kebetulan kedua orang tua Pak Yudi tinggal di kampung yang keadaan alamnya masih sangat bagus dan adem, diduga cocok untuk penyembuhan Latifa..

 "Apakah, Bapak yakin akan mengasingkan anak kita di rumah nenek dan kakeknya? Apakah tidak akan merepotkan mereka, Pak?" tanya Bu Dina was-was.

  "Bapak yakin, Bu. Di sana sepertinya tempat yang bisa menyembuhkan trauma dan guncangan anak kita. Biarlah kita dua minggu sekali atau paling lama sebulan sekali menengok ke sana. Dan yang terpenting, Latifa aman dari gunjingan tetangga kita jika dia berada di sana," pungkas Pak Yudi dengan raut wajah yang sedih.

  Hari itupun Latifa dibawa ke kampung halaman orang tua Pak Yudi. Jarak Jakarta-Bogor sepertinya tidak akan menjadi penghalang untuk Pak Yudi dan Bu Dina menengok Latifa setiap dua minggu sekali ke kampung halaman nenek dan kakek Latifa, yang tempatnya benar-benar di pelosok kampung.

Sementara itu, seorang anak lelaki remaja yang baru lulus SMA, tengah bersiap untuk terbang ke Negara Paman Sam untuk melanjutkan study nya di sana.

"Kamu baik-baik di sana, belajar yang benar. Seminggu sekali papa dan mama akan hubungi kamu," ujar lelaki berusia sekitar 42 tahun itu mengantar anak lelaki pertamanya ke bandara.

"Dika pamit, ya, Pa, Ma. Dika janji, setelah Dika mendapatkan gelar S2, Dika akan pulang ke Indonesia."

"Dan jangan lupa, kamu harus siap-siap menjalankan amanah Kakekmu memimpin perusahaan cabang miliknya sepulang dari Paman Sam. Siapkan mentalmu dari sekarang supaya saat kembali nanti, kamu siap segalanya," peringat Pak Raka sang papa.

Tanpa menyahut lagi, Dika menyunggingkan senyum pada kedua orang tuanya, lalu melambaikan tangan dan membalikkan badan menuju bandara.

"*Aku juga pamit Tifa, maafkan aku yang telah menghancurkan masa depanmu*," batinnya penuh sesal seraya bergegas meninggalkan bandara Sekarno-Hatta.

Bab 3 Empat Tahun Kemudian

  Seorang bocah laki-laki usia sekitar 3,5 tahun tengah bermain di halaman rumah bertanah, di depan sebuah rumah berbahan kayu. Bocah itu berwajah tampan, berkulit kuning langsat, dan bermata coklat. Sesekali bocah itu bercanda dengan sang nenek buyut yang menungguinya.

  Celotehannya membuat sang nenek buyut gemas. Sang nenek buyut terlihat begitu sangat menyayangi bocah itu, yang terdengar sangat bawel. Apapun ditanyakan pada sang nenek buyut, sembari sesekali memamerkan kepandaiannya memainkan sepeda roda empat.

  "Lihat Nek buyut, Gaza sudah pandai memainkan sepeda. Kalau nanti Gaza sudah besar, Nenek buyut sama Kakek buyut akan Gaza bawa ke kota pakai sepeda ini," bangganya sembari memainkan stang sepedanya, lalu menggowes sepeda itu berkeliling halaman rumah yang luas.

  "Awas jatuh, Sayang," peringat Nek Romlah pada sang cucu. Bocah bernama Gaza Al Kahfi itu, tidak peduli dengan peringatan sang nenek buyut. Dia terus memacu sepedanya sembari cekikikan menghampiri sang kakek buyut yang sedang berkebun.

  "Kakek buyuttt, lihat Gaza, Kek. Gaza sudah pandai main sepeda," pamernya membanggakan diri.

  "Wahhh, pintarnya buyutnya, kakek. Kamu jangan masuk kebun, Nak. Kembali ke nenek buyutmu. Tungguin mama kamu, sebentar lagi pulang dari pabrik," seru Kakek Prana menyuruh buyutnya kembali menghampiri Nek Romlah.

  Kakek Prana dan Nenek Romlah merupakan kakek buyutnya Gaza. Mereka berdua sangat sayang pada buyutnya, karena sejak lahir Gaza sudah tinggal di sana.

  "Itu Mama kamu, dia sudah pulang dari pabrik. Sepertinya bawa oleh-oleh buat kamu. Sana jemput mamamu," titah Nenek Romlah ketika seorang gadis muda berumur sekitar 22 tahun menghampiri mereka dengan sebuah kantong kresek di tangan kanannya.

  "Mamaaa," teriak Gaza seraya menghampiri perempuan muda yang dipanggilnya mama.

  "Tifa, bagaimana hasilnya, apakah pesangon kamu sudah diberikan hari ini?" tanya Nek Romlah pada perempuan muda yang ternyata Latifa.

  "Alhamdulillah, sudah, Nek. Semua sudah selesai. Perusahaan memberikan pesangon karyawan yang di PHK nya karena pengurangan karyawan. Walaupun hanya setengah dari pesangon, tapi alhamdulillah daripada tidak sama sekali. Setidaknya Tifa nanti ada sedikit bekal untuk ke kota," tutur Tifa bersyukur.

  Nek Romlah terlihat senang sekaligus sedih mendengar berita dari sang cucu yang sudah empat tahun ini tinggal bersamanya di kampung ini.

  "Tapi, sayang sekali kamu seminggu lagi harus meninggalkan nenek dan kakek, juga anakmu di sini."

  "Tifa terpaksa, Nek. Andai saja perusahaan tekstil tempat Tifa bekerja tidak mengurangi karyawannya dan mem-PHK nya, mungkin saja Tifa akan tetap tinggal di sini sampai Gaza tiba saatnya sekolah SD," tutur Tifa mendadak sedih lalu memeluk Nek Romlah dan menangis di sana.

  "Lalu, apakah kamu di Jakarta yakin akan segera mendapatkan pekerjaan yang layak serta gajinya lebih tinggi daripada di sini, mengingat satu tahun lagi Gaza masuk TK?" Nek Romlah terlihat khawatir.

  "Nenek tenang saja, Tifa akan berjuang dan mendapatkan pekerjaan yang layak di Jakarta demi Gaza," sahutnya berusaha membuat sang nenek tenang.

  "Baiklah kami percaya kamu pasti akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan bagus di sana." Nek Romlah berkata dengan penuh keyakinan.

  "Terimakasih banyak, ya, Nek, karena selama ini Nenek dan Kakek sudah menampung Tifa dan Gaza di sini. Tanpa kalian, bisa saja Tifa sudah tidak ada di dunia ini, atau mungkin Tifa sudah luntang-lantung di jalanan menjadi orang gila tidak tahu arah," ujarnya diiringi isak tangis.

  Nek Romlah mengusap bahu sang cucu dengan kasih sayang. Benar yang dikatakan Tifa, mungkin tanpa Nek Romlah dan Kakek Prana, bisa jadi Tifa kini sudah tinggal nama, atau luntang-lantung di jalanan karena stres.

  Setelah diungsikan oleh kedua orang tuanya dari Jakarta ke Bogor empat tahun yang lalu, beberapa hari tinggal di rumah Nek Romlah, Tifa masih mengalami depresi dan trauma. Yang dilakukannya hanyalah termenung, duduk diam dan melamun. Ketika sesekali ditanya masalah yang terjadi di malam setelah perpisahan sekolah itu, reaksi Latifa langsung berteriak layaknya orang depresi.

  Namun, berkat kesabaran dan perhatian serta kasih sayang dari Nek Romlah dan Kakek Prana, serta dibantu secara spiritual oleh beberapa pemuka agama di kampung itu, perlahan Tifa berangsur membaik. Baik secara psikis maupun mental.

  Butuh waktu kurang lebih setahun untuk mengembalikan Tifa pada kondisi normal. Sungguh itu masa-masa yang sulit buat menyembuhkan dirinya dari trauma, nasib baik Latifa tidak menyakiti dirinya sendiri kala itu, yang pada saat itu sedang mengandung.

  Namun, berkat kerjasama kedua orang tua Latifa dan kesabaran Nek Romlah dan Kek Prana mendampinginya, akhirnya membuahkan hasil yang perlahan-lahan membaik sampai Latifa bisa menjalani kehidupannya dengan normal kembali.

  "Tifa titip Gaza untuk sementara di sini sampai kondisi aman untuknya. Tifa tidak mau keberadaan Gaza diketahui oleh bajingan itu. Tifa sudah sayang sama Gaza, Nek," ungkap Latifa sendu.

  Nek Romlah mengusap rambut sang cucu dengan lembut. Nek Romlah tahu saat-saat tersulit di mana Latifa sempat mengalami baby blues. Menganggap baby Gaza kala itu bagai monster yang sangat menakutkan di mata Latifa, sebab setiap melihat wajah Gaza, maka bayangan lelaki si pemerkosa itu selalu muncul di dalam otaknya.

  Setahun lebih Latifa melewati masa sulit itu. Perlahan namun pasti, kesembuhan itu mulai dirasakannya. Sebuah kasih sayang dan kesabaran yang diberikan sang nenek, membawa Latifa terlepas dari belenggu trauma.

  "Kamu tenang saja, Gaza aman bersama kami, dia anak yang cerdas dan menyenangkan. Lagipula kalau dia pergi ikut kamu, lantas kami harus menghibur diri ke mana? Gaza sungguh buyut kami yang sangat menyenangkan. Kami akan sangat kesepian kalau dia ikut kamu sekalian," ungkap Nek Romlah dengan raut sedih.

  "Iya, Nek. Tifa paham. Nanti Tifa usahakan datang ke kampung ini sebulan sekali untuk menengok kalian semua," ujar Latifa terlihat lega.

***

  Seminggu kemudian, tiba saatnya kepergian Latifa ke kota Jakarta. Latifa berpamitan pada nenek dan kakeknya serta Gaza sang anak. Dengan berurai air mata Latifa berpelukan dengan sang anak. Perempuan muda itu sebetulnya berat jika harus berjauhan dengan putra kecilnya itu. Namun dengan terpaksa Latifa harus meninggalkan Gaza, demi masa depan sang putra.

"Mama, mau menyusul Papa ke Jakarta?" celetuk Gaza dengan polosnya. Latifa terhenyak mendengar pertanyaan polos dari sang putra. Perempuan muda itu, kembali teringat masa-masa kelam di malam perpisahan itu. Bayangan seringai wajah lelaki bajingan itu kini bagai di pelupuk mata. Dan kini tugas Latifa adalah benar-benar melupakannya.

"Mama pamit, ya, Sayang. Jangan nakal sama Nenek dan Kakek buyut. Nurut sama mereka," peringat Latifa seraya mencium pipi kiri dan kanan sang anak.

Setelah berpamitan pada nenek dan kakeknya serta sang putra, Latifa segera bergegas menghampiri ojeg yang sudah menjemputnya yang kebetulan tetangga sebelah Nek Romlah. Latifa diantar dengan ojeg sampai terminal Bogor. Dari sana dia menaiki bis untuk ke Jakarta, kota yang menyimpan kenangan buruk. Tapi kini buruknya kenangan itu harus Latifa taklukan demi sang buah hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!