NovelToon NovelToon

Cinta Setelah Perpisahan

Bab 1

Sepasang kaki jenjang melangkah dengan begitu anggun memasuki sebuah gedung perusahaan. Di sepanjang jalan, ia tampak berbicara serius dengan seseorang diseberang telepon. Karena keseriusan itulah, tanpa sadar ia menabrak seseorang didepannya.

"Baiklah, aku percayakan boutique hari ini padamu. Bye." Wanita itu melepas kacamata hitamnya dan berjongkok, membantu seseorang yang tadi ia tabrak untuk memunguti kertas yang berserakan. "Maaf, aku tidak fokus tadi," ucapnya.

"Tidak apa-apa, terima kasih juga sudah membantuku memungut ini. Kalau begitu aku duluan." Wanita yang tadi ia tabrak itu tersenyum sekilas dan langsung melanjutkan langkahnya tanpa terlihat kesal sedikitpun.

"Seharusnya dia memakiku karena sudah menabraknya, tapi dia malah begitu ramah." gumam wanita itu dan kembali memakai kacamatanya, lalu kembali melanjutkan langkah menuju ruangan CEO.

*

Tok, tok.

"Masuk," Terdengar perintah dari dalam sana.

Wanita itu segera melangkah masuk setelah dipersilahkan. "Selamat siang, Tuan Bara." sapanya sembari melepas kacamatanya.

"Ahhh Sabila, tidak perlu sungkan begitu. Ayo duduklah," laki-laki itu mempersilahkan wanita bernama Sabila itu untuk duduk.

"Bagaimana perkembangan usaha Kakak?" tanya Sabila pada Bara, sepupunya yang merupakan anak dari kembaran Mamanya.

"Cukup baik, tapi sedikit buruk."  

"Ini masih siang, jadi jangan mematik emosiku untuk keluar." ucap Sabila. Sebab, Bara mengatakan baik tapi buruk, sebuah kata ambigu yang sangat menjengkelkan bagi Sabila.

Bara terkekeh saat mendengar nada suara Sabila yang sudah mulai meninggi. Inilah kebiasaan Sabila dalam berucap, jadi Bara tidak merasa heran lagi. Sebab, Sabila merupakan keturunan suku Lampung yang memang terkenal keras intonasi dalam berucap.

"Oh iya, bagaimana dengan desain yang aku minta?" tanya Bara akhirnya. 

"Semuanya sudah selesai, hanya tinggal menunggu persetujuanmu, maka semuanya beres."

"Baiklah, di mana gambarnya. Aku ingin melihatnya."

Sabila mengeluarkan IPad dari tasnya, kemudian menunjukkan beberapa gambar desain baju yang sudah ia buat secara khusus untuk acara ulang tahun putra sulung dari Kakak sepupunya tersebut.

"Bagaimana, ada yang perlu diubah?" tanya Sabila.

"Aku rasa tidak, desainnya oke dan aku suka." 

"Seleraku memang tidak pernah salah." 

"Hmm seleramu memang tidak pernah salah dalam hal mendesain. Tapi, sayang kau masih belum laku juga hingga sekarang," ejek Bara.

Sabila mendelik sebal. Ia langsung memasukkan IPad-nya kembali kedalam tas, lalu memakai kacamata hitamnya dan langsung beranjak. "Terima kasih atas kepercayaan anda untuk memakai jasa saya, Tuan Bara. Kalau begitu saya permisi." 

Tanpa banyak kata lagi, Sabila langsung keluar dari ruangan Bara tanpa mempedulikan Bara yang terus menertawakannya. Andai saja laki-laki itu bukan kakak sepupunya. Maka, Sabila pasti akan mencakar wajah tampan itu hingga tidak berbentuk karena berani menertawakan seorang Sabila Alfiana Bumantara.

Sabila langsung keluar dari gedung perusahaan dan menjalankan kendaraannya menuju boutique miliknya. Tiba di boutique, ia langsung masuk melewati beberapa karyawannya yang masih tampak menjahit. Baru saja ia mendudukkan diri dengan nyaman di kursi kerjanya, ketukan di pintu rungannya terdengar.

"Masuk," ucap Sabila. "Ada apa, Lily?" tanya-nya saat melihat orang kepercayaannya 'lah yang masuk.

"Ada tawaran yang masuk, bos." ucap Lily.

"Hm, untuk perusahaan atau keluarga?" 

"Perusahaan, bos." 

"Perusahaan mana?" 

"Argetsani Company, Bos." 

Kegiatan Sabila terhenti saat mendengar nama perusahaan tersebut. Seketika ingatannya tertuju pada seseorang di masa lalunya yang memiliki nama besar yang sama dengan nama perusahaan yang barusaja Lily sebutkan. Sabila kembali menatap Lily yang masih asik mengatakan berbagai hal mengenai perusahaan yang mengajak mereka bekerja sama.

"Lily stop!" Sabila mengangkat tangannya ke udara. "Tolak kerja sama dari perusahaan itu." 

"To-tolak, bos?" tanya Lily tak percaya. Sebab, perusahaan itu adalah perusahaan besar, tapi mengapa bosnya ini justru menolak.

"Jadwal kerja sama kita sudah terlalu padat untuk satu tahun kedepan. Jadi tolak saja kerja sama itu. Kau paham 'kan?" 

"Paham, bos." angguk Lily.

"Bagus, keluarlah!" 

Setelah Lily pergi, Sabila menghempas tubuhnya pada sandaran kursi kerjanya. Ingatannya seketika tertuju pada seorang pria dari masa lalunya yang membuatnya membenci pria manapun. Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, ia justru kembali mendengar nama besar dari seorang pria yang sangat ia benci itu.

"Xavier Annar Argatsani," lirih Sabila dengan mata terpejam.

*

Di sebuah ruang perkantoran, terlihat seorang laki-laki yang begitu fokus pada layar laptop didepannya. Tidak lama, pintu ruangannya terbuka lebar dan menampilkan seorang wanita bersanggul dengan baju kebaya modern yang masuk ke dalam ruangannya begitu saja.

"Mom?" ucapnya heran.

"Mom, Mom. Memang aku moyangmu? Panggil aku Ibuk!" ucap Ibu Mirna sewot.

"Baiklah, ada apa Ibuk ke mari?" tanya laki-laki itu pasrah.

Ibu Mirna melirik sekitar ruangan putranya dan langsung duduk begitu saja di sofa panjang yang ada di sana. Tatapannya memicing, khas ibu-ibu sosialita. Ia lalu meletakkan tas jinjing mewahnya ke atas meja dan duduk dengan anggun di sana.

"Bagaimana tentang janjimu, ini sudah tahun ke-30 dan Ibuk masih belum mendapatkan menantu darimu, Xavier." ucap Ibu Mirna.

"Mommy tenang saj—," 

"Ibuk, I-buk." ucap Ibu Mirna penuh penekanan.

"Baiklah," Xavier berjalan mendekati sang Mommy dan merangkul pundak wanita yang telah melahirkannya itu. "Ibuk tenang saja. Sesuai janjiku, jika tahun ini aku tidak memberikan menantu untuk Ibuk, maka Ibuk berhak untuk menjodohkanku." 

"Hm, lalu bagaimana sekarang. Kau sudah mendapatkan calon menantu untuk Ibuk?" tanya Ibu Mirna penasaran.

"Aku sudah tidak mencarinya lagi, Buk. Mungkin, wanita yang aku cari sudah menikah dengan pria lain." Xavier menghela napas panjang, lalu kembali melirik sang Mommy. "Sesuai janjiku, maka Ibuk boleh menjodohkan aku dengan wanita pilihan Ibuk," putusnya.

"Benarkah?"

"Hm." 

Ibu Mirna menyunggingkan senyum lega setelah mendengar ucapan putranya. Bagaimana 'pun, usia putranya yang tidak lagi muda membuatnya merasa takut kalau putranya itu tidak akan menikah seumur hidupnya. Namun, kini Ibu Mirna bisa bernapas lega karena putranya menyerahkan keputusan mutlak padanya untuk mencarikan pendamping hidup.

"Baiklah, secara tidak langsung, kau sudah mengaku kalah dari Ibuk. Itu artinya, kau harus kembali tinggal di rumah keluarga kita," putus ibu Mirna.

"Sesuai janjiku."  

Ibu Mirna langsung memeluk tubuh putranya. "Terima kasih Sayang. Kalau begitu Ibuk pergi dulu, bye." 

Setelah kepergian Mommy-nya, Xavier menghempas punggungnya pada sandaran sofa. Tidak pernah ia bayangkan jika hari ini akan tiba. Hari dimana janjinya pada sang Mommy harus ditunaikan. Ya, sejak dulu Mommy-nya selalu meminta dirinya untuk menikah dengan wanita pilihan sang Mommy. Namun, Xavier menolak dengan alasan memiliki pilihan sendiri. Kini, setelah bertahun-tahu berlalu, ia tidak juga bisa menemukan wanita yang ia cari, hingga memaksanya untuk tetap menerima perjodohan yang diatur oleh sang Mommy.

Tok Tok Tok.

"Masuk," ucap Xavier malas.

"Permisi, Tuan."

"Hm, ada apa?" 

"Desainer yang akan kita ajak kerja sama menolak tawaran kita, Tuan." 

"Apa?" Xavier langsung menegakkan tubuhnya setelah mendengar ucapan sekretarisnya. Bagaimana mungkin ada desainer gila yang berani menolak kerja sama dengannya. Padahal, di luar sana banyak sekali desainer yang berbondong-bondong meminta dirinya untuk bekerja sama. "Apa alasannya menolak kerja sama kita?" tanya Xavier akhirnya.

"Jadwal kerja beliau terlalu padat, Tuan. Itu yang disampaikan oleh orang kepercayaannya." 

"Cih! Sombong sekali dia. Memang tidak ada kandidat desainer lain yang cocok untuk project ini?" tanya Xavier.

"Mmm dari hasil riset, hanya desainer inilah yang saat ini sedang naik daun, Tuan. Desainnya sudah terkenal hingga ke manca negara. Bahkan, hasil desainnya sudah dipakai oleh beberapa idol luar negeri."

"Aku tidak peduli, aku juga tidak akan mengemis padanya hanya untuk sebuah kerja sama. Kau cari saja desainer lain yang setara dengannya, atau bila perlu cari yang lebih dari dia agar dia tahu dengan siapa dia sedang berhadapan," ucap Xavier.

"Baik, Tuan." laki-laki itu segera berbalik hendak keluar. Namun panggilan Tuannya membuat langkahnya terhenti. "Ada apa, Tuan?" 

"Siapa nama desainer yang kau maksud?" tanya Xavier.

"Pemilik mutiara boutique, Tuan. Sabila Alfiana Bumantara." 

"Apa?!" 

Bab 2

"Siapa namanya tadi?" tanya Xavier tak percaya. Sebab, nama yang barusaja ia dengar adalah nama seorang wanita yang selama ini ia cari.

"Sabila Alfiana Bumantara, Tuan." 

"Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya kalau desainer kondang yang kau maksud itu adalah dia?" tanya Xavier.

"Tuan yang mengatakan bahwa Tuan mempercayakan pemilihan desainer ini kepada saya. Bahkan, Tuan menolak tahu tentang siapa desainer pilihan saya," Laki-laki yang merupakan sekretaris Xavier itu bercerita panjang lebar mengenai alasannya.

"Iya, aku memang sempat mengatakan itu. Ya sudah, kalau begitu keluarlah."

Begitu sekretarisnya keluar, Xavier menunjukkan senyum tipis dibibirnya. Kali ini, ia tidak akan melepas wanita itu lagi meski apapun yang terjadi, karena Sabila hanyalah miliknya. Kesalahan yang ia perbuat sembilan tahun yang lalu akan ia bayar tuntas di masa sekarang.

"Mutiara boutique." gumamnya sembari beranjak pergi.

*

"Permisi, bos. Ada seseorang yang ingin menemui anda," ucap Lily.

"Menemuiku?" Sabila melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ini sudah sore, apa kau tidak mengatakan padanya bahwa kita akan segera tutup?" 

"Dia bilang, dia hanya ingin menemui bos sebentar saja."  

"Ya sudah, aku segera keluar," putus Sabila. Setelah mengatakan itu, ia segera mengemas barang-barangnya dan langsung menenteng tas jinjingnya keluar. "Di mana orang yang ingin menemuiku?" tanya Sabila pada Lily yang berjalan di sampingnya.

"Di ruang depan, bos. Dia tidak mau aku ajak ke dalam." 

"Hmm, baiklah."

Sabila langsung melangkah menuju ruang depan, meninggalkan Lily yang bergabung bersama karyawan lain untuk berberes. begitu sampai di ruang depan, Sabila menghentikan langkahnya saat melihat punggung tegap seorang laki-laki yang duduk membelakanginya.

"Permisi, apa benar anda mencari saya?" tanya Sabila.

Sabila mengerutkan keningnya bingung karena laki-laki itu sama sekali tidak menoleh atau menjawab pertanyaannya. Namun, kebingungan itu berganti dengan keterkejutan saat laki-laki itu berbalik dan menatap dirinya.

"Kau?"

Sabila mundur beberapa langkah demi menghindari laki-laki itu yang sudah mulai maju mendekatinya. Sungguh, Sabila sama sekali tidak menyangka kalau ia akan kembali bertemu laki-laki ini setelah sembilan tahun berlalu. Ya, laki-laki itu tak lain dan tak bukan adalah Xavier. Terakhir kali mereka bertemu adalah diusia 19 tahun, dimana mereka berkuliah ditempat yang sama. 

"Bil," panggil Xavier.

"Lily! Lily!" panggil Sabila keras.

"Iya, bos?"

"Ingat baik-baik wajah laki-laki ini dan mulai sekarang jangan izinkan dia masuk ke sini dengan alasan apapun." 

"Tapi—," 

"Kau paham dengan apa yang aku ucapkan 'kan?" tanya Sabila tegas.

"Pa-paham, bos." 

"Sabila dengarkan aku dulu," pinta Xavier.

"Diam!" Sabila mengacungkan jari telunjuknya didepan wajah Xavier dengan begitu emosi. "Pergi dari sini!" 

"Tidak." 

"Kalau begitu biar aku yang pergi."  

Sabila berjalan cepat keluar dari boutique-nya demi menghindari Xavier. Baru saja ia akan membuka pintu mobil, tangan Xavier langsung sigap mencekal pergelangan tangannya dan menariknya kedalam pelukan laki-laki itu.

"Lepas!" berontak Sabila.

"Tidak, Bil. Aku mohon biarkan seperti ini sebentar saja." 

"Lepas atau aku akan berbuat nekat, brengsek!"

"Tidak." 

Sabila yang merasa benar-benar tak memiliki celah untuk lari, akhirnya dengan berani melipat lututnya dan menendang bagian sensitif Xavier, hingga membuat pelukan itu terlepas. Bahkan, wajah Xavier sudah semerah udang rebus, karena menahan sakit pada inti tubuhnya. Sedangkan Sabila yang melihat Xavier kesakitan, sama sekali tidak merasa kasihan. Justru, kesempatan itu ia gunakan untuk cepat-cepat masuk kedalam mobil dan pergi dari sana.

"Aghh! Sabila tunggu." 

Sabila mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia langsung membelokkan laju mobilnya menuju apartemen dan langsung masuk kedalam bangunan bertingkat itu. Begitu tiba di unit apartemennya, ia langsung masuk dan menghempas tas jinjingnya di sofa. Sungguh, hari ini adalah hari paling buruk yang pernah Sabila temui. Hari dimana ia dipertemukan dengan sosok laki-laki di masa lalunya dan sosok laki-laki itu sangatlah ia benci.

Dring dring.

"Mama," lirih Sabila saat melihat nama kontak Nyai Ratu yang tertera. Tanpa ingin membuang waktu, Sabila lantas mengangkat panggilan. "Halo Ma?" 

"Kenapa lama sekali mengangkat teleponnya? Mau mulai-mulai jadi anak durhaka, hah?!" 

Sabila menjauhkan sedikit teleponnya dari telinga karena tidak tahan mendengar suara nyaring sang Mama. "Ada apa Mama menghubungiku?" tanya Sabila akhirnya, membuat helaan napas panjang terdengar dari ujung telepon sana.

"Berapa usiamu tahun ini, Bil?" tanya Mama Daffina.

Sabila ikut menghela napas kasar. mendengar satu kalimat basa-basi dari sang Mama saja sudah membuatnya mampu untuk menebak dan menyimpulkan. Karena ia tahu, Mamanya pasti tahu dengan pasti berapa usianya sekarang. Mamanya hanya sedang mencoba berbasa-basi untuk lanjut pada pembahasan mengenai pernikahan.

"Mama hanya ingin yang terbaik untuk anak Mama. Apalagi, kau adalah putri Mama satu-satunya. Udo Aksa dan Dongah Aaron juga sering menanyakan perihal dirimu pada Mama dan Papa. Mereka juga turut khawatir denganmu, Bil. Bagaimanapun, usiamu sudah sangat cukup untuk menikah." 

Sabila memejamkan matanya mendengar ucapan sang Mama. Tidak ada lagi kalimat penenang yang bisa Sabila utarakan sebagai alasan. Sementara selama tujuh tahun terakhir, kedua orang tua dan kedua kakaknya selalu mempertanyakan perihal kelanjutan hidupnya. Ya, sebagai putri tunggal dan memiliki dua Kakak laki-laki, ia dilarang untuk berpacaran sebelum lulus kuliah. Namun sebelum lulus kuliah, tragedi tak mengenakan 'pun terjadi, membuatnya menghilangkan pikiran untuk menjalin hubungan serius dengan siapapun. Bahkan, karena kejadian itu Sabila memutuskan pindah kuliah ke tempat lain.

"Bil, masih di sana 'kan?" tanya Mama Daffina.

"Mama dan Papa akan datang ke acara anaknya Kak Bara 'kan? Kita bicarakan saat acara di rumah Kak Bara saja nanti," ucap Sabila akhirnya.

"Baiklah kalau begitu maumu. Mama tutup teleponnya, sayang."

"Hm, salam untuk Papa dan yang lain, Ma." 

Setelah panggilan terputus, Sabila menatap layar ponselnya dengan tatapan datar. Ia tahu keresahan hati orang tuanya terkait dirinya yang belum menikah hingga kini usianya menginjak 29 tahun. Tapi, hingga kini tidak ada satu orang 'pun yang mengetahui penyebab dirinya hilang selera untuk menikah. Bahkan, kepercayaannya terhadap laki-laki 'pun sudah tidak ada lagi sekarang.

"Xavier!" 

Sabila mengepalkan tangannya erat saat teringat satu nama yang menbuatnya mengalami ini semua. Xavier, laki-laki itu adalah laki-laki pertama yang ia sayangi setelah Papa dan kedua kakaknya. Tapi laki-laki itu juga yang membuat kepercayaannya menjadi luntur tak tersisa. Jika bukan karena laki-laki itu yang dulu mempermainkannya bahkan berniat melecehkan dirinya, maka hingga saat ini, sosok Sabila periang pasti akan tetap ada. Tapi sekarang, Sabila periang telah hilang,  berganti dengan sosok wanita dingin yang tidak lagi mengenal pria.

Sabila memejamkan mata dengan helaan napas dalam. Setelah itu ia melangkah menuju kamarnya dan menghempaskan diri di kasur. Ia memandang langit-langit kamar, hingga akhirnya tanpa terasa matanya tertutup secara perlahan dan mengarungi alam mimpi.

Bab 3

Xavier mematikan mesin mobilnya. Ia menghela napas kasar sebelum akhirnya masuk kedalam rumah besar keluarganya. Sudah sejak beberapa tahun yang lalu ia meninggalkan rumah ini dan memilih tinggal sendiri di rumah minimalis miliknya demi menghindari sang Mommy yang terus menerus meminta dirinya untuk menikah. Namun kali ini, dengan berat hati ia harus kembali ke rumah ini demi menepati janji.

"Den," sapa Mbok Imah saat melihat anak majikannya pulang.

"Apa kabar, Mbok?" 

"Baik Den, Aden sudah lama tidak pulang, Mbok sampai tidak bisa lagi menggambarkan wajah Aden." 

Xavier terkekeh mendengar ucapan Mbok Imah. Dari dulu ia memang cukup dekat dengan pekerja rumahnya, termasuk Mbok Imah. Bahkan terkadang ia pulang ke rumah dengan membawa makanan lalu memakannya bersama para pekerja yang lain.

"Mommy dan Daddy ada, Mbok?" tanya Xavier.

"Ada Den, lagi dibelakang tadi." 

"Baiklah, kalau begitu aku masuk dulu, Mbok."

Xavier melangkah masuk menuju halaman belakang. Begitu tiba di sana, terlihat sang Daddy yang tengah menanam bunga pada pot yang tersedia, sedangkan sang Mommy berkacak pinggang memperhatikan pekerjaan suaminya.

"Itu lo Pak, piye to Bapak iki," ucap Mom Mirna saat melihat suaminya belum memberikan kerikil diatas tanah didalam pot. "Ini juga, kenapa jadi seperti ini. Duh gusti... nu agung." 

"Daddy 'kan sudah bilang tidak tahu, tapi Mommy saja yang terus memaksa" sahut Daddy Andreas.

"Heh, ini namanya bukan memaksa, tapi meminta tolong." ucap Ibu Mirna tak mau kalah. "Lagipula tadi Ibuk juga sudah bilang kalau Bapak tidak mau tidak apa-apa. Tapi malah Bapak sendiri yang bilang mau membantu."

"Bagaimana mau menolak kalau ancamannya mematikan," gerutu Daddy Andreas.

"Bapak bicara apa?"

"Tidak, tidak, Daddy bilang kalau Mommy itu cantik." 

"Hm, kalau itu 100% benar. Buktinya seorang bule Inggris saja bisa klepek-klepek sama Ibuk," goda Ibu Mirna pada sang suami yang memang berasal dari Inggris.

Ehem!

Mom Mirna membalik tubuhnya saat mendengar deheman seseorang dari arah belakang. Begitu melihat sang putra berdiri di sana, ia segera berlari dan memeluk putranya dengan erat. Mom Mirna mengecek tubuh putranya dari atas ke bawah, lalu memutarnya secara terus-menerus untuk memastikan tidak ada yang kurang suatu apapun.

"Mom kepalaku pusing," keluh Xavier.

"Oh iya, maaf-maaf. Ibuk terlalu senang karena kau pulang. Jadi kau pulang untuk tinggal di sini lagi 'kan?" tanya Ibu Mirna beruntun.

"Ajak istirahat dulu, Mom." Daddy Andreas mendekati putranya dan menepuk bahunya singkat. "Apa kabarmu, Boy?" 

"Baik, Dad." 

"Le, malam ini langsung siap-siap ya. Ibuk akan langsung mengenalkanmu dengan anak teman Ibuk," ucap Ibuk Mirna.

"Secepat itu, Mom?"

"Hm, bukankah kau juga sudah menyetujui perjodohan Ibuk? Ingat Vier, Ibuk sudah menunggu sangat lama untuk semua ini. Jadi tidak ada penolakan lagi sekarang." 

"Tapi Mom."

"Apa lagi?" Ibuk Mirna sudah menatap nyalang putranya. Pasalnya, lagi-lagi putranya akan kembali menghindar.

"Mom, untuk kali ini lagi saja izinkan aku memperjuangkan milikku," pinta Xavier.

"Ibuk sudah memberikan waktu bertahun-tahun untukmu. Tapi kau masih belum juga memberikan menantu untuk Ibuk. Ibuk ini sudah tua, Bapak juga, bagaimana kalau kami mati sebelum mendapatkan menantu. Aduh gusti... Ibu tidak bisa membayangkan semua itu." ucap Ibuk Mirna dramatis.

"Tapi kali ini aku berjanji untuk segera memberikan Mommy menantu." 

"Ohoho, Sayang. Kali ini Ibuk tidak bisa lagi memberi keringanan, karena anak teman Ibuk yang akan dijodohkan denganmu akan datang malam ini. So..." Ibuk Mirna melirik suaminya. Meminta laki-laki itu untuk melanjutkan ucapannya dalam bahasa Inggris. Sebab, dirinya sama sekali tidak memahami bahasa Inggris sedikitpun. Namun, demi gaya, ia selalu membebani suaminya untuk melanjutkan ucapannya menggunakan bahasa asing itu.

"So don't argue with your Mommy words, Boy. (Jadi turuti saja apa keinginan Mommy-mu, Boy)." ucap Daddy Andreas.

"But Dad, does Daddy really agree with Mommy's choice? (Tapi Dad, memang Daddy setuju dengan pilihan Mommy?)" tanya Xavier.

"Very not, thirty years old is not a terrible age, right? (Sangat tidak, usia tiga puluh tahun bukan usia yang mengerikan bukan?)" Daddy Andreas menjawab pertanyaan putranya dengan tersenyum di hadapan sang istri, takut kalau ternyata sang istri curiga dan berakhir dengan hal mengenaskan bagi dirinya.

"Sudah Bapak katakan padanya kalau Ibuk tidak memberi keringanan?" tanya Ibuk Mirna.

"Sudah Mom." 

"Good job," Ibuk Mirna mengangkat kedua jempolnya kepada sang suami dengan tersenyum senang. Ia tidak tahu saja kalau sebenarnya suami dan anaknya itu tadi membicarakan dirinya.

*

Xavier berjalan malas keluar dari kamar dengan mengenakan pakaian batik yang sudah dipersiapkan sang Mommy sebelumnya. Ia menuju ruang keluarga dan melihat Daddy-nya yang juga sudah siap dengan pakaian batik couple dengannya. Sementara Mommy-nya sama sekali belum terlihat.

"Boy," sapa Daddy Andreas.

"Di mana Mommy, Dad?" 

"Masih memakai sanggul tadi." 

Xavier duduk bersama Daddy-nya di ruang keluarga sembari menunggu sang Mommy. Karena Xavier yakin, hingga beberapa menit yang akan datang, Mommy-nya pasti belum selesai bersiap. Ya, terlahir dari budaya Jawa dan pedoman budaya kental, membuat Mommy-nya benar-benar betah menggunakan kebaya dan berdandan ala-ala putri Keraton. Hingga setiap hari, setiap pertemuan dan setiap ada acara apapun, maka sang Mommy pasti akan memakai kebaya, baik yang modern maupun tradisional.

"Sebenarnya, Daddy penasaran dengan wanita pilihan yang kau maksud. Bahkan selama bertahun-tahun kau sama sekali tidak mau dijodohkan karena menunggu dirinya. Apa Daddy tahu siapa dia?" tanya Daddy Andreas.

"Seorang desainer, Dad. Aku rasa Daddy pasti mengenalnya, karena dia adalah desainer yang cukup terkenal saat ini." 

"Oh ya, siapa namanya?" 

"Sabila, dari keluarga Bumantara." 

"Keluarga Bumantara?" 

"Hm." 

Daddy Andreas mengangguk. "Ya, Daddy mengenalnya. Pilihanmu bagus, boy." puji Daddy Andreas.

"Hm, tapi dia terlanjur kecewa padaku, Dad." 

"Why?" 

"Karena aku pernah mengecewakannya di masa lalu." 

Daddy Andreas paham sekarang. Ia menepuk bahu putranya seakan mewakilkan kata semangat yang tidak bisa ia utarakan. "Daddy yakin kau bisa meyakinkannya, bahwa Xavier yang sekarang bukan lagi Xavier yang ia kenal beberapa tahun yang lalu." 

"Thank you, Dad. Tapi, situasinya sekarang sudah berbeda. Mommy sudah mengatur pertemuanku dengan anak temannya malam ini, itu artinya kesempatanku untuk bisa bersama Sabila akan semakin kecil." 

Jika di ruang keluarga tengah diisi dengan curhatan ayah dan anak, maka di dalam kamar, Ibuk Mirna telah menyelesaikan ritual berdandannya. Ia berdiri dan membalik tubuh dari meja rias. Tangannya dengan cekatan membenarkan letak selendangnya dengan mengibasnya sedikit, seakan menghalau debu yang akan menempel. Ia lantas mengusap permukaan rambutnya, memastikan penampilan sanggul kebanggaannya itu sudah benar-benar sempurna.

Begitu selesai, ia mengambil kacamata minus miliknya dan memakainya. Warna kacamata yang berwarna hitam membuat tampilan Ibuk Mirna benar-benar seperti istri pejabat. Setelah memastikan semuanya selesai, ia langsung melangkah untuk keluar. Namun baru saja melangkah, ia kembali menghentikan langkahnya saat merasa ada sesuatu yang kurang. Ia kembali menghadap meja rias dan memperhatikan lipstiknya kembali.

"Sepertinya masih kurang merah," Dengan cekatan, jari lentiknya mengambil lipstik dengan warna yang paling terang dan mengolesnya. "Hmm, sempurna." 

Ibu Mirna melangkah anggun keluar dari kamar. Begitu tiba di depan anak dan suaminya, ia memutar tubuhnya dengan senyum mengembang dan kedua alis yang terangkat. Ia seakan belum puas dengan tampilannya jika belum dinilai oleh dua laki-laki kesayangannya itu.

"Bagaimana penampilan Ibuk, oke?" tanya-nya.

"Oke." jawab Xavier dan Daddy Andreas bersamaan.

"Hm, itu pasti. Sudah, kalau begitu tunggu apalagi? Ayo kita berangkat." ajak Ibu Mirna. 

"Tunggu Sheryl, Mom. Bagaimana kau bisa melupakan putrimu?" Peringat Daddy Andreas.

"Oh astaga, mengapa Mommy bisa melupakannya. Haish! Ini juga salahnya, kenapa tidak tinggal di sini saja, malah sok-sokan ingin mandiri dan tidak tinggal di sini." 

"Kata Daddy semua orang bebas dengan pilihannya," pekik Sheryl dari ruang tamu. 

"Ish! Terus saja dengarkan ucapan Daddy-mu." gerutu Ibu Mirna. 

"Sudahlah, ayo kita berangkat." ucap Daddy Andreas menengahi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!