NovelToon NovelToon

Pendaratan Sempurna Di Dapur Zetta

PROLOG

Kemarau telah tiba, udara hangat serta langit yang dihiasi bintang-bintang. Ditambah suara hewan malam yang selaras dengan instrumen musik yang sengaja diputar untuk membuat suasana romantis.

Dua sejoli telah merencanakan berkemah diakhir pekan di alam terbuka. Sayangnya, mereka disibukkan dengan pekerjaan masing-masing sehingga taman belakang rumah menjadi pengganti rencana mereka. Suasana yang dibuat seromantis mungkin bisa dirasakan ketika api unggun mulai meredup serta posisi duduk yang saling menempel.

Wanita pemilik senyum manis bernama Galina membenarkan kain yang menyelimuti tubuh mereka. “Nyamannya. Setelah diundur beberapa kali akhirnya sekarang bisa terwujud. Makasih, ya."

Lelaki di sampingnya mengangguk, dia mengusap pipi Galina lembut lalu memberikan secangkir teh hangat. “Apa yang ada di pikiranmu akhir-akhirnya ini? Sebisa mungkin aku coba wujudkan keinginanmu."

“Aku capek. Aku ingin istirahat yang panjang. Menghabiskan waktu berdua di kamar, belanja bulanan berdua, ke bioskop berdua, makan sepiring berdua, cuci piring berdua, masak berdua, seharian nonton tv sambil tiduran, melakukan aktivitas berdua tanpa memikirkan pekerjaan.”

Pasangannya menggeleng seraya tertawa kecil. “Kita belum sekaya itu untuk malas-malasan. Untuk saat ini, kita mengumpulkan modal demi hidup malas-malasan yang panjang.” Kemudian dia menyeruput tehnya. “Kamu pernah bilang siklus percintaan, apa maksudnya?”

"Aku nggak nyangka kamu bakal tanya itu. Seseorang melewati 3 siklus percintaan mulai dari cinta pertama, kedua, dan terakhir. Dalam berhubungan, kita pun memiliki permasalahan cinta ketika menemui siklus itu. Aku merasa telah melewati banyak siklus percintaan dari yang seharusnya, karena aku tipe orang yang mudah jatuh cinta. Kalau kamu?"

Sebisa mungkin lelaki itu menahan agar tidak cemburu. "Enggak tau. Kisah cintaku hanya berhenti di cinta pertama. Aku tipe susah jatuh cinta, sekalinya hatiku menyukai seseorang, maka aku akan mengejarnya sampai dapat."

"Wah, keren. Wanita itu pasti beruntung. Berbeda dengan diriku, aku terus mencari jodohku sampai sering sakit hati, bahkan aku pernah melupakan orang yang aku cinta karena terlalu ingin bersamanya. Untungnya, masa itu telah berlalu," sesal Galina yang berusaha untuk melengkungkan bibirnya ke atas.

“Kok bisa lupa sama orang itu?”

Mata lentik wanita itu menatap jodohnya. "Salahku memberikan hidupku padanya sampai aku nggak bisa terima kenyataan bahwa hubungan nggak cuma antara aku dan dia, tapi restu orang tua yang sulit aku dapat. Akhirnya, aku menyerah."

“Banyak yang belum aku tau tentang kamu.”

“Kamu mau mendengar semuanya?” tawar Galina yang tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya.

Pupil lelaki itu membesar disusul senyum merekah. “Mau. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Termasuk kisah cinta terakhirmu."

"Semalaman nggak akan cukup untuk menjabarkan kisah cintaku yang seperti roller coaster."

“Nggak masalah. Kita masih punya waktu yang panjang untuk menua bersama.” Tangan lelaki itu terbentang ke atas menggambarkan isi pikirannya yang akan menua bersama istrinya.

Betapa beruntungnya Galina bertemu dengannya. Banyak perjuangan yang telah mereka lalui hingga saat ini hanya untuk tinggal bersama. "Aku ceritakan kisah cintaku yang penuh masalah sampai akhirnya bertemu seseorang sebagai penutup masa merah mudaku."

"Aku akan menjadi penyimak yang baik.” Lelaki itu menatap Galina seakan memberitahu cinta pertama yang dia maksud adalah dirinya.

Malam ini mereka habiskan sekedar bertukar cerita dan mengenal diri mereka masing-masing sampai pagi menjemput untuk melanjutkan kehidupan baru yang baru saja mereka bina.

1. Hati yang Siap Jatuh Cinta

Keadaan rumah berisi dua orang tengah disibukkan dengan persiapan putri satu-satunya yang akan memasuki sekolah tahun ajaran pertama di SMA. Bagaimana tidak meributkan hal kecil mereka bangun kesiangan sampai lupa mempersiapkan barang untuk orientasi siswa baru karena semalam restoran lembur.

Andai ada seorang ibu dalam keluarga mereka pasti hal ini tidak mungkin terjadi. Namun, takdir merenggut keluarga Ramla yang seharusnya memiliki keluarga kecil utuh kini dia harus hidup berdua dengan hadiah yang ditinggalkan mendiang istrinya.

"Ayah, sepatu baruku mana?" teriak gadis yang keluar menggunakan seragam putih abu-abu bernama Galina Zetta Swastika.

Ramla berhenti menyiapkan tas sebab melihat anak gadisnya telah tumbuh menjadi remaja sehat dan cantik. "Lihatlah anakmu, Fira, dia tumbuh dewasa tapi masih belum mandiri."

"Ayah!"

"Ada di luar kemarin Ayah cuci," jawab Ramla memaksa putrinya duduk di depan cermin. Dia melihat wajah anaknya yang mewarisi paras cantik istrinya.

"Lina buru-buru, Ayah!"

"Rambutmu masih berantakan. Biar Ayah yang merapikan seperti dulu. Model seperti apa, ya? Kepang atau be--"

Galina menggeleng kesal setelah mengingat usaha Ayahnya membuat gaya rambut aneh-aneh. "Nggak usah diikat, Yah. Lina cantik tanpa rambut diikat."

"Malang lagi panas nanti kamu gerah." Ramla pun menyisir rambut putrinya dengan hati-hati lalu menguncir kuda tanpa memakai poni, sementara Galina mengeluarkan beberapa helai rambut agar terlihat manis.

"Ayah tunggu di bawah."

Galina teringat sesuatu saat memakai sepatu, dia langsung kesal berteriak memanggil Ayahnya, "Kenapa sepatu baru dicuci dulu, sih, Yah? Hilang barunya!"

Ramla menghampiri putrinya membawa tas dan bekal. "Sepatu belum dipakai pun masih dianggap baru, buruan!"

Setelah kepergian Ramla, Galina melihat sepatu barunya yang baru dia beli di toko stok lama karena harganya jauh lebih murah mengingat ekonomi Ayahnya sedang susah. Dia melihat dengan teliti seharusnya bagian sol sepatu ada noda kecil, tetapi sekarang hilang.

"Bilang aja sepatu barunya kotor," cibir Galina lalu menutup pintu dengan senyuman lebar.

Gadis dengan ikat rambut gambar wortel itu bersenandung kecil ketika menuruni tangga, dia pun masuk ke dalam mobil yang sudah ditunggu Ayahnya.

Setelah ke luar dari restoran, Galina membuka dompet Ramla agar bisa melihat foto Ibunya. "Ayah, kenapa Ibu milih Lina daripada dirinya sendiri? Kalau Ibu milih diri sendiri pasti kalian punya anak lagi, bukan seperti yang sekarang anaknya menyusahkan terus."

"Ayah bangga sama Ibu mempertahankan kamu. Apapun keputusan Ibu, pasti itu yang terbaik, karena Ibu udah lama di dunia ini dan banyak menelan pahit manisnya hidup, mungkin itu alasannya memberikan kesempatan hidupnya buat anaknya tersayang."

"Kalau Ibu yang selamat pasti hidup Ayah terarah. Lina belum bisa jadi seperti Ibu."

Ramla mengembuskan napas. "Ayah nggak berpikir sampai situ. Ayah janji sama Ibu akan buat hidup kamu manis tanpa merasakan pahitnya hidup seperti Ibu. Kamu harus janji jangan menyia-nyiakan hidup untuk hal yang buat merugikan orang banyak."

Galina mengangguk patuh. Dia ingin kebebasan jatuh cinta, tetapi harus meminta izin hati-hati. "Lina ada dua permintaan yang harus Ayah kabulkan."

"Apa itu?"

"Yang pertama, Ayah harus nikah lagi." Anak gadis Ramla tertawa kecil, sebab tahu jika Ayahnya akan menolak.

"Bagaimana Ayah bisa nikah lagi kalau Ibu berjuang mempertahankan anakku dengan nyawanya tapi balasan perjuangannya diduakan. Permintaan kedua?"

"Kan bukan selingkuh."

"Iya, Ayah tau. Bagaimana bisa orang yang udah mengisi hatinya tergantikan orang lain? Ayah memberikan hati untuk dihiasi kenangan Ibu sebagai hadiah terakhir untuknya, kamu tega mau mengusir Ibu dari hatinya Ayah?"

Galina memijit pelipisnya, susah berdebat sama Ayahnya. "Oke kalau itu mau Ayah hidup di masa lalu. Tapi, sebagai anak keturunan Ibu, Lina yakin Ibu pasti berpikir hal yang sama."

Ramla diam sekilas lalu cemberut. "Kamu bosan hidup sama Ayah, Lin?"

"Enggak, Lina hanya takut Ayah kesepian dan karena Lina, Ayah terbebani ingin menikah," jelasnya dengan cepat agar tak salah paham.

"Ini yang jadi beban Ayah, disuruh nikah lagi."

"Lupakan yang tadi, Yah. Keinginan kedua, kalau boleh minta, apa Ayah bisa bertahan untuk waktu yang lama? Lina rasa akan kehilangan arah jika Ayah pergi juga. Lina ingin menikmati waktu seperti remaja pada umumnya sebelum waktu berlalu. Lina banyak minta, ya?" Galina menunduk melihat sepatu barunya yang akan dipakai setiap sekolah.

"Nggak papa kalau itu kemauan kamu, asalkan jangan merugikan dirimu dan orang lain, termasuk kepercayaan Ayah, paham?" tanya Ramla dengan tegas.

"Paham. Ayah nggak perlu cemas karena Lina sekuat Ibu dan sebaik Ayah." Galina mengacungkan jempolnya.

Melihat senyum Galina buat Ramla merasa bersalah sebab sejak sekolah baru kali ini mengantar sampai gerbang. "Maaf kalau sering sibuk, Lin. Ayah lagi mempertahankan restoran yang nantinya jadi milikmu, sebelum itu Ayah harus buat restoran stabil biar nanti saat jadi milik kamu selanjutnya kamu nggak banyak masalah."

"Kesehatan Ayah yang pertama. Lina akan berusaha jadi PNS biar bisa bantu Ayah," ucap Galina penuh keyakinan.

Sang Ayah kecewa mendengar putrinya berkata seperti itu setelah perjuangannya mempertahankan bisnis turun-temurun, tetapi itu pilihannya. "Belajar yang giat kalau begitu saingannya banyak."

Galina pun hormat sampai mobil berhenti. Lantas dia melihat padatnya jalanan kota Malang di pagi hari. Setelah sampai di tempat tujuan, Galina sangat menantikan hari pertamanya berada di sekolah untuk membuat banyak kenangan indah yang sudah direncanakan. Jantungnya berdetak kencang saat melihat lawan jenis dari dalam mobil karena sebelumnya bersekolah di sekolah khusus perempuan. Jika beruntung Galina akan merayakan 17 tahun di sekolah ini bersama kekasihnya.

"Tunggu apa lagi? Buruan nanti terlambat." Dengan dorongan Ayahnya yang mengantar sekolah, Galina memeluknya sebagai pamitan.

"Makasih, Yah, udah bantu masuk ke sekolah impianku. Lina akan mengingat kenangan berharga waktu Ayah antar ke sekolah untuk pertama kalinya. Ini momen paling langka karena bisa ngobrol banyak hal sama Ayah," ungkap Galina sebab dirinya merasa bahagia.

Ramla mengusap kepalanya lembut. "Ayah janji akan menyempatkan antar jemput setiap hari."

"Nggak perlu dipaksakan kalau nggak bisa, yang penting uang ongkos jalan terus," harap Galina lalu ke luar dari mobil dan melambaikan tangannya.

Ramla membalas lambaian tangannya dengan tersenyum lebar. "Anak kita udah masuk SMA. Aku bisa nggak, ya, hidup lama menyaksikan Galina lulus PNS, Fir?"

Ketika hendak masuk gerbang, Galina ingin melepas ikat rambutnya, dia ingat Ayahnya membuat rambutnya terlihat rapi. Akhirnya dia mengencangkan kembali ikat rambutnya lalu masuk ke gerbang bertulis 'SMA Muda Berkarya'.

"Akhirnya, bisa masuk ke sekolah campuran!" teriakannya mengundang perhatian semua orang. Tiada kata malu baginya, justru Galina masuk dengan percaya diri sebab menggunakan sepatu baru.

“Cie, yang baru ke luar dari penjara. Gimana ganteng-ganteng nggak?” goda perempuan berponi setelah merangkul Galina.

Mata gadis itu tidak bisa dibohongi. Namun, dia harus mengelak. “Biasa aja, standar anak swasta.”

Gadis dengan name tag Sofia Andini terus mengejek sahabatnya. “Kalau udah punya pacar beritahu aku, ya?”

“Nggak mau. Nanti dia suka kamu lagi.”

Sofia menggeleng. "Aku janji nggak akan suka sama orang yang kamu suka atau pacarmu. Kamu juga harus gitu.”

“Aku juga janji.”

Lantas mereka memasuki aula untuk orientasi. Betapa tertariknya Galina di hari pertamanya sekolah. Berada di antara orang banyak membuat energinya terasa penuh. Sesekali dia melirik lelaki yang berada di depan.

"Pia, kenapa kamu sekolah di sini? Kamu nggak ikutin aku, ‘kan?”

Sofia melirik gadis di depannya itu penuh keheranan. “Seharusnya aku yang tanya itu, kamu dibolehin sekolah di sini sama ayahmu?”

“Aku memaksa,” ringis Galina, “Karena ingin merasakan jatuh cinta di masa remajaku. Katanya ketika kita jatuh cinta jantung akan berdetak lebih kencang, berangkat sekolah pun rasanya semangat, saat lagi pusing sama tugas pasti nggak akan terasa berat dan yang terpenting aku nggak merasa kesepian.”

Mendengar jawaban dari sahabatnya yang polos itu Sofia tertawa. Dia hanya geleng-geleng dengan ocehan perempuan lulusan asrama.

“Kenapa?”

“Cinta nggak sesederhana itu, Lin. Coba kamu pikirkan, iya kalau kamu bertemu sama orang yang suka kamu, gimana kalau enggak? Pikirin juga kalau orang itu positif buat kamu kalau sebaliknya cinta bisa buat kamu kecewa. berdoa aja kamu bertemu sama orang baik dan perhatian.”

Perkataan Sofia bagaikan anak panah menancap pada uluh hatinya. Gadis yang dipenuhi simbol cinta itu mendadak seperti patung. Dia langsung mengepalkan tangannya untuk memohon kepada Tuhan.

“Tuhan, jika memang hidupku hanya satu kali, lancarkan kisah percintaanku sampai dewasa kelak dan pertemukan aku dengan orang yang tepat, yang cintanya lebih besar dari aku serta perhatian—”

“Banyaklah permintaanmu. Minta sekalian paket lengkap.”

Galina mengangguk. “Yang kaya, tampan, pemberani, penyayang, menerima kekuranganku. Amin.”

“Ada yang kelupaan, Ga. Kamu belum sebut dapat restu orang tua, itu penting, loh.”

Napas berat Galina bisa terdengar Sofia. “Belakangan aja nggak papa, ya?”

“Nggak ikut campur kalau itu.”

“Pia!"

Sofia menghadap depan berharap sahabatnya mendapatkan kekasih yang terbaik yang mampu menemaninya untuk waktu yang lama. Dalam hatinya Sofia banyak berdoa demi kebaikannya sampai melupakan dirinya sendiri.

2. Fase Merah Muda

Hari pertama sekolah sangatlah lancar terlihat dari lengkungan bibir Galina yang tidak henti bersenandung kecil. Galina memasuki dapur untuk menyapa Ayahnya, sayang sekali keadaan dapur sibuk.

Ramla tengah memberikan instruksi pada karyawannya. Sementara anaknya yang masih memakai seragam berkeliling memantau orang-orang bekerja.

“Hey, kenapa ada anak kecil masuk dapur?” tanya Ramla setelah selesai memberi instruksi.

“Dia kelaparan baru pulang dari paud, Pak,” sahut lelaki yang baru datang dari belakang yang membawa sekotak penuh ikan.

“Dari wajahnya memang udah jelas dia kelaparan,” tambah wanita yang ada di depan Galina.

Semua orang tertawa ketika melihat Galina yang memegang sendok di tangannya. Orang yang jadi bahan candaan terlihat bingung, lantas dia mencicipi masakan wanita itu.

Dahi Galina berkerut. "Loh, kok kurang berasa, Bu?"

Si pemilik masakan pun ikut mencicipi. "Ini udah pas, Lin. Justru masakan ini best seller di restoran kita tau.”

Galina menelan saliva kasar. “Ayah, coba cicipi. Barangkali aku salah.”

“Ayah sibuk, Lin. Masakan karyawan Ayah nggak pernah salah. Coba kamu cicipi lagi,” jawab Ramla yang kerepotan menyambi dua masakan sekaligus.

Galina melempar sendok yang dipegang ke lantai sehingga membuat kegaduhan. Dia membenci kata sibuk yang ke luar dari mulut Ayahnya. “Aku yakin masakannya kurang asin!”

Lelaki yang bertugas menggoreng ikan ikut merasakan masakan ikan berkuah kuning yang menjadi awal keributan ini. Lelaki itu mencicipi dengan hati-hati lalu melihat Galina

"Ada yang salah sama lidah kamu, Lin.”

Merasa tak enak membuat keributan, Galina mengulum bibirnya setelah ingat kekurangan indra perasa. "Rasanya memang kurang berasa di lidahku.”

“Belajar masak sama aku, yuk. Bonusnya kamu bisa merasakan masakan enak setiap hari,” tawar lelaki itu dengan menaik turunkan alis.

Sekujur tubuh Galina merinding, sebab dia merasa sedang berbicara dengan Om-Om walaupun umur mereka terpaut 3 tahun. "Aku nggak mau mengelola restoran Ayah, apalagi masak. Aku mau jadi PNS!"

Karyawan yang lain terbelalak, sementara Ramla biasa saja sebab dia tahu jika Galina enggan melanjutkan bisnisnya. Tetap saja para karyawan takut jika restoran bangkrut karena kesehatan Ramla yang menurun.

"Ayah kamu pemilik restoran rumahan terkenal di Malang. Daripada kerja sama orang, lebih baik jadi pewaris. Kamu udah enak tinggal melanjutkan, belum lagi merintis," cibir karyawan yang dari tadi menyimak ikut angkat bicara.

Asisten Ramla menyahut, "Galina mana tertarik sama bisnis, jiwa muda itu tertarik sama cinta. Kenyang dia kalau kenal cinta."

Berulang kali Galina mengembuskan napas karena jenuh dinasihati di depan banyak orang. "Aku masih muda ya, Ibu-Ibu. Nanti kalau sudah dewasa juga tau mana yang baik untuk diri sendiri."

"Biarlah Lina menjalani masa remajanya. Kalau sudah siap sama Mas, ya?" tanya lelaki itu dengan kedipan sebelah mata.

Sontak Galina membuang wajah lalu ke luar. "Mereka mana tau ada di posisiku!”

"Kamu itu harus bantu Ayah kamu di restoran ini. Kasihan beliau sudah tua, sering sakit,” sahut petugas kebersihan yang menguping percakapan mereka.

"Aku nggak suka kamu bilang seperti itu. Ayahku masih sehat. Kamu kalau bicara hati-hati! Lagi pula aku masih sekolah, Ayah nggak masalah. Mendingan kamu fokus kerja! Kalau aku jadi bos kamu orang pertama yang aku pecat!"

"Kamu dibilangin baik-baik jawabnya gitu. Nanti menyesal jangan nangis," sindirnya mengejek Galina.

"Memangnya kamu udah jalani kehidupan sekeras apa? Pernah diterjang angin topan? Baru diprotes pelanggan aja udah merasa hidupnya nggak berguna,” balas gadis yang mengepalkan kedua tangannya.

"Aku lebih tua dari kamu, ya! Wajarlah bilang itu karena memang sudah melewati banyak cobaan," bantahnya seraya melipat kedua tangan di depan dada.

Pelayan yang datang itu pun menyuruh mereka diam. "Jangan buat keributan deh. Kalian sudah besar, harus tau tempat."

"Urusan begini baru dibilang dewasa," sindirnya yang melirik penjaga kasir itu.

"Lin, yang sopan sama orang yang lebih tua dari kamu," tegur pelayan itu penuh kelembutan.

Galina tidak menggubris mereka, dia memilih naik ke atas menuju kamarnya. Perasaan bahagianya lenyap seketika. Namun, dia berusaha mengatasi lewat kenangan orientasi di sekolah tadi.

“Aku telah menemukan gebetan pertamaku, namanya Rayno Bastian,” tuturnya setelah merebahkan diri di tempat tidur.

Berulang kali dia berguling di atas kasurnya, lalu menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih dengan senyum kebahagiaan.

“Apa yang buat aku suka sama dia? Apa karena jambulnya? Beatbox-nya? Yang jelas dia adalah cinta pandangan pertamaku!” ungkapnya seraya memeluk guling.

Ternyata hati Galina dipenuhi bunga yang baru tumbuh. Padahal beberapa menit lalu dipenuhi emosi. Memang cinta mengalihkan segalanya sampai tidak terasa tangan Galina mengukir namanya sampai terlelap tidur. Virus merah muda telah menyebar dengan cepat di seluruh tubuhnya setelah dia terjangkit virus itu.

"Rayno Bastian."

...**************...

Setelah melewati malam yang sangat panjang, akhirnya pagi tiba. Dia berencana menemui Rayno di sekolah. Virus merah muda telah menyebar cepat sehingga Galina terserang demam merah muda. Hari-harinya terasa ringan dilalui berkat suasana hatinya yang membaik. Hal ini yang buat Galina mengutamakan cinta daripada memikirkan masalah yang berada di urutan terakhir.

“Pia, sayang banget nggak sekelas sama kamu,” sesal Galina setelah sampai di depan kelas Sofia.

Sofia bosan mendengar Galina mengatakan hal yang sama setelah mengantarnya ke kelas. "Udah sebulan kamu bilang gitu, apalagi antar aku sampai kelas."

Gadis berkuncir kuda itu masih mencari-cari keberadaan Rayno yang langsung tertawa setelah Sofia protes. "Enak banget jadi kamu bisa sekelas sama Rayno."

"Jadi, protesnya karena Rayno bukan aku?” tanya Sofia yang mendramatisir percakapan mereka.

"Enggak. Tapi benar aku mau sekelas sama Rayno," ungkapnya langsung membungkam mulut.

Sofia mengenal Galina lama, dia tahu betul hal yang dirasakan sahabatnya. Melihat orang yang dicari Galina baru berangkat, Sofia menunjuk ke arah lapangan menggunakan kedua matanya. Sontak Galina menengok ke belakang.

Wajah Galina bersinar ketika melihat Rayno berjalan menghampirinya. "Mungkin kehidupan sebelumnya dia jadi pangeran yang dibunuh saat mencari permaisurinya. Sekarang dia menemukannya.”

“Ngaco!” Rasanya Sofia ingin memukul kepala sahabatnya atau berharap ada bola yang mengenai kepalanya. “Idih, biasa aja, Lin. Banyak cowok di luar sana yang jauh lebih tampan dari dia. Jangan bikin malu deh."

"Biarin!"

Kaki Galina otomatis berjalan sendiri ke arah Rayno berharap disapa, tetapi kaki jenjangnya itu mendadak berhenti. Bukan karena tali sepatunya yang lepas, hanya saja dia baru mengetahui jika tak hanya dirinya yang mengidolakan Rayno.

"Seharusnya kamu sadar, bukan kamu satu-satunya, tapi salah satunya," gumamnya perlahan berjalan mundur.

Rayno tidak melihat keberadaan Galina sama sekali padahal dia baru saja melewatinya. Bibirnya pun terkunci ketika gejolak dalam dirinya ingin menyapa. Mata ikut berkedut seolah kesedihan akan datang.

"Apa aku nggak semenarik itu?"

"Pia!" sapa Rayno ketika melewati Sofia yang berdiri di samping pintu, sementara dia tersenyum sebagai balasan.

Galina menoleh melihat Rayno menyapa Sofia lalu mengembuskan napas. "Benar, harus saling kenal jika ingin disapa. Harus dekat jika ingin terlihat.”

Seharusnya dia mengetahui kenyataan itu bukannya sekarang yang membuatnya malu. Hanya dirinya yang mengenal Rayno bukan sebaliknya. Dia bagaikan patung setelah fakta yang baru disadari belum bisa diterima.

“Ternyata aku banyak berkhayal kedekatan kita yang sering ngobrol, bahkan aku ingat senyuman itu. Sayangnya, senyuman yang ada di ingatanku berbeda dengan miliknya. Bagaimana ingat, dia belum tersenyum di depanku!"

Galina menatap kosong ke atas sana merasakan kecewa yang dirasakan cinta sepihak. Cinta pertamanya gagal yang mungkin juga dirasakan kebanyakan orang. “Kenapa aku nggak punya keberanian untuk mendekatinya?”

Bel berbunyi sementara Galina masih menyalahkan keberaniannya yang selama sebulan ia habiskan berkhayal bukan berkenalan.

Lain sisi Sofia masih berdiri di tempat menyaksikan kebodohan Galina seraya menggelengkan kepala. “Kecewa lah dia. Bagaimana bisa dekat? Ngobrol sama cowok aja belum pernah.”

"Udah bel, Lin. Masuk sana!” teriak Sofia yang membuat Galina pergi tanpa berpamitan.

"Apa aku harus jadi Mak Comblang mereka, ya?"

...****************...

Semakin lama memendam perasaan membuat Galina gundah sampai tidak mau menjalani cinta sepihak. Mulai saat ini dia ingin mengutarakan perasaannya sendiri tanpa bantuan sahabatnya.

Setelah pulang sekolah, Galina memantapkan pilihannya untuk berkenalan dengan Rayno. Kebetulan Rayno lagi ekskul basket dan dirinya senggang hari ini.

“Ini jadi yang terakhir kalinya, Lin, kalau Rayno suka sama orang lain. Kalau alasan kalian belum kenal itu masih ada kesempatan untuk mendekatinya,” pintanya seraya menggenggam kedua tangannya erat agar dirinya berani.

Galina pun menggigit bibir bawahnya ketika melihat Rayno tengah duduk bersama teman-temannya. "Kenapa panas dingin, ya?"

Waktu yang tepat pun datang, Rayno pergi dari lapangan menuju ke kamar mandi. Secepatnya gadis penuh tekat itu berlari menghampiri pujaan hatinya, sedetik terlambat saja kesempatan hilang.

Untungnya Galina bisa mencegah Rayno masuk kamar mandi. Napasnya tidak beraturan ketika berada di depannya. Sontak lelaki idamannya mundur beberapa langkah.

“Kamu ... temannya Pia?” tanya Rayno dengan ragu.

“Anggap aja gitu kalau kamu bisa melihatku,” cetus Galina dengan terengah-engah.

Alis Rayno terangkat bingung maksud perkataan Galina. “Ada apa?”

Jantung Galina berdetak hebat sampai bibirnya kaku. Dia menutupi kegugupan lewat memilin roknya serta kedua matanya melihat sekeliling mencari kata yang pas untuk mulai berkenalan.

"Buruan aku mau ke kamar mandi kalau nggak ada yang mau diomongin aku masuk dulu," pinta Rayno yang langsung dicegah Galina.

"Aku suka kamu, mau nggak jadi pacarku?"

Perkataannya baru saja membuat Rayno terkejut, apalagi Galina yang mengucapkannya. Galina gelagapan karena mengajaknya berpacaran, bukan berkenalan.

Rayno langsung tertawa. "Apa nggak pakai basa basi dulu? Atau harus kenal dulu ... mungkin?"

"It--tu yang aku—“

Lelaki di depannya bingung mau jawab apa sebab suara Galina terlalu lirih apalagi dirinya yang hendak buang air kecil. "Gimana, ya? Kita belum kenal untuk ke tahap itu, lagian banyak orang yang mengatakan hal yang sama dan aku pun menjawab hal yang sama. Maaf aku sedang menunggu jawaban seseorang yang aku suka dari dulu. Mohon mengerti, ya?” jawabnya diiringi senyuman. “Kalau mau tau siapa orangnya tunggu sebentar aku mau ke kamar mandi.”

Bunga yang telah tumbuh subur di hati Galina pun perlahan layu setelah kepergian cinta pertamanya. Lagi dan lagi dirinya hanya bisa mematung mendengar kenyataan pahit yang harus diterima. Seumur hidup baru mendengar kalimat penolakan dan ini baru menjadi awalan.

“Kenapa harus tau siapa orang yang disukai Rayno?” Galina mulai mengeluarkan perlindungan dirinya agar tidak terlihat sedih. Namun, tubuh tidak bisa berbohong lewat air matanya yang menetes.

“Nggak papa, Lin. Rayno bukan satu-satunya.” Dia lari seraya memukul kepalanya. “Rencana awal nggak gini, aku nggak mau menyatakan perasaan lebih dulu. Terkesan aku haus lelaki!”

Setelah lelah berlari, Galina duduk di bawah pohon. “Cinta yang aku dapatkan nggak seperti yang aku bayangkan. Dalam bayanganku kita saling kenal, berbicara seolah aku mengerti suaranya begitu juga nada bicaranya. Tadi kita berbicara di dunia nyata, mengapa suaranya berbeda?”

Galina mengentak-entakkan kedua kakinya sebab dirinya malu. Entah apa yang akan terjadi jika mereka bertemu. “Dua tahun lebih menghindar dari Rayno nggak lama, ‘kan?” tanyanya seraya berpikir ulang.

“Oke, aku harus menghindarinya demi kelangsungan hidup!” Setelah mantap memutuskan rencana, dia pun beranjak pergi ke rumahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!