Mendengar arwah penasaran menceritakan kematian yang tragis akan membuat sebagian besar orang bergidik ngeri. Apalagi wujud arwah tersebut begitu mengerikan dengan penampakan mata sehitam jelaga.
Namun, rupanya itu tidak membuat Raya ketakutan dan berlari menjauh untuk mencari tempat yang penuh manusia.
Raya, begitu nama panggilannya. Vocalist yang merangkap sebagai pencipta lagu band KapRal ini malah mendengarkan cerita demi cerita yang mampir dan menulisnya kembali menjadi bait lagu.
Seperti saat ini. Raya duduk bersila, menghadap jendela apartemen yang terbuka. Tirai putih melambai tertiup angin, tapi tidak mampu mengganggu ketenangan.
Entahlah. Raga Raya memang ada, tapi belum tentu dengan jiwanya. Melakukan astral projection bukan hal yang sulit dilakukan oleh gadis berusia dua puluh tiga tahun itu.
Angin berhembus diiringi aura ganjil yang bersumber dari aktivitas makhluk tak terlihat. Tampak tubuh Raya mengejang sesaat, pertanda jiwanya hendak masuk dalam raga.
Mata gadis itu terbuka perlahan, anehnya air mata langsung meluncur begitu saja. Sebuah kisah menyayat hati baru didengar.
Tanpa basa-basi, diraihnya kertas dan pulpen di meja kerja. Raya pun mulai menulis.
Hidup terenggut nista...
Nyawa bak sampah...
Alam barzah menyapa...
Jiwaku melayang terbang...
Raya menghela napas panjang, meresapi udara yang berebut masuk dalam rongga dada. Sungguh berat rasanya menuliskan kisah ini. Namun, tetap harus dilakukan.
Sudah beruntung arwah itu mau menceritakan kisahnya hanya untuk menjadi sebuah lagu. Menjadi jembatan untuk meraih kepopularitasan KapRal yang makin menanjak hari demi hari. Jemari Raya menari lagi.
Aku mati ….
Membawa dendam ke dalam liang lahat...
Sang pembunuh memeluk batu nisan..
Pura-pura meratap ….
Air mata Raya turun lagi. Dirasakannya arwah itu mengunjungi balik ke dunia nyata. Raya mampu melihatnya.
Arwah itu berwujud wanita bergaun hitam pendek dengan luka di perut yang menganga. Ribuan belatung keluar dari sana. Raya tak bergidik karena sudah terbiasa dengan pemandangan itu.
Kini, arwah itu tersenyum sambil tetap mengawasi jemari Raya yang terus menari.
Daging kecil tak berdosa....
kau renggut juga....
Buah dosa kita yang suci.....
Bersiaplah!....
Aku akan terus mengejar...
Hingga ujung nyawamu terlepas ….
Tiga bait cukup menggambarkan kondisi arwah itu. Raya menghela napas lega. Tinggal memainkan nada saja.
Ia beranjak dan berjalan menuju piano besar yang kokoh menyapa di sudut ruang. Raya duduk di bangkunya dan menarikan jemarinya sambil sesekali membaca lagu yang baru selesai ditulis itu.
Nada mengalun, membuat Raya teringat pada masa lalu. Masa di mana semua orang menganggapnya aneh. Tak sedikit yang menghujat dengan sebutan anak gila.
Perlakuan diskriminasi itu memaksa keluarga Raya pindah dan memulai kehidupan baru di ibu kota. Di sini, tak ada satu pun yang mengetahui kelebihan gadis itu. Tidak dengan anggota KapRal, bahkan rekan satu apartemennya.
Setelah nada dirasa cukup pas, Raya mencatat kunci dasar lagu berjudul Rintihan Jiwa di atas lirik.
Setelah itu, ia meraih alat perekam dan memainkan piano kembali. Kali ini sambil menyanyi. Lagi pula, ia telah berjanji pada Bara, manager KapRal untuk menyetorkan lagu baru sebagai buah tangan untuk konser di kota Banjarmasin beberapa minggu ke depan.
Namun, sesuatu memaksa Raya berhenti. Hawa di sekitar berubah drastis. Aura-aura kelam bermunculan di setiap sudut apartemen, menandakan tibanya kejadian buruk di tempat itu.
Raya berdiri panik dan mengedar pandang ke sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Namun, ia merasakan energi asing yang mencoba masuk. Energi manusia yang tak biasa.
Raya berusaha fokus. Dipusatkannya pikiran pada satu titik. Yang ia tahu, energi ini keluar dari manusia yang memiliki kemampuan istimewa seperti dirinya. Sialnya, aura jahat telah merusak bulir-bulir positif tempat ini.
"Siapa?" tanya Raya gusar. Diraihnya pisau yang tergeletak di meja, bekas digunakan mengupas buah.
Hening.
Raya bersiap. Ia berusaha tetap waspada tanpa memecah konsentrasi. Namun, energinya kalah besar.
Pemandangan apartemen perlahan berganti mencekam. Cahaya meredup, padahal matahari di luar sedang terik. Dalam pandangan gadis itu, ruangan ini telah berubah bak bangsal rumah sakit tua yang tidak berujung.
Sial! Raya menggeram dalam hati. Ia terpengaruh dalam ilusi jahat yang diciptakan seseorang. Namun, apa yang harus dilakukan? Belum tentu langkah yang diambil bukan sebuah jebakan. Satu-satunya yang bisa menolong hanya pikirannya sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara kaca yang pecah. Raya berjingkat kaget. Pandangannya menerobos segala arah, mencari setitik cahaya yang bisa dijadikan tumpuan mencari jalan keluar.
Namun, entah dari mana datangnya, beberapa pecahan kaca terlempar dan mengenai Raya, menggores kulit putihnya hingga mengeluarkan darah.
Raya mengerang kesakitan dan jatuh bersimpuh. Darah menetes di sekujur tangan dan kaki. Rasanya perih dan langsung membuyarkan konsentrasi Raya seketika.
"Kau pikir bisa melawanku dengan kemampuan tengikmu itu? Jangan kira kali ini kau kubiarkan lolos!" Suara itu terdengar bergetar dan penuh dengan amarah.
"Kau siapa?" tanya Raya takut.
Ia berusaha fokus kembali, tapi sulit. Rasa perih mengalahkan kemampauannya berpikir.
"Kau pikir dengan menghancurkanku, semua akan selesai begitu saja? Tidak, Raya! Justru sekarang waktumu untuk tamat! Kau telah menggunakan kemampuanmu untuk berbuat curang dan menyingkirkanku! Sekarang kau harus mati!" geram sosok tak terlihat itu.
"Tidak …!" Raya menjerit, bangkit, dan berlari menelusuri koridor demi koridor.
Tak dipedulikan lagi rasa sakit yang memenuhi sekujur tubuh. Ada! Jalan keluar pasti ada! Gadis itu tak peduli dengan lelah di kakinya yang terluka.
Raya tak tahu. Sosok itu ada di dekatnya. Manusia dengan kemampuan misterius yang bisa memanipulasi otak Raya dan menjebaknya dalam ilusi seperti ini. Bahkan indra keenam Raya tidak mampu mengalahkannya.
Kini, sosok itu hanya tertawa melihat kerja keras gadis yang kulitnya sudah dipenuhi keringat itu. Melihat Raya hanya berputar-putar di tempat yang sama begitu nikmat dan jauh lebih menyenangkan ketimbang melihat film di bioskop.
"Ray! Ke sini!" sosok arwah yang tadi mengunjungi Raya datang dan mengiringi langkah gadis itu menuju suatu arah. Namun, arah yang ditujunya merupakan jalan buntu.
"Apa kau yakin? Itu jalan buntu!" bisiknya gusar sambil terus berlari.
"Ini hanya ilusi, Ray. Tabrak saja tembok itu. Kau pasti akan selamat!"
Arwah itu berusaha meyakinkan Raya yang pikirannya sudah terpecah belah. Tak ada lagi waktu untuk menimbang. Pilihan satu-satunya hanya mempercayai arwah ini.
"Kau tahu siapa yang melakukan ini?" tanya Raya serius.
Arwah itu mengangguk, "Kau mengenalnya, Ray. Dia adalah orang yang terlihat sangat baik denganmu, tapi menyimpan dendam mendalam. Ia ingin menghancurkan karier dan nyawamu. Ia orang sakit yang menggunakan kemampuan misteriusnya untuk melakukan hal jahat!" terangnya.
"Tapi … siapa?" Raya menggigit bibir.
Sudah tak ada waktu lagi. Arwah itu menghilang perlahan, meninggalkan Raya yang dicekam ketakutan setengah mati.
Sosok itu, sosok yang bernafsu membunuh Raya itu telah berada di belakang sambil menggenggam pisau dapur.
Dalam hitungan detik, pisau itu diangkat dan diayunkan. Raya menjerit kesakitan. Begitu sadar, ia melihat sebuah pisau menancap di bahunya.
Darah segar mengalir, membuat kegelapan merenggut Raya perlahan.
Namun, gadis itu tak menyerah. Ditabraknya tembok ilusi itu.
Tembus.
Tangan Raya sempat menggapai tirai yang melambai sebelum tubuhnya meluncur jatuh.
Teriakan histeris terdengar begitu tubuh Raya tercebur ke dalam kolam dewasa yang berada lima belas meter dari bawah apartemen. Permukaan air kolam menjadi merah.
Merah darah!
Bau obat tercium kuat.
Berulangkali Sagara menatap cemas sosok yang terbaring lemah di balik kaca. Beberapa polisi tampak lalu lalang, menjaga sang vocalist yang berhasil selamat dari satu kemalangan.
Raya belum juga sadar. Tusukan di bahu membuatnya kehilangan banyak darah. Pelaku utama penganiayaan belum ketahuan. Begitu cerdik dan rapinya, hingga satu sidik jari pun tak ditinggalkan.
Raya sempat mengigau, mengatakan jika orang yang berniat membunuhnya itu mempunyai kemampuan misterius.
Sosok tak terlihat itu muncul begitu saja dan menciptakan ilusi untuk mengacaukan pikiran Raya.
Namun, siapa yang percaya pada cerita tak logis seperti itu? Para polisi malah menganggap Raya mengalami guncangan jiwa, tidak masuk akal jika manusia bisa masuk menembus dinding.
Namun, Sagara merasa cerita Raya bukan sekadar dusta. Melody Guitarist KapRal itu memang merasa jika kejadian yang menimpa sang vocalist cukup aneh.
Ruangan dipastikan tertutup. Namun, tidak mungkin rasanya jika Raya sengaja melukai diri dengan pecahan kaca, menusuk pundak, dan melompat jatuh tepat di kolam apartemen.
Sagara terduduk di bangku, menunduk dalam sambil memejamkan mata. Ia berharap Raya lekas membuka mata dan menerangkan kejadian naas itu dengan kondisi sadar.
"Gar!" Terdengar suara Baskara memanggil.
Sagara menoleh, menatap sekelompok orang yang berjalan tergesa menghampiri.
Bara adalah saudara ketua band KapRal. Di belakangnya, anggota KapRal yang lain berjalan mengikuti.
Ada Karin yang mengisi posisi biolist, Reno sang ryhtem guitarist, serta Bemby yang dipercaya sebagai drummer. Tak ketinggalan Pita, tunangan Bara yang selalu mengekor ke manapun Bara pergi.
Sagara memandang satu persatu wajah rekannya. Tiap yang melihat pasti setuju jika Sagara tampak paling sedih dan tertekan.
Tak heran. Sudah sejak lama Sagara menaruh hati pada Raya. Gadis itu pun sepertinya merasakan hal yang sama. Anehnya, mereka tak jadian hingga saat ini. Namun, keduanya terlihat seperti orang pacaran.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Karin dengan nada prihatin.
Sagara menggelengkan kepala, "Entah siapa yang melakukan ini. Seseorang menyusup ke dalam apartemen Raya dan berusaha membunuhnya. Andai Raya tidak jatuh ke kolam, mungkin ia sudah …" suara Sagara tercekat, tak tega melanjutkan kalimat.
Dipandanginya lagi Raya. Napas gadis itu mulai teratur. Mungkin kondisinya sudah semakin membaik.
"Ada di mana Rindu dan aura? Mereka kan satu apartemen dengan Ray!" kali ini Reno yang angkat bicara.
"Mereka masih dimintai keterangan oleh polisi. Tapi alibi mereka sama kuatnya. Rasanya tidak mungkin mereka mencelakakan Ray." Sagara berkata dengan suara serak.
Rindu dan Aura memang tinggal satu apartemen dengan Raya. Keduanya juga mengadu nasib di dunia musik. Rindu adalah penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang bohainya, sedangkan Aura merupakan keyboardist band bertajuk pop.
Saat kejadian, dua gadis itu sedang syuting video klip. Banyak saksi yang bisa membuktikannya.
Bara menarik napas dalam-dalam, berusaha melepas gejolak yang meletup dalam hati. Dikeluarkannya sebuah tabloid remaja. Ada salah satu berita yang membuat mukanya serasa terbakar. Namun, belum sempat berita itu didiskusikan dengan anak buah, sebuah masalah kembali terjadi. Disebabkan karena orang yang sama pula.
"Sebenarnya ada hal yang mau aku bicarakan. Ini tentang KapRal!" Bara berkata getir.
"Kita bisa bicarakan ini di basecamp kan, Bar? Rasanya tidak etis kalau membahas KapRal di sini. Apalagi Ray sedang sakit!" Ujar Bemby berusaha menengahi, tapi sepertinnya Bara tidak bisa dibantah.
Tampak dari kilat matanya yang ingin menuntaskan masalah ini segera. Sagara yang sedari tadi diam, kini bangkit dan menatap tajam managernya itu.
"Ada apa dengan band kita?" tanyanya tajam.
Bara mencampakkan tabloid itu ke dada Sagara. Lelaki bertindik di telinga sebelah kanan itu menerima tabloid dengan segera dan membaca salah satu lembar yang sengaja diberi tanda. Matanya membulat. Geram marah terdengar dan membuat lelaki itu ingin memukul siapa saja yang dijumpai di tempat ini.
"Ray tidak mungkin melakukan ini! Ini fitnah!" sergah Sagara penuh amarah.
"Kita tidak tahu, Gar! Hanya Ray dan Tuhan yang tahu, lagu ciptaannya selama ini hasil plagiat atau bukan! Tapi berita ini sudah cukup mencoreng KapRal! Harusnya kau paham itu!" Bara membalas tatapan Sagara.
Bagaimanapun juga, Bara merasa kedudukannya lebih tinggi ketimbang bocah tengik berlatar belakang kelabu seperti Sagara. Ia tak bisa menerima sikap kurang ajar sagara begitu saja.
Tak disangka, secepat kilat Sagara meraih kerah kemeja Bara hingga tubuh empunya membusung ke depan. Tindakan mendadak itu mengundang pekikan kaget para gadis. Biasanya, Bara akan langsung memaki dan menunjukkan sikap sok kuasa. Namun, kilatan amarah yang membara dalam mata Sagara membuatnya seperti macan ompong.
"Sekali lagi kau bilang hal buruk tentang Ray, aku akan menghabisimu!" ancam Sagara dengan mata tetap terpaku, menusuk dalam bola mata Bara.
Tiada yang berani melerai. Bibir semuanya terkatup. Setelah mengumpat, Sagara melepaskan cengkeramannya pada kerah Bara, lalu kembali terduduk lemas sambil sesekali menatap Raya dari balik kaca.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!