"Buka isi di dalamnya bila terjadi hal buruk padaku." Marchioness Rose de Moonstone menggeser sepucuk surat kecil pada pelayan dekatnya, Miss Eve.
Sebelum Evelyn pergi, wanita itu segera menarik pergelangan tangan pelayannya. Marchioness Rose memperbaiki serbet di pinggang Miss Eve, menyisipkan sebuah karcis kecil. Tiket untuk pergi dari sini melalui jalur kereta api.
"Cepat kabur sekarang, laksanakan rencana yang sudah kubeberkan beberapa hari lalu. Aku akan menanggung apapun yang akan terjadi di malam ini, baik atau buruk," titah Marchioness Rose.
Jemarinya menggenggam telapak tangan Miss Eve erat.
"Tapi Nyo-"
"Shush, jangan melawan. Cepatlah berkemas, tunggu aku di bar biasa. Masih ingat kataku?"
"J-jika anda tidak datang... Di jam 9 saya akan pergi melapor ke kediaman mendiang Duke Chris," ungkap Miss Eve, kelopak matanya sudah basah.
Marchioness Rose menyeka air mata bawahannya. Miss Eve adalah pelayan yang sudah berada di sisinya sedari kecil. Tentulah ikatan antara keduanya sudah dalam, tidak sebatas status pelayan dan majikan.
Sekarang sudah waktunya mengalihkan tugas terakhirnya. Kunci kedudukan Marquess Evan dialihkan ke Eve, berjaga jaga bila... malam ini ia binasa.
"Apakah nyonya benar benar yakin? Saya tidak sanggup meninggalkanmu sendirian disini." Air mata Miss Eve semakin deras.
"Semuanya akan baik baik saja, memang sudah tugasku untuk membalaskan dendam mereka. Terima kasih Miss Eve," bisik Marchioness Rose. Menunggu pelayannya berangsur tenang. Ketika pintu merapat, sosok ringkihnya menggapai tepi jendela..
Sorotnya kosong, menandakan pikirannya yang tengah berkelana lagi. Sudah ratusan kali lamanya hembusan berat terdengar, seolah terdapat hal yang menahan Marchioness Rose agar tidak kembali melakukan kesalahan. Apa itu..?
'Huh... Aku menyesali keputusan bodoh ini'
'Namun tiada jalan kembali lagi,' batinnya sembari menutup mata.
Selama 7 bulan dia dikurung dalam kamar terkutuk ini. Bosan sekali. Sosok yang mencintai dan dicintai olehnya mengabur, suaminya ataukah selingkuhannya? Dulu ia terlalu naif, berani menyerahkan kehormatannya pada dua pria sekaligus.
Sama sekali tidak terpikirkan bahwa sikap sembrononya membuatnya berakhir dihukum. Kata terakhir Duke Chris, selingkuhannya sebelum dipacung menjadi beban pikiran belakangan ini.
Aku bersumpah bahwa kalian semua akan mendapat ganjarannya. Terutama kau, Ella pelacur, aku telah dibutakan oleh topeng kepolosanmu. Aku mengutuk engkau dan suami laknatmu di kehidupan ini dan selanjutnya!!
Maniknya terbuka, jemarinya gemetar membayangkan hal itu. Marchioness Rose berjalan bolak balik hingga terduduk di ranjang reotnya. Tremor yang diidapnya bertambah parah, semua tindakan busuk yang ia lakukan agar berdiri di posisi sekarang menghasilkan rasa bersalah berkepanjangan.
*****
Jangkrik berdecit, menandakan malam sudah tiba. Marchioness Rose menyembunyikan pisau di balik ranjang seraya berupaya menekan kegelisahannya. Kabar Miss Eve pasti sudah terdengar di telinga suaminya. Ujung jari wanita itu berdarah dan kulitnya terkelupas kecil akibat garukan di satu tempat dengan tempo pengulangan yang lama.
Brak..!!
Pintu didobrak keras. Marchioness Rose berdiri tegap, menatap mata hijau lelaki di hadapannya. Aroma cendana bercampur wiski memenuhi kamar kedap udara tersebut. Tubuh kekarnya tertutupi dengan siluet abu abu dan hitam, menyamarkan beberapa bagian tubuh. Kunci kamar dibuang serampangan ke almari.
Pergerakan dari pria berstatus suami, Marquess Drevan tertangkap oleh Marchioness Rose. Langkah kaki pria tersebut cepat, segera tangan kapalan nya menyentuh leher jenjang milik Rose.
Wanita itu berusaha menghindar namun gagal, ia tercekik. Tubuhnya terdorong ke dinding, kaki kecilnya berusaha meronta, Tangan kanannya terus menggetarkan lonceng panggilan pelayan. Lambat laun ia menyadari darimana asal aroma tadi.
"Kenapa kau bersikeras melakukan hal kotor itu, Huh?" Tekan Marquess Evan. Bau tidak sedap menerpa wajah Marchioness Rose
"T-tidak, le-paskan." Tubuh Marchioness Rose menggeliat, nafasnya tercekik.
Ekspresinya menggelap. Genggamannya semakin menguat. "Ingin lepas? Mimpi," Sahut lelaki itu retoris. Tak dipungkiri sekali lagi ia menambah kekuatannya, leher istri kesayangan di depannya bisa saja patah.
Rintihan dan lonceng yang ia goyangkan dari tadi tidak mendatangkan bantuan dari luar. Tentu saja tiada yang dapat menyelamatkan dirinya, toh lelaki di depannya adalah suaminya sendiri. Ironis sekali.
Apakah ini akhir hidupku..?
Perlahan tangan kakinya melemas, matanya terasa berat. Hingga cengkeraman itu membawanya dalam kegelapan tak berujung. Bayangan dimana mendiang orang tua dan Duke Chris, selingkuhannya dibantai membuat Marchioness Rose membuka matanya sedikit. Semangatnya berangsur kembali.
Marchioness Rose berusaha mengingat dimana ia menyimpan senjatanya tadi. Tangan kiri yang tadinya ia gunakan untuk memukul Marquess Evan bertalu menuju pojok bawah ranjang. Setelah menggapai benda tajam tadi, diayunkannya ke paha pria mabuk itu.
Argh...!!
Teriakan dari suaminya membuat Marchioness Rose sadar seutuhnya. Gaun peach favoritnya ternoda darah. Ketika Marquess Evan sibuk mengurusi tubuhnya yang ditusuk, dengan cepat dia merebut kunci di meja dan berlari keluar. Nafasnya terengah-engah serta lengannya dipenuhi darah. Senjata tajam tadi digenggamnya dengan kuat.
Klik!
Selengah apapun itu, dia tetap ingat mengunci pintu kamar. Gedoran menggema di sepanjang lorong menemani ketukan langkah kakinya, wanita itu belum menyadari bahwa ajudan yang biasa berjaga tidak berada di tempat. Rasa takut telah menguasai Marchioness Rose, wanita itu tidak bisa lagi berpikir jernih.
Satu-satunya hal yang terbersit di benaknya sekarang adalah.. lari.
Saat telapak tangannya menemukan kenel pintu, ditarik dengan cepat. Matanya hampir keluar dari tempat karena menyaksikan seluruh ajudan dan pelayannya bersimbah darah.
Emph !!
Mulutnya dibekap dari belakang, Evan menyusul dari belakang. Lampu yang berkedip mati hidup membuat suasana kian mencekam. Rosella mencicit, ia terlalu takut untuk menoleh ke belakang.
"Diam disini." Titahnya penuh penekanan. Leher Rose mendingin.
Tumpukan mayat bergelimpangan, mata Rose memindai jejak yang mungkin tertinggal. Menyadari gadis pelayannya lolos, hatinya mencelos. Darah kembali mengalir dari paha suaminya, meninggalkan tetesan pada lantai marmer coklat. Kekangan dari lengan pria jangkung itu mulai melemah, halilintar terus menggelegar di luar.
"Maaf," bisiknya namun tersamarkan oleh sambaran petir di luar dan ketakutan dalam diri Rose.
Marchioness Rose berbalik menggunakan gerakan pamungkasnya. Gerakan pembelaan diri yang diajarkan oleh Marquess Evan malah menjadi jejak maut bagi diri sendiri. Marchioness Rose menusukkan pisaunya tepat di perut.
Tanpa terduga, pria di hadapannya malah tersenyum. Darah keluar dari mulutnya, lengan yang awalnya ia gunakan untuk membekap mulut istrinya bergerak meraih rahang wanita itu.
"Huh... Rosie, t-tidak apa. Ter-bunuh di-"
"Tangan wa-wanita yang kucintai, se-padan." Mulut Marquess Evan berlumuran darah.
Senyuman pria itu, mengapa terasa penuh kasih sayang? Juga, ia mencintainya?
Sebelum Rose berhasil menguasai dirinya, tiba tiba Marquess Evan menariknya ke belakang. Teriakan lolos dari bibir wanita tersebut, melihat Miss Eve yang menusuk tepat di dada Marquess Evan. Suaminya mengambil alih pisau di tangan Rose dan menusuknya ke tengkuk Miss Eve.
Kejadiannya berjalan begitu cepat, Marquess Evan tumbang ke lantai. Sedangkan Miss Eve yang awalnya wanita itu kira sudah kabur ke kereta api malah bertengger dan meraba area ayunan pisau dari lelaki itu. Matanya membelalak sebelum ia terjungkal ke belakang.
Marchioness Rose memapah tubuh Marquess Evan, berusaha menekan pendarahan. "Jangan, bertahanlah," raungnya putus asa.
Mata Evan terbuka dan tertutup, telapak tangannya yang penuh darah ia arahkan ke pipi Rose. Sedangkan perempuan itu menggeleng kuat, tidak menerima apa yang terjadi begitu saja.
"...senyum, wajahmu je-lek." Tangan Evan jatuh ke bawah. Menyisakan Rose yang berdiri sendiri.
Warna merah tidak lagi disukai wanita bergaun peach itu. Tumpah darah dan balas dendamnya sudah terlaksana. Namun, dia tidak merasa bahagia dan puas sama sekali. Marchioness Rose meratap ke segala penjuru. Darah antara tubuh Evan dan Eve bercampur, aroma amis tersebar ke seluruh penjuru. Ketakutan dalam dirinya telah sirna, hanya menyisakan rasa perih.
Basuh wajah di ember kecil. Hembuskan nafas dengan teratur. Samarkan noda ini.
Sewaktu Marchioness Rose berniat keluar, ia melihat 1 surat. Mengira itu miliknya, langsung saja wanita tersebut merogohnya. Pintu keluar sudah di depan, penungguannya selama 6 bulan dalam masa kurungan tidak sia sia.
Bukan main, nyawa yang dihabisi adalah suami dan pelayan 'setia' nya. Pintu dibuka lebar, tetesan hujan dan udara segar mendekati Rose. Mengikis anyir darah di badannya.
Marchioness Rosella de Moonstone yang melekat semenjak ia berstatus istri Marquess Drevan de Moonstone kembali menjadi Mrs. Rosella Zen.
Marchioness Rosella de Moonstone yang melekat semenjak ia berstatus istri Marquess Drevan de Moonstone kembali menjadi Mrs. Rosella Zen.
Sayup-sayup kebisingan di penungguan keberangkatan kereta api memenuhi gendang telinga Mrs. Rose. Pejalan sekitar berlalu lalang dan menyibukkan diri dalam urusannya. Mereka sama sekali tidak mencurigai noda darah di gaun, sebab hari ini banyak warga yang menyamar dalam sosok menyeramkan dalam merayakan peringatan "Hari Kegelapan".
"Mengapa Miss Eve tidak mematuhi pesanku, bahkan terkesan ingin melukaiku? posisi tujaman pisaunya mengarah ke leher belakangku-"
"-ah tidak mungkin, mungkin hanya perasaanku saja," sangkal Mrs. Rose.
Beberapa menit berlalu, muncul suara asap dan derit rel kereta api yang memekakkan telinga. Destinasinya kali ini adalah rumah Duke Chris. Walaupun memang di awal keluarga Duke Chris ikut membenci Rose, tawaran menghancurkan bisnis dan reputasi Marquess Evan menggiurkan. Apalagi pertarungan kekuasaan masih sangat sengit, sebagai sayap dari antek pangeran kedua pasti mereka membutuhkan keikutsertaan Mrs. Rose.
Tepat pada saat melangkahkan kakinya masuk ke dalam, penjaga keamanan sempat mencegat dan menanyai beberapa hal. Untung saja hiruk pikuk keramaian membantunya lolos dari jeratan si penjaga. Mrs. Rose menutup wajahnya dengan kerudung yang ia curi dari kediaman mendiang suaminya.
Mrs. Rose menjajaki kursi kosong dan menghela nafas pelan. Ia masih belum percaya Marquess Evan sudah meregang nyawa.
"Hampir saja terlupa, kertas tadi."
Mrs. Rose menyelipkan jemarinya ke dalam saku. Kertas buram dan basah akibat hujan. Namun tulisannya masih dapat dikenali. Dahi wanita bergaun peach itu mengerut, menyadari bahwa ini bukanlah bukti persengkongkolan aristokrat suaminya.
Melainkan ucapan terakhir dari suaminya sendiri.
Dear Rossie,
Dari tingkah cerobohmu itu, aku sudah menyadari pasti kau salah mengambil kertas, bukan? Kertas bukti kebusukan keluargaku sudah dibakar beberapa jam lalu. Jangan lupa, selangkah dirimu lebih maju, tetaplah aku yang memegang kendali.
Sekarang mungkin aku sudah menemui ajal, setiap langkahmu tertera jelas di jidatmu itu. Namun kali ini, anggap kematianku sebagai penebusan atas kepergian kakak kesayanganmu, tidak terhitung untuk nyawa Duke Christoff sialan itu. Rosie, satu hal yang kusesali tidak pernah terucap dari bibirku adalah kalimat 'aku mencintaimu'.
Mungkin kau merasa tidak adil akibat perlakuanku yang sengaja mengabaikanmu. Maaf bila aku keterlaluan, jujur agak tidak rela menyampaikan permintaan maaf seperti ini. Jangan menyalahkan diri dan hidup dengan baik. Semuanya sudah kuurus, pergilah ke Burnsville kalau kau setuju.
Salam, Evan.
Tes... Tes... Tes....
Mrs. Rosella memegangnya dengan erat, lengannya mengusap air mata di pipi. Debu macam apa yang terselip di matanya? Isakan dan tawa keluar, kertas itu ia selipkan dengan cepat. orang lain sedikit menjauhi wanita bergaun kacau tersebut. Hingga secarik foto jatuh ke besi alas kereta api.
"Kakak, ini milikmu bukan??" panggil anak kecil ke Mrs. Rose. Membuatnya menyeka air mata terburu buru.
"Ah? Terima kasih."
Orang tuanya segera menarik tangan anak itu, teguran kecil datang kemudian. Sedangkan Mrs. Rose hanya tersenyum tidak enak. Akhirnya foto itu dilihatnya, rumah lama yang ia jajaki dulu bersama dengan Marquess Evan. Rumah lama mereka.
Suara pengumuman dari kabin atas kereta tidak mengusik keterdiaman Mrs. Rosella. Ia membaliknya berkali-kali hanya untuk melihat beberapa patah kata yang menyambung menjadi satu kalimat yang tidak dipahaminya.
Sacrificare i sogni per una vita ripetitiva
*****
"Hei, jemur bajuku." Marquess Evan melempar asal pakaian miliknya ke arah miss Rose. Dibalas rengutan dan ocehan panjang. Walaupun begitu, ia tetap menurutinya.
"Pemalas," racaunya dan menyibakkan baju milik Evan ke tali. Ini adalah hari kedua lima mereka di gubuk kecil ini.
Matanya ditutup mendadak, membuat Miss Rose berbalik dan mencubit jakun Marquess Drevan dengan jahil. Wanita itu tentu mengenali suara langkah calon suaminya, ditambah hanya mereka berdua di sini.
Ia menyiram air cucian ke pria itu. Miss Rose cekikikan dan masuk ke dalam rumah. Bantingan pintu membuat rumahnya berguncang kecil. Sedangkan Marquess Evan cengo, matanya berkedip beberapa kali.
Mengusap wajahnya, Evan berjalan pelan dan membuka pintu. Aroma ikan kukus berlomba lomba menyusup ke indra penciumannya. Sosok tunangannya pasti kabur ke pekarangan belakang rumah lagi.
"Jidat lempeng yang mudah ditebak."
Marquess Evan mematikan tungku api, lalu mengeluarkan sajian ikan di meja. Setelah merapikan sisa kekacauan yang ada, barulah ia melangkah ke belakang rumah.
Gaun peach itu menjulang tepat di pipa paralon. Begitu sukanya Miss Rose dengan hadiah yang ia beri pertama kali, baju usang itu pun tetap dipertahankan olehnya. Di sisi lain, Ella gelagapan dan tertawa kikuk.
"Lihat tingkahmu, wajah tampanku terkena air busa," keluh lelaki itu dan pura pura marah.
"Hih, tampan? Akh-"
Punggung Miss Rose ditepuk dan kemudian abu hitam sudah tersisir di sekujur wajahnya. Ternyata keisengan Marquess Evan tidak kalah kacaunya.
"Nah, kita berdua sama sama menjadi upik abu."
Miss Rose tertawa terbahak-bahak hingga berjongkok di lantai. Hal ini membuat abu hitamnya masuk ke pernapasannya, berakhir tersedak. Di kondisi ini, Evan malah-
"Di keadaan apapun, sebisanya kuusahakan kita tetap memiliki nasib sama dan berdampingan, dengan cara aneh sekalipun," peringatnya seraya menepuk kepala miss Rose. Pipi gadis feminim itu terasa panas, syukurnya tersamarkan oleh olesan abu hitam tadi.
Marquess Evan berdeham dan mengambil kain, pertama diusapnya ke wajah miliknya. Barulah berpindah ke Rose. Air sabun tadi membuat sisa abu hitam mudah menghilang, membawa waktu terbang melayang khusus untuk mereka berdua.
"Selesai, jangan lupa ikan kukusmu." Rose panik dan berlari cepat, sebelum Evan melanjutkan kalimatnya.
"Gadis sembrono," tukas lelaki itu. Tidak memedulikan kondisi dirinya yang basah kuyup juga akibat air cucian tadi.
Sesampainya di dapur, Mrs. Rose mengintari ruangan kosong itu. Tiada lagi ikan kukus kesukaan Marquess Evan ataupun nuansa hangat. Jendela terbuka lebar, daun kering berceceran bebas.
Lengkungan di bibirnya mulai menjadi datar. Jemarinya mengelus pelan meja berdebu itu. Sudah berapa tahun berlalu dari momen kebersamaan ini? Mrs. Rose tersungkur ke bawah, menyesal tiada gunanya.
Mengapa ia memilih balas dendam saat itu? Apa keburukan dari suaminya? Tiba tiba, Mrs. Rose merasakan kepalanya berdenyut parah. Mengapa ia tidak dapat mengingatnya? Selama ini apa tujuan dari tindakannya?
Mengapa? Mengapa?
Mrs. Rose memukul dadanya kuat, menetralisir kegundahannya. Ia mulai bimbang, hingga daun kering tadi mulai berterbangan. Mereka bergabung dan membentuk sebuah cermin besar.
Bertepatan keadaan berubah menjadi adegan dimana suaminya menghadang pisau dari Evelyn, mulutnya penuh dengan darah. Wanita itu melihat dengan mata kepalanya sendiri dan menyadari bahwa baju peachnya berubah menjadi kemerahan gelap.
"Aku mencintaimu."
*****
"Tidak..!!!"
Mrs. Rose melengking sejadinya, bersamaan kelopak matanya terbuka lebar. Mendapati bahwa kereta api yang ia naiki kosong. Ia mengusap jarinya ke wajah, menemukan bercak air mata yang mengering.
Peach dress miliknya terasa basah, kala itu terbukanya skandal atau aib perselingkuhan membuatnya jatuh ke jalan buntu. Keluarga tercinta dan kekasih gelapnya dipacung pada hari sama, atas permintaan dari Marquess Evan kepada kaisar.
Namun, bukan itu. Sejak kapan balas dendamnya dimulai? Mengapa ia dapat beralih ke Duke Chris, lawan dari Marquess Evan? Sekuat apapun usahanya, Rose tidak dapat mengingatnya dengan baik.
Apakah hukuman mati itu... Bersumber dari Rose sendiri? Wanita itu termenung, berapa banyak hal yang ia lewatkan untuk kekosongan ini. Mengapa ia merasa bahwa dirinyalah villain dari kisahnya sendiri. Panggung sandiwara yang ia mainkan berhenti di sini.
"Jalan anda benar-benar buntu. Butuh bantuan?"
Pertanyaan itu membuat Mrs. Rose mendongakkan wajahnya, ia merasa tidak mengenali anak kecil di depannya. Tidak peduli dengan reaksi dari Rose, anak itu mengulurkan kedua tangannya. Mengizinkannya memilih dari keduanya.
"Kau ingin memperbaiki semuanya dari awal dengan potongan ingatan yang sedikit, atau menjadi orang lain tanpa memori sedikitpun?"
"Kau ingin memperbaiki semuanya dari awal dengan potongan ingatan yang sedikit atau menjadi orang lain tanpa memori sedikitpun?"
Mrs. Rose mengerjabkan pupilnya, kedua tangan milik anak itu diisi dengan lollipop yang imut. Tubuhnya bercahaya kecil dan mudah digendong dari postur kurusnya itu. Bibirnya tersenyum jenaka, namun tidak dengan matanya.
Seolah yang ia tawarkan hanya candaan belaka.
"Maaf, kau sedang bermain-main?" Dari semua pertanyaan yang muncul, Rose menanggapinya dengan pertanyaan ini.
"Lollipop ungu untuk kehidupan baru. Dan lollipop merah muda untuk kehidupan sama namun diulang dari awal. Pilih dan makan salah satunya. Kalau tidak mau atau keberatan, lanjutkan saja kehidupanmu yang sekarang ini," balasnya dengan sistematis.
"Tampilanku memang seperti anak kecil, namun usiaku sudah lebih dari leluhur kalian. Banyak orang telah kubantu dan kusaring ke dunia manapun, khusus bagi yang terpilih."
Mrs. Rose memiringkan wajahnya ke kanan, ia tidak mempercayai ini. Bagaimana caranya orang yang jelas-jelas berdosa banyak dapat dibilang sebagai yang terpilih. Namun kesempatan tidak datang untuk yang kedua kalinya. Dengan sigap, wanita itu memilih lollipop berwarna merah muda.
"Yakin ingin yang ini? Hidupmu ini begitu nestapa, aku sampai kasihan saat mengubek semua ceritamu itu," keluh anak kecil tersebut.
Awalnya Mrs. Rose kembali bernaung dalam pemikirannya sendiri, sebelum menggangguk dengan kuat, "Iya, kuharap aku dapat merubahnya menjadi lebih baik. Terkesan muluk-muluk, tapi aku akan memperbaiki tingkahku."
Anak kecil itu menggelengkan kepalanya. Impulsif namanya bila ingin merubah kepribadian seseorang, apalagi Rose yang sembrono ini dipasangkan dengan Evan yang kaku. Bisa dibilang, jika salah jalan satu langkah saja yang ditemui adalah kiamat. Namun melihat tekad besar ini, ia mau tidak mau wajib menyetujuinya.
Haram baginya sebagai pemberi pilihan alur hidup yang akan ditempuh, malah mendorong seorang manusia ke pilihan lain. Peraturan yang absurb, diikuti hukuman yang tidak kalah ribet. Bila dia melanggarnya, bisa bisa berakhir seperti sahabat lamanya itu. Dipulangkan kembali ke dunia 'dukhha' atau 'penderitaan'.
"Baik. Silahkan diambil," usul anak itu.
Mrs. Rose mengangguk dan mengemut permen lolinya. Sebenarnya ia tidak terlalu menyukai rasa manisnya, apakah setiap anak yang bertugas memberikan permen?
Akan tetapi matanya terasa berat. Peluh hadir di punggungnya, rambutnya rontok dengan cepat. Tiba tiba tubuhnya lunglai begitu saja ke tanah. Bila ditela'ah, kondisinya seperti biksuni yang melakukan cara ekstrim untuk mencapai kondisi nibbana.
Di kehidupan itu, dia meninggal di kereta dalam posisi tertidur. Hingga seorang nona muda yang berniat membangunkan Mrs. Rose dari tidurnya, malah mendapati bahwa nafasnya telah terhenti. Memicu kepanikan massa dan kereta dihentikan di tengah malam.
Anak kecil itu berdecak beberapa kali
"Gadis itu, kuharap dia memenuhi ekspektasiku. Kalau tidak dia dan suaminya itu akan kutendang ke neraka. Menyia-nyiakan."
*****
"Maaf Count Arthur, apakah sudah ada jawaban untuk permohonan saya dalam menikahi putri anda?"
"Keputusan berada di tangan putriku. Namun sebelum itu, saya ingin memastikan sesuatu terlebih dahulu, apa alasan anda memutuskan melamar Ella nak?" selidik ayah Rose. Panggilan Ella diambil dari 'Rosella', sebagai nama kecilnya.
Ketika keduanya tengah berbicara dengan serius, Rose sebaliknya. Perempuan tersebut malah berlari sepanjang taman dekat rumahnya, mengejar kupu-kupu untuk ia simpan dalam botol kaca. Ibu dan kakak tirinya tengah berbelanja di luar. Namun Rose terjatuh ke tanah, wajahnya menghadap ke tanah.
"Kupu-kupunya kabur.." ratap Rose, perhatiannya teralih oleh sepatu di hadapannya.
Rose yang awalnya dalam posisi terlungkup segera berdiri dan mengibaskan debu di gaunnya. Lalu sebuah kupu-kupu kertas muncul tepat di depan manik matanya.
"Ingin kuajari cara membuatnya?" tanya lelaki di depannya.
Otomatis Rose mengangguk dengan penuh semangat, ia menerima kertas berbentuk kupu kupu itu. Pria itu mengambil sapu tangan dan menyerahkannya ke gadis itu pula. Kemudian Rose mengangkat wajahnya, "Ah, maaf. Namamu?"
Mata hijaunya mengerling jenaka, pria itu sepertinya tengah merencanakan sesuatu. Jemarinya menopang dagu lancipnya, di saat yang sama sinar matahari jatuh ke rambutnya. Sedangkan Rose yang merasa terlalu silau mengajaknya berteduh menuju naungan pohon bunga kamboja di kebun.
Sebelum itu lelaki asing itu berhenti. "Tebak dulu siapa aku," usulnya dengan nada ramah.
"Marquess Andrient de Moonstone." Bukan Rose yang menjawab, namun ayahandanya sendiri, "Dia tetanggamu lamamu, kalian berdua sering bermain bersama saat kecil."
Marquess Andrient awalnya berniat bermain dengan Rose, namun malah digagalkan oleh Count Arthur Zen. Sontak ia mengadu tidak puas dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sedangkan Rose hanya mengangguk dan menyapa ringan. Tidak terlalu memusingkannya.
"Bermainlah sepuasnya, ayah ingin mengurus dokumen di ruang kerja dahulu. Marquess Andrient, tolong jaga gadis bungsuku ini untuk sementara," putus Count Arthur dan berbalik. Awalnya ayah Rose hendak bergabung dengan anaknya, namun masih ada kerjaan yang memerlukan tindakan darinya.
Andrient menggangguk dan memantau hingga Count Arthur kembali ke dalam ruangan. Sebelum berbalik dan melihat binar penasaran milik Rose.
"Nah aku akan mengajarimu cara membuat kupu kupunya," ingat Marquess Andrient disusuli senyuman polos gadis bersanggul di dekatnya.
Rose terhanyut dengan suara bass dari pria di hadapannya. Tidak hanya itu, pria itu dengan telaten membimbing hingga gadis itu mahir membuat bentukan kupu kupu dari kertas buram.
Kakak tirinya yang baru saja kembali dari perjalanan juga ikut bergabung dan bermain.
Diam diam, Duke Cornwall atau yang kerapkali disapa dengan Duke Andromeda Zen menilai Marquess Andrient. Walaupun dari ibu yang berbeda, Duke Cornwall sangat protektif pada adiknya sendiri.
Hal ini membuat Rose cenderung bergantung pada kakaknya. Sepertinya, Duke Cornwall harus rela berbagi dengan Marquess Andrient. Sebab dalam hitungan jam saja keduanya sudah seperti sahabat dekat.
"Kak Andri, apakah ada bentuk lain lagi?" tanya Rose
Marquess Andrient berpikir sejenak, mata hijaunya berfokus pada pola kupu kupu dan jangkrik yang telah dibuat Rose. Wajahnya tampak serius, mau tidak mau membuat Rose semakin menantikan jawaban dari pria tersebut.
Setelah beberapa detik terlewatkan ia menjawabnya, "Tentu, namun hanya dua untuk tiap pertemuannya."
"Ayolah kak, bagaimana jika tiga?" bujuk Rose, seolah tidak merasa cukup dengan tawaran Marquess Andrient.
"Hush, jangan meminta terlalu banyak. Untuk mempelajari dua bentuk saja memakan hampir 6 jam." Duke Cornwall menoel hidung Rose, membuatnya bersin. "Kenapa kau tidak belajar etiket dan hal yang dilakukan wanita pada umumnya saja?"
"Kakak!!"
Marquess Andrient tertawa, matanya menyipit menjadi bulan sabit. Langkah ini ia lakukan agar ia dapat menarik perhatian Rose, mencegahnya tidak mudah bosan pula. Lagipula ia baru mengetahui sekitar 10 bentuk. Diam-diam dari lirikannya, ia berterimakasih pada Duke Cornwall.
*****
5 hari kemudian, kediaman Moonstone
Seorang pria berkonsentrasi menyapu kuas di ruangan kerjanya. Di masa itu, mesin tik masih belum ditemukan. Umumnya orang kekaisaran, bangsawan dan rakyat jelata masih menggunakan kuas dan tinta.
Pemanfaatan burung merpati sebagai penghubung surat juga sering digunakan, walau memang sudah sedikit berkurang seiring bertambahnya tahun.
Penangguhan wilayah Belize
Duke George Price selaku diplomat dari kekaisaran Vollerei Raya mengabarkan ketundukkan wilayah Belize, atas izin dari yang berdaulat. Oleh karena itu diharapkan Yang mulia Jordanio Raven Vollerei mampu menyetujui permohonan diplomasi bersama daerah Belize dalam rangka menangguhkan wilayah baru.
Tertanda, Marquess Drevan de Moonstone
Setelah menekan cap di bawah surat, pria tersebut memasukkan gulungan kertas di dalam tabung kecil. Ia menyelipkannya di balik baju besarnya. Sebagai saudara tertua dan pemimpin dari aristokrat Moonstone tentulah hal yang ia lakukan tidak asing lagi.
Sedangkan Marquess Andrient, adik lelakinya kurang dapat diandalkan. Dapat dihitung jari berapa kali ia kembali ke rumah tiap bulannya. Drevan berdiri tegap dan melangkahkan kakinya dengan runtut, bersiap menemui kaisar. Sudah 4 tahun lamanya ia menjabat sebagai konsultan kerajaan tidak resmi.
Tring..!!
Dentingan lonceng berbunyi, Marquess Drevan segera keluar dari kediamannya. Mendadak selembar kertas beraroma lavender menghantam wajahnya, membuat pria tersebut urung melangkahkan kakinya setapak lagi. Netra hijau gelapnya melirik ke bawah.
"Apa yang kau lakukan?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!