Bacanya yang tertib, ya. Yang runtut, jangan loncat atau skip bab. Biar kalian juga bisa ikut kuis dengan hadiah pulsa atau isi ulang ketika cerita ini tamat. Makin bagus retensi, makin gemoy juga saldo buat hadiahnya 💗
Buat kalian yang sudah baca, diharapkan lanjut baca. Jangan nunggu tamat baru lanjut karena ini bisa menghancurkan retensi novel. Sementara novel yang gagal retensi tidak akan mendapat dukungan apa pun dari NT. Yuk ramaikan ❤️
🌼🌼🌼🌼🌼
Aqilla dan Asyilla selaku putri kembarnya sudah tidur. Akina tersenyum bahagia memandanginya. Sementara masih di sebelah ke duanya, di pinggir ranjang tidur mereka yang luas, Rasya suami Akina tampak buru-buru pergi. Pria berkulit putih bersih itu begitu fokus ke ponselnya. Hingga Rasya juga sama sekali tak menyadari keberadaan Akina.
Setelah sempat sibuk mengetik, Rasya menempelkan ponselnya dan tentu itu karena untuk menerima telepon suara yang membuat ponselnya sibuk berdering.
“S—Sayang?!” lirih Rasya seolah berusaha berteriak. Rasya tampak sangat bahagia melebihi ketika Akina mengabarkan kehamilan pertamanya dan itu langsung kembar. Iya, belum pernah Akina melihat suaminya bahagia melebihi kala itu sebelum akhirnya kini, ia melihat dengan kepala dan matanya sendiri.
Hanya saja, Rasya tampak sengaja merahasiakannya. Sementara Akina yang masih berdiri di balik tembok pintu kamar mandi langsung terdiam lemas hanya karena panggilan barusan. “Sayang?” Siapa lagi yang mendapatkan panggilan tersebut dari suaminya, selain dirinya dan juga sepasang kembar mereka yang sangat cantik, gemoy, dan memang sangat menggemaskan?
Saking syoknya, Akina yang jadi gemetaran dan tubuhnya mendadak demam, menjatuhkan benda pipih tak lebih besar dari jari kelingkingnya. Itu merupakan test pack yang dihiasi dua garis merah, setelah ia melakukan tes kehamilan secara mandiri, di dalam kamar mandi. Ia melakukannya secara diam-diam demi mengejutkan sang suami. Karena setelah si kembar genap berusia tiga tahun, niat Akina menambah momongan memang sudah bulat. Ditambah lagi, pada kenyataannya sang suami pernah berdalih ingin punya anak laki-laki.
Akan tetapi, alih-alih membuat sang suami terkejut, panggilan sayang dari suaminya dan itu untuk dia yang tengah menelepon, membuat Akina terkejut lebih dulu. Nyawa Akina seolah dicabut paksa dan sebagiannya sudah langsung meninggalkan tubuh bahkan kehidupannya.
“Siapa, sih? Ini apaan, sih? Aku beneran langsung enggak bisa tenang begini!” batin Akina di tengah napasnya yang jadi memburu. Senyum manis di wajah cantiknya tak lagi tersisa. Yang tersisa hanyalah kegelisahan sekaligus ketakutan. Bahkan Akina yakin, di luar sana, semua istri pasti akan langsung merasakan hal yang sama jika berada di posisinya.
Alasan Akina tidak diketahui keberadaannya dan kini sudah di bibir pintu kamar mandi, mungkin karena selain sedari tadi pintu kamar mandi sengaja Akina buka lebar tanpa menutup apalagi menguncinya. Rasya juga terlalu fokus ke ponselnya. Bahkan sekarang, meski Akina sudah menyusul ke balkon kamar, pria berambut rapi agak ikal itu masih tersenyum sangat lebar. Rasya masih sangat fokus ke obrolan suara di ponselnya. Seolah, dunianya hanya untuk itu tanpa ada yang lain bahkan itu Akina dan putri kembar mereka.
Kini, wajah putih bersih Raysa sudah sangat merona. Sesekali, bibir berisinya juga mengucap syukur. “Masya Allah. Selamat ya sayangku. Perjuangan kita enggak sia-sia!” Itulah yang terus Raysa katakan. Hingga melahirkan bongkahan luka di dada seorang Akina yang makin tak karuan. Ditambah lagi, terhitung sejak dua bulan lalu, mungkin bawaan hamil juga, Akina jadi makin sensitif dan emosinya sangat naik turun.
“Siapa? Bukankah sejauh ini papanya anak-anak tipikal tempramental dan sangat ditakuti? Bahkan karena sifatnya ini juga, aku jadi tertantang mau dinikahinya. Apalagi sejauh mengenal, mas Rasya tipikal yang sangat cuek kepada wanita lain. Hidupnya beneran lurus ke keluarga kecil kami, keluarga orang tuanya, dan juga perusahaan yang dikelola,” pikir Akina terus bertanya-tanya jauh di benaknya. Kepala bahkan hatinya juga tak luput dari rasa panas. Ia terlalu sulit mengungkapkan kenyataannya kali ini.
“A—?!” Rasya tidak bisa tidak syok ketika mendapati sosok yang berusaha meraih sebelah tangannya, justru Akina. “Apa, sih?! Bikin kaget saja! Sudah tunggu di dalam. Ini mama lagi telepon!” lirihnya sengaja mengusir istri cantiknya layaknya ketika mengusir lalat hijau yang berusaha mendekati makanannya.
“Hah?” batin Akina makin tak percaya. Ia sungguh langsung tidak bisa berkata-kata. Termasuk juga ketika dirinya melihat si penelepon di layar ponselnya. Rasya menunjukkan layar ponselnya yang dihiasi kontak : Mama, dan menjadikan foto ibu Ismi—mama Rasya, dan Irene kakak perempuan Rasya, sebagai penelepon suara di ponsel Rasya.
Akan tetapi, Irene yakin dirinya tidak salah dengar. Namun, kenapa juga Rasya memanggil sang mama sayang? Padahal biasanya saja, Rasya memanggilnya mama, termasuk tadi.
Sekali lagi, Rasya mengusir Akina, meminta sang istri untuk segera pergi. Namun sebelum itu benar-benar Akina lakukan, Akina sengaja menaruh test pack miliknya.
“Sepertinya sudah masuk bulan ketiga. Besok, tolong temenin aku ke dokter kandungan, ya?” manis Akina tetap berusaha menjadi istri yang baik, meski ulah sang suami yang jadi kasar kepadanya, sukses memporak-porandakan mentalnya.
Rasya terdiam tak percaya tanpa bisa menyingkirkan raut kesal dari wajahnya. Namun, ia juga tak memberi balasan berarti kepada Akina lebih-lebih ucapan selamat. Ucapan selamat penuh rasa sayang yang memang sudah semestinya terjadi dari sang suami kepada istrinya yang hamil lagi. Apalagi alasan Akina hamil karena memang Rasya yang menginginkan anak laki-laki.
Sebenarnya, Akina sudah nyaris menyimpulkan, sang suami mendadak berubah. Pria itu bersikap sangat asing kepadanya. Namun sekali lagi, Akina tidak mau langsung menghakimi. Bisa jadi, ada urusan yang sifatnya sangat pribadi dan belum bisa Rasya bagi kepadanya.
••••
“Iya, ini aku sudah mau langsung berangkat,” ucap Rasya, sudah kembali sibuk dengan ponselnya.
Keesokan paginya, Rasya menjadi yang paling telat bergabung untuk sarapan bersama. Di lantai bawah, di meja makan tak jauh dari anak tangga, Aqilla dan Asyilla langsung heboh. Kenyataan tersebut terjadi hanya karena keduanya yang sudah rapi, mengetahui kedatangan papanya dari dalam kamar mereka. Keduanya heboh mencuri perhatian. Lain dengan Akina yang memilih diam menjadi pengamat baik. Akina terus berusaha menghabiskan segelas susu hamilnya, meski sikap Rasya yang mendadak kasar, membuatnya kehilangan nafsu makan secara drastis.
“Papa sibuk. Papa buru-buru!” bentak Rasya sampai marah-marah ke sepasang kembarnya.
Aqilla dan Asyilla yang memang sampai lari memeluk kaki papa mereka langsung berkaca-kaca.
“Mau peyuk, Papa ... mau gedoh!” tangis Asyilla yang paling manja apalagi dirinya memang yang paling kecil.
“Papa ... kok Pa—Pa, jadi ... alak, ciiih?” komentar Aqilla masih bertahan mendekap kaki kanan Rasya.
Belum beres dengan drama dari kedua putrinya, Rasya yang sampai berkeringat karena menahan emosi, justru dibuat kesal oleh Akina. Sang istri yang sudah tampil rapi menggunakan nuansa merah muda layaknya putri kembar mereka, mengingatkan perihal jadwal ke dokter kandungan.
“Aku sudah daftar secara online, dan dapat nomor awal,” lembut Akina sudah ada di sebelah Rasya.
“Sudah dapat nomor ya cukup berangkat. Kamu kan tahu kalau aku sibuk banget. Bawa anak-anak, mereka kan anteng cukup diarahin atau kasih hape biar nonton youtub. Sudah, ... Papa mau berangkat kerja. Masih pagi sudah bikin pusing saja!” Rasya tetap pergi meski kepergiannya kali ini ditangisi sang putri.
Namun, Rasya melanjutkan kesibukannya mengobrol melalui sambungan telepon di ponsel. Sementara tadi, Akina dapati Rasya masih terhubung dengan kontak sang mama.
“Sayang, ... jangan nangis ya. Papa lagi sibuk, lagi banyak kerjaan. Sekarang, Qilla dan Chilla ikut mama. Nanti, setelah periksa dedek bayi, kita jalan-jalan!” Akina berusaha menenangkan kedua putrinya. Setelah memeluknya secara bersamaan, keduanya juga ia emban secara bersamaan. Kendati demikian, keduanya tetap menangis karena yang keduanya inginkan memang perhatian dari papanya.
“Sayang ...? Masa iya, mama Ismi dipanggil-panggil sayang dan harus mengobrol seasyik itu? Sabar, Na. Sabar. Jangan sampai setres karena kini kamu sedang hamil muda,” batin Akina menyemangati dirinya sendiri. Meski kenyataan Rasya yang seolah tak menyambut baik kehamilan Akina, juga membuat Akina bertanya-tanya. Akina merasa sangat terluka karenanya. Namun, Akina tak mau egois karena Rasya jelas-jelas berdalih sedang sibuk—banyak kerjaan.
“Duduk, ya. Jangan berebut,” lembut Akina seiring tatapan teduhnya yang menatap setiap mata lebar milik kedua putrinya. Kedua mata itu langsung balas menatapnya dengan tatapan patuh. Apalagi, Akina tengah membantu kedua putrinya duduk di tempat duduk tunggu.
“Aku nulut Mama,” ucap Aqilla.
“Aku duga!” ucap Asyilla yang kemudian berkata, “Kacian dedek bayyi!” Kedua tangan mungilnya yang berwarna putih kemerahan, mengelus-elus perut Akina.
Hati ibu mana yang tidak terenyuh menyaksikan kepatuhan anak gadisnya. Padahal, kedua anak gadisnya masih sangat jauh dari dewasa. Namun, keadaan membuat keduanya harus dewasa sebelum waktunya. Tiba-tiba saja hati kecil Akina menjerit, bahwa keputusannya hamil lagi di tengah kenyataan kedua putrinya yang masih berusia tiga tahun, merupakan keputusan yang kurang tepat. Karena itu sungguh membuat keduanya jadi harus mandiri—memahami keadaan Akina yang juga mengalami sindrom kehamilan.
Kini, mereka memang sudah di rumah sakit. Mereka langsung menjadi bagian dari antrean pemeriksaan spesialis obstetri dan ginekologi, atau itu dokter obgyn. Suasana sudah terbilang ramai meski kini terbilang masih pagi. Belum ada pukul sepuluh dan menjadi jadwal dokter obgyn mulai praktik. Setelah sebelumnya, sang perawat mengabarkan bahwa dokter agak telat karena suatu hal.
“Jangan stres ... jangan stres. Enggak, ... kehamilanmu yang sekarang bukan kesalahan,” batin Akina berusaha meyakinkan dirinya sendiri yang merasa telah melukai kedua putrinya akibat kehamilannya. Ditambah lagi, Akina tidak bisa menerima perubahan drastis dari suaminya.
“Nyonya Irene Mustika ....”
Suara perawat yang membantu sang dokter, berseru dari depan pintu. Nama yang memang langsung membuat Akina tercengang.
“Namanya kok mirip namanya mbaknya ....?” pikir Akina bertepatan dengan suara perawat yang masih melantangkan nama sama.
“Nyonya Irene Mustika ....”
Namun untuk kali ini, dunia Akina mendadak berputar lebih lambat. Begitu juga dengan tubuhnya yang bergerak saja terasa sangat berat hanya karena apa yang ia tatap. Karena seperti keyakinannya, nama tadi sungguh dimiliki oleh orang yang sama. Irene Mustika—wanita cantik yang selama ini Akina ketahui sebagai kakak perempuan Rasya Antonio—suami Akina. Wanita cantik yang sangat disayangi keluarga Rasya, bahkan untuk Rasya sendiri. Tidak ada yang tidak bisa bagi seorang Rasya, jika itu untuk Irene Mustika. Termasuk juga, untuk kali ini.
Karena setelah tadi pagi sibuk berdalih sibak-sibuk. Anak-anak sampai dibuat menangis kejer karena diabaikan papanya. Juga, Akina yang turut kena semprot padahal mengajak periksa kehamilan, secara baik-baik. Namun kini, Rasya dengan sangat lembut merangkul seorang Irene Mustika. Bahkan, bibir Rasya ada di dahi Irene, sementara tangan kanannya sibuk mengelus perut Irene yang masih sangat rata.
Senyum di wajah Irene maupun Rasya langsung tak tersisa digantikan keterkejutan. Keduanya menatap terkejut adanya Akina di sana. Ditambah lagi, Aqilla dan Asyilla yang langsung berlarian berebut papanya. Kedua bocah itu sampai menyingkirkan Irene dari dekapan Rasya.
“Ini papaku.”
“Iya, ini papaku. Ante pelgi cana!”
Ketika kedua putrinya masih bisa mengekspresikan emosinya, tidak dengan Akina yang langsung kebas sementara matanya yang panas, basah. Akina sungguh merasa tak habis pikir lantaran sang suami tetap menomor satukan Irene, padahal Akina dan anak-anak butuh. Apa pun alasannya, jika sudah berumah tangga. Sedekat apa pun hubungan suami dengan saudaranya, bagi istri mana pun, apalagi jika sudah menyangkut urusan sangat privasi, harusnya seorang suami tetap mengutamakan istri dan anak-anaknya.
Termasuk juga untuk para saudara bahkan orang tua dari suami. Jika memang anak dan saudara mereka sudah menikah, tolong alangkah baiknya bedakan mana tanggung jawab sekaligus mengabdi. Toh, Akina maupun istri di luar sana tidak menuntut suami mereka ada 24 jam untuk mereka. Jangan malah, seorang suami tega mengorbankan istri dan anak-anak hanya demi kata bakti, sementara istri dan anak-anak makin telantar.
“Sakit banget ya Allah ... rasanya sakit banget! Iya, aku tahu setiap kehidupan bahkan kehidupan rumah tangga punya cobaan masing-masing. Namun masa iya, Mbak Irene setega ini padahal dia saja punya suami!” batin Akina. Ia yang masih menatap Irene dan Rasya, silih berganti, sengaja membiarkan air matanya berjatuhan. Keduanya hanya celingusan mirip maling yang tertangkap basah.
“Mbak Irene, ... aku juga sedang hamil. Jadi tolong, ... Mbak bahkan bisa lihat anak-anak haus kasih sayang papanya,” sedih Akina di hadapan orang-orang yang sudah menontonnya.
“AKINA! SOPAN KAMU, JAGA SIKAPMU!” bentar Rasya yang kemudian juga sampai mendorong sekuat tenaga kedua putrinya yang berusaha minta digendong kepadanya.
Yang membuat Akina murka, bukan karena sang suami membentaknya di depan umum demi Irene. Namun, kenyataan Rasya tega membuat putri kembar mereka terbanting di lantai. Yang menyaksikan itu kompak istighfar kemudian berbondong-bondong menolong.
“Aku istri kamu, Mas. Sementara yang kamu dorong sampai terbanting di lantai, mereka anak kamu! Dan mbak Irene ini memang kakak kesayangan kamu!” tegas Akina sangat emosional di tengah air matanya yang berlinang.
“Sekarang begini saja. Tanya ke semuanya bahkan bila perlu ahli hukum dan agama. Mana yang harus didahulukan, istri dan anak-anak suami, atau saudara perempuan suami, sedangkan SAUDARA PEREMPUAN MAS BUKAN JANDA. DIA MASIH PUNYA SUAMI!” Akina sampai berteriak karena sang suami mendadak menamparnya kemudian menyeretnya pergi dari sana.
Beberapa orang sudah melerai, tapi Rasya berdalih yang terjadi kepada mereka masih urusan keluarga. Tak ada satu pun yang boleh ikut campur
“Nyonya Akina Hyojinara!” seru sang perawat lantaran nama sebelumnya, tak kunjung menanggapi.
Namun layaknya nama sebelumnya, nama kali ini juga masih tak menanggapi. Meski si kembar yang tak terima mamanya ditampar oleh sang papa, berdalih bahwa nama tadi merupakan nama mamanya.
“Itu nama mama. Mama halus peliksa dedek bayi ke doktel, Ante!” sibuk Aqilla dan Asyilla kepada Irene. Namun tak beda dengan Rasya yang terus menyeret Akina, Irene juga terus menuntun paksa si kembar. Bahkan meski Aqilla dan Asyilla berdalih sakit.
“Aku lagi hamil, Mas. Tolong pelan-pelan!” protes Akina yang kemudian juga mengeluhkan cara Irene kepada putri kembarnya. “Anak-anak kesakitan, Mas!”
“Makanya jadi istri kamu harus bisa dididik. Kamu harus mikir apa yang sudah Irene lakukan buat kita. Jangan egois kamu! Ingat, tanpa aku nikahi, kamu enggak lebih dari wanita kampung yang baru merintis usaha!” marah Rasya setelah memasukkan paksa Akina ke dalam mobilnya.
Akina yang terduduk paksa di tempat duduk penumpang belakang setir, langsung terdiam, menatap tak percaya suaminya. Kemudian dari pintu sebelahnya, Irene memasukkan paksa Aqilla dan Asyilla yang masih sibuk.
“Udah jangan nangis, berisik banget sih. Enggak tahu orang lagi pusing!” bentak Rasya kepada anak-anaknya.
Aqilla dan Asyilla langsung ketakutan mendekap mamanya.
“Ya Allah ... aku enggak yakin bahwa pria yang ada di hadapanku, memang suamiku. Dia berubah banget. Mas Rasya mendadak sangat kasar. Bukan hanya kepadaku, tapi ke anak-anak. Bukan juga hanya dari tutur katanya karena dia juga enggak segan main tangan. Namun sekarang, di depan mataku, dia juga tetap perhatian banget ke mbak Irene,” batin Akina. Di depannya, Rasya yang langsung menyetir, sudah sibuk meraba-raba perut Irene.
Sementara seolah tidak memiliki hati, Irene yang sempat mencubit lengan kanan Aqilla, membiarkan Raysa melakukannya.
“Dia wanita, kan? Dia seorang istri dan dia sedang hamil! Dia kakak ipar, tapi kenapa lebih kejam dari pelakor?!” batin Akina di tengah darahnya yang seolah mendidih.
“Aku enggak terima, Mas! Cara kalian begini beneran kelewatan. Jika kalian terus begini, aku enggak segan laporkan ini ke polisi!” Akina menuntut keadilan. Ia tak ingin kehilangan suaminya. Ia tak mau anak-anaknya harus mengemis hanya untuk mendapatkan perhatian dari papanya sendiri. Demi anak-anaknya, Akina akan membuat Rasya maupun Irene paham posisi.
Mengenai rasa sayang saudara. Juga mengenai kewajiban dan bakti seorang laki-laki ke saudara setelah mereka menikah. Akina akan membuat semuanya jelas sejelas-jelasnya!
Sepasang buku nikah Rasya taruh di meja, persis di hadapan Akina.
Kini, mereka memang sudah ada di kediaman orang tua Rasya yang megah. Berbeda dengan rumah Akina dan Rasya tinggal selama hampir empat tahun lamanya, rumah tersebut memiliki empat lantai dan dibangun di atas tanah hampir 2 hektar. Selain itu, dari segi arsitektur maupun perabotan dan isinya, semuanya serba mahal. Karena memang, Rasya berasal dari keluarga berada dan tinggal di ibukota. Hingga meski pada kenyataannya Akina juga berasal dari keluarga berada, kenyataan Akina yang memang berasal dari kampung, tetap bisa jadi bahan cemooh bahkan hinaan. Karena memang, orang tua Akina tidak seberada orang tua Rasya.
Akan tetapi, pantas kah seorang suami mencemooh latar belakang seorang istri, hanya karena sang suami merasa derajatnya lebih tinggi?
Di ruang makan dengan penerangan yang sangat terang dari banyaknya lampu di sana termasuk lampu hias, Akina tidak hanya berdua dengan Rasya. Karena di sana masih ada Irene yang kini didampingi ibu Ismi maupun Rasya. Sementara Aqilla dan Asyilla sengaja diurus oleh para ART di ruang keluarga depan.
Setelah menaruh sepasang buku nikah dan satu buah map entah berisi apa di hadapan Akina, dengan segera Rasya langsung berdiri di sebelah Irene. Akina duduk persis berhadapan dengan Irene. Kebersamaan mereka hanya dipisahkan dengan meja kaca tebal berbentuk oval yang luas.
Satu lawan tiga, itulah yang terjadi sekarang. Seolah, Akina yang sebelumnya dianggap membuat kerusuhan oleh Rasya maupun Irene, akan dihakimi. Apalagi setelah keduanya menceritakannya kepada ibu Ismi, wanita anggun yang jemarinya dipenuhi perhiasan itu, langsung menggeleng tak habis pikir. Memang tidak ada kata-kata berarti apalagi makian luapan marah yang terucap dari ibu Ismi. Namun, tatapannya sangat tajam. Tatapannya khas orang mengecam.
“Baca dengan teliti!” tegas Rasya sambil bersedekap, tapi kemudian, ia mekap penuh sayang kepala Irene.
Alasan yang juga membuat Akina muak untuk menjalankan perintah suaminya. “Aku ini istri kamu, loh. Aku beneran bukan penjahat apalagi teroris. Coba sekarang aku balikkan ke kalian. Andai suami mbak Irene lebih fokus urus keluarganya, sementara istri dan anaknya juga harus diurus. Memang, enggak selama dua puluh empat jam. Namun jika kebutuhannya di waktu yang sama, istri dan anak tetap harus diutamakan,” ucap Akina tersedu-sedu. Ia membiarkan air matanya berlinang meski itu membuat pandangannya jadi buram.
“Aku beneran enggak pernah menuntut yang lain. Coba sekarang aku tanya, kapan aku ngeluh? Dalam hal apa pun, kapan aku melakukannya?” sedih Akina.
“Saat aku butuh suamiku tapi Mama telepon. Termasuk saat aku lahiran dan mama telepon Mas Rasya buat temenin Mama. Aku terima lahiran sendirian, meski anak yang aku lahirin kembar dan yang adzanin anak-anakku justru ... papaku!”
“Uang bulanan kurang, aku diam. Bahkan susu buat anak-anak sampai dikirimi mbahnya dari kampung. Termasuk pakaian dan mainan yang hampir semuanya dari keluargaku. Pernah, aku ngeluh? Bahkan ketika enggak ada satu butir pun beras di rumah?” berat Akina tak kuasa membendung kesedihannya. Ia jadi kerap menghela napas dalam demi meredam sesak di dadanya. Sakit, rasanya benar-benar sakit
Kalian jangan berpikir, Akina mendapatkan kehidupan mewah, hanya karena menjadi menantu dari keluarga kaya raya. Gambaran hidup layaknya seorang ratu karena menikahi bos besar dari perusahaan X, sungguh tidak ada di kehidupan Akina. Meski Rasya tipikal suami patriarki, Rasya juga tidak mengizinkan Akina kerja. Akina bahkan tetap tidak diizinkan bekerja ke keluarga Akina sendiri yang memang kebanyakan pebisnis bahkan artis. Masalahnya, walau tidak diizinkan bekerja. Sedangkan Rasya maupun keluarganya kaya raya, uang bulanan untuk Akina itu UMR rasa banyak tagihan. Jadi, demi memenuhi kebutuhan si kembar, Akina tak kuasa menolak kiriman dari orang tuanya.
Di hadapan Akina, Irene turut menitikkan air mata. Tubuh Irene juga jadi terguncang pelan. Namun, alih-alih menenangkan Akina yang jelas sangat menderita, ibu Ismi malah merangkul penuh sayang Irene. Irene lah yang ibu Ismi tenangkan.
“Cepat buka cek semuanya karena kamu tidak lebih dari istri pancingan!” sergah Rasya benar-benar geregetan. Hingga karena itu juga, ia menjadi sosok yang sangat keji.
Akina yang dongkol dengan cara sang suami, dengan segera meraih buku nikah sesaat setelah ia menghela napas kasar. Betapa terkejutnya Akina lantaran buku nikah untuk pihak istri tak hanya berisi foto Irene. Karena di sana juga ada foto Rasya, lengkap dengan identitas Rasya!
“Hah ...? Ini maksudnya bagaimana?” batin Akina langsung linglung. Otaknya mendadak tidak bisa berpikir atau bahkan telanjur lumpuh.
Hampir empat tahun menjalani rumah tangga bahagia bersama Rasya Antonio, membuat Akina merasa dunianya sempurna. Ditambah lagi, pernikahan mereka langsung dianugerahi putri kembar yang sangat cantik sekaligus menggemaskan. Namun kini, dengan kedua matanya sendiri Akina memastikan, bahwa sebelum menikahinya, Rasya telah menikah dengan Irene. Terhitung, lima tahun sebelum Rasya menikahi Akina, ... Rasya sudah menikahi Irene!
Sementara ketika kedua tangan Akina yang gemetaran sekaligus terus mengeluarkan keringat, mengecek isi map. Di sana terpampang foto-foto pernikahan Irene dan Rasya. Ternyata, kedua sejoli itu sudah berpacaran sejak SMP!
Lantas, apa maksud Rasya sekeluarga yang selama ini mengenalkan Irene sebagai kakak perempuan Rasya? Kakak perempuan yang sangat disayangi Rasya sekeluarga. Kakak perempuan yang memang selalu diratukan Rasya sekeluarga!
Juga, apa maksud Rasya mengatakan bahwa Akina hanya sebatas istri pancingan?
Selain semua itu, apakah selama ini yang selalu berkomunikasi dengan Rasya menggunakan nomor kontak ibu Ismi dan sampai Rasya panggil sayang, juga masih Irene?
Terlalu banyak pertanyaan yang memenuhi benak Akina. Kepala Akina seolah akan meledak dan rasanya sangat panas. Mendadak, setelah Akina memaksa otaknya untuk berpikir, ada derit layaknya ketika kereta akan berhenti. Sungguh, otak Akina seolah benar-benar akan meledak.
“Istighfar, Na ....” Jauh di lubuk hatinya, Akina sudah sibuk menyemangati dirinya sendiri.
Keadaan Akina sungguh kacau. Wanita cantik berusia 30 tahun itu mendadak tidak bisa membedakan kenyataan maupun halusinasi. Tatapannya yang basah sekaligus kabur, menatap ketiga wajah di hadapannya. Ketiganya menjadi bertampang keji dan jelas menghakiminya. Cara ketiganya bersikap seolah sengaja menuntut Akina. Bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, Akina harus menerima. Apalagi kini, selain sudah memiliki si kembar, Akina justru tengah hamil lagi.
“Kamu istri kedua. Sakitan mana dengan Irene yang selama ini sudah berkorban sekaligus mendukung Rasya?” Ibu Ismi angkat suara. Dalam dekapannya, apa yang ia katakan membuat Irene tersedu-sedu. Tangis Irene pecah. “Irene sudah terlalu banyak berkorban! Demi kamu dan anak-anakmu!” lanjut ibu Ismi. Emosinya kepada Akina makin meluap akibat kesedihan Irene.
“Kenapa aku yang disalahkan? Memangnya sejak awal, kalian memberitahu aku apalagi keluargaku, kalau ternyata, aku istri kedua? Kalau ternyata, aku istri pancingan?!” isak Akina tersedu-sedu.
Akina menuntut keadilan atau setidaknya belas kasihan. Namun, Rasya yang ia tatap memohon, justru menepis tatapannya. Karena yang Rasya lakukan justru memeluk Irene.
“Sayang, ... maaf!” lembut Rasya dengan bibir yang kembali menempel di ubun-ubun Irene.
Detik itu juga, langit kehidupan Akina runtuh! Akina tertunduk loyo dan ingin mati saja. Terlebih, tangis kedua putrinya tak sedikit pun membuat Rasya iba. Rasya malah pergi membopong Irene dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!