Bab 1
Usai memarkirkan motornya Rain melangkah menuju kafe langganannya. Cuaca mendung dan sepertinya hujan akan segera turun memaksa Rain untuk mempercepat langkahnya agar sampai di kafe sebelum hujan. Dia membuka pintu kaca bertepatan dengan suara gemercik hujan yang turun. Gadis itu bernapas lega karena tidak kehujanan.
Rain mengedarkan pandangan untuk mencari tempat kosong karena memang suasana kafe lumayan ramai. Kebetulan ada di paling pojok dekat kaca besar itu kosong. Tempat favorit Rain.
"Americano satu."
Rain berkata setelah pelayan kafe menanyakan apa yang ingin dia pesan. Kali ini Rain memilih untuk menikmati Americano. Kopi yang selalu Rain nikmati sambil bekerja.
"Kenapa bukan latte?"
Suara itu ... Membuat jantung Rain tiba-tiba berdebar dan mengingatnya kepada seseorang dimasa lalu.
"Nih diminum dulu." Rain merasa heran karena laki-laki yang baru dikenal sekitar beberapa bulan tahu kopi yang menjadi favoritnya.
"Apapun yang kamu sukai aku tahu, karena kamu sudah ada disini." Laki-laki itu menunjuk dadanya sendiri.
"I love you, Rain!"
Rain berkali-kali menyadarkan dirinya bahwa pemilik suara tidak sama dengan seseorang yang berada di masa lalu. Ini hanya halusinasinya dan mana mungkin laki-laki itu datang kembali.
Hingga Rain tersadar saat suara itu kembali terdengar.
"Boleh aku duduk sini kan?" ucapnya tanpa persetujuan Rain, dia sudah duduk di kursi kosong tepat dihadapan Rain.
Gadis tomboy itu tidak menanggapi dan tetap fokus pada layar laptopnya. Mencoba menenangkan diri dari bayang masa lalu. Dari nama yang sudah dihapusnya bukan hanya pada sosial media tapi juga pada hatinya. Mati-matian Rain melupakan semuanya agar hatinya tenang dan pikiran juga waras.
"Sibuk banget sih?" tanya laki-laki itu.
Rain berusaha untuk abai tapi rasa penasarannya memaksa Rain untuk menatap siapa gerangan yang duduk dihadapannya saat ini?
"Hai!" Tanpa berdosa laki-laki itu melambaikan tangannya.
Kedua mata Rain melotot bahkan bola matanya seakan hendak menggelinding saking terkejutnya dengan apa yang dia lihat.
"Lo ngapain disini!" tanya Rain ketus.
Dugaan Rain benar jika orang yang duduk dihadapannya adalah orang yang sama. Orang yang telah menorehkan luka cukup dalam di hatinya hingga membuat Rain enggan kembali membuka hati kepada laki-laki manapun. Menyibukkan diri dengan segudang pekerjaan demi melupakan semua yang telah terjadi.
"Ketemu calon istri yang dua tahun ngambek karena salah paham sampai lupa jalan pulang," katanya santai sambil menaik turunkan alisnya.
Rain mengusap wajahnya dan menyugar rambut yang dia potong model wolf cut itu. Rain benar-benar tidak bisa berkata apapun saat ini. Mau pergi di luar hujan deras dan pekerjaan juga sedang menantinya.
"Siapa yang kasih tahu lo!" Rain tidak peduli dengan ucapan laki-laki itu.
Dua tahun dia pergi dari kota kelahirannya dan kota yang telah banyak membuat Rain terluka. Mati-matian dia membuka lembaran baru dan melupakan semuanya. Mencoba tidak peduli dengan keluarga apalagi saudara kembarnya. Rain benar-benar hidup mandiri dan dia merasa lega karena terbebas dari belenggu masa lalu yang menyakitkan.
Rupanya sekarang dia harus bertemu kembali dengan wajah laki-laki yang telah dia benci.
Siapa yang memberitahu laki-laki itu? Bahkan keluarganya sampai saat ini tidak ada yang tahu dimana keberadaan Rain karena memang dia benar-benar menutup semua akses tentangnya. Memberi ancaman jika sampai ada yang mencari dirinya dan membujuk untuk kembali.
Rean! Satu nama itu terlintas dan hanya orang itu yang tahu dimana Rain berada. Jika Papanya bisa menerima keputusan Rain, tidak dengan Rean. Laki-laki itu terus memaksa agar Rain memberikan alamat dirinya berada.
"Lo tahu dari Rean?" tebaknya.
Kedua tangan Rain mengepal jika memang Rean yang membuka rahasianya maka dia akan memberi perhitungan hari ini juga.
Laki-laki itu menggeleng, "Gue udah nggak pernah nanya ke dia lagi. Dia nggak bakal kasih tahu meski harga diri gue pun udah gue turunin di depan dia!" jelasnya.
"Cih!" Rain tersenyum miring.
Tidak lagi percaya pada apapun yang laki-laki itu katakan. Rain memilih kembali fokus pada pekerjaan yang telah menanti.
"Rain, bisa kita bicara baik-baik?" Wajah laki-laki itu mulai serius.
Rain tetap menatap layar laptopnya dan jemarinya pun menari di atas keyboard. Rain tidak lagi mau mendengarkan apapun ucapan Bara. Laki-laki yang telah menorehkan luka sangat dalam.
Bara pun juga diam menunggu Rain dengan sabar sambil menikmati kopi dan juga roti bakar. Meski membosankan tapi demi masa depan dan hubungan yang baik maka Bara harus menahan rasa jengkelnya.
*
Satu jam berlalu dan mulut Bara terasa gatal ingin bicara.
"Aku tahu dari orang suruhanku. Kamu lupa? Jika di kampus kamu daftar dengan nama asli?" ucap Bara pada akhirnya.
"Aku nggak peduli jika kamu melarang aku mencarimu dengan ancaman vidio itu tersebar. Aku nggak pernah lakuin itu, Rain. Acara malam itu, aku di jebak. Aku nggak tahu apapun dan nggak lakuin sesuatu sama cewek itu. Kalau saja David nggak nolongin aku ya mungkin ... Semua bakal terjadi."
Rain mengemasi barang-barangnya dan meletakkan uang satu lembar seratus ribu di meja.
"Mau kemana? Biar aku aja yang bayar." Bara mencengkram pergelangan tangan Rain.
Gadis itu langsung menepisnya dan memilih untuk pergi. Dia malas bertemu dengan Bara. Apapun alasannya Rain tidak akan pernah mau kembali pada laki-laki yang sudah melukainya.
***
Hujan siang tadi menyisakan genangan air dimana-mana. Suasana syahdu yang menenangkan setelah hujan itulah yang Rain sukai. Beberapa pejalan kaki mulai terlihat lagi dan kendaraan melaju dengan santai setelah hujan reda.
Sore akan berganti senja tapi tidak membuat Rain beranjak dari bangku taman. Sejak dari kafe dia memilih untuk duduk di taman sambil memperhatikan pohon-pohon yang basah karena air hujan.
"Gue itu memang seperti hujan, berkali-kali jatuh tapi tidak akan pernah sakit!" gumamnya.
Jalan kehidupan Rain terlalu banyak kerikil tajam, tapi sekarang semua telah berlalu dan Rain menjalani kehidupan layaknya manusia normal pada umumnya. Tidak lagi memiliki masalah yang terlalu berat.
Gadis itu menatap ke langit sambil tersenyum seolah ada seseorang di atas sana.
"Lo udah bahagia kan sekarang? Gue akhirnya bisa ubah kehidupan lo, Rain!" ucapnya.
Di dalam tubuh itu sebenarnya adalah jiwa Lea. Sementara pemilik tubuh aslinya telah menyerah karena tidak tahan dengan kehidupannya. Jika dipikir-pikir memang sangat tidak masuk akal tapi transmigrasi jiwa itu ada. Lea dan Rain lah yang mengalaminya.
"Soal cinta? Gue udah malas berurusan dengan perasaan!"
Rain menghela napas lelah. Memilih menikmati minuman kaleng bersoda sambil menatap suasana sekitar yang mulai sepi. Syahdu dan begitu menenangkan bagi Rain.
Dia lalu mengambil ponselnya dan membuka galeri. Mencari album foto yang berisi kenangan saat SMA dulu. Foto yang terlihat bahagia bersama Bara sebelum kejadian menyakitkan itu terjadi.
Bersambung ...
"Cinta?" Rain tersenyum miring saat melihat foto dirinya dengan Bara memakai seragam SMA.
Dulu Rain percaya jika Bara adalah laki-laki yang pantas dicintai karena selalu menjaganya. Bahkan lulus SMA pun Bara langsung melamarnya. Awal yang sulit tapi pada akhirnya Bara diterima dengan baik. Tanggal pernikahan telah ditetapkan setelah mereka bisa masuk ke universitas ternama dengan jurusan yang sama. Otomotif!
Hal yang sama-sama mereka sukai. Bisa dibilang jika Bara dan Rain satu frekuensi. Mereka pasangan yang cocok dan serasi.
Sayangnya semua hancur karena ada seseorang yang masuk ke dalam hubungan mereka. Hati yang patah tidak akan pernah bisa diperbaiki kembali. Itulah yang Rain rasakan saat ini. Ketika melihat Bara memang ada rasa rindu dengan laki-laki itu tapi kebencian lebih dominan dari rasa rindu.
Membuat Rain malas bertemu lagi. Malas untuk membahas tentang sesuatu yang baginya sudah selesai. Semua sudah jelas jika Bara telah melakukan hal tak senonoh dengan gadis lain yang Rain tahu itu adalah cinta pertama Bara alias mantan kekasih Bara untuk pertama kalinya.
"Bulsyit bukan?" gumamnya.
"Kata siapa Bulsyit? Cinta itu indah kok!" sambung seseorang.
Plaaaak!
Kaleng soda yang telah kosong itu mendarat tepat dikepala orang yang mengagetkan Rain.
"Sakit, bego!" keluhnya. Sambil memegangi kepalanya yang terkena botol tadi.
"Masa? Cuma kena kaleng soda doang sakit!" ledek Rain.
"Yee, serius gue!" Dia duduk di sebelah Rain dan menatap gadis tomboy itu. "Eh tadi tuh cowok siapa?" tanyanya.
Rain mengedarkan pandangan di sekitar taman. Sejak tadi dia belum pulang dan malah enggan beranjak dari sana. Begitulah Rain jika suasana hatinya sedang tidak karuan dia akan menenangkan diri dengan menyendiri dimana saja.
"Mana, Il?" tanya Rain karena tidak menemukan cowok disekitar mereka. Rain takut saja jika Bara mengikutinya.
"Yee ... Itu yang di foto! Dasar pele!" Gadis yang dipanggil Il itu menoyor kepala Rain. Hal yang sudah biasa terjadi dan memang mereka seperti Tom and Jerry. Percayalah persahabatan seperti ini justru akan awet.
Namanya Maila tapi Rain selalu memanggilnya Mail. Padahal nama panggilannya Lala. Cuma ya Maila terima saja lah daripada menyuruh lidah Rain untuk memanggilnya Lala. Ujungnya tetap Mail juga.
"Bilang kek!" Rain membalas perbuatan Maila. Menoyor kepalanya juga.
Maila tertawa lepas. "Gue baru tahu kalau lo bisa jatuh cinta. Punya pacar lagi. Lo kenapa sih main rahasiaan sama gue?" ucap Maila sedikit kecewa.
Maila tadi tidak sengaja melihat layar ponsel Rain yang menampilkan foto Rain dengan seorang laki-laki. Mereka memakai seragam sekolah yang sama. Rain tidak menyadari kehadiran Maila, sebab Maila sengaja untuk memperhatikan gerak-gerik Rain saat menatap foto itu. Maila kira bakal di peluk dan dicium. Rupanya malah mengungkapkan kekesalan.
"Mantan tunangan. Harusnya kita udah nikah satu tahun yang lalu!" jelas Rain santai.
Rain memang selalu terang-terangan dengan Maila, sahabat yang pertama kali dikenal saat masuk ke universitas di kota itu. Menurut Rain mereka satu frekuensi dan cocok. Saat masih SMA dulu Rain tidak bisa menemukan sahabat yang pas sebab mereka selalu bermuka dua karena tahu siapa Rain yang sebenarnya.
Maila jarang sekali bertanya tentang kehidupan pribadi Rain. Jadi dia tidak banyak tahu tentang siapa Rain. Bagi Maila berteman itu tidak perlu tahu darimana keluarganya berasal. Maila tidak pernah pilih-pilih dalam berteman.
"Ha? Terus kenapa lo nggak jadi nikah?" Maila nampak tertarik dengan cerita kehidupan Rain yang menurutnya misterius.
"Dia selingkuh sama mantan pacar pertamanya. Sakit hati gue, ya udah gue buang aja tuh cincin terus gue kabur ke sini!"
"Bentar deh, maksud lo ... Lo itu baru di sini? Jadi lo punya keluarga? Itu lo nggak di jodohin kan?" tanya Maila penasaran.
Rain memutar kedua bola mata malas. "Pusing gue sama pertanyaan lo!"
Rain mengambil air mineral dari kantung plastik minimarket. Tadi dia membeli beberapa minuman botol, kaleng dan juga camilan. Niat hati mau buat stok kulkas.
"Ih, jawab kek!" Maila memanyunkan bibirnya.
Jika dilihat-lihat Maila ini cewek cantik yang feminim sedangkan Rain tomboy dan mereka selalu menjadi bahan ghibah anak-anak kampus kalau mereka pasangan nggak normal. Sebab mereka tidak pernah terlihat menjalin kasih dengan cowok. Padahal mereka norma dan Maila punya pacar. Hanya saja sedang kuliah di luar negeri.
"Gue nggak di jodohin dan gue punya bokap sama kembaran gue namanya Rean. Dia udah nikah pas SMA gara-gara kepergok ciuman sama bokap jadi dinikahin. Sekarang punya anak satu usianya dua tahun kalau nggak salah!" jelas Rain. Dia jadi rindu sama Rean.
Laki-laki yang selalu menjaga dan melindunginya. Apalagi saat pertama kali mereka bertemu Rain tidak tahu jika mereka kembar. Ah, masa-masa itu ... Tiba-tiba membuat Rain ingin bertemu dengan Rean.
"Kembaran? Sumpah ya hidup lo tuh banyak teka-teki!"
Rain hanya tertawa. Lalu dia menggulir foto-foto dengan Rean saat-saat SMA dulu sebelum Rean menikah.
"Ih kok ganteng sih! Sayang suami orang!" ujar Maila.
"Eh, Mail! Inget tuh pacar yang di luar negeri!"
Maila meringis lalu dia kembali melihat layar ponsel Rain yang menampilkan foto-foto semasa Rain sekolah.
"Ini bokap lo?" tanya Maila.
Rain melirik sekilas dan hanya mengangguk.
"Jadi lo orang kaya? Kenapa lo mau kerja di bengkel sih. Mana jadi montir. Gue sih ogah mending menikmati hidup! Ih serius lo aneh!"
Maila heran dengan jalan pikiran Rain yang malah memilih hidup susah daripada hidup dengan orang tua. Maila baru tahu kalau Rain anak konglomerat karena saat foto bersama Damian itu berada di halaman depan rumah Rain. Jadi bisa terlihat bagaimana megahnya rumah tersebut. Bahkan Maila juga tidak asing dengan wajah Damian yang sepertinya sering muncul di televisi.
"Ini pengusaha sukses nomor dua di Indonesia, Anjir!" ucap Maila saat mengamati kembali wajah Damian.
Lagi dan lagi Rain bersikap santai malah cenderung tidak peduli.
"Lo kenapa malah kabur dan milih hidup gembel?"
"Gue bukan gembel, gue punya rumah punya pekerjaan. Lo nggak lihat penampilan gue sama motor gue?"
Maila mengangguk, "Iya maksud gue hidup susah. Kenapa lo tutupi semua ini dari kita? Lo orang tajir dan lo bisa nutup mulut mereka yang selalu ngehina lo!"
Rain dulu selalu dihina anak miskin dan hanya menjadi montir di bengkel saja, tapi Rain tidak peduli dengan semua ejekan itu. Mereka juga menyuruh Maila untuk jauhin Rain sebab Rain hanya mau morotin uang Maila. Maklum Maila dari orang berada tapi tidak sekaya Rain.
Itu awal-awal Rain menjadi mahasiswi di sana beberapa bulan dan ada yang melihat Rain sedang memperbaiki motor di salah satu bengkel ternama.
Tentu saja para senior kampus yang menebar gosip itu. Biasa lah sama mahasiswi baru apalagi merasa tersaingi karena Rain menjadi idola sejak pertama kali masuk ke universitas tersebut. Misterius, cantik dan tampan juga iya. Semua di borong sama Rain. Dilihat juga nggak ngebosenin membuat para mahasiswa pun tertarik.
"Biarin aja suka-suka mereka. Lagian yang kaya itu bokap gue, Abang gue juga sih dia udah sukses jadi apa yang mau gue banggain?" ucap Rain.
"Gue ya gue, kalau gue begini adanya. Gue nggak mau sombongin harta orang tua gue. Jadi terserah mereka mau nilai gue kayak apa. Biarin aja mereka menilai gue keliru dan gue nggak haus validasi juga."
Maila bertepuk tangan dia bangga sama Rain yang hidup apa adanya. Jarang ada anak muda yang seperti Rain. Mau hidup susah dan bekerja apa saja. Kebanyakan dari mereka yang anak konglomerat justru menghamburkan uang orang tuanya. Termasuk Maila juga sih.
Damian memang selalu mendidik anaknya untuk memulai segalanya dari nol. Rean pun memulai dari nol sebelum menjadi ahli waris perusahaannya. Rain tidak mau ikut campur karena dia malas terjun kedunia bisnis dan enggan berebut dengan Rean soal perusahaan. Namun, tetap Damian telah menyiapkan semuanya untuk Rain.
"Keren ... Ini baru sahabat gue yang apa adanya. Nggak sombong meski di sini lo paling kaya, Rain. Lo nggak nunjukin itu semua dan malah diem aja sama omongan miring tentang lo. Orang tua lo bangga deh pasti. Didikan mereka juga berhasil karena selama ini memang Damian Klopper itu nggak pernah nunjukin siapa keluarganya."
Rain mengangguk dan tersenyum. Membenarkan apa yang Maila katakan. Damian memang sangat privat. Tidak ada orang yang tahu dimana dia berasal dan seluk beluk keluarnya. Hanya beberapa mungkin yang tahu kedua anak kembar Damian itu.
"Hem ... Tugas lo tutup mulut aja!"
"Iya, siap!"
"Dah gue mau balik dulu lah!"
"Eh ikut!"
Maila mengejar langkah Rain yang lebar. Keduanya meninggalkan taman yang mulai sepi karena senja akan berganti malam. Masih banyak rahasia yang tidak Maila ketahui, Rain sengaja tidak menceritakan semuanya tentang kehidupan Rain yang sebenarnya. Biarlah nanti Maila tahu dengan sendirinya seperti sekarang. Toh Rain memang tidak suka membeberkan kehidupan pribadinya kepada siapapun.
Bersambung ....
Hai, aku kembali dengan cerita baru, masih ingat Rain kembaran Rean kan? Semoga bisa konsisten yaa..selamat baca dan jangan lupa like dan komen 😊
Salam sayang dari Alaish Karenina
Rain melangkah dengan tenang, tanpa peduli ada kerumunan di depan sana. Tujuannya ke parkiran lalu segera pulang karena ada yang ingin dia kerjakan. Samar terdengar suara bisik-bisik dari para mahasiswi yang sedang berlalu lalang.
Entah mengapa menjadikan Rain yang semula cuek jadi penasaran dengan apa yang ada di depan sana. Kerumunan itu berhasil mencuri perhatiannya. Tidak berkerumun secara terang-terangan sih hanya saja, para mahasiswa dan mahasiswi sedang asyik menatap ke arah sana. Jika dilihat dengan seksama sepertinya ada sesuatu yang menarik di luar kampus ini.
"Pacar si Mona mungkin ya? Apa gebetannya?"
"Kayaknya gebetan deh. Coba kita lihat!"
"Eh ganteng banget, Anjir."
"Mona kemana dah itu di anggurin."
Tahu jika yang menjadi pusat perbincangan itu adalah gadis yang selalu mencari gara-gara dengannya, dia memilih pergi saja ke parkiran. Mengambil motor dan segera pulang daripada buang-buang waktu untuk hal yang tidak penting.
Rupanya jalan menuju parkiran motor tidak semulus yang dia bayangkan. Ada yang mengusik dirinya karena suara seseorang.
"Bukan anak kampus sini! Dia ganteng kayak artis korea! Cuma kayaknya memang cari Mona deh itu!"
"Mobilnya aja mewah pastinya tajir. Cocok sih sama Mona."
Mona adalah primadona kampus, selain tajir dia juga cantik. Banyak cowok yang ngantri buat dapetin Mona. Sayangnya sekarang Mona punya saingan baru. Itu adalah Rain adik tingkatnya. Mona ini Kakak tingkat dan selalu mencari gara-gara sama Rain sejak dia masuk kampus. Nggak mau tersaingi oleh kecantikan Rain yang natural meski penampilan tomboy.
Apa Rain peduli? Ya jelas nggak peduli sama semua ucapan Mona yang pedas karena dikasih cabe lima belas kilo itu. Rain selalu cuek dan membiarkan semua ucapan Mona. Jadi kadang ada yang menganggap ucapan Mona itu benar adanya.
"Rain!" teriak Maila.
Napasnya sudah kembang kempis senin kamis. Sudah mau pingsan karena kehabisan oksigen. Bahkan mau berucap pun susah dan cuma melambaikan tangan aja kayak say hello gitu. Padahal itu kode supaya Rain berhenti dan jangan pergi. Maila mengatur napasnya terlebih dahulu dan dengan kesabaran setipis tissue itu Rain menunggu.
"Calon suami lo di depan!"
Jeduaaaar ....
Tiba-tiba ada suara petir menggelegar. Cuma Rain yang dengar karena jantungnya yang berdebar kencang bercampur kilatan emosi.
Bara! Laki-laki itu sudah mulai mengibarkan bendera perang. Rain pikir Bara tidak akan mengganggunya setelah kejadian di kafe kemarin. Rain juga mengira jika Bara tidak akan pernah tahu dimana Rain kuliah. Nyatanya dugaan Rain meleset dan sekarang laki-laki itu ada di depan.
Menjadi pusat perhatian para cewek-cewek. Rain tersenyum miring dan mengabaikan ucapan Maila. Memilih mengambil motornya lalu tancap gas.
"Heh, lo mau kemana? Itu dia di depan!" Maila mengambil helm Rain. Mencegah gadis itu pergi.
"Dia kesini cuma mau tebar pesona aja. Paling juga cari Mona!"
"Emang dia kenal Mona?"
"Mana gue tahu!"
Rain merebut helm yang ada ditangan Maila dan langsung pergi begitu saja. Memaksa para mahasiswi minggir sejenak. Tidak peduli sama umpatan mereka. Ya orang ganggu jalan jadi Rain nggak salah dong.
Rain menghentikan laju motornya di depan gerbang. Menatap laki-laki itu yang sedang mengobrol dengan Mona dan kedua temannya. Raut wajah Bara yang datar dan dingin saat menanggapi Mona itu entah kenapa membuat Rain puas.
Dia pun melangkah mendekat membuat Bara langsung tersenyum.
"Ya ampun ... Jangan senyum gitu. Aku jadi meleleh," kata Mona.
Membuat Rain ingin muntah saja. Mona memang terlalu lebay.
"Hay, Sayang," sapa Bara.
Mona yang tadi menunduk pun mendongakkan kepalanya. Menatap Bara dengan berbinar kedua temannya mengikuti arah pandang Bara.
"Sayang?" ulang kedua temannya.
"Lo pacarnya dia?" tanya Tika, sahabat Mona.
"Serius?" Hompi, sahabat Mona satunya lagi juga ikut bertanya.
Sementara Mona menatap tidak suka ke arah Rain.
"Eh ganteng, kamu pasti mau benerin mobil sama dia ya? Dia ini kan cuma montir bengkel biar bisa kuliah di sini!"
"Montir?" tanya Bara menatap Mona dan Rain bergantian.
Sementara Rain tidak peduli dan malah asyik ngunyah permen karet.
"Sayang, beneran kamu kerja di bengkel?" Bara tidak percaya jika Rain bekerja di bengkel.
Padahal Rain kaya raya dan bisa hidup enak tanpa perlu susah-susah cari uang untuk kuliah. Kenapa malah milih hidup susah seperti ini? Bara selalu tidak habis pikir dengan pikiran Rain yang super ajaib itu.
"Kok manggilnya sayang terus? Eh kita udah tiga kali ketemu kata orang jodoh loh!" ucap Mona.
"Aaah, pantesan kalian cocok!" sahut Rain.
Terkejut sih karena mereka sudah bertemu tiga kali itu berarti Bara sudah lama di kota tersebut.
"Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, Sayang."
"Gue nggak peduli!" Rain mengangkat kedua bahunya dan pergi begitu saja.
"Sayang, tunggu!" Bara mengejar Rain tapi Mona menahan tangan Bara.
"Lo apa-apaan sih!" Bara menghempaskan tangan Mona dan masuk ke dalam mobil.
Mengejar laju motor Rain yang melaju dengan kecepatan diatas rata-rata. Bara nggak mau Rain salah paham. Dia sangat kesal sama Mona. Bisa-bisanya mengatakan jika sudah bertemu tiga kali. Padahal pertemuan itu nggak sengaja dan nggak membuat Bara peduli. Monanya aja yang terlalu percaya diri.
"Sial!" Bara memukul stir mobilnya karena kejebak macet.
Kalau sudah begini, Bara bisa apa? Dia hanya bisa menunggu sampai jalanan lancar. Sambil mengutak-atik ponsel dan mengirim sesuatu kepada seseorang. Bara tidak sabar mendapatkan balasan dari orang yang baru saja dia kirimkan pesan.
Apapun akan bara lakukan demi mendapatkan Rain kembali. Dapatnya susah banget, giliran udah dapat mau nikah malah ada aja halangannya.
"Ayo jalan! Lama banget!" protes Bara yang sudah frustasi.
Bara melirik ponselnya yang ada di dashboard mobil. Membuka chatt dari seseorang dan tersenyum bahagia karena ada secercah harapan.
*
Rain sudah duduk di ruang kerjanya dan menatap layar laptop. Ada banyak kerjaan yang harus dia kerjakan sambil menikmati jus jeruk buatan Bi Marni, salah satu asisten yang bekerja di rumah Rain. Ada dua orang satu nya Pak Slamet, suami Bi Marni.
Mereka bekerja sudah lama sejak Rain di tinggal di kota itu sebulan setelahnya. Rain butuh orang untuk beres-beres dan juga memasak karena dia nggak sempet ngurusin semua itu dan lagi itu juga perintah dari Rean.
Rean nggak mau kalau Rain beli makan di luar terus menerus. Harus jaga kesehatan dan akhirnya Rean lah yang mencari orang untuk bersedia bekerja di rumah Rain. Mendapatkan tempat tinggal juga di sana. Ada beberapa kamar yang memang khusus untuk Art.
Rain cocok dengan kinerja Bibi Marni dan juga Pak Slamet. Mereka juga senang bekerja di rumah Rain karena gadis itu sangat ramah dan selalu memperlakukan mereka dengan baik. Tidak seperti majikan sebelumnya yang selalu memperlakukan mereka semena-mena.
Rain yang sedang fokus pada pekerjaan itu harus terhenti karena suara ketukan pintu.
"Masuk!" titah Rain.
"Non, ada tamu," kata Bi Marni yang baru saja membuka pintu ruang kerja Rain.
"Siapa?" tanya Rain. Sebab selama ini nggak ada yang tahu tempat tinggal Rain.
Hanya Maila yang tahu dan itupun baru semalam dia tahu. Biasanya Rain akan menghabiskan waktu di bengkel dan juga markas.
"Si Mail? Suruh kesini aja, Bi," kata Rain.
Bibi Marni juga sudah kenal Maila semalam. Agak terkejut dengan namanya karena Rain memanggil Mail, seperti nama cowok.
"Bukan, Non. Ini laki-laki yang datang. Ganteng lagi," ucap Bibi Marni.
Kedua mata Rain membulat, dia langsung berlari menuruni tangga dan menuju ruang tamu. Degup jantungnya semakin bertalu-talu kala langkahnya semakin dekat dengan ruang tamu itu.
Benar dugaannya bahwa Bara datang ke rumahnya. Wajah Rain berubah tenang agar tidak membuat laki-laki itu bangga jika Rain terkejut.
"Ngapain lo di sini!" tanya Rain sinis. Dia melipat kedua tangannya di dada.
"Mau ketemu sama calon___"
"Lo tahu nggak pintu ada dimana?" Rain memotong ucapan Bara.
Bara mengangguk. "Coba deh lihat di pintu ada apaan!" titah Rain.
Bara pun menuruti kemauan Rain karena berpikir jika Rain butuh bantuan. Saat berdiri di depan pintu, Rain langsung mendorong tubuh laki-laki itu hingga terhuyung keluar. Dengan begitu Rain bisa menutup pintu dan menguncinya.
"Rain, buka! Kok di tutup sih!" protes Bara.
Laki-laki itu terus menggedor pintu rumah Rain. Seakan ingin mendobraknya sekarang juga.
"Kalau dia datang lagi jangan boleh masuk ya, Bi. Bilang Pak Slamet suruh usir!" titah Rain.
Bibi Marni yang bingung pun hanya bisa mengangguk saja. Menuruti perintah Rain untuk memberitahu kepada suaminya kalau suruh ngusir Bara.
"Gak! Saya nggak akan pergi sampai Rain keluar dari rumah," tolak Bara.
Dia akan berusaha apapun caranya agar Rain mau memaafkan dan kembali ke dalam pelukannya. Meski tidak semudah itu karena hati Rain sudah mati dan tatapan Rain kepadanya sudah berbeda. Bara tahu jika Rain sangat terluka tapi di sini Bara ingin menjelaskan kepada Rain yang selalu tidak mau mendengarnya sedikitpun.
"Nona meminta saya untuk mengusir anda, Tuan muda."
Bara mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikannya kepada Pak Slamet tapi laki-laki berusia empat puluh lima tahun itu menolaknya.
"Saya tidak menerima suap. Anda bisa mengganggu kenyamanan majikan saya. Mau pergi sekarang atau saya lapor polisi karena mengganggu kenyamanan orang lain!" ancam Pak Slamet.
Bara garuk-garuk kepala yang gatal. Mungkin banyak kutu atau ketombe. Dia milih pergi saja dan menunggu Rain di dalam mobil yang terparkir tidak jauh dari rumah Rain. Bara menatap sekitar dan matanya menatap pada rumah disebelah Rain yang rupanya digunakan untuk kost laki-laki.
"Aha ... Gue ngekost aja di situ!"
Bersambung....
Haiii Jangan lupa like dan komen yaaa biar Ala semakin semangat menulisnya.
Salam sayang dari Alaish Karenina 😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!