NovelToon NovelToon

My Crazy Girl

Bab 1

Arabella. Nama yang indah. Tapi, tidak seindah kehidupannya.

Ibunya meninggal saat melahirkannya. Kedua Kakaknya tidak pernah memperhatikannya. Ayahnya apalagi. Pria paruh baya itu jarang pulang ke rumah, dan lebih memilih tinggal di sebuah apartemen yang berada diluar kota. Sekaligus mengurus perusahaan yang ada di sana. Sedangkan perusahaan yang di sini, diurus oleh Kakak pertamanya.

Meskipun kehidupan Ara sangat berantakan. Tapi, Ara selalu mejalani hari-harinya dengan ceria. Bahkan, gadis itu memiliki sikap yang tidak normal. Maksudnya, Ara itu orangnya bar-bar dan tidak bisa diam. Suka nyari masalah dengan orang. Untung saja teman-teman ataupun orang-orang disekitarnya tidak baperan.

Kalau disekolah, ia dijuluki 'Stupid Queen'. Karena apa? Ya karena Ara itu bodoh. Sudah memiliki sikap yang diluar nalar, bodoh pula. Namun, berbeda dengan wajahnya yang super duper cantik. Stupid Queen and Primadona sih lebih tepatnya. Mau gimana keadaannya, Ara selalu cantik. Hampir tiap hari ada yang menawarkan diri untuk menjadi pacarnya. Tentu saja Ara menolaknya karena tipe nya yang makin diluar nalar.

Katanya dia lebih suka om-om CEO bermata elang, tampan, gagah, dingin, dan yang paling penting, duitnya tidak habis-habis sampai tujuh turunan. Intinya kaya raya itu nomor satu bagi Ara.

Seperti sekarang ini, Ara sedang jalan-jalan di mall sendirian. Katanya mau nyari om-om ganteng + berduit. Siapa tau dia ditraktir.

Namun, sedari tadi, Ara hanya keliling-keliling mall. Tak jarang matanya berbinar saat melihat printilan yang sangat lucu. Ara suka mengoleksi printilan yang lucu-lucu. Entah itu berguna atau tidak, Ara akan mengoleksinya.

Ara suka semua warna. Semua makanan yang selagi bisa dimakan. Semua minuman yang bisa diminum. Ara ini tipe cewek yang anti ribet. Tapi, ribetnya itu di tipe suaminya yang lumayan sulit ditemukan.

"Semuanya bagus," gumamnya. Ia berjongkok di depan rak berisi macam-macam printilan. Entah itu aksesoris, mainan, semuanya Ara ambil. Keranjang kecil ditangannya hampir penuh.

Meskipun tidak pernah dapat perhatian, Ara selalu mendapat uang jajan dari Ayah dan kakak-kakaknya, itu yang membuat hidup Ara terlihat berseri-seri. Ya meskipun Ara sangat menginginkan kasih sayang mereka.

Setelah membayar barangnya, Ara segera keluar dari mall. Dia tidak dapat om-om ganteng hari ini. Tapi, Ara tidak putus asa kok.

Cuaca mulai mendung. Ara mengayuh sepedanya lebih cepat. Sengaja memakai sepeda karena ingin sekalian olahraga. Jarak mall ke rumahnya sekitar 1 km. Lumayan menguras tenaga.

Jam menunjukkan pukul empat sore. Ara memilih jalan pintas untuk lebih cepat sampai ke rumahnya. Jalan yang sangat sepi, kanan dan kirinya hanya ada semak-semak. Untungnya jalannya aspal mulus, jadi Ara bisa ngebut.

Ciiitttt!

"Oemjii, itu apa?" Wajahnya sudah terlihat panik bercampur takut. Didepan sana ada beberapa orang berkelahi. Satu lawan sepuluh.

Mata Ara mulai berkaca-kaca. Ia paling tidak bisa melihat orang berkelahi. Segera gadis itu bersembunyi dibelakang pohon besar. Tak lupa sepedanya juga ikut bersembunyi. Jangan harap Ara berlari menuju perkelahian sengit itu. Melihat darah saja takut, apalagi ikut berkelahi. Kecuali lawannya setara. Cewek lawan cewek. Itu mah Ara jagonya. Apalagi aksi jambak menjambak dan cakar mencakar.

Ara semakin menyembunyikan tubuh mungil nya saat mendengar deru mobil yang mulai menjauh dari sana.

Tak lama kemudian, ia mengintip sedikit. Ara terkejut saat melihat seorang pria terbaring di tengah jalan dengan lemah. Seperti terluka parah.

Dengan pelan, Ara mendekati pria itu. Kaki mungil yang terbungkus sepatu putih itu nampak ragu melangkah.

Ara semakin dag dig dug saat melihat darah berceceran di sekitar sana. Meskipun hanya sedikit, tetap saja Ara takut.

"H-hey? Apakah Anda masih hidup?" tanya Ara dengan suara kecil. Kaki mungil yang terbungkus sepatu putih itu nampak menendang kecil tubuh pria itu. Tangannya terlihat gemetar di depan dadanya.

"Aduhh... gimana ini?" bingungnya. Ia mencari ponsel pria itu. Siapa tau ada orang yang bisa ia hubungi.

"Kasian banget muka gantengnya." Ara meringis kecil menatap wajah tampan yang babak belur itu. Tangannya sibuk mengambil ponsel yang ternyata berada di saku jas pria tersebut.

"Gila, hp keluaran terbaru. Mana canggih lagi," gumam Ara. Ia tampak membolak-balik ponsel itu terlebih dahulu.

"Dad?" gumam Ara saat melihat daftar panggilan terakhir yang berada di ponsel itu.

"Pasti bapaknya," gumam Ara. Langsung saja ia menekan kontak itu. Bodo amat dibilang tidak sopan atau apa.

Ara bersimpuh di samping pria itu. Namun, matanya tak berani menatap wajah sang pria. Ara hanya menatap sekelilingnya. Sedikit was-was. Takut orang-orang tadi datang lagi.

"Yes, son?"

Suara terdengar dari seberang sana. Ara sampai terkejut.

"E-eh, Pak?"

"Siapa kamu?"

"Saya orang." Ara menepuk mulutnya. Reflek!

"M-maksudnya, saya orang yang nemuin om-om ganteng yang lagi di serang."

Ara menepuk mulutnya lagi karena berbicara tidak jelas.

"Bicara yang jelas!"

Ara berdehem singkat. "Saya melihat anak Bapak yang lagi di serang sama beberapa orang tadi. Terus sekarang anak Bapak pingsan. Saya gak tau harus gimana Pak. Tolong cepet kesini ya Pak. Saya gak kuat lihat wajahnya lebam semua."

Tidak ada sahutan diseberang sana. Tapi terdengar suara grusak-grusuk.

"Kirim lokasinya sekarang!"

Setelah itu, sambungan teleponnya terputus hingga membuat Ara berdecak kesal.

"Minimal pamit undur diri kek!" kesalnya.

"Untung-untung loh aku masih berbaik hati nolongin anaknya!" dumel nya. Ia segera mengirimkan lokasinya saat ini.

Ara melirik ke arah wajah tampan penuh lebam dan luka itu. Tak lama ia mengalihkan perhatiannya ke ponsel pria itu yang kini sedang ia pegang.

"Hp nya kece banget lagi," ucapnya. Dengan tidak sopannya, Ara berfoto di handphone tersebut. Mana yang ia pasang wajah konyol semuanya lagi. Terakhir, gadis itu mengangkat ponsel nya tinggi-tinggi, agar dirinya dan pria itu terlihat di kamera.

Cekrek!

"Widiiiihh..."

Ara berfoto bersama pria yang sedang terbaring lemah dengan wajah penuh lebam itu. Gadis itu, benar-benar mengabadikan momen.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" celetuk seseorang dari arah belakang, membuat Ara terkejut. Gadis itu langsung berdiri sedikit menjauh.

"E-eh, Om? Eh, Pak?" ceplos Ara.

Pria paruh baya itu tidak menghiraukan Ara. Dia sibuk memeriksa tubuh putranya yang berdarah-darah.

"Siapa yang melakukannya?" tanya pria paruh baya itu. Panggil saja Vilton.

"Musuhmu," jawab pria yang tadi terbaring di jalan. Panggil saja Gevan.

Ara reflek memekik dan langsung menutup mulutnya. Om-om itu tidak pingsan? Dia sadar?! Astaga. Ara malu tau! Jadi, dari tadi pria itu mendengarkan segala ucapannya?!

***

Bab 2

Gevan dibopong menuju sebuah mobil. Dan Ara baru sadar, bahwa yang datang bukan hanya pria paruh baya itu saja. Ternyata pria itu membawa banyak bodyguard. Bahkan, di sana bukan hanya ada satu mobil yang datang, tapi lima mobil. Lagi-lagi Ara merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia pergi saja tadi, dan tidak perlu menolong orang.

"Terimakasih telah menolong anak saya. Ini kartu nama milik saya, jika kamu perlu sesuatu, silahkan hubungi nomor yang tertera di sana," ucap pria paruh baya yang sayang nya seperti sugar daddy dimata Ara.

Ara tak mampu berkata-kata, namun tangannya tetap menerima uluran kartu itu. Setelah itu rombongan pria tampan itu pergi dari sana, meninggalkan Ara yang masih merasa malu.

"Malu banget!" pekik Ara saat sudah tidak ada siapapun di sana.

Mata yang dihiasi bulu mata lentik itu menatap kartu nama yang ada ditangannya.

"Vilton Alexander. Namanya aja ganteng banget," gumam Ara sambil berdecak kagum.

"Anak sama Bapak gantengnya gak ketulungan. Ini kalo aku gak bisa dapetin anaknya, bapaknya juga gak papa deh!"

****

Seperti biasa, paginya Ara sekolah. Saat ini dia sedang sibuk memunguti sampah yang ada di laci mejanya.

"Ra!"

"Apa?!"

"Piket, Ra, pikett!"

"Kamu gak liat aku lagi ngapain?!" kesal Ara.

Bagas. Pria yang menjabat sebagai ketua kelas yang tadi berteriak pada Ara. Sudah menjadi makanan sehari-hari bagi siswa kelas 12 IPS 3 mendengar teriakan kedua orang itu. Bagas dan Ara tidak pernah akur. Bagas yang menjabat si ketua kelas dan Ara si pembuat onar.

"Yang namanya piket itu nyapu atau ngepel. Lah kamu ngapain jongkok di sana?!" ujar Bagas melihat Ara yang sedang membersihkan laci mejanya sendiri. Itulah yang namanya piket kelas menurut Ara.

"Bodo amat, yang penting sampah tersingkirkan!" ucap Ara acuh. Gadis itu fokus membersihkan laci mejanya yang penuh dengan kertas serta bekas bungkus jajan.

Bagas mengusap dadanya sabar. Meskipun sering adu mulut dengan Ara, Bagas tetap selalu emosi dan ingin menendang gadis itu ke Sungai Amazon.

"Nih, lihat! Banyak kan sampah nya?! Untung-untung aku mau bersihin, kalau nggak, udah jadi sarang nyamuk ini kelas kita!" ucap Ara seraya berjalan jauh menuju bak sampah depan kelasnya. Setelah membuang sampah, ia langsung lari menuju kantin. Meninggalkan Bagas yang sedang mengomel.

Terlihat hanya beberapa murid yang berada di kantin. Tentu saja, ini sudah hampir jam masuk kelas. Mana ada orang yang ingin ke kantin. Bisa telat masuk kelas jika mereka melipir ke kantin dulu. Tapi, hal itu tak berlaku bagi Ara. Gadis itu terlampau nekat.

"Ra!" sapa segerombolan laki-laki yang sedang menikmati makanan mereka. Jam segini emang paling lebih dominan laki-laki yang ke kantin.

"Eyooww!" sahut Ara sambil terus berjalan menuju stand batagor. Makanan kesukaannya. Sebenarnya Ara suka makanan apapun, selagi bisa dimakan. Tapi, batagor adalah kesukaannya. Apalagi sambal kacang yang melumuri batagor membuatnya semakin ngiler.

"Bu, batagor satu yaa!" seru Ara. Ia menunggu di depan stand itu sambil menatap sekelilingnya.

Jujur saja, Ara tidak memiliki teman dekat atau sahabat. Kelakuannya yang bikin geleng-geleng kepala, membuat dirinya dijauhi banyak orang. Namun, tak jarang banyak yang menyapanya dan berbicara dengannya. Seperti segerombolan laki-laki tadi. Padahal mereka tidak akrab. Tapi, Ara ingat, dirinya pernah membolos bersama para cowok itu. Pantas saja mereka menyapanya.

Setelah mengambil pesanannya dan membayar, Ara langsung mencari tempat duduk di pojok, tempat yang biasa ia duduki.

Pagi-pagi seperti ini, memang enaknya makan batagor. Meskipun sudah sarapan di rumah, Ara tetap ke kantin saat sampai ke sekolah. Itu sudah menjadi rutinitasnya. Para murid di sana juga sudah hafal dengan kebiasaan Ara yang satu ini.

****

Di sebuah ruangan dengan tema monokrom. Seorang pria tampan nan gagah sedang duduk di kursi kebesarannya. Mata tajam bak mata elang itu menatap kertas-kertas ditangannya.

Gevano Alexander. Pria berumur 24 tahun yang kini memimpin perusahaan besar. Terlampau cerdas bahkan pintar, Gevan telah mendirikan lima cabang perusahaan nya. Dan lima cabang perusahaan itu tak kalah terkenal dari perusahaan yang utama. Tak jarang perusahaan miliknya itu menjadi perbincangan satu dunia. Apalagi sering masuk berita. Entah itu koran, tv, dan internet.

Namun, sayangnya, Gevan adalah manusia tak tersentuh. Berbicara seperlunya, raut wajah yang tidak pernah berubah, selalu datar. Meskipun begitu, Gevan selalu menjadi incaran para wanita diluar sana. Setiap ada rapat atau pertemuan dengan klien, sekretarisnya yang akan mewakili. Tugas Gevan hanya tanda tangan dan memeriksa laporan saja. Kecuali, jika perusahaan sedang ada masalah berat, maka Gevan yang akan turun tangan.

Tok tok tok

Bunyi ketukan pintu mengalihkan fokusnya. Tak lama, seorang pria berjas masuk ke dalam ruangannya dengan sebuah map yang dia pegang.

"Tuan, saya telah mendapatkan informasi tentang gadis itu. Semuanya ada disini," ujar Nike, si asisten sekaligus bodyguard Gevan yang paling hebat dan terpercaya.

Setelah menyerahkan map nya, Nike langsung pamit undur diri.

Gevan mulai membaca deretan informasi itu. Terdapat foto seorang gadis di sana. Informasinya sangat lengkap.

Senyum tipis terukir di sudut bibir Gevan. Gadis itu, gadis yang menolongnya saat ia sekarat. Gevan telah mencari tau semuanya.

"Arabella.." gumamnya berbisik. Senyuman miring yang menakutkan tapi menawan terukir di bibir tipis pria itu.

Entah apa yang akan Gevan lakukan nanti.

****

Sepulang sekolah, Ara melipir dulu ke pasar. Ia akan mencari makanan yang bisa ia makan dengan nikmat dan rasanya tidak mengecewakan. Gadis itu berjalan menyusuri pasar yang tidak terlalu ramai setelah memarkirkan motor Scoopy nya.

Ara memutuskan untuk membeli mie ayam, batagor, siomay dan gorengan. Tak lupa ia membeli buah-buahan. Jangan kalian pikir Ara ini adalah gadis yang memikirkan kesehatan. Dia selalu seenaknya dalam memilih makanan. Tapi, tetap saja tubuh nya tidak gemuk-gemuk.

Setelah mendapatkan apa yang dia mau. Ara segera mengendarai motor nya menuju rumahnya.

Setelah ini ia akan berleha-leha. Apalagi besok hari Minggu. Ia bisa tidur sampai siang. Siapa yang akan memarahi? Tidak ada. Ara tinggal sendirian di rumah megah itu. Tidak ada pembantu hanya ada satpam. Hanya Ara yang selalu membereskan rumah.

Ara memasuki rumahnya yang sepi, tak lupa mengucapkan salam. Gadis itu langsung menuju kamarnya untuk mengganti baju. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Ara berjalan menuju belakang rumah untuk menyirami bunga yang ia tanam. Khusus dibelakang rumah, Ara menanam bunga kesukaannya. Sedangkan di halaman rumah, ia menanam bunga yang familiar. Ara tidak suka berbagi bunga kesukaannya pada orang lain, karena itu ia menanam dibelakang rumah.

Edan-edan gini, Ara suka bunga juga. Apalagi jenis bunga yang wangi.

Selesai dengan kegiatannya, Ara lanjut memakan makanan yang ia beli tadi. Gadis itu membawa semuanya ke ruang tamu. Menyalakan televisi agar tidak sepi, setelahnya ia membuka ponsel nya untuk memeriksa notifikasi.

Seperti biasa, banyak chat dari nomor tidak dikenal. Tentunya semua dari para murid laki-laki di sekolah nya. Ara tidak pernah merespon mereka. Hanya kontak kedua kakaknya dan ayahnya saja yang ia simpan dan juga ia sematkan. Jujur saja, Ara selalu menunggu pesan dari ketiga orang itu. Jika Ara membuka room chat nya, maka hanya pesan Ara saja yang tertera di sana. Pesan yang selalu diabaikan, hanya dibaca, tidak dibalas.

Ara tau kesalahannya. Kesalahannya adalah lahir di dunia. Ibunya meninggal karena telah melahirkannya. Keluarganya membenci dirinya. Ara benar-benar sendirian. Jika bisa, Ara juga tidak ingin lahir. Itu semua sudah takdir. Tapi, Ara sulit menerimanya begitu saja. Tidak ada foto wanita yang telah melahirkannya di dalam rumah itu. Foto keluarga pun tidak ada. Dinding rumah yang sekarang Ara tempati hanya terhias rak gantung dan guci antik.

***

Jangan lupa LIKE😘

Bab 3

"Kayaknya aku harus kerja, deh," gumam Ara. Gadis itu sedang duduk di ayunan yang ada dibelakang rumah nya. Matanya menatap ponselnya, mencari lowongan pekerjaan.

Bukan apa-apa, Ara hanya gabut di rumah. Meskipun Ayah serta kedua kakaknya sering mengirim uang setiap minggunya, Ara tetap saja kesepian. Rencananya ia akan mencari pekerjaan yang cara kerjanya gampang dan tidak membuatnya lelah. Itung-itung supaya Ara makin mandiri. Habis pulang sekolah ia hanya berleha-leha, terlalu monoton sekali. Ara ingin mencari suasana baru sekaligus pengamalan.

"Gila, syarat nya harus 'good looking'? Ini nyari pegawai apa nyari model sih?" gumam nya.

"Gak ada yang bener!" kesal Ara. Setelah membaca beberapa syarat lowongan pekerjaan.

Beberapa detik terdiam, Ara tiba-tiba teringat sesuatu. Buru-buru gadis itu mengambil sebuah kartu yang ia selipkan di case hp nya. Itu kartu nama milik Vilton.

"Kayaknya orang kaya. Bisa nih aku tanya lowongan kerja," ujarnya dengan sumringah.

Segera Ara menelpon nomor tersebut. Lebih cepat lebih baik, kan?

"Selamat siang, dengan Al's Company di sini. Ada yang bisa kami bantu?"

"Lah, kok suara cewek?" gumamnya sambil menatap ponsel dan kartu itu secara bergantian.

"Halo?"

Ara tersentak. "E-eh, iya halo, Mbak!"

"Ada yang bisa kami bantu?"

"Umm.. I-ini, saya mau cari Pak Vilton Alexander."

"Pak Vilton sedang berada di luar negeri. Ada keperluan apa, ya?"

Ara menghela nafas. "Umm.. Nggak jadi, deh, Mbak kalau gitu."

Terdengar suara grusak-grusuk diseberang sana. Ara tidak tau apa yang terjadi. Seperti ada orang yang sedang ngobrol.

"Mbak?" panggil Ara.

"Datangi alamat yang saya kirim. Temui saya di sana," ucap seorang pria diseberang sana.

Ara tersentak, kenapa suaranya berubah? Belum sempat ia menjawab, panggilannya sudah terputus. Tak lama, ponselnya berbunyi, tanda pesan masuk. Nomor tidak dikenal, mengirim lokasi.

Segera Ara bersiap-siap untuk menuju ke sana.

****

"Apartemen?" gumam Ara. Matanya menatap ponselnya dan gedung apartemen didepannya.

"Bodo, ah! Yang penting dapat kerjaan," ujarnya lalu segera berlari masuk kedalam.

Ting!

Ponsel Ara kembali berbunyi. Pesan masuk dari nomor tidak kenal yang tadi mengiriminya alamat.

"Lantai 20, kamar nomor 5?" gumamnya. Segera gadis itu masuk ke dalam lift dan menekan angka 20.

Ara tak henti-hentinya berdecak kagum. Gedung apartemen ternyata ada yang semewah ini. Bahkan, lift nya saja berbeda dengan lift yang biasanya ia temui.

Setelah pintu lift terbuka, Ara segera mencari kamar nomor 5.

Belum sempat menekan bel, pintu sudah terbuka otomatis dari dalam. Lagi-lagi Ara berdecak kagum. Apartemen mewah, elit, canggih pula. Kalau Ara tinggal di sana, pasti ia akan betah.

Ara memasuki kamar apartemen yang terlihat luas namun sederhana. Dinding berwarna abu-abu, lalu sofa berwarna abu-abu yang berada tak jauh dari dirinya berdiri. Tidak ada yang tertempel di dinding. Hanya ada nakas kecil dan lemari berisi benda-benda yang sepertinya kuno. Ada rak sepatu di dekat pintu, sebuah sofa panjang di depannya ada meja kaca. Hanya itu. Bersih dan nyaman. Ara sangat suka dengan tema nya.

"Permisi!" seru Ara. Ia melihat sekelilingnya yang tidak ada orang sama sekali. Pintu yang ia lewati tadi juga sudah tertutup.

Apakah Ara dijebak? Sadar akan sesuatu, Ara berlari menuju pintu masuk. Ia berusaha membuka walaupun sia-sia.

"Apa aku diculik?" gumamnya baru sadar. Merasa percuma karena pintu itu sudah terkunci.

"Arabella..." panggil seseorang dari arah belakang. Ara tersentak kaget, ia langsung berbalik badan.

Raut wajah terkejut, bingung, kagum, tidak bisa ia sembunyikan, mulutnya bahkan terbuka sedikit. Di depannya, seorang pria bertubuh tegap, memakai kemeja hitam dan celana bahan ala kantoran, terlihat berwibawa dan tegas. Ini mah tipe Ara sekali! Om-om keren idamannya!

Ara menunduk saat pria itu sudah berdiri di depannya. Gadis itu menyelipkan rambutnya kebelakang, malu-malu. Jiwa centilnya meronta-ronta. Apalagi ia bertekad untuk mendapatkan pria itu dari beberapa detik lalu.

Aroma maskulin begitu memanjakan indra penciumannya. Pria itu membuka dua kancing baju bagian atasnya, lalu dilanjutkan kancing baju bagian tangan, dan menggulungnya hingga siku. Makin ganteng! Batin Ara berteriak keras. Pipinya sudah merah merona, dadanya berdegup kencang.

"Look at me," ujar pria itu dengan suara berat. Tangan Ara makin dingin dan berkeringat. Ia mendongak untuk menatap wajah tampan berahang tegas itu. Sangat tampan. Ara sampai ingin menangis melihat ketampanan pria itu.

"Masih ingat saya?" tanyanya.

Ara mengangguk kaku. Mata bulatnya menatap mata tajam bak elang itu dengan berbinar. Tidak takut sama sekali. Hal itu membuat pria dihadapannya sedikit tersenyum miring.

"Om orang yang waktu itu dikeroyok, kan?" tanya Ara. Meskipun ia sudah tau jawabannya.

Gevan, pria itu mengangkat sebelah alisnya diiringi senyum simpul yang terukir di bibirnya. Hal itu membuat Ara ingin memekik. Ketampanan pria itu bertambah kali lipat jika tersenyum, meskipun senyuman yang sangat simpul.

Ara menggigit bibir bawahnya gemas. Rasanya ingin berteriak sekarang juga.

"Don't bite your lips. Aku jadi ingin melakukannya juga," ucap Gevan dengan suara berat yang begitu menggoda iman Ara.

"H-hah? Ya, Om gigit aja sih," ucap Ara menanggapi ucapan Gevan.

"I mean, I want to bite your lips too."

Seketika kaki Ara seakan lemas seperti jelly. Suara pria itu serta perkataannya mampu meruntuhkan iman Ara yang nyatanya hanya secuil.

"Om–"

"Jangan panggil saya dengan sebutan itu," sela Gevan.

"Hah? Terus apa?" tanya Ara, gadis itu menggaruk pipi tembam nya. Sayang, Baby atau Honey? Lanjut Ara dalam hati. Ia terkikik geli.

Gevan mengendikkan bahunya. Ia berbalik berjalan meninggalkan Ara. Tak ingin seperti anak hilang, Ara segera mengikuti Gevan.

"Jantung ku, astaga..." gumamnya sambil memegang dadanya yang berdegup kencang. Ara sangat grogi. Berulang kali Ara menarik nafas dan membuangnya perlahan.

Sebuah ruangan dengan tembok putih. Seperti ruang kerja? Entahlah, Ara juga bingung. Sepertinya iya. Ada meja dan kursi kerja di sana. Lalu ada lemari buku juga.

"Ada perlu apa?" tanya Gevan setelah ia duduk di kursi kerjanya. Menyandarkan tubuh tegapnya dengan mata yang menatap gerak-gerik Ara yang sedang menutup pintu dengan hati-hati.

Ara berdiri di depan Gevan, tepatnya di depan meja yang menghalangi mereka. Kedua tangan mungil itu saling meremas.

"Eumm.. Saya butuh pekerjaan, Om, eh, Pak!" Ara meringis seraya menepuk mulutnya.

"Pekerjaan? Ayahmu bangkrut?" tanya Gevan.

"Eh, enggak kok! Saya cuma gak ada kegiatan aja di rumah. Pengen cari pengalaman juga," jawab Ara.

Gevan mengangguk paham. Ia berdiri lalu berjalan memutari meja. Hingga berdiri di depan Ara tanpa penghalang apapun. Pinggulnya ia sandarkan di pinggiran meja dan tangannya ia tumpu pada pinggiran meja.

"Bertunangan dengan saya. Maka kamu akan mendapatkan semuanya. Semuanya. Apapun yang kamu mau, Arabella..."

Ara membelalakkan matanya. Bisa-bisanya pria itu berkata dengan tenang dan dengan wajah yang datar. Ara bahkan langsung memegang dadanya saat mendengar Gevan berkata seperti itu.

"Pak, saya mau nyari kerja, bukan nyari jodoh," ucap Ara dengan lirih. Ia masih syok.

Gevan tak memperdulikan reaksi Ara. Ia menatap datar gadis dihadapannya itu.

"Yes or yes?" ucap Gevan.

Kali ini Ara berdecak. Ia tak lagi memegang dadanya. "Pilihan macam apa itu? Yes or yes? Kayak lagu aja!"

"Jadi?"

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!