"Loh Lo siapa?" Tanya Aliza yang kaget ada orang di apartemennya dan tidur dengan posisi duduk bersandar.
Kaget suara besar membuatnya membuka mata dan mengusap wajahnya sambil membaca doa.
"Alhamdulilah, saya? Suami kamu?"
Loh!!
Aliza menatap kaget hingga beberapa detik ucapan Sela terngiang di kepalanya.
Aliz menatap lelaki itu dan tiba-tiba ingat laki-laki yang membeli obat di apotik tadi sore.
Haah...
"Gak mungkin gue halu, iyaa air... gue mau kekamar mandi mau cuci muka."
"Gak perlu tapi, kalo gak percaya silakan." Kata Bagas dengan santai.
"Whattt..."
"Nikah? Kapan? Kapan gue nikah kasih tahu gue sekarang jelasin!" Menarik kursi didepan meja makan dan duduk didepan Bagas yang tersenyum membuka ponsel lalu menutupnya melihat jawaban dari ibunya.
"Tiga jam yang lalu sebelum saya ke apotik kamu dan saya udah jadi suami kamu, Kamu ternyata seheboh itu ya."
Gak lucu!
Beberapa jam sebelumnya.
Apotik hari ini sangat ramai sampai pendapatan meningkat di hari-hari sebelumnya.
Apoteker cantik dan teman-temannya satu juniornya sibuk mengurus pembeli dan satunya bertugas mengurus obat pesanan sesuai resep dokter.
Aliza adalah perempuan yang melayani sekaligus berdiri di bagian depan menjadi kasir.
Memiliki senyum manis tubuh tinggi sekitar seratus enam puluh satu. Tak lupa keramahan Aliza sangat bisa di bilang boleh juga. Aliza menutup kepalanya dengan hijap sedang menutup dada, pakaiannya yang panjang dan sama sekali tak membentuk badan, Aliza tak terlalu suka gamis ia cukup dengan pakaian yang kebesaran dan warna gelap.
Tak lupa Aliza selalu menutup auratnya dengan baik sesuai ajaran guru ngajinya.
Aliza lulusan Sma dan ia bekerja di apotik milik kenalan keluarganya sudah hampir setahun, dan teman satu tempat kerja ada dua orang adalah Nurul juga Sela.
Nurul ini seumuran dengan Aliza ia memiliki keahlian meracik obat dan sudah bekerja selama lima tahun, Nurul tidak mau memegang kasir setelah Aliza datang, sebelumnya ada namun, tetap Nurul yang di percaya, berakhir pemilik apotik percaya dengan Aliza, ya sudah, pekerjaan Nurul semakin ringan walau tetap memikirkan racikan obat sesuai resep dokter.
Nurul tidak terlalu ramah tapi, sebenarnya baik hati, ia cantik dan mengenakan penutup kepala hijup lalu pakaian yang cukup panjang kadang mengenakan gamis kadang hoddie dan rok.
Dan Sela adalah yang paling muda diantara mereka Sela ini baru beberapa bulan dan sudah mahir karena ia sudah belajar dibidangnya tentang obat-obatan dokter. Sela juga mengenakan penutup kepala namun, ia tak seperti Aliza dan Nurul yang tak sembarangan melepas.
Usia Sela dan dua seniornya beda Lima tahun.
Pintu terbuka dan ternyata Sela masuk membawa makan siang yang ia beli dari titip menitip seniornya.
Senggang apotik ini membuat ketiganya bisa makan dengan enak.
"Beuh asil Mb aku lia cowok ganteng banget tapi, dah nikah."
"Huhh." Mendengar Sela bercari namun, tiba-tiba berakhir pupus harapan membuatnya bersorak.
"Kalo dah nikah lu ngiler laki orang lu namanya!" Sentak Nurul sambil menyuapi bakso bakar dengan tusuknya ke Sela.
"Aelah." Sela terkekeh sambil mulutnya mengunyah makanan.
"Bayangin deh hidup kita itu kek di cerita novel gitu, Nikah aja tau-tau sama cowok dingin romantis perhatin tapi, kitanya malu dan ngejauh bukan karena gak mau cuman gak terima kenyataan aja gitu!"
"Huuh bocah lu maunya apaan sih dah tua Mbk Nurul ama mb Aliza nikah padaan sono Astagfirullah ya Allah teman-teman hamba harus menikah besok."
Nurul cengengesan aja di doakan sela seperti itu.
"Heh cil lo aja sono, temen gue nikah umur dua puluhan tau." Jawab Aliza tiba-tiba yang sedari tadi diam mendengarkan Nurul dan Sela bicara akhirnya mengeluarkan suara.
"What... hah."
"Okay!"
Beda ekspresi dan tanggapan keduanya. Nurul dengan setujunya dan Sela dengan penolakan dan ekspresi berlebihannya.
"Gue, Mb... gue masih mau seneng-seneng elahh jan nikah dulu laahhh." Memohon merengek meminta Aliza mencabut ucapan nya.
"Nih anak haha.. Aduh lucunya cil.. hahah."
Nurul terkekeh geli sampai mengunyah seblaknya saja tertawa dengan tingkah panik Sela.
Bagaimana gak panik ucapan Aliza itu keramat bisa jadi membuat Sela nikah beneran gak sekarang tapi, waktu deket.
"Halah cuman ngomong doang." Nurul mencoba menenangkan.
Yaa! Wajah Sela bingung dan sedih.
"Permisi."
Mendengar suara, Azila bergegas keluar dari ruang istirahat setelah rapi mengenakan hijapnya.
Sejak kecolongan ada pembeli melihat Nurul membuka hijap. Aliza memikirkan untuk bersantainya di ruangan staf tempat menyimpanan cairan infus walau tertutup dan ac ada, tempatnya di belakang tapi, kasir dan pintu kaca depan masih terlihat.
"Iya... ada yang bisa di bantu?"
Seorang laki-laki yang tampan raut wajahnya sangat dingin dari raut ekspresinya saat bicara didepan Aliza ini, kaos hitam pendek kebesaran dan celana dasar kantong samping berdiri didepan meja kasir Aliza, setelah meraih obat di rak pajangan yang memang umum dan tidak perlu resep dokter.
"Saya ambil ini dan.. obat ini." Menyerahkan kertas resep dokter.
Aliza menerima sambil membacanya lalu tersenyum layaknya pada pelanggan.
Menghubungi Nurul untuk menyiapkan obatnya.
Tak lama Nurul datang membawakannya.
"Totalnya." Sebut terhenti bersamaan keluarnya struk harga barang Aliza tersenyum memberikan struknya dengan wajah ramahnya.
Pembeli itu mengeluarkan uangannya namun, kurang dan di ganti dengan kartu kreditnya.
"Bisa bayar nontunai aja mb?"
"Oh iya bisa, Silakan."
Aliza memberikan alat gesek kartunya dan menekan beberapa angka lalu struk keluar dengan suara khasnya mengisi keheningan diantara keduanya.
"Terimakasih mas ini kartunya."
"Oh iya.. Sama-sama."
Lalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi setelahnya. Tiba-tiba Sela datang dan melihat laki-laki itu melewati depan apotik lalu Nurul ikut nimbrung di belakangnya.
"Itu dia... tapi, apa beda yaa... Tadi tuh pake baju rapi, trus dia nelpon sama orang pake panggilan dokter, tiba-tiba dateng cewek tomboy nyapa manggil dia dokter."
"Heh.. ngomong apaan sih, Gak jelas nih..." Kata Aliza.
"Seblak mana seblak!" Panik Aliza karena seblak itu enaknya di makan hangat kalo dingin gimana gitu rasanya walaupun enak sih.
"Aliza." Bisik laki-laki itu sambil berjalan keluar apotik dan senyum tipisnya.
Melewati depan apotik sambil mengetik pesan.
"Bu aku udah ketemu dia, Aku setuju." Balasnya.
Di rumah besar yang entah butuh berapa banyak asisten dan pengurus rumah untuk bersih-bersih dan mengurus hal yang tuan rumah minta. Sangat besar sampai menyaingi Mansion di luar negeri milik orang kaya disana.
"Ini Indonesia tapi, ini terasa di Eropa."
Kata Vivi yang malu-malu bicara dan hanya terdengar pelan berbisik dengan Naila ibu dari Aliza.
"Jeng Vivi gak usah sungkan sama kita, Anak kalian anak kita juga." Kata dari wanita paruh baya yang sudah punya dua putri dan satu putra. Naila Ayundira Ningrum nama dari ummanya Aliza Cahya Ayu Ningrum.
"Maaf saya mendadak ya Gun, Soalnya saya dah gak bisa ninggalin Aliza kelamaan di apartemennya, dia udah wajib nikah bukan? Tapi, kami belum juga di kasih kabar dari anak itu." Rasa tak nyaman dari Cahyono terdengar dari ucapannya, yang merupakan Abah dari Aliza sekaligus sahabat dari ayahnya Bagas, Guntur bumi Adi.
"Emang udah jalannya dia sama Bagas lagi, Yon." Kata Guntur dangan pelan dan menahan agar tidak lelah walau bicara.
Keempat orang di ruang tamu mengangguk dan saling lempar tawa.
"Hari ini ijabnya di rumah kalian ini kan?" Tanya Vivi yang sejak tadi malu bicara sedikit terdengar.
"Iyaa..." Kata Cahyono yang membuat Guntur dengan Vivi tersenyum malu.
"Maaf kalo anak kami..."
"Gak masalah Lah, Mau duda atau enggak pun yang penting ilmu agama nya dan tanggung jawabnya ke perempuan bahkan dirinya aja udah hampir lumayan ok, kenapa harus nolak," ucap Cahyo membuat Vivi dan Suami semakin malu.
Bagaimana tidak malu, Putra mereka sudah memiliki status duda walau sedikit membuat mereka segan tapi, Vivi mau putranya bahagia dan memiliki pasangan yang bisa mengurusnya.
...****************...
Waktu tiba saat Bagas datang semua sudah siap dan Bagas duduk di depan ayah juga penghulu dan tamu yang di undang Naila dan suaminya.
Saat ijab berkumandang kabul pun terdengar.
Lengkap sudah dan selesai sudah.
Tugas sang Abah akan di gantikan sang suami dan sang Umma hanya bisa menitikan air mata bahagia untuk saat ini.
Tindakan besar yang memang harus mereka ambil agar tidak menyesal karena firasat Cahyono untuk sang putri sulungnya yang sudah berumur dua puluh lima tahun bahkan hampir dua puluh enam di bulan besok.
Membuat mereka ketar ketir.
Semoga ini keputusan yang tepat.
Acara singkat berakhir bahagia dan rumah kembali terisi hanya dengan keluarga inti saja yang saling bicara dan bergurau, ayah ibu dan abah umma.
Naila kegirangan memiliki menantu seperti Bagas dan Vivi di sambut Naila dengan bahagia.
"Kalian nginep dulu gak mungkin pulang ke Jerman sekarang, dan Bagas.."
Sosok laki-laki yang tak asing itu merasa sungkan pakaiannya berubah drastis saat acara penting ini.
"Hem.." Umma langsung diam saat suara deheman Abah membuatnya mingkem. Melirik tipis sang suami, Umma malu.
"Umma..." suara lirih sang suami bersamaan lirikan matanya.
Tiba ceramah dan wejangan dari mertua yang sah beberapa jam lalu.
Bagas dan kedua orang tuanya mendengar kan serius saat Abahnya Aliza bicara.
"Bagas kamu gak papakan kalo abah suruh langsung keapartemennya Aliza? Maafkan Abah tapi..."
"Gak papa Bah." Jawaban yang pas dan tak terdengar ragu sekalipun.
"Kalo gitu Ayah Ibu, Om tan... Ab-bah um-ma." Sedikit kaku dan malu. Keduanya memaklumi kegugupan menantu yang sah beberapa jam lalu.
Mereka hanya bisa mengangguk mengerti. Tak lupa salam dan pamit dari Bagas yang bergegas menjalankan tugasnya yang sudah abah berikan.
...****************...
Sampai di Apartemen sesuai alamat dari Umma Naila. Bagas sampai dan langsung masuk, didepan pintu kamar langsung menekan sandi pintunya.
Duduk di ruang tamu sampai tak terasa kantuk datang.
Setelah mengatakannya jelas dan sangat rinci, jika sekarang Bagas barusan bangun dari tiduran nya di sofa dan bangun saat Aliza datang itu seperti itu, hingga meneriakinya walaupun tak begitu keras tapi, Bagas kaget sampai ia pusing lalu membaca doa dan meredakan pusingnya dengan mengatur nafas membaca istighfar hingga membaca alhamdulillah.
"Gak lucu ! Asli ini gak lucu, Umma! Abah pasti!"
Segera Aliza pergi ke depan pintu masuk, lampu yang jika ada seseorang dibawahnya menyala.
Aliza duduk sambil menunggu panggilannya masuk dan di angkat di sebrang sana.
"As.."
"Umma... Abah... ini kenapa kalian, gak mungkin kan nikahin Aliza tanpa persetujuan Aliza.... Atau dia stalker lagi!" Melirik samping terlihat sedikit bayangan Bagas di ekor matanya.
"Astagfirullah Anakku yang manis yang manja yang sulung yang ayunya mengalahi mbok jamu mbok minten.... Dengerin umma, SALAM DULU GAK!"
Terkejut dengan bentakan Umma nya segera kalem Aliza.
Kebetulan di besarkan suaranya dan Bagas bisa mendengarkannya dengan jelas.
"Iyaa Umma.. Ehem.. Assalamualaikum."
"Nah.. gitu lo cah ayu ku..." Langsung nada bicara nya Umma melembut selembut sutra bahkan Aliza sampai meneguk ludahnya.
"Umma...." Merengek lagi. Seketika suaranya berganti deheman berat dan vidio call menyala.
"Anak abah yang udah besar waktunya kamu dewasa dan gak bisa bebas lagi, abah gak bisa biarin kamu lagi sekarang atau abah penjarakan kamu dirumah, selamanya? Atau selama lama lamaaanya." Wajah Abahnya yang pertama terlihat setelah vidio call menyala. Abahnya bicara sambil bercanda mengejek tapi, Aliza sangat tak sedang mau di ajak bercanda ia tak suka dengan laki-laki asing di apartemennya.
"Hah aa~aa... umma~a!" Merengek lagi membuat abahnya langsung menyodorkan ponselnya pada sang istri.
"Gak bisa bilang gak boleh atau semua uang jajan di ambil abah dan namanya di black list." Bisikan sang suami pada istrinya yang mendengarkan dengan baik tapi, Aliza gak bisa dengar jelas karena jauh ponselnya dan suara di tutup telapak tangan.
"Umma abah ngomong apa?" Tanya nya kepo ketika melihat ummanya lagi di layar ponsel.
"Abah bilang tinggal sama suaminya yang rukun dan berbakti sama suami nurut atau kamu mau di mutilasi abah kamu?"
Abah kaget menganga tak percaya sifat psikopat istrinya kenapa datang lagi di saat seperti sekarang. Abah tak terima juga kenapa membawa-bawa dirinya.
"Kejam banget!" Ucap Aliza melirik ponsel yang layar sudah gelap karena di matikan telponnya.
Seketika itu panggil terputus dengan Umma tanpa salam padahal Aliza mau mengucapkan salam jika bicaranya sudah selesai.
Umma menatap Abah yang memelas. "Umma istighfar sayang."
"Halahh gak papa sedikit kejam buat anak itu." Katanya lalu bangkit dengan acuh meninggalkan sang suami. Abah mengusap dadanya sambil bersholawat sifat buruk istrinya benar-benar menyeramkan.
Aliza berdiri dengan jantung yang terus berdetak tak karuan juga takut gelisah.
Ia malu sangat malu dengan laki-laki asing walaupun itu suaminya.
"Gimana?" Tanya Bagas tiba-tiba membuat kaget Aliza yang sudah siap tetap berjingat kaget.
"Apa!" Galaknya menutupi gugupnya.
Aliza langsung pergi mengambil air minum, duduk meminumnya masih menahan malu karena ada laki-laki asing di satu atap dengannya, disaat minumpun Aliza di perhatikan Bagas tapi, Aliza melempar lirikan tajam lalu berhenti saat berdiri sambil membawa sebotol air dingin kosong, meletakkan gelas bekasnya didalam bak cucian piring, berjalan masuk kamar tapi, tak lama kemudian keluar membawa selimut dan bantal lalu menarik nafas menghembuskan pelan didepan Bagas.
"Kalo mau pake kamar mandi pake mau pake dapur pake mau makan apapun beli boleh masak boleh mau nonton tv boleh mau main keluar boleh mau ngapain aja terserah deh, yang penting jagalah kebersihan." Lalu pergi setelah ia mengatakan rentetan kalimat itu. Tanpa jeda membuat Bagas gelagepan menerima semua kalimat itu.
"Tapi, Aliza?"
Berhenti dan menoleh hingga berbalik badan. Bagas malu dan tak enak hati rasanya mau bertanya tapi, perlu sekarang, gusinya seperti ngilu rasanya mau bertanya tadi, dan Aliza langsung pergi tanpa jeda menatap Bagas.
"Saya mau sholat magrib, dimana mushollanya atau alat sholatnya untuk hari ini aja saya lupa bawa ganti atau sajadah saja?"
Aliza menghela nafasnya kasar lalu masuk kamar memberikan alat sholat milik Abahnya yang tertinggal lengkap tasbih dan peci hitamnya.
"Terimakasih." Katanya sambil menerima dan memperhatikan setiap barang yang ia terima dari istrinya.
Aliza pergi tanpa mengatakan apapun dan sama sekali tak mau menanggapi ucapan terimakasih Bagas.
Menghela nafasnya lelah Bagas lelah dengan harinya bukan sikap Aliza.
Jika Aliza itu menurutnya lucu dan menghibur, pertemuan pertama yang geli buatnya.
Ada rasa tak sabaran sebenarnya tapi, ini Azila mereka tak jauh jarak umurnya Bagas baru dua puluh sembilan tahun.
****
Didalam kamar Aliza misuh-misuh bahkan tertawa lalu marah hingga berekspresi sedih panik.
"Gue gila kayaknya, Astagfirullah halladzim, sehat sehat Aliza baru umur dua lima aja dah sengkle jiwa lo, napa lo napa, Astagfirullah."
Aliza menatap keluar jendela kamarnya yang kaca jendela belum ia tutup tirainya.
"Aliza..." Ketukan pintu membuatnya kaget.
Seketika merapikan hijapnya dan membuka pintunya wajahnya kembali judes. Bagas malu melihat Aliza didepannya langsung.
"Saya ke musholla ya, gak lama... oh iya kamu mau makan apa kayaknya di kulkas gak ada..'"
"Musholla di lantai lima deket gym kalo mau ke mesjid di bawah samping appamaret." Menjelaskannya tanpa diminta, yah sisi baik dan tak tegaan Aliza muncul tiba-tiba.
"Makannya..." Jawab Bagas di luar penjelasan Aliza.
"Sholat dulu aja baru nanti di pikirin." Jawabnya jutek.
Bagas mengangguk dan pergi begitu saja dengan santai tak lupa salam dan Aliza juga menjawabnya dengan jutek dan saat menaiki lift Bagas menghela nafasnya lelah menekan tombol turun ke lobi. Suara ponselnya terdengar seperti ada pesan masuk.
"Ibu harap keputusan ayah terbaik nak, ayah gak benci Wulan ayah hanya kasihan melihat kamu terus sendirian ayah gak bisa buat banyak, Ayah sulit menjelaskan karena ayah gak tega liat muka kamu."
Bagas mau mengetik beberapa pesan ia urungkan dan menghapusnya kembali.
Pesan Ibunya muncul lagi.
"Ibu sama Ayah nginep di rumah mertua kamu, kamu jaga amanah yang udah di berikan kekamu, Ibu suka Aliza walau dulu Ibu suka Wulan tetep Wulan gak bisa kembali sayang, Maaf kan Ayah dan Ibu ya, ini keputusan egois kami."
Bagas menghela nafasnya.
Membalas dengan dua kata 'Iya Bu.'
Menyimpan kembali hpnya di dalam saku celananya.
Membawa sarung dan juga alat sholatnya ke toilet dekat lobi apartemen.
Lalu keluar lengkap dengan pakaiannya walaupun sederhana ini cukup rapi, menurut Bagas tanpa sengaja ia melihat pantulan dirinya dari kaca poster di lobi dengan koko putih sarung hitam batik dan peci hitam di tambah membawa pakaian yang ia bawa di tangannya.
Menghampiri mobilnya dan meletakkan pakaiannya didalam sana.
Langkah Bagas terus saja lurus, lebar dan tak terasa berakhir didepan teras tangga masjid dekat samping Appamaret yang di bilang Aliza tadi.
Melihat Bagas yang melangkah masuk ke Masjid seseorang menatapnya tak suka dari dalam Appamaret.
Didalam kamarnya Aliza barusan selesai mandi dan hendak membuka pintu tanpa hijap tapi ia melompat kebelakang tiba-tiba.
"Eits.. eitttt tunggu tunggu lu Aliza lu harus tetep jaga aurat dan aurora lo, didepan ada macan kumbang lu bisa di perdaya dan lu bisa mati di makan dia." Bicara sendiri menunjuk dirinya dengan lima jari merapat membentuk kelopak bunga kuncup.
Ayolah Aliza lu serumah ama manusia kagak binatang elah. Alam bawah sadar yang sudah sadar kalo Aliza sudah menikah dan punya suami tapi hatinya tetep menangkis ucapan dari logikanya.
Mencari hijap dan keluar dengan baju tidur yang setiap hari ia pakai walau tak ketat ini nyaman setelan celana jumbo besar panjang dan kaos lengan panjang seperti sweter di tambah hijap kaos simpel tanpa pet.
Melangkah kedapur tengok kanan kiri tiba-tiba suara ponsel bergetar dan suaranya membuatnya kaget sampai dag dig dug.
"Hallo.."
"Aliza saya didepan pintu, kamu pakai jilbab kan?"
Siapa nih? Tanya bingung menjauhkan ponsel dari telinga.
Seketika ia sadar. Bibirnya membulat dan cengiran khasnya.
Aliza berdehem.
"Masuk."
Seketika pintu terbuka dan terlihat disana Bagas membawa dua kantung keresek yang baru saja ia beli di appamaret depan.
Meletakkan nya didepan Aliza.
"Buat?"
"Masak, Aliza bisa masak?"
"Gak."
"Hem... kalo gitu biar saya yang masak."
"Terserah."
Aliz duduk didepan meja kompor tanpa inisiatif yang dipikir Bagas kalo Aliza akan membereskannya ternyata salah besar.
Aliza malah duduk manis menunggu.
Menghela nafasnya pelan sampai tak terlihat kalo ia menghela nafas.
"Ngapain beli mendingan makan diluar, Lo gak usah repot-repot, gue gak butuh."
Pergi dari hadapan Bagas.
"Kamu marah?"
"Sama saya atau sama hal lain, atau kamu marah sama Umma abah kamu, Aliza..."
"Lo!"
Bagas menghentikan ucapannya saat Aliza menunjukknya, wajahnya marah lagi, moodnya anjlok lagi.
Hah! Aliza lupa itu kenapa malah di ingatkan.
"Lo ngapain sih mau sama gue hah, Gue gak suka lo walaupun gue akuin lo buat muka juga ganteng tapi, kalo Lo tiba-tiba nikahin gue lo pasti punya maksudkan."
"Dengar Liza."
"Eittt siapa suruh lo motong omongan gue...."
Bagas memilih diam masih dengan sabar yang harus ia pertahankan jujur jika itu bukan Bagas tak akan ada yang tahan bahkan bisa terbawa emosi. Bagas sangat lelah bahkan tiga operasi sebelum ia mengijab Aliza, sekarang tubuh pikirannya sudah sangat lelah.
"Iya..." Mengalah Bagas.
"Marah... iya! Gue akuin gue marah, Gue akuin gue gak terima, Gue emang bisa patuh dan gue bisa juga nurutin semua apa kata suami. Tapi, pliss kondisi dan apa yang gue..." Sesak rasanya mau mengatakannya.
"Apa yang gue rasain gak akan pernah di tahu in mereka, kenapa lo mau lo harusnya nolak bego!"
Emosi yang meledaknya sampai mengkagetkan Bagas. Perasaan apa yang barusan di pendam Aliza sampai meledak tak terkendali.
Bagas beristighfar lagi dalam hatinya.
Aliza menangis menutup wajahnya dengan kedua tangan nya diatas meja pantry.
Tangis Aliza memenuhi ruangan ini. Bukan histeris berlebih, sampai menjerit tapi isakan kecil lembut dan suara tarikan ingusnya yang merdu.
Bagas tak tahu harus bagaimana ia hanya diam dengan kedua tangan menyanggah tubuhnya membungkuk lebar dan ia diam memperhatikan tubuh sang istri sah, yang bergetar halus karena barusaja mengeluarkan emosinya.
Bagaimana menenangkannya menyentuh kainnya pun belum diizinkannya, suara batin Bagas.
Setelah merasa tak ada suara isakan. Bagas berbalik arah menghadap kulkas disamping tempat cucian piring dan samping kulkas ada meja makan pantry.
Membuka semua belanjaan dan memasukkannya kedalam kulkas menata menyusunnya dengan rapi, lalu mengambil beberapa bahan memisahkannya untuk tidak ia masukkan kedalam kulkas. Bagas melanjutkan berberesnya membiarkan aliza menangis disana. Tanpa sadar Aliza pergi.
"Saya mau.."
Kemana Aliza ia menghilang.
Tanpa suara? Baru saja ia sibuk sebentar wujudnya sudah tidak ada.
Aliza keluar kamarnya dan memperlihatkan mata sembabnya. Tiba-tiba dari dalam kamar, ngapain?
Bagas memilih diam tak bersuara lagi, ia fokus dengan apa yang mau ia buat tanpa mau bertanya pada Aliza lagi.
Di buatnya bersabar sampai lewat batas sabar harus tetap sabar sekarang mengheningkan di ciptakan oleh Aliza lagi.
Sepertinya tindakan untuk tidak bersuara sama sekali harus di lakukan oleh Bagas di waktu yang tepat dan paham kondisi.
Menyiapkan semuanya, mulai dari masak nasi sedikit karena sudah malam sapa tau Aliza tak mau makan nasi.
Jadi siapkan sedikit saja nasi lalu cuci dan potong sayur lalu kupas kentang dua biji dan daging sedikit.
Siap dalam beberapa menit dan dua piring lauk lalu nasi di piring satu sengaja ia letakkan didepannya tapi, Aliza mengambilnya dan menyendokkan lauk lalu sayur agak banyak.
Daging hanya beberapa potong.
Makan setelah Bagas memimpin membacakan doa ketika mau makan.
Senyap seperti itu, hanya suara mereka yang tidak ada, jika suara alat makan pasti terdengar. Walau sangat pelan.
Bagas memperhatikan cara Aliza makan. Walaupun masih menangis kadang, menarik ingusnya yang seperti sudah tidak ada.
Aliza mencari tisu untuk air matanya, ia tetap diam dan makan sambil terus tertunduk, sesekali mengusap air mata yang keluar mengganggu sedikit setelah, selesai makan, ia mencuci piringnya dan mencuci alat masaknya tanpa diminta.
Tanpa suara ia masuk kedalam kamar lagi. Menguncinya.
Jelas semuanya Bagas lihat ia sampai hampir tersedak jika tak segera minum.
Selesai makan bersamaan setelah Aliza mengunci pintu kamarnya, Bagas membereskan lauk yang masih sisa ia keluar membawanya dengan wadah bekas sayuran kotak mika yang masih bersih yang sudah ia cuci ia melangkah keluar tak lupa air mineral yang ia bawa jadi satu dengan makanan yang sudah ia masak dan taruh di dalam mika kotak.
Aliza duduk didepan kaca jendela membuka hijab dan ikat rambutnya ia membuka buku apapun tanpa membaca judulnya ia membacanya lalu lelah dan diam sambil beristighfar dalam hati lalu menghela nafasnya lagi.
Targetnya tak mau menikah.
Malah sudah jadi istri.
Targetnya mau punya usaha sendiri dan hidup mandiri sambil adopsi anak biar gak kesepian.
Malah sudah jadi istri orang suami yang di pilihkan orang tua, berharap banget orang tua dapet cucu kandung darinya.
Menghela nafasnya sampai tak terhitung setelah berbicara dengan batinnya.
Ekspetasi dan harapannya terlalu tinggi dan Allah punya kuasa dan mengubahnya secara cepat.
Melipat kakinya memeluk lututnya dan menghela nafasnya berat lagi.
Sedangkan Bagas di lantai bawah menghampiri pengemis yang tidur didalam gerobaknya.
"Permisi Adek... Sama ibunya, kebetulan saya bawa ini tadi istri saya masak, dan katanya sempet liat ibu sama adeknya disini jadi mohon di terima ya." Kata Bagas dengan pelan dan sopan.
Tentunya dengan masker menutup setengah wajahnya. Bagas menyembunyikan wajahnya.
"Eh alahh le makasih ya... makan nih nak."
"Iyaa.. sudah kalo gitu saya pamit ya bu, Assalamualaikum."
Ibu tadi mengangguk dan langsung menyuapi anaknya.
Bagas pergi dengan santainya melangkah ke dalam lobi apartemen melihat satpam berdiri depan meja resepsionis ia menyapanya.
"Mas baru ya."
"Iya pak, saya mau jemput istri saya."
"Istri?"
Bagas pun menjelaskan beberapa hal tanpa mengatakan sejujurnya, yang sebenarnya hingga pak satpam memakluminya.
"Oalah Mb Aliza to... tak kira dia masih gadis ternyata dah punya suami, dokter pula... sehat sehat mas, Mb Aliza cuek banget tapi, baik tadi mas kasih pemulung didepan ya?"
"Hehe iya pak."
"Mereka sering di kasih mb Aliza tapi, beberapa hari ini Mb Aliza jarang ketemu mereka."
Pak satpam tanpa sadar menjelaskan semua hal baik dan positif yang Aliza lakukan selama ada di apartemen ini namun, beberapa hari ini sudah jarang berbagi gak seloyal dulu.
"Iya mungkin lagi kurang mood pak." Jawab Bagas membuat Satpam dan satu resepsionis laki-laki mengangguk paham.
Melangkah pergi setelah pamit.
Pak satpam memperhatikan Bagas sampai masuk lift.
"Ternyata orang ganteng sama orang cantik ya." Bisik resepsionis pada satpam.
"Hussh diem." Desis pak satpam membuat resepsionis laki-laki tadi mingkem.
Di dalam kamarnya sangat sunyi.
Di ruangan tv hingga dapur juga masih sunyi.
Apartemen Aliza bersih rapi, hanya saja dapurnya terlalu bersih untuk ukuran pemiliknya seorang perempuan.
Merebahkan tubuhnya diatas karpet tebal yang ia gelar setelah menggeser meja menghidupkan tv dan mencari acara yang mau ia tonton.
Tiba-tiba pintu kamar Aliza terbuka.
"Kemana, Za!" Tak mendengarkan dan tetap berjalan.
Bagas kembali mengambil jas hitam dan juga mematikan tv dengan kaos putih polosnya ia keluar mengikuti Aliza.
Tak sabar Bagas menarik tangan Aliza di lorong apartemen depan kamar Aliza.
Berbalik dan melepas tangan Bagas perlahan menjauh dan mundur hingga berbalik berjalan tenang.
"Udah setengah sembilan malem Aliza, mau kemana kamu?" Tanya Bagas selembut mungkin.
Liza tetap tak menjawabnya.
Melirik ke samping Aliza masih yakin kalo Bagas mengikutinya terus.
Aliza berjalan terus lalu masuk ke ruang tangga darurat naik keatas.
Terus berjalan sampai di atap angin malam cuaca malam yang begitu cerah tapi, dingin.
"Masuk aja ya, disini dingin Liza."
Liza... Apa Bagas barusan memanggilnya dengan nama Liza.
"Saya gak apa-apa kamu marah sama saya Aliza, Saya mohon kamu paham apa maksud orang tua kamu, Saya paham kamu pasti punya alasan, cukup benci saya, diemin saya pun selama yang kamu mau gak papa saya ikhlas."
"Tapi, Tolong... saya minta tolong sama kamu, semarah apapun se-gak suka kamu sama keputusan mereka, yakin aja, semua pasti akan berakhir bahagia."
Aliza tersentuh. Baru kali ini ada laki-laki yang paham caranya berpikir tanpa Liza menjelaskan secara rinci sampai dower bibirnya bicara. Aliza malas, Liza benci situasi ini.
"Aliza saya suami kamu, dan kamu Istri saya, Saya punya tanggung jawab membawa kamu di dunia dalam keadaan baik dan di akhirat pun begitu."
"Ijab kabul saya gak main-main, ada Abah sama Umma kamu, ada Ayah dan Ibu saya bahkan Allah melihatnya... Aliza... kita memang gak kenal kita gak paham satu sama lain, terserah kamu mau percaya saya atau tida mau... men..mencintai saya atau tidak, aku memilih kamu tandanya saya yakin, jangan pernah berpikir saya akan meninggalkan kamu menjahuhi kamu setelah tau kamu yang banyak kurangnya gak sesuai harapan saya, jangan Liza saya mohon jangan pernah punya pikiran seperti itu."
Bagas menarik nafasnya setelah mengatakan semuanya lalu menghembuskannya perlahan. Selembut dan setenang mungkin sesabar mungkin, harus bisa membuat Aliza mendekat dan mencintainya tapi, ini sangat sulit tidak ada celah pada dinding Aliza antara orang yang mau memberinya cinta kecuali, orang tuanya, sangat keras tebal dan besar tinggi menjulang untuk ukuran penghalang seorang Bagas mendekati Aliza.
Bagas menatap kesekeliling, tidak buruk menjadi tempat bermalam yang tenang tanpa keluar gedung ini.
Atap gedung apartemen ini.
Menatap punggung Aliza yang berdiri dekat pembatas atap yang besar dan tebal pagar dari beton besar pegangan dari besi setenlis.
Sejak Bagas bicara Aliza terus berjalan menjauh hingga berdiri di sana melihat pemandangan kota seperti titik-titik cahaya. Suara kelakson hingga ambulan ataupun berbagai macam suara sirine.
Bagas mendekat.
"Dah sekarang bisa kamu kemari, kita turun ya, disini anginnya dingin... besok kamu harus bekerja dan saya harus... Enggak usah sekarang.." Bagas mengubah perintah ajakannya dengan lebih longgar lagi.
"Saya temani kamu sampai lelah ya." Dengan lembut dan juga sabar Bagas mendekat dan duduk di kursi terbuat dari balok semen besar di samping bawah ada mesin ac untuk gedung ini.
"Kamu mau cerita tentang kamu? Atau diam aja? Ok saya diam."
Setetes air mata Aliza jatuh, baru sehari. Aliza yakin Bagas tidak akan sabar dengan sikapnya, dasar Aliza bodoh berhenti dengan sikap dinginmu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!