NovelToon NovelToon

My Ex Beloved

1. Mantan dan Bak Sampah

Gamil Arfan Wiguna adalah putra ketiga dari Ghattan Askara Wiguna. Hanya dia yang belum menikah. Bahkan, dia dilangkahi oleh adik perempuannya hingga dia didesak untuk memiliki pacar oleh sang ibunda.

"Baru juga mantan Apang diangkut mobil sampah."

Ya, begitulah kebiasaan Apang. Dia akan membuang mantan kekasihnya ke mobil bak sampah. Sebenarnya, Apang tidak pernah mengejar wanita. Merekalah yang mengejar Apang hingga Apang tak mampu menolak. Namun, jika Apang sudah kesal dengan tingkah kekasihnya. Sudah pasti kalimat keramat akan keluar dari mulutnya.

"Kita putus!"

Enteng sekali kalimat itu terucap. Dan sudah pasti dia telah menghubungi Abang Er supaya mendatangkan mobil bak sampah untuk membuang mantannya.

Sebenarnya, tidak ada satupun mantan Apang yang mau diajak putus karena Apang adalah lelaki mapan. Keturunan keluarga Wiguna di mana harta dan kekayaannya sudah dia genggam sedari masih menjadi embrio. Namun, nyatanya begitu berbeda. Apang bukan lelaki yang mudah mengeluarkan uang untuk kekasihnya karena dia juga pandai. Dia tahu tujuan para kekasihnya terdahulu itu mengincar harta keluarganya. Maka dari itu, dia tidak pernah mengenalkan satupun dari mereka kepada kedua orangtuanya. Hanya Abang Er yang tahu siapa saja mantan Apang.

Remaja itu ditugaskan untuk menilai kekasih Apang. Dan jika Abang Er sudah menunjukkan wajah datar dengan tatapan sinis sudah dipastikan dia tidak suka.

.

"Pang, mau sampai kapan kamu begini terus?" tanya lembut sang bunda.

"Adik kamu aja udah punya anak."

"Bun, mencari perempuan tulus di zaman sekarang ini enggak mudah. Mereka mau sama Apang bukan karena cinta sama Apang. Tapi, sama kekayaaan keluarga Wiguna."

Bunda Jingga pun tertawa mendengar penjelasan sang putra ketiga. Sebagai seorang ibu, bunda Jingga tahu bagaimana sifat keempat anaknya. Apang bisa dibilang memiliki sifat yang begitu pemilih dan selektif.

"Apang lagi pengen menjomblo dulu. Capek berurusan dengan perempuan melulu," keluhnya sambil merebahkan kepala di pangkuan sang bunda.

"Lagian kamu mah gak pernah bisa nolak."

"Atuh gimana mau nolak, mereka maksa dan ngancem. Untung aja pada cantik. Kalau jelek mah Apang lelepin ke danau Toba."

Bunda Jingga tertawa mendengar penuturan sang putra. Umur boleh bertambah, tapi sifat manja masih tetap sama. Bagi Bunda Jingga sedewasa apapun keempat anaknya, mereka tetap anak kecil yang akan tetap mencari ayah dan juga bunda.

.

Apang dipindah tugaskan hari ini. Dia diminta untuk membantu sang ayah di Wiguna Grup. Sedangkan kedua kakaknya sudah memegang Wiguna Grup cabang. Apang tak bisa menolak karena dia memang belum dipercaya untuk memegang perusahaan. Dia pun tak pernah iri malah dia lebih senang seperti ini.

Kehadiran Apang dan ayah Aska disambut hangat oleh para karyawan semua. Mereka terpesona kepada ketampanan Apang yang paripurna. Namun, Apang malah bersikap begitu dingin. Dia sudah tidak ingin tebar pesona dan ingin menjomblo.

"Kerja yang serius. Jangan pacaran."

Ultimatum sang ayah membuat Apang berdecak kesal. Tatapan tajam Apang berikan kepada ayahnya.

"Sejak kapan sih Apang gak serius?" tanyanya.

"Ketika Apang punya pacar, kalian seakan tahu. Makanya, kalian sengaja ngasih kerjaan yang bejibun ke Apang."

Ayah Aska tertawa. Putra ketiganya ternyata tidak polos-polos amat. Apang tahu rencana mereka, tapi Apang tak pernah protes.

"Itu tandanya tidak ada lampu hijau untuk kamu."

"Yeah. I know."

Apang berjalan meninggalkan ayahnya yang masih tertawa. Apang sudah tak aneh akan hal itu. Dia sudah khatam dengan sikap keluarga besarnya.

Apang melakukan pekerjaannya dengan baik. Dia sudah biasa dengan tekanan, tugas yang menumpuk, mulut pedas atasan yang tak lain adalah ayah, kakak sepupunya juga sang paman. Itu sudah menjadi makanan Apang sehari-hari.

Di jam istirahat, pesan dari sang mantan yang dia namakan Udel masuk.

"Aku akan buat kamu nyesel putus sama aku."

Apang berdecih. Nomor itupun langsung Apang blokir dan buang. Semudah itu Apang melakukan itu semua. Sekilas, dia terlihat seperti lelaki yang tak punya hati.

Tempat Apang menghilangkan stres adalah kamar Abang Er. Sudah seminggu dia bekerja bersama sang ayah, dan kepalanya hampir mau pecah. Pulang kerja dia menuju rumah Abang Er dan langsung ke kamar anak pertama Restu Ranendra. Kamar Abang Er memiliki tangga khusus dari luar sehingga tak perlu masuk ke dalam rumah jika ingin ke kamarnya.

"Bosen sih liatnya," omel remaja tampan yang sedang fokus pada layar laptopnya.

"Capek gua, Jan."

Abang Er berdecak kesal. Dia mengabaikan Apang yang sudah berbaring di atas tempat tidurnya.

"Enjan, apa gua minta dijodohin aja sama Ayah?"

"Lu udah frustasi, Kak?" Abang Er malah balik bertanya.

"Capek aja."

Abang Er menghela napas kasar. Membiarkan Apang bergelut dengan pikirannya sendiri. Sudah biasa dia mengeluh seperti itu. Nanti pun keluhannya akan menghilang.

"Kak, Bang Er mau nanya nih," ucap Abang Er dengan begitu serius.

"Sebenarnya apa sih yang ngebuat lu kayak gini? Kayak gak punya hasrat ke cewek. Padahal lu ganteng, mapan, tapi setiap pacaran gak ada effort yang lu keluarin."

Apang pun mulai duduk dan mencopot dasinya. Dia menghela napas kasar sebelum dia menjawab.

"Effort gua udah habis gua pakai untuk satu cewek."

"Siapa?"

Apang hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan Abang Er. Sorot matanya menunjukkan sebuah kesedihan juga kebencian.

.

Sepuluh tahun berlalu ternyata tak membuat rasa sakit itu berubah. Apang duduk di sebuah taman dekat sekolah SMA-nya dulu. Menatap langit malam yang begitu ramai.

"Ternyata effort besar yang gua berikan gak pernah dilihat sama sekali. Malah dengan mudahnya gua ditinggalkan tanpa adanya kejelasan."

Apang tersenyum begitu perih. Itulah alasan kenapa dia bisa menjadi lelaki seperti itu. Ada rasa sakit yang pernah dia terima.

"Andai gua ketemu lu lagi. Gua pastikan gua akan membuang lu sama seperti mantan gua ke dalam bak sampah."

Penuh kekesalan, tapi terlintas secercah kerinduan dari sorot mata yang dipancarkan. Satu dekade bukan waktu yang sebentar, tapi Apang seakan masih tinggal di masa itu.

Apang menghela napas kasar. Dia mulai berdiri dan mulai beranjak dari sana. Tempat itu adalah saksi bisu hubungan Apang dengan mantannya yang masih amat membekas sampai saat ini.

.

Kembali bekerja seperti biasa. Pagi-pagi Apang sudah dibuat kesal karena banyak laporan yang salah. Sungguh kepala Apang rasanya ingin pecah.

"Becus kerja gak sih?" Apang pun meluapkannya pada karyawan yang sudah dia panggil ke ruangannya.

Wajah Apang boleh baby face, tapi sikapnya begitu tegas dan bahkan ketika marah kepalanya akan mengeluarkan tanduk.

"Kerjakan ulang!"

Semua laporan Apang banting di atas meja dan dia memilih keluar dari ruangannya. Memilih masuk ke pantry untuk sekedar membuat kopi.

Dilihatnya ada seorang office girl yang tengah menata gelas dan tak menyadari kehadiran dirinya.

"Berikan saya gelas."

Office girl tersebut terkejut. Dia mulai menoleh dan tubuhnya menegang begitu melihat lelaki tinggi nan putih ada di depannya. Begitu juga dengan Apang yang membeku. Hanya sorot mata mereka berdua yang berbicara.

...***To Be Continue***...

Tes ombak. Kalau suka kita crazy up.

2. Office Girl

"Dia udah pergi sama Ibra bawa koper."

Kalimat itu yang terngiang di kepala Apang sekarang. Tatapan Apang berubah begitu tajam.

"A-ar--"

"Masih inget lu sama gua?" sergah Apang dengan wajah yang amat tak bersahabat.

Niat untuk membuat kopi pun dia urungkan. Dia membanting pintu pantry dengan sangat kencang hingga office girl yang ada di sana terlonjak kaget. Dia pun tersenyum perih.

"Maafkan aku, Fan."

.

Derap langkah Apang begitu lebar. Wajahnya pun begitu tak bersahabat membuat para karyawan di sana tak ada yang berani menegurnya. Pintu ruangannya pun dibanting dengan begitu keras.

Apang mendudukkan tubuhnya dengan begitu kasar di atas sofa. Dia pun menghela napas begitu kasar. Kepalanya dia sandarkan ke bantalan sofa. Menutup matanya sejenak.

"Dia masih tetap sama," gumam Apang.

Ketika jam istirahat tiba, Apang tak keluar kantor. Pekerjaannya begitu banyak. Dia juga merasa bersyukur karena tumpukan pekerjaan membuatnya sedikit melupakan seseorang.

Ketukan pintu terdengar. Apang menjawab dari dalam. Seketika matanya memicing karena melihat office girl itu lagi.

"Maaf, Pak. Saya disuruh mengantarkan ini."

Kalimat yang begitu lembut, tapi kepalanya tak mampu dia tegakkan karena takut.

"Letakkan di meja."

Segera office girl itu letakkan bungkusan tersebut di atas meja. Memilih segera pergi karena tatapan Apang seperti tatapan mata elang. Hembusan napas kasar keluar dari mulut perempuan cantik itu.

"Ternyata dia sudah sangat berubah."

Office girl itu tersenyum perih dan segera menuju tempatnya kembali. Namun, di tengah perjalanan, ada karyawan yang memanggilnya. Menyuruhnya membuatkan kopi dan teh. Ada juga yang menyuruhnya mengisikan botol minum dengan air galon.

Di dalam ruangan, Apang sudah duduk di sofa dan menatap ke arah bungkusan plastik yang ada di meja. Ponsel Apang berdenting.

"Makan siang sudah Ayah kirim. Ayah tahu kamu gak akan keluar makan kalau pekerjaan menumpuk."

Apang tersenyum setelah membaca pesan dari ayahnya. Dia ternyata masih diperlakukan bak anak kecil oleh ayahnya. Dia juga merasa lega karena makanan itu bukan dari office girl tadi.

Mata Apang nanar ketika melihat makanan yang dikirim oleh ayahnya. Bento cepat saji yang menjadi kesukaan seseorang. Apang menghela napas kasar. Dia menutup kembali makanannya. Menyandarkan kepalanya di kepala sofa untuk kedua kalinya di hari ini.

Apang beranjak dari sofa dan kembali ke mejanya. Bergelut dengan pekerjaan yang menumpuk dan membiarkan makanan itu tergelatak di atas meja.

Ketika jam dua siang, perut Apang mulai keroncongan. Dia menghubungi Abang Er yang sudah pasti baru keluar sekolah.

"Beliin gua makanan enak dong. Bawain ke kantor pusat."

"Enteng banget tuh congor lu, Kak!" omel Abang Er yang baru saja berada di parkiran sekolah.

"Lu cek m-banking. Udah gua transfer. Gua tunggu dan gak pake lama."

Sambungan telepon itupun berakhir dan membuat Abang Er menggerutu kesal. Nominal yang tak sedikit masuk ke rekeningnya tak membuat putra pertama Restu Ranendra itu senang.

"Selalu aja nyusahin! Kayak orang zaman purba kata gua mah. Masa iya aplikasi pesan anter makanan kagak punya."

Abang Er yang dingin dan jarang bicara akan menjadi emak-emak komplek jika sudah berurusan dengan Apang. Kakak sepupunya yang begitu menyebalkan.

Kehadiran anak SMA ke kantor Wiguna Grup pusat membuat semua pegawai di sana terheran. Apalagi Abang Er memakai selalu memakai masker.

"Mau apa, Dek?"

"Saya mau ketemu Gamil Arfan Wiguna," jawabnya tanpa memakai embel-embel bapak.

Merasa dipersulit, Abang Er menghubungi Apang tepat di depan pihak keamanan.

"Kak, gua gak boleh masuk nih," adunya. Itu membuat pihak keamanan menoleh ke arah Abang Er yang sama sekali tak takut menghadapi mereka.

Baru saja sambungan telepon disudahi, pihak keamanan sudah dihubungi oleh Apang.

"Pak Arfan," imbuh pihak keamanan dengan wajah penuh ketakutan.

"Biarkan anak SMA itu masuk ke ruangan saya. Dia adik sepupu saya, putra Pak Restu Ranendra."

Pihak keamanan itu terlihat sangat ketakutan ketika mendengar nama yang disebutkan oleh Apang.

"Ba-baik, Pak."

Abang Er pun dipersilahkan masuk dan tatapan tajam dia berikan. Sungguh Abang Er adalah titisan dari sang papi yang tak pernah takut akan apapun.

Melenggang menuju lantai di mana Apang berada. Karyawan yang berada di sana menatap Abang Er dengan bingung.

"Kamu siapa? Kenapa kamu ada di sini?"

Salah satu karyawan ada yang menegur Abang Er. Mata malasnya terlihat begitu jelas. Abang Er menunjukkan jinjingan yang dia bawa. Lalu, dia juga menunjuk ke arah ruangan Apang. Namun, dia sama sekali tak mengeluarkan suara dan berlalu begitu saja. Karyawan di sana menggelengkan kepala ketika melihat anak SMA itu langsung masuk ke ruangan Apang tanpa mengetuk pintu.

"Siapa sih dia?"

.

Decakan kesal keluar dari mulut Apang ketika Abang Er masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Taruh di meja!"

"Si yalan kata gua mah," kesal Abang Er.

Dahi Abang Er mengkerut ketika melihat ada bungkusan makanan di atas meja. Tapi, Apang malah menyuruhnya untuk membelikan makanan.

"Lah, ini ada makanan," ujar Abang Er dan itu membuat Apang menoleh ke arah Abang Er yang sedang menunjuk makanan yang masih terbungkus.

"Gua pengen makan yang lain."

Abang Er menggelengkan kepala mendengar jawaban Apang. Dan dia melihat jikalau pria yang ada di sampingnya itu begitu kelaparan.

"Bukannya itu makanan kesukaan lu, Kak?"

Apang pun tersedak mendengar pertanyaan dari Abang Er yang sedang meminum es kopi. Dia melihat ke arah makanan bento yang ayahnya belikan untuknya.

"Lagi bosan."

Abang Er tak membalas apapun. Namun, wajahnya sudah memperhatikan Apang dengan seksama. Dia merasakan ada yang berbeda dari kakak sepupunya itu. Abang Er pun tak banyak berbicara lagi. Dia asyik dengan es kopi kesukaannya.

Setelah es kopi habis, Abang Er beranjak dari duduknya. Apang yang baru selesai makan menoleh ke arah Abang Er.

"Gua mau pulang. Mami udah ngoceh di grup."

Hanya satu yang Abang Er takuti, sang mami. Aleesa jika sudah marah seperti singa betina yang tengah datang bulan.

"Entar gua bantu jelasin."

"Enggak perlu," balas Abang Er.

"Udah biasa," lanjutnya.

Baru juga dia melangkahkan kaki, suara Apang membuatnya menghentikan langkah.

"Tolong kasih ini ke office girl yang ada di pantry."

"Hah?"

Apang sudah memberikan bungkus makanan yang sedari tadi tergelatak di atas meja. Abang Er mengerutkan dahi karena dia begitu tahu makanan itu adalah makanan kesukaan Apang.

"Jennaira. Cari nama itu."

Abang Er sudah menjinjing bungkusan itu dan mencari office girl yang Apang sebutkan namanya. Ada rasa kesal, tapi dia juga penasaran kenapa Apang memberikan makanan itu kepada office girl.

Tak perlu mencari, dia berpapasan dengan office girl yang memakai name tag Jennaira. Abang Er menghadang langkah office girl itu.

"Ada apa?"

Abang Er tak berbicara sama sekali. Dia menyerahkan bungkusan yang diberikan Apang. Office girl itu nampak kebingungan. Namun, Abang Er segera pergi tanpa berkata apapun.

"Siapa office girl itu?"

"Kenapa firasat gua bilang kalau dia bukan dari kalangan biasa?"

...***To Be Continue***...

Banyakin yuk komennya ...

3. Datar dan Dingin

Jennaira Nirmala, office girl yang baru seminggu bekerja di Wiguna Grup. Perempuan cantik yang memiliki aura anak orang kaya. Kini, perempuan itu menatap bungkusan yang diberikan oleh anak SMA tadi. Dia membukanya dan matanya nanar ketika melihat isinya.

"Kamu masih ingat?" gumamnya.

Senyum penuh keperihan terukir di sana. Dia tak lantas memakannya. Akan dia bawa pulang untuk dimakan berdua bersama orang yang dia sayang.

"Makasih, Fan."

.

Apang masih belum fokus pada pekerjaan. Dia masih memikirkan makanan yang dia berikan. Dia ingin tahu bagaimana respon Naira, tapi dia tidak boleh menanyakannya kepada Abang Er. Anak SMA itu memiliki insting yang sangat tajam.

Dia beranjak dari kursi kebesaran. Langkahnya membawa dirinya ke pantry. Belum juga sampai, dia sudah berpapasan dengan Naira yang sudah mengganti pakaiannya karena sudah jam pulang. Langkah Naira terhenti dan dia memandang Apang sebentar. Sedangkan Apang berlalu begitu saja. Tangan Naira mulai menarik tangan Apang hingga langkah Apang terhenti.

"Makasih. Kamu masih tau apa yang aku suka."

Ujung mata Apang melihat tangan putih Naira yang menahan lengannya. Namun, dia sama sekali tak menatap Naira.

"Jangan pegang gua sembarangan."

Perlahan Naira menjauhkan tangannya. Wajah Naira berubah seketika. Dan Apang kembali berlalu. Naira hanya bisa menatap punggung Apang yang menjauh.

.

Setiap kali Apang bertemu dengan Naira, dia bersikap seakan dia tak pernah mengenal Naira. Begitu dingin dan datar. Meskipun begitu, Naira tetap bersikap sopan kepada Apang.

Naira diminta untuk membuatkan kopi. Dikirim ke ruangan manager utama yang tak lain adalah Apang.

"Kopi apa, Mbak?" tanyanya pada sekretaris yang Apang.

"Katanya kopi yang biasa."

"Kopi biasa?" gumamnya.

Dia belum pernah membuatkan Apang kopi sebelumya. Naira berpikir sejenak, hingga dia teringat akan kopi yang selalu Apang minum.

"Apa seleranya masih sama?"

Sayangnya, ketika kopi itu sudah diletakkan di meja kerja Apang. Suara pria yang jauh lebih tampan dari masa sekolah membuat rasa kecewa bersarang di hati Naira.

"Ganti kopinya!"

"Saya bukan anak kecil yang suka dengan kopi itu."

Naira mengangguk pelan, terucap juga kata maaf yang begitu lirih. Kembali membawa kopi ke pantry dengan hati yang sedih.

"Ternyata dia sudah berubah."

Kopi yang Naira suguhkan selalu saja salah dan ini gelas kelima yang Naira letakkan di atas meja Apang.

"Bawa lagi!"

Namun, kali ini Naira tak lantas membawanya karena sedari tadi Apang tak sama sekali melihat ke arah gelas kopi yang Naira suguhkan. Mulutnya enteng sekali menyuruh Naira untuk membawa cangkir berisi kopi yang sudah dia buatkan.

"Sebenarnya mau kamu apa, Fan?"

Kepala Apang seketika menegak. Dia melihat langsung wajah Naira yang menatapnya dengan tajam.

"Kalau kamu mau balas dendam, tolong di luar jam kerja. Jangan sekarang."

Apang pun berdecih. Dia tersenyum sinis ke arah Naira.

"Sangat percaya diri sekali kamu," tekannya.

Naira masih berusaha menatap Apang dengan biasa. Padahal, matanya sudah begitu perih.

"Bawa kembali kopi itu. Saya tidak ingin meminumnya."

Naira menghela napas kasar sebelum membawa cangkir kopi itu. Dia mulai mendekat ke arah meja, tangannya pun mulai meraih cangkir yang sama sekali belum disentuh Apang.

"Tolong beri aku ketenangan dalam bekerja. Aku sudah tak ada tenaga lagi jika terus diusik," ucapnya begitu pelan dan lemah.

Apang pun mendengarnya. Dia menatap ke arah Naira yang sudah membawa nampan berisi cangkir kopi. Office girl itupun mulai menjauhi Apang. Dan sekilas Apang melihat kesedihan dari mimik wajah Naira.

Apang pun terdiam. Rasa bersalah mulai bersarang. Kalimat yang begitu lirih membuat Apang sedikit berpikir.

"Apa maksud dari perkataannya?"

.

Setelah kejadian itu, Naira selalu menghindar dari Apang. Begitu juga Apang yang semakin dingin kepadanya. Hanya sapaan seadanya yang keluar dari mulut Naira.

Namun, ketika Naira melihat Apang bersama sekretarisnya. Senyum tipis pasti terukir di bibirnya. Seperti sekarang dia melihat Apang yang begitu dekat dengan sekretarisnya dan menatap sekretarisnya dengan begitu serius.

"Kamu atur aja."

"Baik, Pak."

Sekretaris itu tersenyum ke arah Apang yang masih menatapnya. Tak lama berselang Apang masuk ke dalam ruangan.

Bukan tanpa sebab Naira berpikiran terlalu jauh. Sekretaris itu sering bercerita tentang Apang. Naira dapat mendengar jikalau perempuan itu menyukai Apang.

Hari ini, Naira shift malam. Mulai kerja jam tiga sore dan pulang jam sebelas malam. Ruangan sudah mulai kosong dan sepi. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Lampu di ruangan Apang masih menyala.

"Apa dia lembur?"

Naira terlonjak ketika Apang keluar dari ruangannya. Office girl itu menatap Apang, tapi Apang malah berlalu begitu saja. Melewati Naira tanpa kata.

Baru saja tiba di lobi, dia terkejut ketika melihat seorang lelaki yang dia kenali. Apang pun tersenyum kecil.

"Fan, liat Naira gak?"

Ya, dia Ibra. Lelaki yang pergi bersama Naira dulu.

"Gua bukan bayangannya."

Apang menjawab dengan sangat ketus dan berlalu begitu saja meninggalkan Ibra. Langkah Apang terhenti di dekat salah satu security.

"Jangan biarkan lelaki itu naik ke lantai atas. Saya tidak ingin kantor ini kotor."

Apang sudah menuju mobilnya. Pintu mobil dia banting dengan sangat keras dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

Bayangan tentang Ibra dan Naira muncul. Hari di mana Apang mengerjai Naira itu bukan tanpa alasan. Baru saja dia datang ke kantor, Ibra sudah ada di lobi dan Naira berlari kecil menghampiri teman SMA-nya itu.

"Ini buat makan siang."

"Makasih, Ibra."

Sebenarnya langkah Naira sudah terhenti sebelum dia menghampiri Ibra. Naira melakukan itu untuk menyapa Apang. Sayangnya, sapaan itu Apang abaikan.

Kaki Apang menginjak pedal gas dan melajukan mobil bagai manusia kesetanan. Dia sedikit mengabaikan keselamatan. Mobil itu terhenti di sebuah rumah besar. Dia segera naik ke lantai atas di mana kamar seseorang berada.

"Gua gak menerima curhatan."

Apang malah menoyor kepala Abang Er yang tengah duduk sambil bermain game di ponselnya. Apang merubuhkan tubuhnya di atas tempat tidur milik Abang Er. Hembusan napas kasar keluar dari mulutnya.

"Kalau belum kelar, ya kelarin. Kalau masih cinta, ya ungkapin. Jangan jadi macam anak perawan yang lagi datang bulan. Kerjaannya cuma uring-uringan."

Apang tertohok mendengar kalimat panjang dari Abang Er. Dia yang tengah tengkurap segera membalikkan tubuh. Menatap Abang Er dengan kedua alis yang hampir mengadu.

"Lu ngomong apaan sih?" Apang pura-pura bodoh.

"Entah! Kayaknya gua lagi kesambet setan yang lagi kasmaran."

Apang pun berdecak. Dia menatap langit-langit kamar Abang Er dengan berbantalkan lengannya sendiri.

"Besok hubungi mobil bak sampah."

Abang Er menjeda permainan game yang tengah dia mainkan. Menatap Apang yang tengah berbaring di kasurnya.

"Yakin sanggup ngebuang?"

...***To Be Continue***...

Kencengin atuh komennya ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!