Pagi itu, sinar matahari musim semi yang hangat menyelinap masuk melalui jendela kamar Lily, membangunkannya dari tidur nyenyaknya. Ia meregangkan tubuhnya yang mungil sebelum melangkah keluar dari tempat tidur. Suara ceria burung-burung di luar jendela terdengar harmonis, seolah-olah tidak ada yang salah di dunia ini. Namun, ketenangan pagi itu segera berubah menjadi kekalutan.
Ketika Lily turun ke lantai bawah, ia melihat ayah dan ibunya duduk di meja makan dengan wajah tegang yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ayahnya, yang biasanya tersenyum hangat setiap pagi, kini tampak kusut dan cemas. Sementara ibunya, yang selalu menyiapkan sarapan dengan penuh semangat, duduk diam dengan pandangan kosong menatap secangkir teh yang sudah dingin.
“Ada apa, Ma, Pa?” tanya Lily dengan suara yang sedikit gemetar, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Kedua orang tuanya saling berpandangan, seolah-olah mencari keberanian untuk mengungkapkan berita yang akan mengubah hidup putri mereka. Akhirnya, ayahnya mengambil napas dalam-dalam dan berkata dengan suara berat, “Lily, ada sesuatu yang harus kami ceritakan kepadamu. Kami sebenarnya sudah lama menyembunyikan ini darimu, tapi sekarang waktunya kamu tahu.”
Lily duduk di kursi yang berhadapan dengan orang tuanya, merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Apa yang terjadi?” tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih tegas.
Ayahnya melanjutkan, “Beberapa tahun yang lalu, usaha kami mengalami kesulitan keuangan yang sangat serius. Kami terpaksa meminjam uang dalam jumlah besar untuk menyelamatkan bisnis keluarga. Pinjaman itu datang dari keluarga Sterling.”
Mendengar nama keluarga Sterling, mata Lily membesar. Keluarga Sterling adalah keluarga miliarder terkenal di kota mereka, dikenal dengan kekayaan yang luar biasa dan pengaruh yang luas. “Berapa banyak uang yang kalian pinjam?” tanya Lily dengan napas tertahan.
Ibu Lily, yang akhirnya angkat bicara, menjawab dengan suara bergetar, “Sepuluh milyar rupiah, Lily. Kami berhutang sepuluh milyar kepada mereka.”
Kata-kata itu terasa seperti bom yang meledak di kepala Lily. Ia terdiam, mulutnya terbuka namun tidak ada kata yang keluar. Sepuluh milyar? Angka itu terlalu besar untuk diungkapkan, apalagi dibayangkan.
“Bagaimana mungkin?” tanyanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
“Mengapa kalian tidak pernah memberitahuku?”
Papanya menunduk, terlihat malu dan menyesal. “Kami tidak ingin membebanimu dengan masalah ini. Kami berpikir bisa menyelesaikannya sendiri, tapi keadaan semakin memburuk.”
Lily merasa seluruh dunianya runtuh. Pikiran tentang masa depan yang cerah dan bebas dari kekhawatiran finansial tiba-tiba terasa sangat jauh. “
"Apa yang akan terjadi sekarang?” tanyanya dengan ketakutan yang nyata.
Ayahnya menghela napas panjang. “Kami sedang mencoba mencari jalan keluar, tapi kami harus memberitahumu karena kemungkinan besar kamu akan terlibat dalam proses ini. Keluarga Sterling sangat berpengaruh, dan kami harus bekerja sama dengan mereka untuk menemukan solusi.”
Lily hanya bisa duduk terpaku, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja menghantamnya. Dunia yang selama ini ia kenal terasa seperti berubah dalam sekejap. Keluarga Sterling, hutang sepuluh milyar, dan masa depan yang tidak pasti—semuanya membuatnya merasa terjebak dalam mimpi buruk yang tidak berkesudahan.
Suasana di ruang makan berubah menjadi sunyi setelah pengakuan yang mengejutkan itu. Lily masih terpaku di kursinya, matanya terpaku pada meja kayu di depannya. Ia berusaha memahami bagaimana keluarganya bisa terjerumus dalam situasi ini tanpa ia sadari sedikit pun.
Ayahnya, Pak Hendra, menatap putrinya dengan penuh penyesalan. Matanya yang biasanya penuh kehangatan kini tampak suram, seakan beban dunia ada di pundaknya. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah-olah mencari kekuatan untuk melanjutkan percakapan yang sulit ini.
"Lily," suaranya lembut namun penuh dengan rasa bersalah, "kami benar-benar minta maaf karena menyembunyikan ini darimu. Papa dan Mama hanya ingin melindungimu, menjaga agar kamu bisa fokus pada sekolah dan masa depanmu tanpa harus memikirkan masalah keluarga."
Lily mengangkat kepalanya perlahan, matanya bertemu dengan mata ayahnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan mulai menggenang, membuat pandangannya kabur. "Kenapa harus sebesar itu, Pa? Kenapa harus sepuluh milyar?" tanyanya dengan suara bergetar.
Pak Hendra menunduk, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Waktu itu, usaha kita benar-benar berada di ambang kehancuran. Kami tidak punya pilihan lain selain meminjam uang dalam jumlah besar. Kami pikir dengan itu, kami bisa membalikkan keadaan. Tapi nyatanya, semuanya semakin rumit."
Ibu Lily, Bu Tari, yang sejak tadi diam, kini menggenggam tangan suaminya dengan erat. "Kami tidak pernah bermaksud menyusahkanmu, Nak. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," tambahnya dengan air mata yang mulai menetes di pipinya.
Papanya kemudian menggenggam tangan Lily dengan lembut, tatapannya penuh harap. "Lily, ada satu hal lagi yang ingin Papa katakan. Dalam situasi seperti ini, kita harus siap menghadapi kemungkinan terburuk. Keluarga Sterling bukanlah orang yang mudah berurusan. Jika semuanya berjalan tidak sesuai harapan, Papa ingin kamu tahu bahwa apapun yang terjadi, itu bukan salahmu."
Lily mengerutkan kening, tidak mengerti arah pembicaraan ayahnya. "Apa maksud Papa?"
Pak Hendra menghela napas panjang, suaranya semakin berat. "Mungkin ada konsekuensi yang harus kita hadapi, dan itu bisa berarti kehilangan banyak hal, termasuk rumah kita atau bahkan lebih dari itu.Papa hanya ingin kamu siap dan tidak menyalahkan dirimu sendiri atas apa yang mungkin terjadi."
Kata-kata ayahnya membuat hati Lily terasa hancur. Ia tidak bisa membayangkan kehilangan rumah mereka atau melihat keluarganya menderita karena hutang yang begitu besar. "Tapi, Pa... apakah kita tidak bisa mencari cara lain? Apakah kita benar-benar tidak punya pilihan?" tanyanya putus asa.
Papanya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Kami akan terus berusaha mencari jalan keluar, Nak. Tapi dalam prosesnya, kita harus kuat dan siap menghadapi segala kemungkinan. Ayah hanya ingin kamu tahu bahwa kita semua ada di sini bersama, dan kita akan melalui ini bersama-sama."
Lily merasakan air matanya mengalir deras. Ia memeluk ayahnya erat-erat, merasakan kehangatan dan keamanan yang ia butuhkan saat ini. "Papa, Mama, aku akan selalu bersama kalian. Apapun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama-sama."
Pak Hendra dan Bu Tari saling berpelukan dengan Lily di antara mereka, merasakan kehangatan keluarga yang sejenak menghapus kekhawatiran mereka. Meskipun masa depan tampak gelap dan penuh ketidakpastian, mereka tahu bahwa kekuatan cinta dan kebersamaan akan menjadi cahaya yang membimbing mereka melalui masa-masa sulit ini.
Lily melepaskan pelukan, dia pun segera menghapus air matanya.Gadis cantik itu beranjak pergi menuju ke taman belakang rumahnya.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang?"gumam Lily.
"Utang itu terlalu besar."
Lily benar benar bingung untuk menyelesaikan masalah orang tuanya ini.Dia tak memiliki uang dengan nominal sebesar itu.Gadis cantik itu membuang napas berat, berusaha menenangkan dirinya.
Xander Sterling mendekati rumah sederhana milik Lily dengan langkah penuh percaya diri. Rumah itu, yang terletak di pinggir kota, tampak tenang di bawah sinar matahari sore. Xander, dengan setelan jas hitamnya yang rapi dan dasi merah menyala, tampak mencolok di lingkungan yang sederhana ini. Matanya menatap lurus ke depan, bibirnya menyunggingkan senyum penuh kesombongan. Dia mengangkat tangannya, menekan bel pintu dengan keras.
Beberapa detik kemudian, pintu rumah terbuka, menampilkan sosok Lily yang terkejut melihat siapa tamunya. Lily, yang mengenakan kaus sederhana dan celana jeans, tampak cemas namun berusaha menutupi kegugupannya dengan senyum dipaksakan.
"Tuan Xander," sapanya.
"Apa yang membawamu ke sini?"
Xander melangkah masuk tanpa diundang, memaksakan dirinya ke dalam rumah Lily. Dia berjalan ke ruang tamu kecil yang sederhana dan duduk di sofa yang tampak sudah agak tua. Lily mengikutinya dengan cemas.
"Langsung ke intinya saja, Lily," Xander memulai dengan nada dingin, "Aku datang untuk membicarakan hutang keluargamu yang 10 miliar itu."
Wajah Lily pucat seketika. Dia mencoba menguasai diri dan duduk di seberang Xander. "Aku tahu,tuan."
Aku sedang berusaha untuk melunasinya. Beri aku sedikit waktu lagi."
Xander menyeringai, senyum angkuh yang menghiasi wajah tampannya. "Waktu? Kamu sudah punya banyak waktu, Lily. Keluargamu sudah menunda-nunda terlalu lama. Aku tidak sabar lagi. Bisnis tidak menunggu orang yang lemah dan lamban."
Nada bicara Xander tajam dan penuh ejekan. Lily menghela napas, merasa tekanan yang semakin berat di pundaknya. "Aku benar-benar sedang berusaha. Kami butuh sedikit lebih banyak waktu untuk menjual beberapa aset."
"Menjual aset? Di tempat seperti ini?" Xander melirik sekeliling ruang tamu yang sederhana dengan ekspresi meremehkan. "Sudah terlambat untuk itu. Kamu tahu apa yang aku inginkan, Lily. Aku ingin uangku sekarang, atau aku akan mengambil sesuatu yang lebih berharga darimu."
Lily menegakkan tubuhnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Apa maksudmu, Xander?"
Xander mendekat, menatap mata Lily dengan tatapan menusuk. "Aku ingin kamu, Lily. Menjadi istriku. Itulah cara satu-satunya untuk melunasi hutang keluargamu."
Lily terkejut dan mundur beberapa langkah, mulutnya terbuka tanpa kata. "Apa? Itu tidak masuk akal, Xander. Kamu tidak bisa memaksaku menikah denganmu."
Xander berdiri, mendekatkan dirinya ke Lily, membuatnya merasa terpojok. "Oh, tapi aku bisa, dan aku akan melakukannya. Kamu tahu aku punya kekuasaan dan pengaruh. Jika kamu tidak setuju, keluargamu akan kehilangan segalanya. Rumah ini, reputasimu, semua yang kalian miliki."
Lily merasakan ketakutan yang mendalam, tetapi dia juga merasa marah atas sikap arogan Xander.
"Kamu tidak bisa memaksaku begitu saja. Aku punya hak untuk memilih, Xander."
"Pilihanmu sangat sederhana, Lily," kata Xander dengan nada yang lebih dingin. "Menikah denganku dan hutang keluargamu akan lenyap, atau aku akan menghancurkan hidupmu dan keluargamu. Kalian tidak akan punya apa-apa lagi, bahkan tempat untuk berlindung."
Lily terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia merasa terjebak, tak ada jalan keluar. "Berikan aku waktu untuk memikirkan ini," akhirnya dia memohon.
Xander menyeringai lagi, kali ini lebih puas. "Baiklah, aku akan memberimu waktu seminggu. Tapi ingat, Lily, ini bukanlah tawaran yang bisa kamu tolak begitu saja. Pikirkan baik-baik."
Dengan itu, Xander berbalik dan meninggalkan rumah Lily, membiarkannya dalam kebingungan dan keputusasaan. Suara derap kakinya yang mantap menghilang di kejauhan, sementara Lily terduduk lemas, memikirkan nasibnya yang terancam. Ruang tamu yang sederhana tiba-tiba terasa dingin dan sunyi, mencerminkan kekosongan dan kecemasan yang kini merajai hati Lily.
Saat Lily terduduk di sofa, memikirkan nasibnya, suara pintu yang terbuka membuyarkan pikirannya. Ibunya, dengan wajah penuh kekhawatiran, masuk ke ruang tamu.
"Apa yang terjadi, Lily? Siapa yang datang tadi?" tanya ibunya dengan suara gemetar.
Lily menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Itu Xander Sterling, Bu. Dia datang untuk menagih hutang 10 miliar yang kita punya."
Ibunya terkejut dan terduduk di kursi terdekat. "Apa yang dia katakan?"
Lily menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan. "Dia ingin aku menikah dengannya untuk melunasi hutang kita. Kalau tidak, dia akan mengambil semua yang kita miliki."
Ibunya terdiam sejenak, lalu memegang tangan Lily dengan erat. "Lily, kita harus mencari cara lain. Kamu tidak bisa menikah dengan orang seperti dia. Kita akan mencari jalan keluarnya bersama."
Lily hanya bisa mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri meski hatinya dipenuhi oleh ketakutan dan kebingungan. Suasana rumah yang sederhana itu menjadi semakin sunyi, mencerminkan beban berat yang kini mereka hadapi.
Selama beberapa hari setelah kunjungan Xander, Lily hidup dalam ketidakpastian dan kecemasan. Setiap malam, dia merenung, mencoba mencari jalan keluar yang tidak melibatkan dirinya terjebak dalam pernikahan dengan pria angkuh seperti Xander Sterling. Namun, semakin dia mencari, semakin dia menyadari bahwa tak ada pilihan lain. Keluarganya sudah tenggelam dalam hutang yang terlalu besar untuk dilunasi tanpa bantuan drastis.
Di hari terakhir sebelum batas waktu yang diberikan Xander, Lily merasa semakin terdesak. Ibunya, yang menyadari beban yang ditanggung putrinya, duduk bersamanya di ruang tamu yang sederhana.
"Lily," kata ibunya lembut, "Kamu sudah mencoba yang terbaik. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita, maka kamu harus melakukannya."
Lily menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak pernah membayangkan akan menikah dengan seseorang seperti Xander, Bu. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan kita kehilangan segalanya."
Dengan keputusan yang berat di hati, Lily mengangkat telepon dan menghubungi Xander. Suara di seberang sana terdengar dingin dan penuh kemenangan saat dia mengucapkan salam.
"Lily, aku tahu kamu akan menelepon. Jadi, apa keputusanmu?" tanyanya tanpa basa-basi.
Lily menarik napas dalam-dalam. "Aku setuju untuk menikah denganmu, Xander. Tapi aku punya syarat."
Xander tertawa kecil. "Syarat? Baiklah, Lily. Aku mendengarkan."
"Kamu harus memastikan keluargaku tidak akan pernah mengalami kesulitan lagi. Dan kamu harus menghormati mereka, seperti halnya aku."
Xander terdiam sejenak sebelum menjawab, "Deal. Kita akan menikah secepatnya. Bersiaplah, Lily."
Hari pernikahan tiba dengan cepat, jauh lebih cepat dari yang Lily inginkan. Upacara berlangsung di sebuah gereja kecil yang dihias dengan bunga-bunga mewah dan dekorasi elegan yang tidak sesuai dengan latar belakang sederhana Lily. Keluarga Sterling telah mengatur semuanya dengan sangat mewah, seolah ingin menegaskan kekuasaan dan kekayaan mereka.
Lily mengenakan gaun pengantin putih yang indah, tapi berat di pundaknya terasa lebih seperti beban daripada kebahagiaan. Ketika dia berjalan menyusuri lorong, langkahnya terasa berat dan hati kecilnya berbisik bahwa ini bukanlah pernikahan yang diimpikannya sejak kecil.
Xander berdiri di altar, mengenakan setelan jas hitam yang elegan. Senyumnya penuh kepuasan melihat Lily mendekat. Dia tahu bahwa dia telah memenangkan permainan ini. Ketika Lily tiba di hadapannya, dia meraih tangannya dengan cengkeraman yang erat, hampir seperti tanda kepemilikan.
Pendeta memulai upacara, membaca janji suci dengan suara tenang dan khidmat. Lily mendengarkan dengan setengah hati, matanya terpaku pada Xander yang tampak begitu angkuh dan penuh percaya diri. Ketika saatnya tiba untuk mengucapkan janji, Lily melakukannya dengan suara yang bergetar, tetapi cukup kuat untuk terdengar.
"Aku, Lily, menerima kamu, Xander, sebagai suami sahku, untuk mencintai dan menghormati, dalam suka dan duka, dalam keadaan sehat dan sakit, hingga maut memisahkan kita."
Xander mengucapkan janji yang sama dengan suara yang mantap dan percaya diri. Ketika pendeta mengumumkan mereka sebagai suami istri, Xander menarik Lily dalam pelukan yang kaku dan memberikan ciuman singkat di bibirnya, seolah menunjukkan kepemilikannya kepada semua orang yang hadir.
Setelah upacara selesai, mereka menuju resepsi yang diadakan di ballroom mewah. Lily merasa terasing di tengah kerumunan tamu yang sebagian besar adalah rekan bisnis dan teman-teman keluarga Sterling. Dia tersenyum dan berbicara dengan sopan, tetapi hatinya terasa hampa. Xander, di sisi lain, tampak menikmati sorotan, berbicara dengan angkuh tentang masa depan mereka.
Di tengah malam yang penuh kemewahan itu, Lily mencari penghiburan dengan memandang ke luar jendela, ke arah langit malam yang gelap. Dia tahu bahwa hidupnya telah berubah selamanya, dan meskipun dia tidak yakin tentang apa yang akan datang, dia bertekad untuk tetap kuat demi keluarganya.
Ketika pesta akhirnya usai, Xander membawa Lily ke rumah baru mereka, sebuah mansion besar yang tampak seperti istana dibandingkan rumah sederhana keluarganya. Saat mereka tiba di kamar tidur yang luas, Lily merasa cemas dan tidak nyaman. Xander mendekatinya, tatapannya penuh arti.
"Lily, mulai malam ini, kamu adalah istriku. Kamu tahu apa yang aku harapkan darimu," katanya dengan nada tegas.
Lily menelan ludah, merasa takut tetapi berusaha tetap tegar. "Aku tahu, Xander."
Dengan berat hati, Lily mencoba menerima nasib barunya sebagai istri Xander. Meskipun pernikahan ini didasarkan pada paksaan dan hutang, dia berharap suatu hari nanti dia bisa meluluhkan Xander.
Setelah mengganti pakaian, Lily pun menerima berkas dari Xander, suaminya.Gadis itu pun mulai menandatangani surat perjanjian di antara keduanya.
"Sudah." jawab Lily yang langsung memberikan surat itu yang diterima Xander.Pria itu segera menyimpannya ke dalam laci.
Setelah itu dia kembali duduk di sofa berhadapan dengan Lily dengan pandangan datar.
"Aku tak akan meminta hakku padamu, jadi jangan kepedean!"tegasnya.
" Baiklah, aku akan mengingatnya tuan Xander."jawab Lily mantap.
"Bagus Serenity Lily!" jawab Xander dengan seringai miring.
Setelah menandatangani surat perjanjian pernikahan mereka di kamar mewah Xander, suasana ruangan terasa tegang dan hening. Lily duduk di ujung ranjang yang luas, merasa kelelahan dan hampa setelah segala peristiwa yang baru saja terjadi. Xander berdiri di dekat jendela besar, tatapannya melayang-layang di luar kegelapan malam.
Lily menatap surat perjanjian di tangannya, memikirkan konsekuensi dari keputusannya untuk menikahi Xander demi melunasi hutang keluarganya. Meskipun dia tahu bahwa itu adalah satu-satunya jalan keluar, dia masih merasa tercekik oleh rasa sesak di dadanya.
Xander akhirnya berbalik, langkahnya yang mantap memecah keheningan. Dia melangkah mendekati Lily, ekspresinya keras dan berwibawa. "Lily, aku harap kamu menyadari betapa seriusnya situasi ini. Kita berdua tahu apa yang diharapkan dari pernikahan ini."
Lily mengangguk, tetapi tidak bisa menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi yang terlihat lelah dan tertekan. "Aku tahu, Xander. Aku akan melakukan yang terbaik."
Xander mengangguk, tetapi ekspresinya menjadi lebih serius. "Ada satu hal yang perlu kamu ingat, Lily."
"Aku melarangmu untuk jatuh cinta padaku."
Lily terkejut mendengarnya. Dia menatap Xander dengan kebingungan, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. "Apa? Mengapa kamu berkata begitu, Xander?"
Xander menjawab dengan raut datar. "Karena pernikahan kita didasari oleh kepentingan bisnis dan kesepakatan finansial. Aku tidak ingin ada ruang untuk perasaan cinta di antara kita. Jatuh cinta hanya akan menyulitkan segalanya."
Lily merasa sedih dan kecewa mendengar kata-kata itu. Meskipun dia merasa tidak mungkin jatuh cinta pada Xander, larangan itu membuatnya merasa terbatas dan tidak diakui sebagai individu dengan perasaan.
"Dengan senang hati, Xander," jawab Lily dengan suara yang redup, meskipun hatinya dipenuhi oleh kekecewaan yang mendalam.
Xander mengangguk sekali lagi, seolah memastikan bahwa pesannya diterima dengan baik.
"Baiklah, Lily. Ayo kita berusaha membuat pernikahan ini berjalan sesuai rencana."
Lily menyetujui dengan cepat, berusaha menyembunyikan perasaan campur aduk di dalam dirinya. Meskipun dia tidak berniat untuk jatuh cinta pada Xander, larangan itu membuatnya merasa terjaga dan waspada terhadap setiap perasaan yang mungkin muncul.
Dengan kata-kata terakhir itu, Xander berbalik dan meninggalkan Lily sendirian di kamar mewah itu. Lily duduk di ranjang, merasa lebih sendirian dari sebelumnya.
Dia merasakan seutas dinding yang terbangun di antara mereka, menghalangi kemungkinan untuk membuka hati dan menemukan cinta yang sejati. Meskipun dia berusaha untuk menerima larangan Xander, Lily merasa berat untuk menahan perasaannya sendiri, terkungkung dalam kehampaan dan kesedihan yang melilit hatinya.
Setelah Xander meninggalkan kamar, Lily duduk termenung di atas ranjang yang luas dan mewah. Kamar itu dihiasi dengan perabotan mahal dan dekorasi yang elegan, tetapi semua kemewahan itu tidak mampu menghapus perasaan hampa yang ia rasakan. Lily menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan dalam dirinya.
Dia memandangi surat perjanjian yang baru saja mereka tanda tangani. Perjanjian yang mengikat dirinya dalam sebuah pernikahan tanpa cinta, hanya demi melunasi hutang keluarganya yang tak tertanggungkan. Larangan Xander untuk jatuh cinta hanya menambah perasaan terisolasi dan terkekang. Namun, di dalam hatinya, Lily tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain.
Lily bangkit dari ranjang, melangkah pelan menuju jendela besar yang menghadap ke taman luas di belakang mansion. Angin malam yang sejuk menyapa wajahnya ketika dia membuka jendela, membawa aroma bunga-bunga yang mekar di bawah cahaya rembulan. Meskipun pemandangan itu indah, Lily merasa seperti burung dalam sangkar emas, terperangkap dalam kehidupan yang tidak ia pilih.
Setelah beberapa saat, Lily memutuskan untuk bersiap tidur. Dia menukar gaun pengantinnya dengan piyama sutra yang nyaman. Ketika dia berbaring di atas ranjang yang empuk, pikirannya melayang pada keluarganya. Dia berharap keputusan yang diambilnya ini akan membawa kesejahteraan dan ketenangan bagi mereka.
Namun, tidur tidak datang dengan mudah. Pikiran tentang Xander dan pernikahan mereka yang aneh terus mengganggunya. Xander dengan sikapnya yang dingin dan angkuh, jelas tidak menginginkan hubungan emosional apapun dengan dirinya. Dan Lily, meskipun awalnya tidak berniat jatuh cinta, merasa terbebani oleh ketentuan tegas yang diberlakukan Xander.
Sementara itu, di sisi lain mansion, Xander duduk di ruang kerjanya. Dia menatap ke arah perapian yang menyala, pikirannya sibuk dengan berbagai rencana bisnis dan strategi.
Tapi bayangan Lily terus menyelinap masuk ke dalam pikirannya. Meskipun dia berusaha keras untuk tetap bersikap dingin dan profesional, ada sesuatu tentang Lily yang membuatnya merasa sedikit terusik.
Malam semakin larut, dan akhirnya Lily memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kelelahan yang menumpuk. Dia tahu bahwa hari-hari mendatang akan penuh dengan tantangan, tetapi dia bertekad untuk tetap kuat demi keluarganya dan masa depan mereka.
Pagi berikutnya, cahaya matahari masuk melalui celah tirai kamar, membangunkan Lily dari tidurnya yang gelisah. Dia bangkit perlahan, menyadari sepenuhnya bahwa ini adalah hari pertama dari hidup barunya sebagai istri Xander Sterling. Dengan hati yang berat, namun penuh tekad, dia bersiap menghadapi hari dan segala tantangan yang akan datang.
Saat Lily keluar dari kamar, dia bertemu dengan Xander yang sudah rapi dengan setelan jas, siap untuk berangkat kerja. Mereka bertukar pandang sejenak sebelum Xander berbicara.
"Pagi, Lily. Aku akan pergi ke kantor. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kita akan membicarakan rencana kita malam nanti."
Lily mengangguk, mencoba tersenyum meskipun hatinya masih terasa berat.
"Pagi, Xander. Baik, aku akan menunggu."
Xander mengangguk sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Lily sendiri. Lily menghela napas dan berjalan menuju dapur, berharap menemukan sesuatu untuk dilakukan agar bisa mengalihkan pikirannya dari kenyataan yang baru saja dimasukinya. Di dapur, ia bertemu dengan beberapa staf rumah tangga yang menyambutnya dengan ramah, meskipun sedikit canggung karena status barunya sebagai nyonya rumah.
Hari itu berlalu dengan lambat bagi Lily. Dia berusaha mengenal rumah barunya, berbicara dengan staf, dan mencoba menemukan cara untuk merasa lebih nyaman. Meskipun rumah itu indah dan penuh dengan fasilitas mewah, Lily merasa seperti orang asing di tempat yang asing.
Malam tiba, dan seperti yang dijanjikan, Xander pulang lebih awal dari biasanya. Mereka duduk di ruang makan untuk makan malam yang sunyi, hanya diiringi suara alat makan yang berbenturan.
Setelah makan malam, Xander mengajak Lily ke ruang tamu untuk berbicara. Dia duduk di sofa dengan ekspresi serius, dan Lily duduk di seberangnya, merasa cemas tentang apa yang akan dibicarakan.
"Lily, seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, pernikahan ini adalah kesepakatan bisnis."
"Aku berharap kamu bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di sini dan menjalankan peranmu dengan baik," kata Xander dengan nada tegas.
Lily mengangguk pelan. "Aku akan berusaha, Xander."
Xander menatap Lily sejenak sebelum melanjutkan, "Bagus. Aku juga ingin kamu tahu bahwa meskipun ini adalah pernikahan tanpa cinta, aku tetap mengharapkan kita bisa bekerja sama dengan baik. Aku tidak ingin ada konflik atau masalah yang bisa mengganggu tujuan kita."
Lily mengerti maksud Xander dan berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyamannya.
"Aku paham, Xander. Aku akan melakukan yang terbaik untuk memastikan semuanya berjalan lancar."
Xander mengangguk, tampak puas dengan jawaban Lily. "Baiklah. Jika ada yang kamu butuhkan atau ingin dibicarakan, jangan ragu untuk memberitahuku."
Setelah percakapan singkat itu, Xander bangkit dan menuju ruang kerjanya, meninggalkan Lily di ruang tamu yang luas dan sunyi. Lily duduk sejenak, mencoba mencerna semua yang baru saja dibicarakan. Dia tahu bahwa hidupnya kini berada di bawah aturan dan kendali Xander, tetapi dia bertekad untuk tetap kuat dan menemukan cara untuk bertahan.
Lily bangkit dan berjalan ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya. Dia berdiri di dekat jendela, menatap bintang-bintang di langit malam yang cerah. Dalam hati, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa meskipun pernikahan ini tidak didasari oleh cinta, dia akan menemukan cara untuk menciptakan kebahagiaan dan arti dalam hidupnya sendiri.
Dengan tekad yang baru, Lily memejamkan mata, mempersiapkan dirinya untuk menghadapi hari-hari mendatang dengan keberanian dan kekuatan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!