Ethan Geraldo, seorang arsitek ternama yang sudah menghasilkan banyak sekali rancangan bangunan-bangunan yang bernilai seni tinggi dan banyak diincar oleh miliarder-miliarder terkemuka. Banyak pengusaha maupun orang-orang kelas elite yang mencari dirinya untuk merancang rumah maupun perusahaan mereka. Ethan suka menambahkan seni yang unik pada setiap rancangan yang dia buat, walaupun begitu dia tentu saja harus mengutamakan keselamatan orang-orang yang akan berada dalam bangunan tersebut.
Ethan tengah terduduk sendirian di dalam kamarnya sambil memandangi sebuah foto ditangannya, didalam foto itu ada seorang anak perempuan dan laki-laki yang sepertinya berusia sekitar 12 tahun, anak perempuan itu memegang raket bulutangkis dan tersenyum lebar sambil sebelah tangannya merangkul anak laki-laki yang terlihat konyol dengan ekspresi kagetnya. Bukan, tentu saja itu bukan foto kedua anaknya, itu foto dirinya, anak laki-laki konyol itu adalah dirinya dan anak perempuan itu adalah seseorang yang ia coba lepaskan. Ethan tak ingin melupakan gadis itu, dia ingin terus memiliki sosok gadis itu dalam ingatannya, setiap yang gadis itu lakukan, namun bagaimana pun juga dia harus mencoba mengkhilaskan dan melepaskannya. Terkadang Ethan membayangkan dirinya menjelajah waktu dan kembali ke masa-masa itu, namun bahkan jika hal gila itu sungguh terjadi, tak ada yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkannya, menjauhkan gadis itu dari kematiannya.
“Barang-barang sudah diangkut kedalam mobil” seorang wanita manis dan cantik menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang awalnya tertutup membuat Ethan sedikit terlonjak kaget.
“Baiklah Emy aku akan turun” kata Ethan pelan lalu bangkit dari duduknya mendekati wanita itu. Hari ini mereka akan pindah rumah, mereka akan pindah ke luar provinsi, pindah ketempat yang jauh dari sini meninggalkan semua kenangan yang tertinggal disini. Di tempat ini Ethan lahir dan besar, dia juga menciptakan banyak kenangan manis maupun pahit disini, dia menghabiskan setengah hidupnya di tempat ini. namun Ethan merasa ini waktu yang tepat untuk bergerak maju dan berada ditempat baru agar dia bisa menciptakan kenangan baru yang mungkin lebih baik.
Ethan mengendong anak perempuannya yang berusia 7 tahun dan membawanya ke dalam mobil.
“papa apa disana akan ada teman baru?” tanya gadis kecil itu dengan tatapan polos.
“tentu saja Mini, disana kamu akan mendapatkan banyak teman baru” Ethan mengecup kening Jasmine membuat gadis itu tersenyum manis sambil memeluk boneka beruang cokelatnya lebih erat.
“aku akan bicara dengan pak Mahmet sebentar” katanya pada Emy, istrinya setelah itu berlalu mendekati pria setengah baya yang merupakan supir pick up yang membawa barang-barangnya. Setelah beberapa saat, dia masuk ke dalam mobil BMW itu, mulai menyalakan mesinnya dan melaju meninggalkan rumah itu.
“kamu baik-baik saja?” tanya Emy.
“tentu saja, memangnya kenapa aku tidak baik?!” Ethan menjawab bahkan tanpa menatap istrinya itu.
Mobil Ethan melambat saat dia melewati sebuah cafe di persimpangan jalan, cafe bergaya vintage dengan dominasi warna cokelat kayu itu selalu menarik perhatian Ethan. Pria itu dapat mencium aroma kopi dari sana, aroma yang tak pernah berubah bahkan setelah semua hal telah berubah. Seiring dengan aroma kopi itu, ingatan Ethan kembali ke beberapa tahun yang lalu, saat hidup tampak mudah dan manis, saat dia merasa begitu bebas dan hidup.
Ethan satu-satunya orang yang mengingat kenangan itu di dalam mobil ini, hanya dia yang dipenuhi oleh memori indah namun menyakitkan itu, sedangkan istri dan anaknya mulai terlelap tidur, tentu saja mereka akan tidur karena ini akan menjadi perjalanan panjang. Jika boleh jujur Ethan bahkan masih tidak yakin dia hidup dengan baik walaupun sudah berusia 36 tahun. Dia memang mendapatkan banyak hal, keberhasilan, ketenaran, uang, keluarga yang bahagia dan harmonis, ada banyak hal yang bisa ia syukuri dalam hidup ini. namun Ethan juga tak ingin menipu dirinya sendiri bahwa ada bagian dirinya yang masih merasa kosong, sosoknya yang tengelam paling dalam masih merasa sangat beku dan hampa, seperti sesuatu dalam dirinya menghilang dan tak dapat ia temukan kembali.
Ethan yang baru berusia 8 tahun berjalan dengan lesu menyusuri jalanan dengan kepala menunduk, seragam sekolahnya kotor dan wajah memiliki beberapa lembam. Ethan menghentikan langkahnya saat melihat seorang gadis kecil yang sepertinya sebaya dengannya atau bahkan lebih muda. Gadis itu tengah bermain dengan seekor kucing liar, kucing itu terlihat senang dielus-elus oleh tangan kecil gadis itu. Ethan hanya berpikir itu hal konyol, gadis konyol yang bermain dengan kucing konyol. Dia melanjutkan langkahnya dan kembali menunduk, menatap ujung sepatunya yang bergantian seiring langkahnya.
Setelah berjalan tak seberapa jauh, Ethan kembali berbalik pada gadis dan kucing itu karena mendengar suara ribut-ribut. Ia melihat gadis yang bermain dengan kucing itu tengah dimarahi oleh seorang wanita paruh baya yang sepertinya ibunya. Wanita itu bahkan menarik rambut gadis itu dan berteriak-teriak tepat diwajahnya dan gadis itu bahkan tidak menangis sedikitpun. Ethan kaget dan kembali menatap lurus kedepan saat mata gadis itu bertemu pandang dengannya. Tak ada yang bisa ia lakukan dan Ethan takut pada wanita paruh baya itu, jadi dia mencoba mengabaikan gadis itu dan kembali berjalan.
Ethan yang masih kelas 2 SD itu sangat membenci sekolah, dia membenci semua orang yang ada disekolahnya bahkan guru-guru yang terkesan acuh tak acuh. Ethan melepaskan sepatunya dan melangkah memasuki rumah.
“Aku pulang!” katanya namun hanya disambut kesunyian, tentu saja akan sunyi. Ibunya masih bekerja dan akan kembali tengah malam. Dia hanya tinggal berdua saja dengan ibunya, ayahnya dipenjara karena penganiayaan rumah tangga dan penggunaan narkotika. Ethan menjatuhkan tasnya ke lantai dan masuk kedapur. Di kulkas ada masakan yang dibuat ibunya tadi malam dan dia hanya perlu memanaskannya jika dia ingin makan. Ada banyak catatan yang tertempel di kulkas, catatan itu tidak dimaksudkan untuk dirinya, ibunya memang suka menulis catatan dan menempelkannya agar dia tidak melupakan hal-hal yang perlu dia lakukan.
Ethan membaca catatan baru yang ditempel tadi pagi.
Belanja bulanan dan mengirimi ibu uang.
Sepanjang ingatan yang Ethan miliki dia jarang bertemu dengan nenek dan kakeknya walaupun begitu ibunya secara rutin mengirimi mereka uang. Ibu Ethan bekerja sebagai pegawai biasa di perusahaan kecil dan gajinya tak seberapa banyak. Ethan berharap dia bisa melakukan sesuatu agar ibunya tak perlu bekerja terlalu keras dan menanggung semuanya sendirian, terkadang Ethan membenci kebodohan ibunya untuk menikahi pria pencundang tak berguna. Dengan helaan napas pelan, Ethan pergi ke balkon dan mengangkat kain-kain yang dijemur disana dan melipatnya dengan rapi. Saat tengah berkutat dengan pakaian-pakaian itu, ingatannya kembali pada gadis kucing tadi, tatapannya seperti berharap Ethan untuk tidak pergi dari sana, seperti gadis itu ingin dirinya tetap disana dan menemaninya, wanita tadi sangat menakutkan dan terus saja menjambak gadis itu.
Ethan tidak hanya berdiam diri di rumah, dia terkadang akan membawa hewan peliharaan para tetangga jalan-jalan atau mengurus mereka saat pemiliknya pergi. Dari situ dia akan mendapat sedikit uang yang akan dia tabung untuk keperluan sekolahnya, dia tidak ingin ibunya menanggung semuanya dan dia sebisa mungkin ingin membantu satu-satunya orang dalam hidupnya itu. keadaan memang memaksa Ethan untuk tumbuh dewasa lebih cepat dari usianya, saat anak-anak lain bermain dengan bebas dan memiliki banyak mainan, dia harus memikirkan banyak hal dan menahan diri. Sebisa mungkin Ethan tidak menangis walaupun dia berharap bisa melakukannya agar ibunya tidak khawatir dan dia tidak ingin merepotkan ibunya itu. bahkan saat dirinya di bully di sekolah hanya karena ayahnya yang seorang penjahat, Ethan tak ingin menangis dan mengeluh, dia bisa menanggungnya sendiri.
Sore ini Ethan harus membawa seekor anjing jalan-jalan, menurut Ethan lebih mudah membawa anjing jalan-jalan daripada kucing, walaupun begitu dia harus melakukannya terkadang. Mereka pergi ke lapangan terbuka, Ethan membiarkan anjing itu bermain dengan bolanya dan dia hanya duduk di bawah pohon agar teduh, walaupun sudah sore sinar matahari masih bersinar terlalu panas. Terkadang Ethan akan memperhatikan anjing itu agar tak jauh-jauh darinya, namun dia hanya menghabiskan waktu membaca buku.
Ethan mengangkat kepalanya dan memperhatikan seseorang duduk di sampingnya secara tiba-tiba.
“wajahmu jelek sekali” komentar gadis itu sambil memperhatikan anjing yang dibawa Ethan. Pria kecil itu kaget karena orang yang duduk di sampingnya saat ini adalah gadis yang dia lihat di depan cafe di persimpangan jalan saat pulang sekolah tadi, namun kekagetan Ethan terganti menjadi kesal dengan cepat karena mendengar komentar gadis itu.
“tidak berbeda jauh dengan wajahmu” Ethan kaget dengan perkataannya sendiri dan di detik berikutnya dia merasa menyesal telah mengatakannya.
“itu benar, sama seperti wajahku, mungkin itu kenapa kita harus jadi teman” tidak ada ekspresi tersinggung di wajahnya yang penuh luka-luka, alih-alih dia malah tersenyum dengan manis.
“Aku Jihan” gadis itu melompat berdiri lalu menjulurkan tangannya ke depan Ethan. Ethan bangun dengan perlahan, menyapu celananya yang kotor dengan tangannya lalu menatap gadis itu binggung.
“Ethan” pria kecil itu menyambut tangan Jihan walaupun merasa ragu.
Jihan adalah gadis yang ceria, orang yang paling ceria yang pernah Ethan lihat. Dia sangat cerewet dan membicarakan banyak hal, Jihan orang yang sangat ribut namun setiap kali dia tertawa entah bagaimana tawanya selalu bisa menular pada Ethan. Mereka berjalan beriringan dengan anjing itu di tengah-tengah mereka.
“jadi kamu harus memukul mereka dengan tendangan super” kata Jihan sambil mengepalkan tangannya dan mengayunkannya ke sembarang arah.
“aku tak ingin memukul mereka, panggil power rangers saja” balas Ethan asal.
“norak sekali, aku tak suka power rangers”
Mereka terus berjalan sambil berbincang hingga mereka sampai di depan gang.
“sampai jumpa” kata Jihan sambil meninju dengan pelan lengan Ethan lalu gadis itu berlari kearah gang itu.
“tunggu tunggu” bahkan sebelum Ethan pergi dari sana, Jihan berlari kembali mendekati Ethan.
“aku hampir saja lupa, ini sebagai tanda kita sudah berteman” Jihan menarik tangan Ethan dan meletakan plaster bergambar di telapak tangannya lalu kembali berlari ke dalam gang itu. setelah sosok Jihan tidak terlihat lagi oleh pandangan Ethan, dia kembali melangkah untuk mengantar anjing itu pulang.
Setelah mandi dan membersihkan dirinya, Ethan mengerjakan PR sekolahnya, dia tidak begitu suka kesepian yang menakutkan itu jadi setiap malam Ethan akan memutar musik untuk memenuhi kamarnya dan menemaninya karena dia tau ibunya tak akan pulang cepat. Walaupun begitu bukan berarti dia tidak pernah menghabiskan waktu bersama ibunya. Wanita itu sangat penyanyang dan pengertian, saat dia punya waktu libur, dia akan membawa Ethan jalan-jalan, makan apapun yang dia suka diluar, ke taman bermain, melakukan apapun yang Ethan sukai, hanya saja waktu libur ibunya itu sangat jarang. Ethan tidak akan mengeluh soal itu, dia tau betapa lelahnya ibunya.
“kamu sudah bangun?!” kata ibunya saat Ethan keluar dari kamar sudah berpakaian rapi dalam balutan seragam sekolahnya.
“eum” Ethan hanya bergumam sambil duduk di meja makan.
“hari ini mama buatkan nasi goreng kesukaan Ethan eum” kata wanita itu sambil meletakan piring berisi nasi goreng dihadapan Ethan.
“ini kenapa lagi sekarang?” tanya ibunya saat melihat wajah Ethan yang babak belur bekas kemarin dia dipukuli anak-anak yang membully nya.
“aku hanya jatuh” kata Ethan berbohong lalu mengalihkan wajahnya kearah lain agar ibunya berhenti menatapnya.
“tidak ada yang memukulimu kan?!” tanya ibunya lagi yang masih khawatir, Ethan menggeleng dan mencoba meyakinkan ibunya.
Mereka sarapan bersama dan setelahnya ibunya akan mengantar Ethan ke sekolah. Jihan tidak bersekolah di sekolah yang sama dengan dirinya, namun Ethan berharap sekolah gadis itu lebih baik dari tempatnya, dia berharap Jihan tidak bersama orang-orang jahat seperti orang-orang yang berada di sekolahnya. Tapi dia tau Jihan punya wanita jahat yang menyiksa nya kemarin dan Ethan tidak bisa melakukan apapun tentang itu.
“sepulang sekolah, jika kamu mau ke suatu tempat kabari mama ya” kata ibunya saat Ethan hendak keluar dari mobil tua mereka, kendaraan satu-satunya yang mereka miliki walaupun sering mogok.
“eum aku akan langsung pulang” balas Ethan lalu menutup pintu mobil dan melangkah memasuki gerbang sekolahnya.
Disekolah semua orang menjauhi Ethan karena menganggapnya penjahat juga, dia sama sekali tidak memiliki seorang teman pun. Guru-guru disana sebenarnya merasa prihatin pada Ethan namun mereka enggan bermasalah dengan para wali murid karena sekolah ini adalah sekolah swasta yang baru dibangun, mereka takut para orang tua yang kaya dan angkuh itu membesar-besarkan masalah ini karena tak ingin mengaku anaknya salah akan memilih untuk pindah ke sekolah lain dan mereka akan kekurangan murid, oleh karena itu sering kali pihak sekolah menutup mata pada perundungan yang dilakukan anak-anak orang kaya itu.
Saat jam makan siang, Ethan memilih makan siang sendirian di UKS, biasanya tak banyak orang yang akan datang ke UKS dan penjaganya juga sangat baik. Saat tengah memakan bekal yang ia bawa, Ethan mengeluarkan plester bergambar itu dari kantong celananya. Teman pertama dan satu-satunya yang Ethan miliki, dia berharap bisa bertemu gadis itu lagi hari ini dan mendengarkan ceritanya yang menyenangkan. Ethan memilih untuk menyimpan plester itu daripada memakainya karena ini adalah tanda sah mereka menjadi teman. Sepulang sekolah Ethan berdiri di depan café yang tak begitu besar dan terdapat banyak tanaman di depannya, café yang di bangun dari kayu dan tetap mempertahankan warna cokelat gelap kayu itu, kemarin dia bertemu Jihan disini dan dia tidak tau apa gadis itu akan muncul disini lagi atau tidak, dia lupa bertanya dimana mereka bisa bertemu.
Seorang perempuan muda berusia awal 20 tahunan keluar dari dalam café, perempuan itu sepertinya pegawai café ini dilihat dari seragam yang ia kenakan. Ethan khawatir perempuan itu akan mengusir dirinya karena hanya berdiri di depan café seperti orang bodoh. Namun berbeda dari yang Ethan bayangkan, perempuan itu malah bersenyum padanya dan berjongkok di depannya.
“disini panas sekali, kamu mau masuk kedalam? Kami punya es krim” perempuan itu mengajak Ethan untuk masuk sambil menggandeng tangan kirinya dengan lembut. Ethan tidak merespon dan hanya berdiri mematung sambil memperhatikan wajah cantik perempuan itu. Ethan tidak tau harus melakukan apa karena dia orang yang kaku, Ethan tak begitu pandai berhadapan dengan orang lain.
“ayo” ajak perempuan itu lagi dan Ethan melangkah bersamanya untuk memasuki café itu. di dalam tak begitu banyak orang, tapi orang-orang yang berada disana terlihat santai dan melakukan urusan mereka masing-masing.
Perempuan itu menuntun Ethan ke sudut café agar bocah kecil itu merasa nyaman lalu mendudukannya di salah satu bangku kayu, di dalam sini jauh lebih dingin dan nyaman daripada di luar.
“tunggu sebentar ya, kakak akan bawakan es krim” katanya lalu hendak pergi namun Ethan menggenggam erat ujung baju perempuan itu membuatnya kembali berbalik menatap Ethan.
“tidak… aku… itu, aku tak punya uang” kata Ethan dengan ekspresi khawatir membuat perempuan itu tertawa karena merasa bocah kecil itu sangat imut, dia bahkan mencubit pipi Ethan gemas.
“aku tidak bilang kamu harus bayar oke” setelah tersenyum sekilas, perempuan itu pergi meninggalkan Ethan.
“Kak Lala kok kucingnya gak ada lagi?!” Ethan bangkit dari duduknya saat melihat Jihan masuk dengan rusuh ke dalam café dan mendekati perempuan itu yang tengah menyendok beberapa rasa es krim.
“mungkin dia pergi cari makan” jawab perempuan itu dengan lembut. Jihan ingin mengatakan sesuatu namun atensinya menangkap sosok Ethan yang masih berdiri seperti orang bodoh di sudut café. Tanpa pikir panjang Jihan berjalan cepat menghampirinya.
“kamu disini?!” tanyanya dengan ceria.
“ah ya… eum…” Ethan bahkan tak tau harus berbicara seperti apa.
Perempuan itu mengintrupsi kedua bocah itu dengan membawa dua cup es krim tiga rasa lalu meletakannya di depan mereka berdua.
“teman barumu?” tanyanya menatap Jihan, gadis itu mengangguk semangat.
“iya kak, namanya Ethan” anak laki-laki itu spontan mengucapkan salam saat dia diperkenalkan.
“hahaha iya, nama kakak Viola panggil saja kak Lala” perempuan itu memperkenalkan diri dengan tawa renyahnya karena merasa kedua bocah itu sangat imut.
“lebih sering datang kesini ya” tambahnya lagi membuat Jihan mengiyakan dengan heboh walaupun itu dimaksudkan pada Ethan karena Jihan tentu saja sudah sering datang ke café nya.
Kak Lala pergi saat seorang pengunjung memanggilnya untuk memesan. Mereka berdua awalnya hanya terdiam sambil memakan es krim masing-masing. Diam-diam Ethan memperhatikan cara Jihan memakan es krimnya, gadis ini benar-benar berantakan, mulutnya belepotan dengan es krim. Ethan berinisiatif untuk bangkit dan berjalan ke meja sebelah untuk mengambil kotak tisu dan meletakannya di depan Jihan. Namun gadis itu hanya memperhatikan tisu itu tanpa berniat mengambilnya. Ethan mengeluarkan selembar tisu dan mengelap mulut Jihan.
“kamu makan berantakan sekali” dia bersikap seperti ibunya saat ini. Jihan tidak mengatakan apapun dan malah mencolek es krim itu ke wajah Ethan.
“kamu makan terlalu bersih” komentar Jihan dengan nada yang sama dengan Ethan barusan.
Tiba-tiba acara makan es krim yang awalnya tenang mulai berubah rusuh, mereka saling mencolek es krim yang lengket itu pada satu sama lain sambil tertawa dan mengejek, beberapa pengunjung yang ada disana memperhatikan mereka sambil menggeleng namun tak ada yang merasa terganggu dengan tingkah kedua anak itu.
“ingatkan aku untuk menulis anak kecil dilarang masuk di pintu depan” kata Viola pelan pada dirinya sendiri sambil mengawasi kedua bocah itu. setelah lelah dengan candaan mereka, Ethan dan Jihan memilih untuk duduk tenang di bangku masing-masing sambil mengelap wajah mereka.
“ouh aku lupa” tiba-tiba Ethan teringat bahwa dia harus menjaga beberapa ekor kucing karena pemiliknya hendak pergi seharian ini. dengan cepat Ethan mengambil tas nya dan bangkit dari duduknya, Jihan juga melakukan hal yang sama walaupun tidak tau sebetulnya Ethan hendak kemana. Mereka berdua mendekati Viola di meja kasir, mengucapkan terima kasih untuk es krimnya lalu keluar dari café tersebut.
“kenapa kamu mengikutiku?” tanya Ethan masih melangkah dan Jihan disampingnya.
“kamu mau kemana?” bukannya menjawab, Jihan malah balik bertanya.
“aku harus menjaga kucing-kucing itu sekarang, sepertinya aku akan terlambat” jawab Ethan sambil terus mempercepat langkahnya.
“ya kamu akan terlambat jika berjalan selambat itu” Jihan mengomel lalu menarik tangan Ethan dan mengajaknya berlari. Ethan tak begitu suka berkeringat, karena itu dia jarang berlari dan semacamnya. Tapi dia tak masalah saat Jihan membuatnya berlari seperti ini, walaupun dia lelah dan sesak napas, dia tidak akan melepaskan tangan gadis itu.
Untuklah mereka sampai tidak terlalu telat, pemilik kucing itu belum pergi dan tak memarahinya karena sedikit terlambat, setelah menyerahkan ke tiga ekor kucing miliknya, pria itu pergi dengan mobilnya meninggalkan kedua bocah itu. Ethan berjalan pelan menuju rumahnya sambil mendorong troli berisi tiga ekor kucing, Jihan masih betah mengikutinya. Ethan mempersilahkan Jihan untuk masuk ke rumahnya dan gadis itu dengan sopan hanya duduk saja. Ethan memberi makan ketiga kucing itu dan membiarkan mereka berkeliaran di dalam rumahnya, dia kedapur dan memanaskan masakan yang sudah disiapkan ibunya tadi pagi.
“kamu mau makan?” tanya Ethan sambil menyusun piring-piring di meja makan, gadis itu mengangguk dengan antusias lalu melesat duduk di salah satu kursi di meja makan itu. setelah meletakan masakan yang dia panaskan dan piring-piring atas meja makan, dia duduk di depan Jihan dan mereka mulai makan.
“enak sekali” komentar Jihan dengan mulut penuh.
“eum, mama yang memasaknya” balas Ethan sambil makan dengan pelan. Mendengar kata mama terucapkan membuat tubuh Jihan bergetar sesaat, tenggorokannya menjadi sakit saat menelan, namun Ethan tak memperhatikan perubahan itu.
Setelah makan mereka hanya berbaring di lantai dengan kucing-kucing yang bermalasan di sekitar mereka.
“jadi dimana mamamu?” tanya Jihan dengan suara pelan, tentu saja Ethan tetap dapat mendengarnya karena mereka tidur berdekatan.
“bekerja… sampai malam, bagaimana denganmu?” Ethan mengoyang-goyang kedua kakinya.
“aku?” Jihan beralih kearah Ethan dengan ekspresi binggung, Ethan hanya mengangguk bahkan tanpa berbalik menatap Jihan, merasa terlalu nyaman dengan posisi baringnya.
“mamaku… entahlah” mendengar keraguan Jihan mengingatkan Ethan pada kejadian kemarin, pasti itu tak nyaman. Ethan bangkit dari baringnya dan mengajak Jihan kekamarnya untuk melihat-lihat mainan yang dia punya. Ethan memang tak punya banyak mainan namun tetap saja dia masih punya beberapa untuk diperlihatkan.
Ada beberapa jenis mobil-mobilan dan robot-robotan khas anak seusianya, namun Jihan tak begitu tertarik dengan sesuatu semacam itu, fokusnya teralih pada beberapa komik conan, tak banyak, hanya ada berapa volume.
“berapa usiamu?” tanya Jihan secara tiba-tiba dan random.
“8” jawan Ethan singkat.
“anak 8 tahun membaca hal semacam ini?” Jihan menampilkan ekpresi aneh yang lucu.
“memangnya kamu usia berapa?” tanya Ethan balik menantang.
“12 tahun” kata Jihan sambil menjulurkan lidahnya mengejek.
“bohong” Ethan tidak terima mulai mencoba menangkap Jihan, namun gadis kecil itu bergerak terlalu lincah dan sulit di tangkap. Mereka terus bermain kejar-kejaran sambil saling mengejek satu sama lain.
Ethan menceritakan pada ibunya dengan semangat tentang temannya, teman yang dia temui beberapa bulan yang lalu. Ibu Ethan tak pernah melihat anaknya bersemangat dan sesenang itu saat membicarakan orang lain membuat wanita itu juga ikut merasa bahagia.
“bagaimana saat sebelum masuk sekolah lagi kita mengajaknya bermain?!” ajak ibu Ethan.
“eum” Ethan menganguk antusias. Mereka akan memasuki tahun ajaran baru dan tanpa terasa dia sudah berada di kelas 3 SD, Jihan yang seusianya juga sama. Ethan senang karena semakin lama dia akan meninggalkan sekolah buruk itu, walaupun masih sedikit agak lama.
Selama libur sekolah yang tak terlalu lama, mereka berdua hampir setiap hari pergi ke café Viola dan tak hanya menikmati es krim saja, mereka juga aktif membantu perempuan itu walaupun hanya pekerjaan remeh saja.
“senangnya kalian rajin” komentar Viola melihat mereka tengah mengelap meja yang sudah ditinggali pelanggan.
“tentu saja” mereka kompak menunjukan senyum lebarnya. Viola sudah menganggap mereka adiknya, dia sering memberi mereka uang saku. Ini tidak seperti memperkerjakan anak dibawah umur, mereka bebas melakukan apapun yang mereka mau di dalam café nya yang tentu saja tidak mengganggu para pelanggannya, dan mereka dengan senang hati membantu kakak mereka itu. Ethan kini menjadi sangat suka dengan aroma kopi yang selalu memenuhi café tersebut. Jika dia pergi ke suatu tempat dan menciup aroma biji kopi, dia akan selalu mengingat café Viola dan semua hal yang mereka lakukan di dalamnya. Mereka berdua juga sering ke lapangan untuk bermain petak umpet dan kejar-kejaran. Untuk pertama kalinya semenjak ayahnya di penjara Ethan dapat berfungsi dengan benar sebagai anak yang berusia 8 tahun dan hampir menginjak usia 9 tahun, untuk pertama kalinya dia memiliki teman untuk berbagi segala hal dan bermain sepuasnya seperti anak lainnya. Dia tak merasa kesepian lagi, walaupun begitu dia tetap bekerja dan menabung untuk membantu ibunya.
Terkadang Ethan dan Jihan akan bertengkar karena banyak hal, dan beberapa pertengkaran besar hingga membuat mereka tidak saling bicara seharian, namun sepertinya mereka cepat melupakannya dan berbaikan kembali seperti tak pernah terjadi apapun.
“saat kamu besar, kamu mau jadi apa?” tanya Jihan saat mereka sedang berbaring di lapangan, mereka sedang membawa dua ekor anjing jalan-jalan.
“gak tau” jawab Ethan singkat, dia masih tak memikirkan tentang cita-cita, dia hanya ingin ibunya tidak kelelahan lagi.
“membosankan sekali” Jihan menipuk kepala Ethan pelan.
“terus kamu apa?” Ethan agak ngotot karena kesal.
“gak mau bilang, nanti kamu ikut-ikutan” seperti biasa, Jihan bersikap sangat jahil yang membuat Ethan terkadang tak habis pikir.
“terserah” Ethan menendang pelan kaki Jihan yang berada di samping kakinya.
“ouh iya mama aku ngajak kamu ikut jalan-jalan bareng kami sebelum sekolah dimulai” kata Ethan mengabarkan.
“kedengarannya menyenangkan” balas Jihan menampilkan senyumannya yang manis dan tulus.
Setelah mereka merasa cukup sore, mereka memutuskan untuk kembali. Ethan selalu mengantar Jihan pulang terlebih dahulu walaupun rumahnya tidak searah. Tapi tak masalah karena tidak begitu jauh dari rumahnya, mereka masih tinggal di lingkungan yang sama.
Seminggu kemudian, hari yang mereka tunggu-tunggu telah tiba. Hari dimana ibu Ethan memiliki waktu luang dan bisa mengajak mereka jalan-jalan dan bermain sepuasnya. Ethan dan ibunya sudah selesai bersiap-siap dan hendak berangkat untuk menjemput Jihan. Namun ibunya mendapat telepon dari kantor tempat ia bekerja, dia harus memperbaiki suatu dokumen saat itu juga karena akan segera digunakan. Ibunya mengatakan itu tidak akan lama dan mereka akan segera pergi. Ethan percaya itu, setiap kali ibunya bilang mereka akan pergi maka mereka benar-benar akan pergi. Namun daripada menunggu dirumah dan menonton ibunya bekerja, Ethan mengatakan akan pergi ke rumah Jihan terlebih dahulu dan akan menunggu ibunya di café Viola. Ethan pergi setelah ibunya mengiyakan, dia berjalan dengan senang kearah rumah Jihan. Namun saat sampai di rumah temannya itu, sangat sepi disana dan terlihat seperti tidak ada siapapun dengan pintu rumah yang tertutup rapat dan jendela-jendela tertutup gorden. Tidak mungkin Jihan pergi padahal mereka sudah merencanakan ini. Ethan mulai mengetuk pintu rumah itu beberapa kali secara berturut-turut lalu berhenti untuk melihat apa seseorang akan membuka pintunya. Tak ada yang datang, pintu itu tetap tertutup rapat, tidak ada suara apapun dari dalam rumah. Ethan mengetuk lebih kuat karena berpikir ketukannya yang tadi terlalu lemah, mungkin orang yang di dalam tidak dapat mendengarnya. Pintu itu tetap tidak terbuka dan Ethan menolak menyerah. Bisa saja mungkin tidak ada orang di dalam, namun Jihan tak mengatakan apapun soal ini, dia bisa menghubungi Ethan atau semacamnya.
Akhirnya pintu itu terbuka dengan kasar menghentikan tangan Ethan di udara yang bermaksud untuk mengetuk lagi.
“berisik sekali sialan” Ethan takut dengan kemunculan wanita paruh baya itu, dia memelototi Ethan hingga bocah itu merasa matanya akan keluar dari sana.
“siapa kau?” tanya wanita itu tak suka.
“itu… apa Jihan-“
“dia tidak ada disini, pergi sana” wanita ini benar-benar tidak ramah. Ethan hendak pergi dari sana karena percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu, mungkin Jihan menunggunya di café. Lagian dia ingin cepat-cepat menghilang dari pandangan wanita menakutkan ini. pintu di depannya langsung terbanting tertutup dan Ethan melangkah mundur. Sebelum Ethan benar-benar jauh dari rumah itu, pintu itu kembali terbanting terbuka membuat Ethan dengan kaget menghentikan langkahnya.
“ETHAN…” Jihan berlari kearahnya dengan panik, bahkan sebelum Ethan dapat sadar dengan situasi itu, Jihan dengan cepat menarik tangannya dan membawanya lari, Ethan yang tidak siap bahkan hampir terjatuh. Saat mereka berlari menjauh, Ethan mendengar wanita itu berteriak mengatakan kata-kata kasar di depan pintu rumah. Mereka terus berlari dan Jihan yang ada di depannya tidak pernah melepaskan tangan Ethan, mereka baru berhenti berlari saat sudah di depan café.
Mereka berdua sama-sama kehabisan napas dan merasa lelah.
“apa… yang terjadi?” tanya Ethan di sela-sela mengatur napas.
“tidak ada” jawab Jihan mantap sambil menegakkan tubuhnya lalu masuk ke dalam café meninggalkan Ethan yang masih mencoba mengatur napasnya. Ethan menatap Viola yang tengah mengobati luka-luka Jihan dalam diam, dia tidak tau apa yang bisa dia lakukan.
“sudah selesai” kata pemilik café tersebut sambil merapikan kembali obat-obatan dalam kotak p3k.
“makasih kak Lala” kata Jihan dengan senyuman manis.
Setelah Viola meninggalkan mereka berdua saja, ada kesunyian yang menyelimuti kedua bocah itu, tak ada yang ingin buka suara atau mungkin mereka hanya tidak tau harus mengatakan apa.
“itu…” Jihan berkata dengan pelan, Ethan hanya diam memandang temannya itu, menunggu dia untuk melanjutkan perkataannya.
“aku sepertinya tidak ikut dengan kalian” kata Jihan sambil menundukan sedikit kepalanya. Ethan ingin memprotes namun melihat keadaan Jihan dia sedikit memahaminya, jika dia seperti itu dia juga tak ingin kemana-mana.
“eum kita gak perlu kemana-mana, kita bisa disini saja” kata Ethan lalu bangkit dari kursinya, Ethan berjalan mendekati Viola yang sedang ada di kasir.
“kak aku boleh pinjam teleponnya?” tanya Ethan pada perempuan itu.
“eum tentu” Viola memindahkan telepon yang berada di sisi kirinya mendekat pada Ethan. Anak itu menelepon ibunya, mengatakan mereka tak perlu pergi hari ini, dia sedang malas dan ibunya bisa bersantai dan beristirahat dirumah. setelah itu dia mengembalikan telepon itu sambil mengucapkan terima kasih lalu kembali mendekati Jihan yang duduk di meja sudut café sambil memainkan sedotan dalam jus jeruknya. Meja sudut café ini adalah markas mereka, sebenarnya tempat khusus untuk mereka, tidak ada yang menduduki tempat ini selain mereka berdua.
“Jadi karena kita malas hari ini, kita bisa duduk-duduk saja disini tanpa melakukan apapun” kata Ethan setelah menyesap jus jeruknya sendiri, lalu menyenderkan tubuhnya dengan santai ke tembok. Jihan hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun. Berjam-jam berlalu seperti itu, mereka tidak melakukan apapun sama sekali dan hanya duduk-duduk saja, Viola memberikan beberapa buku untuk mereka baca jika merasa bosan, dan jengga juga permainan papan. Awalnya mereka memainkan permainan jengga namun berhenti karena Jihan merasa kesal terus menerus menjatuhkan balok bodoh itu jadi mereka memutuskan untuk membaca buku berbagai cerita rakyat maupun dongeng. Orang terus saja berlalu-lalang masuk dan pergi dari café itu sedangkan mereka masih betah duduk disana.
Hari mulai sore, langit yang awalnya berwarna biru kini mulai dihiasi warna jinga. Tidak ada orang lagi yang datang ke café dan tempat itu akan segera di tutup namun kedua bocah itu masih betah berada disana.
“jadi kalian ingin berada disini berapa lama lagi? Aku punya banyak waktu luang” kata Viola sambil bersedekap dada, dia serius mengatakan dia punya banyak waktu luang dan tak bermaksud menyuruh anak-anak itu pergi dari tempatnya. Mereka bertahan disana hingga malam hari, kini mereka bermain permainan papan dengan Viola yang juga bergabung.
Dari dinding kaca transparan, mereka dapat melihat sebuah mobil berhenti tepat di depan café. Ethan sangat mengenali mobil tua itu dan benar saja ibunya datang.
“anda menginginkan sesuatu?” tanya Viola ramah yang tidak sadar itu ibu Ethan.
“ah tidak terima kasih, saya datang untuk menjemput anak saya” kata ibu Ethan lalu Viola memanggil kedua anak itu. ibunya mengajak Ethan pulang dan mengatakan akan mengantar Jihan kerumahnya. Jihan tidak mengatakan apapun pada ajakan itu namun terlihat jelas dia enggan untuk pulang.
“mungkin dia bisa tinggal disini, saya akan mengantarnya pulang nanti” kata Viola yang mengerti. Ibu Ethan mengangguk setuju lalu mengandeng tangan Ethan untuk mengajaknya keluar. Ethan hanya dapat menatap Jihan, merasa enggan meninggalkan gadis itu namun dia tidak bisa melakukan apapun.
Dalam perjalanan pulang, Ethan menatap lampu-lampu dari bangunan di pinggir jalan yang mereka lewati sambil berdoa dalam hati semoga Jihan tak pernah dipukuli ibunya lagi dan dia tidak akan terluka lagi. Lalu Ethan menjadi sadar dan bertanya dalam pikirannya kemana ayah gadis itu hingga dia disiksa oleh ibunya? Apa ayah Jihan sudah pergi? Meninggal? Atau dipenjara juga seperti ayahnya? Atau mungkin ayahnya juga ada disana menyiksa Jihan bersama ibunya. Ethan tertidur sambil memikirkan hal itu, dia merasa lelah walaupun hanya duduk-duduk dan berbicara bersama Jihan sepanjang hari ini.
Di ulang tahun Ethan yang kesepuluh tahun, dia mengundang Jihan kerumahnya untuk makan bersama mereka. ibu Ethan yang ingat Jihan berulang tahun 3 bulan setelah Ethan juga membeli kue ulang tahun untuk gadis itu. kedua kue itu tidak besar, hanya kue tar sederhana yang berukuran kecil namun walaupun begitu mereka terlihat sangat bahagia. Jihan awalnya kaget dan tidak menyangka ada kue untuknya namun ibu Ethan mengatakan tidak apa-apa untuk merayakan ulang tahun lebih awal bahkan jika itu 3 bulan lebih awal, karena mengingat situasi keluarga Jihan yang sudah dia ketahui, pastinya tak akan ada yang merayakan ulang tahun gadis kecil itu.
“ibu juga menyiapkan makanan kesukaan kalian” ibu Ethan menyusun beberapa jenis masakan di meja makan lalu menyalakan lilin di kedua kue itu. mereka bertiga kompak menyanyikan lagu happy birthday.
“happy birthday to you\~\~” lalu mereka berdua secara bersamaan meniup lilin itu.
“terima kasih banyak untuk makanan dan kue nya” kata Jihan dengan senyuman lebar walaupun ada plester di pipinya dan lembam di matanya.
“sama-sama, nikmati makanan kalian” kata wanita itu lalu mengecup puncak kepala Jihan dan Ethan bergiliran. Mereka makan malam dengan bahagia, ada banyak canda tawa. Seperti biasa Jihan akan bersikap jail, mencolek krim kue itu ke wajah Ethan lalu mengambil potongan besar kue milik Ethan dan sebagainya. Ibu Ethan yang menyaksikan tingkah mereka berdua hanya bisa tergelak, betapa imutnya anak-anak itu. senang rasanya Ethan bertemu teman seperti Jihan dan senang melihatnya tak lagi kesepian seperti dulu.
Ibu Ethan membiarkan Jihan tidur di rumahnya, dia menyiapkan karpet tebal yang nyaman di kamar Ethan untuk Jihan, memberikan selimut paling tebal dan nyaman untuk gadis itu. sebelum dia keluar kamar dan meninggalkan kedua anak itu, dia mengatakan Ethan harus bersikap Jantan dan tidur di bawah membiarkan Jihan tidur di kasurnya, lalu wanita itu keluar sambil mematikan lampu kamar. Walaupun ibunya mengatakan hal semacam itu, nyatanya tak ada siapapun yang tidur di kasur, mereka berdua berbaring bersebelahan di karpet tebal di lantai itu. sebelum tidur mereka membicarakan banyak hal, tentang sekolah, tentang café Viola (ngomong-ngomong namanya memang café Viola, gadis berusia 20 tahunan itu terlalu malas memikirkan nama jadi dia memberi nama café itu dengan namanya sendiri), tentang kucing tetangganya yang cantik dan sejenisnya.
Saat ini mereka berada di kelas 4 SD, walaupun mereka bersekolah di tempat yang berbeda, setiap pagi mereka akan berangkat ke sekolah bersama. Sejak mereka bertemu, mereka menjadi dua orang yang tak terpisahkan. Mereka sahabat sejati dan juga keluarga bagi satu sama lain.
Hari ini saat pulang sekolah dia tidak melihat Jihan di tempat biasa gadis itu menunggunya. Ethan memutuskan untuk langsung ke café Viola, mungkin gadis itu sudah berada disana. Namun di café pun dia tidak ada.
“mungkin dia ada di lapangan, kamu sudah memeriksanya disana?” kata Viola sambil sibuk membuat beberapa jenis kopi pesanan pelanggan. Ethan setuju dan bergegas memeriksa lapangan. Lapangan itu sedikit luas, ada banyak orang yang berada disana untuk melakukan banyak kegiatan, bermain, bersantai dan sebagainya. Namun Ethan dapat menemukan Jihan dengan mudah. Ada beberapa orang yang sepertinya siswa SMP yang mengerumuni gadis itu. Ethan lalu berlari kearah mereka, mendobrak kerumunan itu dan berdiri di depan Jihan.
“apa yang sedang kalian lakukan? Pergi sana” kata Ethan kepada orang-orang itu dengan garang, namun bukannya takut mereka malah tergelak tertawa.
“lihat bocah ini, memangnya kamu siapa?” kata salah satu dari mereka yang bertampang preman dengan tindik di sebelah telinganya, memangnya siswa SMP boleh seperti itu?
Siswa SMP yang berjumlah 6 orang itu tidak peduli Ethan hanya bocah kecil yang masih SD atau semacamnya, mereka tetap memukuli Ethan sambil menertawakannya. Seorang wanita bergegas mendekati mereka dan mengusir para berandalan itu dengan mengancam akan memanggil polisi. Jihan berjongkok di samping Ethan yang sudah terkapar di tanah dengan wajah dan tubuh yang luka-luka.
“kamu gak papa nak? Ya ampun” wanita itu mendekati mereka sambil membantu mendudukan Ethan. Ethan tidak menjawab pertanyaan wanita itu karena tubuhnya terasa sangat remuk dan berdenyut nyeri, dia ingin menangis dengan kencang namun tak bisa melakukannya.
“kamu mau ke rumah sakit, ayo kita ke rumah sakit ya” ajak wanita itu karena cemas melihat kondisi Ethan. Mendengar kata rumah sakit membuat Ethan spontan mengelengkan kepalanya dengan kuat hingga membuatnya pusing.
Jihan menuntun Ethan ke café Viola, dia masih kaget dengan kejadian tadi. Jihan memang berada di keluarga yang penuh kekerasan, ibunya menjadi gila semenjak ayahnya bangkrut dan bunuh diri, ibunya selalu menyiksa Jihan, memukulinya dan mengatakan kata-kata kasar padanya, menyalahkan Jihan atas kepergian suaminya yang meninggalkan banyak hutang karena dia tidak memiliki siapapun lagi yang bisa disalahkan. Namun melihat orang lain di pukuli, bukan! Di keroyok semacam itu tentu saja membuat Jihan takut setengah mati, dia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi semacam itu. sesampainya mereka di café, Jihan cepat-cepat menyuruh Viola mengobati Ethan. Viola melakukan itu dengan cemas sambil beberapa kali mengajak Ethan kerumah sakit, namun bocah itu sangat keras kepala dan terus menolak.
Setelah luka-lukanya selesai diobati, dia dan Jihan hanya duduk saling berhadapan dengan se cup es krim rasa cokelat di tengah mereka, secara bergiliran mereka akan menyendoki es krim itu dan memakannya bersama.
“aku ingin cepat-cepat besar(dewasa)” keluh Jihan sambil menelungkupkan wajahnya ke meja.
“yeah kurasa aku juga” Ethan melakukan hal yang sama dengan wajah menghadap Jihan, kini mereka saling berhapan dengan wajah di atas meja. Awalnya mereka cukup tenang dan tak melakukan apapun, namun mereka mulai saling mencolek pipi satu sama lain yang berakhir dengan gelitikan lainnya hingga mereka berdua tertawa terbahak walaupun tubuh Ethan terasa nyeri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!