NovelToon NovelToon

Sangkar Emas Sang Mafia

Melarikan Diri dari Sangkar Emas

"Sebentar lagi, tinggal satu langkah lagi dan aku bisa pergi dari hidup Daniel selamanya!"

Hatiku mengembang, membayangkan mobil di depan gang yang telah menungguku untuk membawa pergi ke luar kota. Bersama pelayan pribadiku, kami melarikan diri dari kediaman Oxxon yang menyesakkan.

Semakin cepat aku berlari, kian membuncah perasaan kebebasan yang seperti sudah ada di depan mata.

Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi kami akan bebas dari kekangan pria berdarah dingin yang selalu memasang topeng senyuman hangat di wajah tampannya.

Hingga cahaya dari ujung gang membuatku berhenti lemas, ketika kulihat siapa yang sudah berdiri menungguku di sana. Bukan mobil yang kami sewa untuk melarikan diri, melainkan Daniel Fernandez Oxxon, pria 24 tahun yang sudah setahun ini menjadi suamiku. Padahal kuingat dia sedang ada perjalanan dinas ke luar kota.

Tapi mengapa... sekarang dia ada di sini?

Langkahku berhenti sepenuhnya, wajahku berubah dari sumringah menjadi pucat pasi, seperti baru melihat hantu. Sementara kedua tangan pria berperawakan tinggi, bertubuh kekar dengan rasio emas, terentang dan terbuka seolah sedang menyambutku masuk ke pelukannya.

"Sayang, bagaimana bisa kamu memainkan permainan melarikan diri di saat aku sedang tidak ada? Kamu sangat nakal yaa," ucapnya tersenyum cerah, namun terasa sekali tekanan dan kengerian menguar dari dalam dirinya.

Bagi orang yang tak mengenal Daniel, pasti seakan hanya melihat seorang suami yang tengah menjemput istrinya saja. Kacamata yang pria itu kenakan membuat orang lain semakin salah paham bahwa dialah pria paling baik di muka bumi ini.

Namun bagiku yang sudah satu tahun mengenalnya, hanyalah iblis kejam dari sosok mafia yang kini berdiri satu meter di depanku itu.

"Saya sudah melakukan semua yang Anda perintahkan, Tuan."

Bliss, pelayan pribadiku mengatakannya sambil melangkah maju mendahuluiku. Dia menundukkan kepala di hadapan Daniel, begitu patuh dan seperti sudah mengetahui alasan mengapa Daniel bisa berada di sini padahal cuma kami berdua yang mengetahui misi melarikan diri yang sudah satu tahun ini kurancang.

"Bliss...," panggilku melihatnya terus melangkah maju mendekati Daniel. Pria bersenyum hangat itu melebarkan seringainya sambil menepuk sebelah pundak Bliss, bangga.

"Saya sudah mengatakan semua rencana pelarian diri Nyonya. Saya harap Anda merasa puas dengan kinerja saya," ucap Bliss tak menghiraukan panggilanku.

Daniel terkekeh pelan, "Kerja bagus. Berikan dia imbalan yang kujanjikan," ucapnya kepada sekretaris pribadinya yang bernama Hans.

Daniel menurunkan tangan yang semula berada di pundak Bliss, lalu kembali merentangkan tangan seakan menyambutku. Dia tak suka ditolak, membuatku mau tak mau dengan kaki yang gemetar ketakutan pun berjalan menghampiri dan masuk ke pelukannya.

Dengan ragu kugerakkan kedua tangan membalas pelukannya yang erat. Pedih di hatiku merambat masuk setelah mengetahui pengkhianatan yang Bliss lakukan, rupanya selama ini dialah mata-mata yang Daniel tempatkan di sisiku. Padahal kukira Bliss tak ada sangkut pautnya dengan Daniel karena dia satu-satunya pelayan sekaligus sahabat yang kubawa dari kediaman kedua orang tuaku.

Tapi mengapa... Bliss tega melakukan ini kepadaku?

Hatiku gusar, semakin kuat aku meremat kemeja yang Daniel kenakan di dalam pelukanku. Dengan kekesalan yang membeludak, hatiku hancur di saat yang bersamaan. Tak sadar air mata mulai menetes, membasahi bagian dada kemeja pria itu.

Meski apapun ancaman yang Daniel lontarkan untuknya, Bliss tidak boleh mengkhianatiku seperti ini. Karena dia orang yang paling aku percaya di kediaman Oxxon.

Perasaan tak terima membatu di tenggorokanku. Membuatku dengan gemetar geram menunjuk ke arah Bliss yang sama sekali tak memasang wajah bersalah.

"D-dia...," ucapku tersengal di sela tangis, menenggelamkan wajah ke dada bidang pria itu selagi menuding, "Dia yang menghasutku untuk melarikan diri, Daniel. Dia menipuku..."

Sedikit kuintip, seketika wajah Bliss menunjukkan ketidakadilan. Wanita itu sontak bersimpuh di kaki Daniel dan membela diri, "Nyonya berbohong, Tuan! Seperti yang sudah rutin saya beritahukan kepada Anda, Nyonya merencanakan pelarian diri ini dari lama. Saya bersumpah!"

Gemetar, yang ditampilkan Bliss saat ini. Hanya bedanya dia pasti ketakutan setengah mati pada Daniel. Sedikit banyak wanita itu sudah tahu bagaimana tabiat kejam Daniel selama mengikutiku. Dia pasti ketakutan sekali sekarang.

Perkataannya tak salah, tapi aku tidak terima kalau wanita pengkhianat itu mendapat kepercayaan Daniel hanya karena ketidaksetiaannya padaku.

Grep. Pelukanku beralih jadi melingkarkan lengan ke leher Daniel yang masih menyeringai seakan menikmati tontonan di hadapannya. Dengan air mata yang begitu sedih dan tersayat, suaraku lirih menatapnya, "Kamu percaya padanya daripada istrimu sendiri, Sayang...?"

Tak ada pilihan lain. Sebelum Daniel benar-benar memusnahkanku, lebih baik aku lakukan saja apa yang biasanya dia inginkan dariku. Termasuk memanggilnya 'Sayang' yang terdengar menjijikkan itu.

"Padahal aku sudah mulai mencintaimu, tapi Bliss terus saja melarangku memiliki perasaan padamu, orang yang telah membunuh kedua orangtuaku. Aku tahu ini tidak benar, tapi perasaanku padamu tidak bisa aku hentikan. Bagaimana mungkin aku bisa melarikan diri kalau bukan karena dia berkata akan membantuku keluar?" Kutangkupkan kedua tanganku ke pipi Daniel, membuatnya sesaat tersentak dan tubuhnya kaku. Namun aku berlagak tak menyadari itu, dan terus membujuknya, "aku memang bodoh karena percaya padanya, tapi... tapi aku juga tidak tahu apakah benar memiliki perasaan kepada orang yang telah membunuh kedua orangtuaku? Aku sangat merasa frustrasi, Daniel..."

Air mataku tak henti mengalir, sakit dikhianati dan berpikir betapa benar-benar bodohnya aku kalau sampai sungguhan mencintai iblis ini. Daniel lebih banyak menyakitiku daripada memberikan kehangatan sebagai seorang suami.

Namun perkataan Daniel yang selanjutnya membalas pun menohokku, "Apakah salah jika kamu mencintaiku? Toh, aku hanya membalas dendam lama karena kedua orangtuamu yang telah duluan membasmi keluarga Oxxon. Mata dibalas mata, kematian dibalas kematian. Karena orangtuamu sudah tiada, perhitungan di antara kita pun sudah selesai."

Mendengar ucapan di akhir kalimatnya, membuat wajahku agaknya nampak bersinar. Namun Daniel yang menyadari itu lantas memungkas lagi, "Tapi jangan harap kamu bisa lepas dari pernikahan ini. Karena itulah yang dijanjikan kedua orangtuamu pada keluargaku sebelumnya. Kontrak pernikahan tak berbatas waktu hingga kamu bisa mengakuiku yang keluarga Oxxon ini menjadi suamimu sesungguhnya."

"A-aku... sedang mencobanya, tapi Bliss mengacaukan usahaku," Raut wajah redupku kontras dengan perkataan yang terlontar, tetapi sepertinya Daniel mempercayai itu.

"Jadi, semua permasalahannya ada di wanita pengkhianat ini?" Lirikan Daniel yang kini sudah benar-benar memasang wajah datar mengarah pada Bliss.

Bliss tahu apa yang akan terjadi selanjutnya bila Daniel yang terbiasa mengumbar senyum akhirnya melepas ekspresi mematikan. Dia segera beralih jadi memegang kakiku dan memohon pertolongan.

"Nyonya, tolong maafkan saya! Saya telah salah karena sudah mempermainkan Anda! Tolong berikan belas kasihan Anda, Nyonya! Atas segala yang telah saya lakukan untuk Anda selama ini!"

'Maksudnya... atas segala pengkhianatan yang kamu lakukan di belakangku selama ini?' benakku menatap nanar sorot mata Bliss yang tengah mengais kakiku sambil memohon perlindungan.

Namun aku tak ingin dikuasai oleh rasa iba lagi. Dia telah lama menusukku tanpa ampun dari belakang, mengapa baru menyesalinya sekarang?

Dengan abai, kukalungkan lagi kedua lenganku ke leher Daniel sembari memalingkan wajah dari Bliss dan menenggelamkan lagi ke dada pria itu, lalu berkata, "Aku takut, Daniel... Bawa aku pulang."

"Baiklah, tapi aku butuh bukti darimu juga kalau memang benar kamu sudah mencintaiku, Lariette," panggilannya di akhir membuatku membeku.

Aku tak tahu lagi, "Apa yang bisa aku lakukan agar kamu dapat percaya padaku, Daniel?"

Bisikan kecil nan serak Daniel membelai halus tepat di telingaku, "Malam ini... sepertinya waktu yang tepat untuk menikmati malam pertama yang sudah tertunda selama satu tahun pernikahan. Tunjukan kesungguhanmu, Lariette. Jangan coba-coba untuk melarikan diri lagi."

Tanpa ba-bi-bu, Daniel membopongku ala tuan putri, tanpa hirau dengan aku yang tak menjawabnya, maupun tak berniat melepas wajah yang tenggelam ke dadanya dan kalungan lengan di lehernya yang semakin mengerat.

Dia membawaku masuk ke mobil setelah memberikan instruksi kepada para bawahannya dengan suara berat nan dalam yang mengintimidasi, "Bawa dan kurung pengkhianat bernama Bliss itu ke ruang bawah tanah! Jangan biarkan dia kabur, apalagi sampai bisa mengancam dan menghasut istriku lagi di dalam kediaman Oxxon!"

Bersambung....

Daniel, Si Mafia Kejam Bersenyum Hangat

Akhirnya... kembali lagi ke kediaman Oxxon. Aku pikir tinggal di depan mata kebebasanku tiba. Namun pada akhirnya aku kembali disambut oleh orang-orang yang melayani Daniel, tak ada yang berpihak padaku, semuanya bersikap baik hanya karena mengikuti perintah tuannya.

"Selamat datang, Tuan, Nyonya...."

Para pelayan wanita dan pria berbaris menyapa kami, termasuk si kepala pelayan berwajah luar biasa tegas dan jutek.

Dari luar mereka nampak hangat, namun pada dasarnya mereka begitu sebab ada perintah dari Daniel untuk memperlakukanku selayaknya Nyonya Rumah Oxxon.

"Saya akan memandu Nyonya ke kamarnya," ucap kepala pelayan, Brinett. Wanita paruh baya itu berinisiatif setelah melirik Bliss sedang diamankan oleh dua orang bodyguard suruhan Daniel dan dipandu menuju ruang bawah tanah.

Akan tetapi dengan cepat Daniel memutus, "Tidak perlu, biar aku saja."

Tanpa ingin melepaskanku dari gendongannya, Daniel membawaku menaiki tangga. Masih dengan gendongan ala bridal atau yang dikatakannya ala 'tuan putri'. Alih-alih menuju ke kamarku, Daniel justru berjalan ke arah kamarnya. Hal itu membuat Brinett mengernyit heran.

"Maaf menyela, Tuan. Kamar Nyonya ada di ujung lorong sebelah sana. Sebaiknya biar saya saja yang mengantarkan Nyonya ke kamarnya sendiri dulu sebelum Anda menuju kamar."

Perkataan Brinett membuat senyum hangat di wajah Daniel seketika luntur. Lirikan tajam diberikan pria itu hingga membuat Brinett meneguk ludah kikuk.

"Hancurkan," titah Daniel dingin.

"Y-ya, Tuan?" Brinett bertanya-tanya.

"Hancurkan kamar di ujung lorong sekarang juga. Mulai saat ini Lariette akan tidur di kamar yang sama denganku," jelas Daniel singkat.

"Ta-tapi, Tuan... sebelumnya--"

"Apa perkataanku kurang jelas?" tegas Daniel membuat Brinett tak mampu berkata-kata.

Aku menduga, jika sekali lagi bantahan keluar dari mulut wanita paruh baya itu, bisa dipastikan kemarahan Daniel akan meledak.

Tetapi sayangnya Brinett cukup tahu diri. Dia segera mengangguk profesional dan mengiyakan titahan tuannya, "B-baik, Tuan. Akan saya suruh orang untuk merombaknya menjadi gudang. Apakah Nyonya ingin barang-barang di kamar itu dipindahkan juga ke kamar Tuan?"

Pertanyaan terakhir sepertinya tertuju untukku. Kendati begitu, aku sedang malas merespon Brinett, orang yang selalu menatapku dengan pandangan tak suka. Berakhir hanya membuatku semakin menenggelamkan wajah ke dada Daniel yang kemudian memberikan elusan pelan di puncak kepalaku selagi berkata, "Buang saja semuanya. Aku akan membelikan barang-barang baru yang dibutuhkan Lariette."

"Termasuk baju-baju milik Nyonya, Tuan?"

"Ya."

Konfirmasi dari Daniel sudah cukup, Brinett segera menunduk pamit dan mengerjakan apa yang diperintahkan.

Sementara Daniel kembali melempar senyuman hangat menatapku di dekapannya. Sepasang manik mata hitam legam pria itu di balik kacamatanya sampai menyipit membentuk senyuman.

"Lariette, kamarku akan menjadi kamarmu juga. Sudah lama sejak aku menunggu momen ini tiba. Kukira kamu akan terus marah padaku karena kematian kedua orangtuamu," ucap Daniel ramah. Seolah kematian kedua orangtuaku merupakan masalah remeh baginya.

Tapi yang membuatku bingung, mengapa pria yang mengutamakan dendamnya itu malah bersikap baik padaku yang notabene anak dari seseorang yang membasmi keluarga Oxxon?

Biasanya Daniel menyakitiku dengan cara yang halus, dia sering bergonta-ganti membawa pasangan ke mansion, seringkali pria itu juga abai jika ada pelayan dan orang suruhannya yang tak menghargaiku. Meski begitu, di hadapanku Daniel selalu bersikap baik dan tersenyum hangat. Walau tak jarang juga dia menghukum bawahannya dengan kejam saat ada aku di sana, seolah sedang memberikan peringatan kepadaku bahwa begitulah akibatnya jika membuat seorang Daniel Fernandez Oxxon marah.

"Aku akhirnya sadar. Sekarang aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Hanya kamu yang baik padaku, Daniel. Aku menyesal sudah mempercayai Bliss," balasku menunjukkan penyesalan senatural mungkin. Walau semuanya hanyalah kepura-puraan.

Setahun tinggal di mansion milik keluarga Oxxon, aku mengetahui satu informasi penting. Bila di berbagai sudut ada banyak CCTV dipasang oleh Daniel, hanya kamarku dan kamar pria itu saja yang tak memiliki pengawasan ketat. Hanya saja sayangnya di kamarku ada pengkhianat sejak lama, jika kali ini aku tidur di kamar milik Daniel, sedangkan Bliss berada di ruang bawah tanah, maka tandanya pengawasan akan melonggar hari ini. Takutnya kalau menunggu besok, Daniel sudah keburu memasang alat pengawasan di kamarnya untuk mengawasiku. Inilah kesempatannya.

"Kamu melakukan yang benar," ucap Daniel mengusap lembut sebelah pipiku disertai pujian, "Sekarang kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun, ada aku yang selalu berada di sisimu, Lariette."

"Iya, terima kasih, Daniel...," balasku disertai senyuman tipis dan kemudian dengan sengaja terbatuk, "Uhuk, uhuk!"

Ekspresi Daniel berubah cemas, "Apa kamu baik-baik saja, Lariette?"

"Aku merasa agak tidak enak badan," jawabku berlagak lemah.

Hal itu cukup ampuh hingga Daniel kemudian memutuskan, "Aku akan menyuruh dokter kediaman ke kamar. Sementara kamu beristirahat, aku harus pergi sebentar. Ada urusan penting yang harus kulakukan."

Pasti dia berniat menginterogasi Bliss. Ini benar-benar kesempatan langka. Benakku selagi mempertahankan akting selayaknya orang yang sedang sakit.

Dan benar sekali, tepat setelah Daniel pergi membiarkanku menempati kasurnya untuk beristirahat. Dokter kediaman mengetuk pintu beberapa menit selepas Daniel keluar.

"Nyonya, bolehkah saya masuk? Tuan memerintahkan saya untuk memeriksa Anda," ucapnya dari depan pintu yang masih tertutup.

"Silakan masuk, Dokter," silaku padanya, sembari beranjak dari baring dan berdiri di sisi ranjang.

Dokter yang terbilang masih muda melenggang masuk, dia menutup pintu, kemudian--Prang!!!

Guci keramik mahal di atas nakas milik Daniel dengan sengaja kubenturkan ke kepalaku. Hingga semuanya berserakan di lantai dan darahku mengalir dari kening.

"Nyonya!!" pekiknya terkejut bukan main. Pria itu segera berlari menghampiriku yang tersungkur di atas serakan beling.

Dengan cekatan, pria bernama Kean tersebut membersihkan beling yang menusuk telapak tanganku, lalu membaringkanku kembali ke kasur sesudah memasangkan perban di kepalaku.

Di sela aktivitasnya, aku berujar, "Sebentar lagi seseorang yang mendengar keributan ini akan membuat Daniel datang kemari. Jika dia bertanya padamu, katakan saja kalau aku jatuh setelah kembali dari kamar mandi, kepalaku membentur dinding dan tanganku terkena serpihan beling dari guci yang jatuh akibat tersenggol olehku."

"Baik, Nyonya," patuhnya, mendengar titahanku.

Namun tak usai sampai di situ saja, aku kembali meminta, "Katakan juga pada Daniel kalau aku mengalami kehilangan ingatan temporer. Beberapa memoriku hilang, tetapi tidak semuanya. Hanya memori dua tahun terakhir saja yang tidak bisa aku ingat."

"Ta-tapi, Nyonya..." Wajah Kean nampak bermasalah.

"Jika kamu tidak ingin mengatakan apa yang kusuruh, aku akan bilang pada Daniel, bahwa kamulah yang telah membenturkan kepalaku ke dinding karena muak setelah tahu kalau aku sempat melarikan diri dari mansion. Rumor pelarian diriku pasti sudah menyebar, bukan?" ancamku, menempatkan Kean di pilihan yang sulit, "Kamu juga akan berada di ruang bawah tanah seperti Bliss, tidak peduli apakah perkataanku atau pengakuanmu yang benar. Daniel hanya akan mendengarkan apa yang dia ingin dengar saja, dan untuk saat ini dia sedang senang setiap kali mendengar istrinya mengeluh dan bersikap manja."

Ya, aku sendiripun terkejut setelah tahu pria yang sulit dibujuk itu malah mau mendengarkan setiap keluhanku ketika berlagak menyedihkan atau sok manja.

Aku kembali memberikan saran pada Kean, "Jika aku jadi dirimu, aku akan mengikuti permintaanku. Aku berjanji tidak akan mengatakan apapun mengenai kejadian ini jika kamu sudah mau bekerja sama. Dan aku juga berjanji akan berlagak seolah dapat mengingat lagi semuanya setelah tujuanku melakukan ini tercapai."

"Sungguh, Nyonya? Tapi apa Anda benar-benar akan merahasiakan semuanya dari Tuan? S-saya tidak berani menipu Tuan. Tetapi kalau sampai Tuan salah paham dan percaya bahwa saya yang membenturkan kepala Anda ke dinding, nyawa saya tidak akan selamat," gagap Kean ketakutan.

Dari situ aku tahu apa keputusannya. "Baiklah, kalau begitu lakukan apa yang kuminta. Sekarang aku akan berpura-pura kehilangan ingatan. Bersiaplah, dan jangan bertingkah bodoh dengan gagap seperti itu."

Benar saja, tak lama seorang bodyguard datang membawa Daniel ke kamar, "Saya mendengarnya dari dalam, Tuan. Karena ada dokter Kean, saya jadi pergi memanggil Anda alih-alih melihat keadaan Nyonya duluan."

"Baiklah, kamu bisa kembali berjaga," usir Daniel mengibaskan tangan, membuat pria berbadan kekar itu keluar dari kamar yang kini hanya menyisakan kami bertiga.

Daniel sontak mengambil posisi duduk di tepi ranjang dan menangkup kedua pipiku sembari memasang wajah khawatir, "Apa yang terjadi dengan istriku, Kean?"

Dia bahkan tak ingin repot memanggil Kean dengan sebutan 'Dokter', cuma karena mereka seumuran.

"Nyonya terjatuh sehabis dari kamar mandi. Kepalanya membentur dinding dan telapak tangannya tergores pecahan keramik yang berserakan," tutur Kean seperti yang aku perintahkan. Namun dia belum juga menyebutkan soal ingatanku yang hilang. Hal itu membuatku sedikit geram dan kemudian memancingnya karena kelihatan meragu.

"Kamu siapa?" tanyaku tertuju untuk Daniel, memasang tampang tak berdosa dan kelihatan teramat bodoh seolah tak tahu apa-apa.

"Lariette, ini aku suamimu. Daniel Fernandez Oxxon," ujar Daniel. Mendengar nama lengkap terlontar dari sang empunya membuat punggungku merinding.

"Suami?" tanyaku berlagak heran. Semoga saja Daniel tidak merasa curiga sama sekali.

"Maaf menyela, Tuan. Mohon tunggu sebentar," sergah Kean, kemudian membungkuk hingga pandangannya setara denganku yang duduk di kepala ranjang.

Dia mengambil alih pembicaraan, "Apa Nyonya mengetahui nama lengkap Anda?"

"Tentu saja, namaku Lariette Julliana Cossette. Tapi siapa juga kamu? Mengapa aku bisa berada di tempat aneh begini? Tolong pulangkan aku ke rumahku!" Perkataanku diakhiri histeris yang membuat Daniel melempar tatapan meminta penjelasan lebih kepada Kean.

Kean nampak kesulitan meneguk ludahnya sendiri, "Satu pertanyaan lagi, Nyonya. Lalu saya tidak akan mengajukan pertanyaan tambahan kepada Anda. Apakah yang ada di ingatan Anda terakhir kali? Apa saja, bisa momen atau apapun."

Aku mengingat-ingat. Apa kejadian di dua tahun lalu yang mungkin bisa membuat Daniel mengingatnya juga. Aha. Kurasa yang ini bisa.

"Terakhir kali kuingat kedua orang tuaku pergi ke luar kota untuk mengurus bisnis. Tapi sudah sejak beberapa minggu masih juga tidak ada kabar. Aku sangat khawatir sesuatu terjadi pada mereka. Makanya aku ingin segera pulang ke rumah."

Jawabanku sepertinya membuat Daniel tersentak kaget dan tak tahan untuk bertanya pada teman masa kecil sekaligus dokter di kediamannya itu, "Sebenarnya apa yang terjadi pada Lariette, Kean? Mengapa dia seperti melupakan banyak hal?"

Kean mengelap keringat yang mengucur di keningnya, gugup tetapi tetap bisa berkata dengan lancar, "Sepertinya Nyonya Lariette mengalami hilang ingatan temporer. Kira-kira ingatan yang hilang kemungkinan dari memori terakhir yang baru saja dia sebutkan hingga sekarang. Dia bahkan masih mengingat nama lengkapnya sebelum menikah dengan Anda, Tuan. Bukan setelah menikah dengan Anda."

"Apa itu tandanya dia tidak dapat mengingat apapun selama menikah denganku?" tanya Daniel memasang wajah serius, yang semakin menambah kegugupan Kean.

"Benar, Tuan. Meski begitu ingatannya akan kembali lagi. Tetapi untuk waktunya, tidak bisa dipastikan," jelas Kean seprofesional mungkin.

Sepertinya Daniel percaya perkataan pria itu, dia perlahan mengulas senyum mengembang, "Apa ada obat yang bisa menghambat ingatannya agar tidak kembali dengan cepat?"

"Y-ya? A-ada, Tuan," Kean terkejut dengan pertanyaan Daniel, begitupula denganku yang sama sekali tidak menyangka pemikiran kejam macam apa yang ada di otak mafia itu.

Dengan segera aku menyergah, "Apa yang ingin kamu lakukan padaku?!"

Namun dibalas pelukan hangat oleh Daniel yang sepertinya semakin memperlebar senyuman di balik pelukan kami, selagi berkata, "Kamu mungkin tidak mengingatnya, Sayang. Kamu hanya memiliki aku saat ini. Sekarang namamu Lariette Julliana Oxxon, kamu Nyonya Rumah di kediaman Oxxon, istri dari seorang Daniel Fernandez Oxxon. Tidak ada gunanya kamu mengingat kembali kenangan buruk itu. Karena yang kamu lupakan salah satunya ingatan kalau kedua orangtuamu telah meninggal dunia. Aku hanya tidak mau kamu terluka lagi dan bersedih. Jadi, tolong bekerja sama dengan Kean. Dia yang akan membantu kamu meminum rutin obat penghambat ingatannya, supaya kamu hanya mengingat hal bahagia saja. Jika kamu bersedih, aku juga jadi merasa sedih. Makanya, aku mohon agar kamu mau menurutiku kali ini saja. Hm? Bagaimana?"

Daniel melepas pelukan, memastikan ekspresi wajahku saat menjawabnya. Namun aku enggan menunjukkan itu, aku kembali mendekapnya lagi sambil menjawab.

"Y-ya, baiklah," sahutku parau di dalam pelukannya. Menahan kegeraman di dalam hati yang mulai memaki kegilaan Daniel, si mafia bersenyum hangat namun berhati sangat dingin dan kejam, 'Dasar orang gila! Bagaimana bisa dia beralasan seperti ini sementara kedua orangtuaku saja meninggal di tanganmu? Bisa-bisanya dia malah berpikir memanfaatkan hilang ingatanku demi kebaikannya! Sebenarnya... apa yang sedang dia rencanakan?'

Aku tidak mengerti, namun pastinya Daniel memiliki tujuan lain mempertahankanku di sisinya saat ini. Tapi apa? Aku harus mencari tahu itu. Harus! Dan membuat pria hilang waras ini menangis sejadi-jadinya karena pengkhianatanku di kemudian hari!

Bersambung....

Berusaha Menipu Daniel Fernandez Oxxon

Senyum sumringah menghiasi wajah tampan Daniel sesaat melepas dekapan yang menyelimuti kami. Dia mendaratkan kecupan singkat di pipiku. Hal yang tak pernah pria itu lakukan selama setahun pernikahan.

"Urusanku belum selesai, Sayang. Kita bertemu lagi ketika jamnya makan malam."

Begitu yang dikatakan Daniel sebelum akhirnya pergi setelah mengecup lembut nan singkat bibirku. Sontak tubuhku membeku terpaku menatap kepergiannya. Seorang Daniel Fernandez Oxxon... mengecup duluan wanita di hadapannya. Mana pernah dia begitu, biasanya para wanita yang memancing duluan barulah Daniel membalas mereka.

Tepat ketika pintu kamar tertutup dan kembali menyisakan aku bersama dengan Kean, berdua saja. Aku mendengus kasar, "Dasar tidak waras! Dia sengaja memanfaatkanku yang hilang ingatan? Jika saja aku benar-benar tidak mengingat apapun seperti kemauannya, sudah pasti pria itu akan sangat semena-mena padaku, huh!"

Kean hanya menatapku heran. Mungkin karena tak pernah ada yang berani memaki Daniel meski pria itu seringkali mengumbar senyuman hangat untuk menutupi kekejamannya. Di muka umum, Daniel dikenal sebagai pria baik hati dan hangat yang peduli kepada sesama. Namun kenyataannya, di dunia bisnis gelap, Daniel merupakan sosok iblis yang jika bisa... lebih baik menghindarinya daripada berurusan langsung.

"Kean... kamu boleh membuatkan obat yang diperintahkan Daniel. Jika perlu, buat obat dengan kualitas terbaik," kataku membuat Kean nampak kaget bukan main, lalu kembali berbicara yang sedikit banyak mengendurkan ketegangan di kedua bahu pria itu, "Tenang saja, aku tidak akan meminumnya. Kamu katakan saja kepada Daniel, bahwa aku meminum rutin obat yang dibuat. Toh, aku memang berniat berpura-pura tak ingat apapun. Kuharap kamu mau bekerja sama denganku."

Kean mengerti apa maksudku. Dia adalah orang yang cerdas, pasti paham kalau aku sedang mengajaknya berada di kubu yang sama.

"Tuan sudah percaya kalau Anda hilang ingatan, lalu juga dengan obat yang diminta Tuan untuk dibuatkan, bisa dipastikan ingatan Anda akan memudar dengan rentang beberapa tahun ke belakang. Sebenarnya tanpa bekerja sama dengan Anda pun saya bisa tetap patuh pada Tuan. Lagipula tak ada kesempatan lagi untukmu menyalahkanku atas kejadian tadi, kamu sendiri yang mengiyakan alibi tersebut. Itu tandanya saya tidak punya alasan untuk bekerja sama dengan Anda."

Sialan. Kean memang cerdas, tetapi perkataannya itu seakan menyiratkan bahwa dirinya siap menusukku dari belakang jika tidak dapat meyakinkan atau mengancamnya dengan suatu hal.

'Berpikirlah, Lariette.... Berpikir!' benakku tak sabaran.

Oh! Terpikirkan alasan yang bagus untuk orang seperti Kean.

"Kenapa kamu ingin setia pada Daniel? Bukankah Daniel juga hanya menganggapmu bawahannya saja, sama seperti yang lain?" sahutku sarkas. Meski Kean termasuk akrab dengan Daniel karena mereka teman masa kecil, namun ada batasan bagi pria itu jika ingin berkomunikasi dengan tuannya. Biar bagaimanapun Daniel hanya menganggapnya sebagai anak buah, bukan seorang teman. Hal itu tentu saja disadari oleh Kean, bahkan tanpa perlu kuberitahu.

"Setidaknya saya mendapat banyak imbalan dari Tuan. Tidak mudah membuat saya berpaling dari Tuan Daniel."

Kean kelihatan yakin, tetapi disitulah keraguannya menyusup di saat yang bersamaan. Kata-kataku selanjutnya berniat membuat Kean goyah, semoga saja dia memutuskan hal yang sesuai dengan keinginanku.

"Bekerja sama denganku mungkin tidak akan mendapat imbalan," ujarku provokatif, "Tapi dengan begitu secara tak langsung mampu membodohi seorang Daniel Fernandez Oxxon yang terkenal tak pernah dirugikan. Biasanya siapapun yang memanfaatkan Daniel akan kehilangan nyawanya. Bukankah kamu penasaran mengapa Daniel berubah menjadi kucing penurut di hadapanku?"

"Itu pasti karena Tuan memiliki tujuan," sergah Kean, mengenal Daniel lebih lama  membuatnya sedikit banyak paham mengenai lelaki berdarah dingin tersebut. Namun, aku bisa mengubah keyakinannya dan membuatnya menanyakan dua kali pada diri sendiri, sudah sejauh mana dia mengenal sosok Daniel.

"Memang. Apa kamu tidak penasaran apa tujuannya melakukan itu? Jika kamu mau bekerja sama denganku, kedepannya akan menjadi lebih menyenangkan. Aku akan menjamin lehermu masih ada di tempatnya hingga aku berhasil lepas dari jeratan Oxxon," ungkapku menyeringai. "Aku akan memberikan tontonan seru di mansion yang kelam ini."

Kean menaikkan sebelah alisnya, dia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengambil tangan kananku dan mengecup tempurungnya, lantas berkata, "Baiklah, hanya sampai kamu lepas dari jeratan Oxxon. Untuk selanjutnya terserah padaku, kesetiaanku ini akan diberikan kepada siapa."

Kean sudah memutuskan. Dia memilihku, tetapi bukan berarti aku akan mempercayai dia sepenuhnya. Kapan saja Kean bisa berbalik arah dan menusukku.

"Pilihan bagus, mulai sekarang lakukan apapun yang aku perintahkan. Kamu juga harus bisa menunjukkan kerja sama saat sedang di hadapan Daniel," wanti-wantiku. Dari cara bicaranya yang berubah dari formal menjadi informal, menandakan keputusan yang diambilnya sudah bulat. Kean mengangguk mengerti. Kemudian aku kembali memperingati, "Jika kamu mengkhianatiku, bukan hanya penjara bawah tanah, bahkan nyawamu pula tidak dapat aku ampuni. Camkan itu."

"Baik, Nyonya. Kamu hanya perlu mewujudkan janji-janjimu itu padaku. Jika aku tidak mendapatkan yang kuharapkan darimu, atau merasa sedikit saja tidak puas, aku bisa berbalik mengkhianatimu, Nyonya Oxxon," balas Kean berbalik mengancam.

Justru membuatku mengulas senyum lebar dan berkata, "Tenang saja, kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Sebagai gantinya, aku akan meminta kepada Daniel untuk menempatkanmu di sisiku. Silakan tonton dengan puas, akan aku tunjukkan ketika iblis sepertinya menangis dan bertekuk lutut di hadapanku."

"Jika butuh bantuan untuk masalah menempatkanku di sisimu, katakan saja. Aku akan membantu membujuk Tuan Daniel, Nyonya," beri pertolongan Kean.

Namun aku tidak membutuhkannya, kukibaskan tangan ringan selagi berkata, "Urusan mudah. Masuklah di pertengahan acara makan malam kami. Akan aku tunjukkan bagaimana langkah pertamaku menaklukan seorang Daniel Fernandez Oxxon."

"Baiklah, akan kulihat nanti. Jika kamu bisa membuatku berada di sisimu, maka aku akan lebih percaya."

***

Makan malam yang ditunggu-tunggu.

Di kamar.

Kepala pelayan Brinett mengetuk pintu dan membuka setelah mendapat instruksi. Tanpa ba-bi-bu dia langsung menyampaikan, "Tuan sudah berada di ruang makan, Nyonya. Sebaiknya Anda juga bergegas, jangan sampai membuat Tuan menunggu."

Aku melenggang santai menghampirinya, berniat melangkah keluar dari kamar. Namun langkahku berhenti sejenak untuk memberikan gertakan pada wanita paruh baya tersebut.

"Jika kamu memang berniat tak ingin membuat Daniel menunggu, seharusnya kamu datang lebih awal, Brinett. Kamu masih saja meremehkanku," kataku sinis, lalu tertawa renyah di sela bisikan padanya, "Lagian Daniel tidak akan memarahiku cuma perkara terlambat datang. Dia pasti masih memperlakukanku dengan baik."

Brinett melengos seakan tak percaya, dia memang mengenal Daniel yang tidak suka keterlambatan. Tetapi konteksnya di sini lain, aku yang merupakan istrinya sendiri, yang sedang menguji kesabaran pria itu.

Dengan langkah lebar mendahului Brinett, kami melenggang menuju ruang makan. Benar saja, Daniel sudah duduk di sana, menautkan tangan di atas meja menatap ke arah datangnya aku.

"Duduklah, Sayang. Kamu sangat terlambat," sergahnya bersuara dingin meski masih memampang senyuman yang begitu manis.

Brinett maju selangkah untuk menukas, "Maafkan saya, Tuan. Semuanya karena kesalahan wanita tua ini yang terlambat memberitahu Nyonya. Saya harap Anda memaklumi kelalaian saya."

"Sudahlah, kumaafkan untuk yang kali ini. Tidak untuk yang selanjutnya," tegas Daniel.

Aku berjalan menuju kursi yang kemudian ditarikkan oleh Brinett agar dapat kutempati. Namun alih-alih menerima niat baiknya yang busuk, aku malah berjalan melewatinya dan mengambil posisi duduk di pangkuan Daniel. Memeluk pria itu dan menenggelamkan wajah di ceruk lehernya yang beraroma maskulin.

"Bagaimana bisa kamu menyalahkan Nyonya Brinett, Sayang? Dia sudah sangat baik memanduku ke ruang makan. Sebelumnya aku bahkan tersesat dalam perjalanan ke sini, aku tidak tahu di mana letak ruang makannya. Dan para pelayan yang kulalui kelihatan sangat sibuk hingga tak mendengar panggilanku. Kukira tidak akan bisa sampai di ruang makan sampai waktunya makan malam selesai. Untung saja Nyonya Brinett menemukanku."

Perkataanku membuat Daniel mengernyitkan kening dalam, sementara Brinett kebingungan.

"Nyonya Brinett?" tanya Daniel heran. "Dia hanya seorang pelayan, mengapa kamu memanggilnya dengan hormat, Lariette?"

"Aku hanya ingin menghormati orang yang lebih tua, lagipula sepertinya Nyonya Brinett sudah tinggal lebih lama dari generasi ke generasi di sini. Aku tidak bisa menganggapnya sebagai pelayan biasa."

Daniel menjawab tanpa memandang perasaan orang yang dibicarakannya, "Dia hanya pelayan. Panggil saja Brinett. Lagian seharusnya bukankah aku sudah menyuruhmu menjemput istriku, Brinett? Mengapa bisa Lariette tersesat dan tak ada seorang pun yang menolongnya."

Tatapan tajam berhasil Daniel hadiahkan untuk Brinett yang seketika gugup. Wanita itu sampai terbata menjawab Daniel yang bahkan sudah tidak menampilkan senyum lagi, "T-tapi Tuan, bukankah Nyonya sudah tahu di mana letak ruang makannya? Tidak peduli sesering apa Nyonya makan di kamarnya, dia pernah beberapa kali juga makan di ruang makan. Tanpa pelayan beritahu pun seharusnya Nyonya tidak lagi tersesat di kediaman ini, bukan?"

Balasan Brinett membuatku puas, dengan cepat kupeluk erat tubuh Daniel tanpa berniat turun dari pangkuannya. Aku menggubris dengan penuh rasa bersalah, "Maafkan aku, Daniel. Aku memang bodoh makanya tidak bisa mengingat apapun di rumah ini. Aku bahkan tersesat di kediaman yang kutempati sendiri, padahal di sini akulah Nyonya Rumahnya. Semuanya salahku yang tidak bisa mengingat apapun."

Duk-duk-duk! Kupukul kepalaku beberapa kali sambil meringis, aku berujar, "Aku tidak pantas dimaafkan. Aku hanya bisa menyusahkan Kepala Pelayan dan pelayan lainnya saja. Aku memang tidak berguna."

Dalam satu tangkapan, Daniel menghentikan kepalan tanganku yang terus memukuli kepala sendiri. Dia menurunkannya perlahan dan mendaratkan kecupan halus di pelipisku seraya berkata, "Bukan salahmu kalau kehilangan ingatan, Sayang. Brinett berhak mendapatkan hukuman karena sudah membuatmu tersesat sampai menyalahkan diri sendiri dan mengatai dirimu bodoh," suara Daniel yang lembut kepadaku, kontras dengan lirikannya ke arah Brinett yang kesulitan menelan ludah.

Brinett terlalu peka, dia segera berlutut dan memohon, "To-tolong maafkan saya, Tuan! Saya bahkan tidak tahu kalau Nyonya kehilangan ingatannya! Saya baru mendengar hal itu, tolong maafkan saya, Tuan...!"

"Seharusnya kamu menjalankan tugas dengan baik saat aku memerintahkanmu, Brinett. Memang sepertinya kamu semakin tua, penilaianmu semakin tumpul, apa perlu aku menggantikan kepala pelayan dengan yang lebih muda?" kecam Daniel tegas.

Brinett mendongak menatap Daniel dengan pandangan gamang, dia tentu saja tak ingin dipecat di saat sudah berada pada puncak jabatan di mansion Oxxon.

Aku kembali memeluk Daniel, berlagak menghentikannya dengan histeris, "Ti-tidak, Daniel! Bukan salah Kepala pelayan! Dia bahkan tidak tahu kalau aku kehilangan ingatan, tolong jangan hukum Brinett!"

Pekikanku berbarengan dengan kedatangan Kean di ambang batas antara ruang makan dan ruang tengah. Pria itu nampak kebingungan, namun dia memilih diam di sana dan menonton.

Sementara Daniel mendengus kasar, "Ini semua berkat kebaikan hati Lariette, dia sangat takut menyinggung atau membuat orang di sekitarnya terluka. Kalau bukan karena dia yang memohon, aku pasti sudah menggantimu dengan orang yang jauh lebih muda, Brinett. Bukankah kamu berhutang ucapan maaf dan terima kasih pada istriku?"

Brinett bergegas mengujar, "Tolong maafkan saya, Nyonya. Terima kasih sudah berbelas kasihan pada wanita tua ini."

"Bagaimana, Sayang? Kamu ingin memaafkan kelalaian Brinett?" tanya Daniel, hanya kubalas anggukan saja. Dia mengibaskan tangan mengusir ke arah Kepala Pelayan, "Sana sebelum aku berubah pikiran."

Kepergian Brinett membuat hening ruang makan, Daniel menarik daguku hingga bangkit dari ceruk lehernya dan kini menatap pria itu.

"Hatimu terlalu lembut, Lariette. Mengapa Brinett yang berbuat salah tetapi kamu yang justru menangis?" ucapnya selagi menghapus air mata yang susah payah kukeluarkan.

Dengan begini tinggal ke tahap selanjutnya, demi bisa membuat Kean berada di sisiku. Sahutanku parau, membuat siapapun yang mendengarnya merasa nelangsa, "Aku merasa sangat bodoh karena tidak bisa mengingat apapun, Daniel. Seandainya saja ada seseorang yang bisa membantuku sekaligus melindungi dan menunjukkan jalan jika aku ingin berkeliling mansion, aku mungkin akan merasa sedikit lega."

"Ah, soal itu... sebenarnya aku sudah menugaskan seorang pelayan dan bodyguard untukmu. Mereka akan tiba di mansion besok."

Perkataan Daniel membuatku gelisah. Mengapa dia tidak meminta bantuan Kean yang jelas-jelas sedang berdiri di ambang ruang makan? Kalau begini Kean tak akan mau bekerja sama denganku, aku harus bisa membuktikan kepadanya kalau aku mampu membuatnya terus berada di sisiku dengan persetujuan dari Daniel.

Sementara itu, Kean berjalan masuk, senyum kemenangan menghiasi berbanding terbalik dengan wajahku yang murung ditambah basah karena habis menangis. Di tangannya membawa sebotol penuh obat berbentuk kapsul. Dia menyela, "Tuan, obat penghambat ingatan yang Anda minta sudah saya buat. Setelah makan, kita sudah bisa memberikannya pada Nyonya."

'Sialan...,' geramku dalam hati.

Di sisi lain, Daniel mengembangkan wajah berseri. Dia menyuruhku pindah duduk ke kursi yang sebelumnya ditarikkan oleh Brinett.

"Duduklah di sana, Lariette. Biar aku periksa dulu obat yang berhasil dibuat oleh Kean."

Daniel tak mengindahkan ekspresiku yang enggan. Dia menerima pemberian Kean tanpa melirikku yang beranjak pindah.

Tidak bisa, aku harus melakukan sesuatu! Jika tidak, cepat atau lambat Kean akan membongkar semua kebohonganku ini! Tepat sebelum bokongku menyentuh permukaan kursi, aku lantas menjalankan aksi dengan menjatuhkan diri ke samping layaknya seseorang yang pingsan.

Dengan refleks yang kuat, Daniel melempar sembarang botol kaca dari obat di tangannya hingga pecah dan berserakkan, dia bergegas menangkapku sebelum benar-benar jatuh membentur lantai.

"Lariette!!" pekiknya kencang. Samar-samar mencetak ekspresi terkejut dan panik di wajah Kean juga sebelum akhirnya kupejamkan mata dan gelap menyelimuti.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!